Kateinai Boryouku dalam Rumah Tangga Jepang Dewasa ini

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Chie, Nakane. 1981. Masyarakat Jepang. Sinar harapan dan pusat kebuyaan jepang

Futagami, Noki. 2007. Boryouku Wa Oya Ni Mukau. Tokyo: tooyoo keizai shinbousha

Hayashi, Michioshi. 1996. Fusei no Fukken. Tokyo chuokoronsha

Imamura, Anne E. 1987. Urban Japanese Housewife : at home and in the

community. Honolulu: University of Hawaii press

Inamura, Hiroshi. 1987. Oyako Kankei Gaku. Tokyo: koundansha gendai shinsho

Inamura, Hiroshi. 1985. Kateinai Boryouku Kankenkeino Byori. Tokyo: Shinyosha

Koyomi, morioka. 1993. Gakureki Shakai. kondansha encyclopedia of japan Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Nazir, 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Ochiai, Emiko. 1992. ThE Japanese family system in trantition: A sosiological

analysis of family change postwar in japan. Osaka:

LCTBinternational library foundation.

Okonogi, Keigo. 1985. Imano kazoku korekarano kazoku. Tokyo, nihon hoso shuppan kyohai

Raharjo, Nurwatie B. 1993. Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak. CSIS. Sangidu. 2007. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya UGM

Soekanto, S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soumuchou, S.TH. 1987. Nippon no Kodomo to Hahaoya. Tokyo: Japan Supardi. 1999. Pola Asuh dan Remaja Bermasalah. Info actual swara


(2)

Shibata, zeshin. 1981. Nihon no Bijutsu. Tokyo: shibundo

http://www.shôhiseikatsu.metro.tokyo.jp/kyôiku/shôhisa/, diakses pada 25 september


(3)

BAB III

USAHA-USAHA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGATASI

KATEINAI BORYOUKU

3.1 Usaha yang Dilakukan Pemerintah

Adapun usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam penanganan dan pencegahan kateinai boryouku adalah sebagai berikut:

3.1.1 Program Reformasi Pendidikan - Manbusho

Berdasarkan program reformasi pendidikan yang di keluarkan oleh manbusho (departemen pendidikan jepang) pada tanggal 24 januari 1997, yang kemudian direvisi pada tanggal 5 agustus tahun yang sama, manbusho menekankan pentingnya pendidikan bagi perkembangan mental setiap individu. Pendidikan merupakan pondasi dari segala macam sistem social. Oleh karena itu, manbusho menganggap pelaksanaan reformasifundamental dalam pendidikan sangat penting dan esensial untuk membangun sebuah masyarakat yang mampu menunjukkan secara penuh kreativitas dan semangat yang mereka miliki. Reformasi pendidikan ini tidak terpisah dari reformasi fundamental di dalam lima bidang yang lain yakni admisnistrasi pemerintahan, struktur ekonomi, sistem keuangan, sistem kesejahteraan sosial, dan struktur fiscal yang kesemuaannya ini harusdiwujudkan sebagai suatu kesatuan.


(4)

Untuk mewujudkan reformasi pendidikan, manbusho memusatkan perhatiannya kepada dua elemen. Yang pertama adalah untuk mendidik masyarakat sebaik-baiknya demi masa depan jepang. Yang kedua untuk memberikan penghormatan yang tinggi terhadap individualitas tiap anak dalam rangka menumbuhkan penghormatan yang tulus pada hidup dan orang lain, simpati, rasa keadilan dan kesamaan, moral, kemasyarakatan, kreativitas dan internasionalitas dalam upaya merangsang karya yang penuh dari kemampuan seorang anak selama hidupnya.

Di dalam penjelasan yang lebih terperinci mengenai tujuan program ini untuk menanggulangi kateinai boryouku, dan mendukung pengendalian masalah kateinai boryouku dalam masyarakat. Walaupun memang tidak secara tegas dikemukakan bahwa hal ini dapat di tunjuk sebagai sebuah cara dalam menangulangi kateinai boryou, namun jika dilihat secara jangka panjang, sesungguhnya tujuan program ini dapat mendukung pengendalian masalah kateinai boryouku. Adapun tujuan-tujuan yang di maksud adalah sebagai berikut:

3.1.1.1 Pengembanga Disiplin di Dalam Rumah

Manbusho sangat membantu dalam mempertebal disiplin di dalam rumah yang dapat mendorong anak-anak mendapatkan sifat dan kemampuan atau “semangat untuk hidup” melalui interaksi yang intim dengan anggota keluarga yang berasal dari ikatan bayi dan orang tuanya. Sifat dan kemampuan di sini maksudnya adalah kebiasaan dan kecakapan untuk hidup. Kaya akan perasaan


(5)

rasa simpati pada sesama anggota keluarga. Pengertian dasar tentang moral, tata krama sosial, pengendalian diri dan kemandirian.

Manbusho akan bekerja sama dengan departemen kesehatan dan kesejahteraan juga departemen dan dewan-dewan lainya. Manbusho akan menekankan kembali pentingnya disiplin di dalam rumah juga kesempatan yang lebih bagi keluarga dan masyarakat untuk interaksi dan berkomunikasi dengan anak. Untuk menciptakan opini public bahwa para orang dewasa harus saling membantu dalam mengasuh anak yang berhati kaya.

3.1.1.2 Dorongan untuk Mencari Kegiatan Diluar Sekolah

Dalam rangka mendorong anak-anak untuk berpartisipasi meneruskan kegiatan belajar di luar sekolah, manbusho akan mengambil langkah-langkah untuk memperdalam pengertian anak tentang kegiatan kelompok sukarelawan, organisasi budaya, organisasi olah raga, organisasi kepemudaan lainnya seperti pramuka, pertemuan anak dan kelompok olah raga anak. Manbusho akan mendorong anak-anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Seperti hal nya pada tahun fiscal 1997 manbusho akan melonggarkan batas kualifikasi untuk mengikuti ujian persamaan sekolah dasar yang dapat menjadi syarat masuk sekolah menengah bagi mereka yang lulus. Memberikan jalan keluar bagi anak-anak yang punya masalah took kyohi apabila mereka berkehendak untuk melanjutkan sekolahnya kembali.


(6)

3.1.1.3 Menanggulangi Masalah Kenakalan Remaja, Ijime dan Penyalah Gunaan Obat Terlarang

Dalam rangka mengatsi kenakalan remaja yang dewasa ini makin serius dengan tepat, dalam kerjasamanya dengan departemen dan agen-agen terkait. Manbusho akan secepatnya mendiskusikan langkah-langkah untuk mencegah masalah-masalah yang berhubungan dengan perilaku remaja.

Di setiap komunitas manbusho, akan mempercepat ikatan sekolah dengan institusi dan organisasi terkait termasuk fasilitas kesejahteraan anak seperti klinik bimbingan anak dan polisi, dengan PTA (parent teacher association) dan organisasi kepemudaan dengan warga setempat. Dengan demikian manbusho akan memperkuat langkah-langkah untuk pengembangan kesehatan remaja juga pencegahan masalah-masalah kelankalan remaja.

Selanjutnya di sekolah manbusho akan menyebarkan pendirian asas yang menentang tindakan ijime terhadap orang lain seperti “tidak aka nada toleransi terhadap orang yang melakukan ijime terhadap orang lain” manbusho juga mempertimbangkan pelaksanaan sistem konseling yang efektif dan perbaikan sistem konseling dengan cara mempekerjakan penasihat sekolah.

3.1.1.4 Perbaikan Kegiatan Komunitas dan Mewujudkan Lingkungan Sosial yang Bersih

Berkenaan dengan pembersih lingkungan sosial untuk remaja, manbusho akan mendorong organisasi swasta local seperti PTA dan orrganisasi


(7)

kepemudaan untuk membentuk jaringan kerja sama dengan sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi terkait yang bertujuan untuk membersihkan lingkungan yang berbahaya juga untuk meminta bantuan pada komunitas terkait. Untuk tujuan ini, di samping meningkatkan kerja samadengan departemen dan agen-agen terkait. Manbusho juga mendorong lifelong learning council untuk mendiskusikan langkah-langkah yang tepat.

Walaupun usaha dan cara dari manbusho ini tidak terlihat tegas namun jika dilihat dari jangka waktu yang panjang akan berpengaruh besar terhadap penanganan kateinai boryouku yang dimana sebagai salah satu penyebab umumnya dalah depresi terhadap lingkungan hidup

.

3.1.2 Penyedian Kantor pengaduan

Penyediaan kantor pengaduan merupakan salah satu cara yang di lakukan pemerintah dalam penangulangan kateinai boryouku, di mana fungsi dari kantor pengaduan ini adalah sebagai tempat mengadunya korban kekerasan ataupun pihak lain yang melaporkan adanya kekerasan di dalam sebuah kelurga. Kantor pengaduan ini bukan hanya sebuah tempat pengaduan, di katakan bukan hanya tempat pengadua dikarenakan pihak pengaduan tersebut langsung turun ketempat kejadian dan langsung turun tangan dalam penangan korban maupun pelaku kekerasan, dan pihak pengaduan ini juga bekerja sama dengan pihak kepolisian terdekat sehingga memungkinkan penanganan yang cepat turn kelapangan.


(8)

Setiap pengaduan ataupun laporan yang di adukan ke kantor ini respon dan aksinya sangat cepat dan bahkan para pegawai kantor ini juga turun kelapangan tempat terjadinya kekerasan demi mendapatkan info dan kebenaran dari laporan yang di laporkan, selain menyelidiki kebenaran dari laporan, kantor pengaduan ini juga melakukan konseing terhadap korban dan pelaku dari kekerasan yang di laporkan demi mencari penyebab dan motif-motif kekerasan yang bekerja sama dengan pihak kepolisian.

Dengan adanya kantor pengaduan ini, segala bentuk kekerasan dapat langsung di ketahui bahkan di antisipasi secara langsung. Dan dengan adanya kantor pengaduan ini jelas dapat menjadi pemantau bagi setiap masyarakat.

3.1.3 Fasilitas Tombol Darurat di Dalam Rumah

Salah satu usaha dari pemerintah demi menanggulangi dan mengatasi kateinai boryouku berikut ini adalah sebuah tombol darurat yang di sarankan bagi setiap keluarga menggunakannya. Adapun fungsi dari tombol darurat ini adalah sebagai alat pengaduan darurat, yang dimaksud darurat di sini adalah dimana korban tak dapat lagi berjalan ataupun keluar dari rumah sehingga hanya dengan menekan tombol ini, pihak yang bersangkutan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga langsung merespon dan turun kelapangan ke tempat kejadian, adapun pihak bersangkutan yang di maksud di sini adalah pihak kepolisian dan pihak kantor pengaduan terdekat. Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwasanya kantor pengaduan merupakan tempat pengaduan segala kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat. Selain merupakan tombol pengaduan kepada


(9)

pihak yang berwajib, tombol darurat ini juga dapat menjadi sebuah tanda permintaan pertolongan kepada maysrakat sekitar, di katakan tanda permintaan pertolongan dikarenakan setelah tambol ini di tekan akan mengeluarkan sebuah bunyi pertanda adanya sebuah kejadian ataupun kemalangan, di Indonesia bunyi ini biasa dkatakan bunyi sirene. Adapun maanfaat dari tombol ini adalah:

1. Korban dapat di selamatkan dengan cepat 2. Pelaku dapat segera di hentikan

3. Sebuah permintaan pertolongan yang instan 4. Dapat menjadi penghalang bagi pelaku kekerasan

5. Menjadi senjata bagi korban yang tidak berdaya atau lemah.

6. Dan sebagainya.

Selain di dalam rumah, tombol ini juga di gunakan untuk anak sekolah dasar. Biasanya tombol ini di bagikan melalui pihak sekolah kepada setiap murid-muridnya, tombol ini biasanya di tempelkan di tas anak. Adapun tujuan tombol keamanan pada anak adalah juga sebagai alat untuk meminta pertolongan kepada pihak berwajib dan masyarakat sekitar. Penggunaan tombol keamanan pada anak-anak sekolah di dasari oleh status mereka yang sebagai anak-anak-anak-anak yang di anggap tidak berdaya jika di bandingkan dengan orang dewasa, juga dikarenakn saat ini di jepang banyak terjadi kekerasan kepada anak-anak di bawah umur, salah satu contoh yang sangat terlihat adalah ijime.


(10)

3.2 Usaha Masyarakat dan Norma Agama

Selain usaha dari pemerintah, masyarakat dan agama juga telah menjadi salah satu sarana penanggulangan kateinai boryouku.

3.2.1 Usaha dari Masyarakat

Adapun usaha masyarakat dalam mengatasi kateinai boryouku adalah usaha yang tidak terlihat secara langsung, yang di maksud tidak secara langsung di sini adalah usaha yang beransur-ansur yang perlahan-lahan dalam jangka waktu yang lama di mana hasilnya tidak dapat langsung di lihat. Penanganan kateinai boryouku oleh masyarakat jepang tidak langsung tertuju kepada kasus kateinai boryouku ini tetapi melalui penanganan yang tertuju kepada norma-norma yang menjadi penghalang munculnya kenakalan-kenakalan remaja yang memungkinkan menjadi dasar dari segala kekerasan yang dilakukan seorang anak terhadap orang tua.

Masyarakat yang dimaksud dalam penanganan kasus kateinai boryouku ini adalah setiap lapisan masyarakat jepang. Sehingga terhubung dengan segala upaya-upaya yang di lakukan pemerintah maupun upaya-upaya yang di lakukan di dalam keluarga. Penangan yang di maksud adalah pencegahan ataupun menghambat bahkan mengurangi setiap kenakalan-kenakalan remaja, seperti yang kita ketahui selain gangguan kejiwaan, kondisi keluarga dan pergaulan anak dapat menjadi penyebab dasar dari kausus kateinai boryouku. Adapun yang dapat di lakukan masyarakat umum dalam penanganan kateinai boryouku ini adalah berupa:


(11)

Omoiyari (empati) merupakan peringkat tertinggi dalam kerangka moral bangsa jepang, dan sekaligus merupakan norma yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh orang jepang. Omoiyari merupakan kemampuan dan kemauan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, merasakan suka dan dukayang mereka alami, dan membantu mereka untuk mewujudkan keinginan mereka yang kesusahan. Omiyari dapat berbentuk kesiapan seseorang dalam mengantisipasi keperluan orang lain. Dan dia berusaha meningkatkan kesenangan orang lain dengan memberikan apa yang di butuhkan dan disukainya, serta berusaha mencegah apa yang mungkin membuatnya tidak suka.

Sebagai contohnya jika di kaitkan dengan remaja yang sedang menghadapi masalah dan frustasi, sebagaimana kita ketahui rasa frustasi dapat menjadi pemicu kateinai boryouku, maka seseorang yang menghadapi masalah tersebut tidak akan di biarkan terlantar, melainkan di perhatikan oleh teman-temanya dan keluarganya ataupun anggota keluarga yang lain.seorang teman ataupun keluarga dapat dengan segera mengetahui permasalahan yang di hadapi dan segala kesusahan


(12)

yang dirasakan sehingga dapat segera membantgu ataupun menghiburnya. Dengan demikian seseorang yang sedang kesusahan tidak lagi menghadapi permasalahan sendirian.

Omoiyari berkaitan dengan ketulusan.seseorang yang memberiempatinya kepada seseorang tidak mempunyai maksud meminta balasan. Balas budi hanya timbul dari pihak penerima empati.

2. Amae (ketergantungan)

Bila konsep omoiyari berlaku, maka konsep Amae manjadi konsep yang penting dalamkerangka moral masyarakat jepang karena si pelaku omoiyari memerlukan orang yang bergantung padanya dan sebaliknya.

Amae pada awalnya lahir di dalam lingkungan ilmu psikologi. Menurut Takeo Doi, seorang psikoanalis dan penulis jepang, amae memiliki makna hubungan kejiwaan antara bayi dan ibu yang sedang menyusuinya. Takeo Doi mengatakan bahwa jika seseorang ataupun seorang anak mengalami perkembangan. Setelah si anak memahaminya bahwa eksistensi ibunya berbeda


(13)

dengan dirinya, ia memberi pengakuan terhadap eksistensi ibunya tersebut dengan amae. Kata amae sendiri mengandung makna manja. Tetapi istilah manja ini tidak bisa disamakan dengan makna manja dalam arti Indonesia, yang berkesan negatife. Manja dalam konsep amae adalah perwujudan pengakuan eksistensi orang tua dalam bentuk ekinginan akan kedekatan hubungan orang tua.

Konsep amae yang berlaku sebagai tata nilai norma bangsa jepang hingga sekarang adalah sikap diri yang menganggap bahwa orang lain selalu memiliki niat yang baik dan selalu siap menolong dirinya bila ia mengalami kesulitan.

Dengan demikian konsep ini dapat menjadi pengerat setiap hubungan batin antara orang tua anak, dan sesame anggota kelurga yang dapat menjadi pengurangan akan adanya gejolak pemberontakan di dalam rumah tangga.

3. On, Gimu dan Giri (hutang balas budi)

Norma penting lainya adalah masalah hutang budi dan kewajiban untuk membayarnya.


(14)

Dalam masyarakat jepang hal ini dikenal dengan istilah

on,gimu,dan giri.

Konsep On ini tidak mudah dijelaskan artinya, karena mempunyai arti yang sangat luas. On bukan hanya sekedar mengadung arti kewajiban, keramahan bahkan cinta kasih. Namun secara umum On mengandung arti beban, hutang, atau sesuatuyang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seperti halnya dalam kasus kekerasan dalam keluarga di mana seorang ibu bunuh diri setelah mengetahui suami telah meninggal dunia, untuk menanggapi kasus seperti ini, Edwin Reischauer dalam Manusia Jepang(1982) menyebutkan bahwa kisah-kisah tersebut mencerminkan moralitas bangsa jepang yang sangat tinggi nilainya. Kesetiaan, ketulusan dan pengabdian menjadi sesuatu yang sangat di hormati dan di agungkan. Ruth Benedict dalam

pedang samurai dan bunga seruni (1982) menyebutkan

sebagai sifat ekstrim bangsa jepang sulit dimengertioleh bangsa lain, sedangkan Djodjok Soepardjo (1999), seorang ahli budaya jepang, menyebutkan sebagai pola komunikasi intrapersonal dalam budaya jepang.

Pada masa kini contoh On masi dapat dilihat pada hungungan antara ibu dan anak. Contohnya, seorang laki-laki yang sangat sayang sama ibunya berkata


(15)

bahwa ia tidak dapat melupakan On yang diterima dari ibunya. Istilah On tersebut tidak sepenuhnya tertuju pada cinta si anak kepada ibunya, melainkan pada segala sesuatu yang telah dilakukan sang ibu semenjak ia lahir. Ia merasa berhutang budi atas segala kerepotan yang di hadapi orangtuanya selala membesarkan dirinya, dan ia merasa harus menebusnya dengan segala cara.

Jika dikaitkan dengan kasus kateinai boryouku, maka nilai moral On sangat kuat dalam penanganan awal ataupun pencegahan dasar terhadap kasus kateinai boryouku.

Gimu dapat diartikan sebagai kewajiban membayar on yang telah diterima seseorang.gimu harus dibayar seseroang karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan ketat pada saat di lahirkan,misalnya ikatan pada keluarga dan ikatan pada negaranya. Pembayaran ini tidak memiliki batas waktu dan pembayaran yang telah dilakukan pun kadang-kadang tidak pernah cukup walaupun di lakukan seumur hidup.

Giri merupakan jenis kwajiban pemenuhan on yang lain. Lain halnya dengan Gimu, Giri mempunya batas waktu


(16)

pembayaran dan hutang-hutang tersebut wajib di bayar dalam jumblah yang tepat sama dengan yang diterima. Giri mempunyai pembagian yang jelas. Yang pertama adalah Giri kepada dunia, yaitu kewajiban seseorang untuk membayar On kepada sesamanya,misalnya karena seseorang telah menerima hadiah. Yang kedua adalah Giri kepada nama sendiri,yaitu kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama dan reputasi seseorang.kewajiban ini termasuk kewajiban untuk membersihkan nama baik seseorang atas penghinaan atau tuduhan atas kegagalan dengan cara melakukan balas dendam,kewajiban seseorang untuk menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam menjalankan suatu peran dalam masyarakat, dan kewajiban seseorang mengindahkan sopan santun jepang dengan melaksanakan semua norma yang berlaku serta dapat mengekang emosi dalam situasi yang tidak tepat.

Norma mengajarkan untuk bertanggung jawab ataupun menjaga diri dalam setiap kehidupan.

Dengan adanya norma-norma ini dalam masyarakat dapat menekan dan mencegah adanya bibit munculnya kekerasan ataupun kenakalan remaja. Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwasanya masyarakat melakukan pencegahan dan penanggulangan kateinai boryouku secara tidak langsung namun


(17)

jika dilihat dalam jangka waktu yang lama dampaknya sangat baik. Selain menekankan norma-norma ini masyarakat jepang juga bekerja sama kepada setiap agen-agen yang berhubungan dalam penanganan kateinai boryouku ini.

3.2.2 Norma Agama (kepercayaan)

Norma agama di jepang sangat sulit dijelaskan, sebagai mana kita ketahui bahwasanya masyarakat jepang banyak menganut bermacam-macam agama. Namun jika membahas agama kita tahu bahwasanya sebuah agama mengajarkan hal yang baik untuk semua umatnya. Disini penulis tidak membahas penting tidaknya sebuah agama dalam pandangan orang jepang melainkan, membahas nilai-nilai dan ajaran agama yang dapat mengurangi ataupun menjegah terjadinya sebuah kekerasan yang di lakukan oleh anak-anak, remaja dan bahkan orang tua.

Sebagai sebuah contoh keterkaitan agama (kepercayaan) dalam penanganan kateinai bryouku adalah pada masyarakat Korea dan Taiwan yang pengaruh ajaran konfusianismenya masi kental, masalah kateinai boryouku dan sejenisnya hampir tidak ditemukan. Salah satu ajaran yang masi kuat dan hidup adalah penghormatan terhadap orang yang lebih tua dan kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua. Jadi norma ajaran ini dapat menjadi kekuatan penghalang, penghenti dan pengontrol untuk menghindari munculnya gejala penganiayaan anak terhadap orang tua.

Di jepang, di daerah Okinawa dimana ajaran konfusianisme masi kuat hidup dalam masyarakat. Masalah kateinai boryouku nyaris tidak di jumpai. Oleh


(18)

karena itu dapat disimpulkan disini bahwasanya di dalam masyarakat yang masi menganut norma Agama (kepercayaan) yang kuat terhadap masalah penghormatan terhadap orang tua, penganiayaan anak terhadap orang tua akan sulit timbul dan berkembang. Seperti yang kita ketahui tidak ada agama yang mengajarkan hal buruk kepada umatnya, apapun agamanya pastinya ajarannya itu baik. Selanjutnya setelah refomasi pendidikan yang di lakukan di jepang, pihak keagamaan juga ambil alih dalam pendidikan dan penyebaran ajarannya dalam sekolah-sekolah di jepang, sehingga pihak keagamaan juga kerja sama dengan pemerintah dalam pendidikan moral anak sehingga di adakannya mata pelajaran keagamaan. Dengan adanya mata pelajaran ini juga dapat menekankan kepada siswa/siswi ajaran-ajaran agama di mana kita ketahui bahwasanya ajaran agaman mengajrakan ajaran yang baik, dan hal ini juga dapat menjadi pengontrol siswa/siswi dalam bertingkah laku.

Selain mata pelajaran agama di sekolah, ada juga pembukaan sekolah baru yang berdasarkan ajaran agama, sebagai contohnya di Indonesia banyak sekolah-sekolah berdasarkan ajaran agama-agama yang ada di Indonesia, sebagai contoh nilai normanya adalah sekolah yang berdasarkan ajaran agama islam, dimana di sekolah ini siswa dan siswinya di ajarkan bertatakrama sesuai ajaran agama islam, misalnya dalam berpakaian, setiap wanitanya menggunakan jilbab kesekolah dan bertingkah laku sesuai ajaran agama, sehingga hal ini menjadi peran penting dalam pembentukan mental dan spiritualitas seorang anak. Dan begitu juga di jepang setiapsekolah yang berdasarkan agama akan mengajarkan ajaran agama kepada setiap siswa-siswinya.


(19)

Selain berkerja sama dengan pihak pemerintah, agama juga memiliki tempat-tempat beribadah, misalnya agama Kristen dan katolik di jepang yang menerima umatnya untuk beribadah dalam gereja, sehingga gereja menjadi suatu tempat tujuan bagi setiap umatnya untuk melakukan ibadah terhadap tuhannya, dan di gereja ini juga mereka menerima ajaran-ajaran agama sebagaimana yang kita ketahui semua ajaran norma-norma agama adalah baik. Norma yang baik sudah jelas menjadi salah satu kekuatan dan pengontrol tingkah laku seorang anak ataupun orangtua sehingga menjadi penghalang muncul atau berkembangnya kasus kateinai boryouku.

3.3 Usaha dalam Keluarga (Rumah Tangga)

Penangan dan pencegahan kateinai boryouku dalam keluarga tidak jauh berbeda dengan usaha yang di lakukan masyarakat, namun usaha dalam kelurga lebih mengutamakan nilai-nilai penghormatan terhadap orangtua dan nilai-nilai kasih sayang antar sesama anggota keluarga dan pengajaran ini lebih intensif. Dalam hal ini peran orang tua sangat besar, sebagaimana kita ketahui tugas orang tua adalah mendidik, mengajarkan kebudayaan dan norma-norma dalam masyarakat.

Usaha yang dilakukan dalam pencegahan dan penanganan kateinai boryouku di dalam keluarga adalah:

- Penekanan nilai norma-norma

Penekanan norma-norma Omoiyari, Amae, On,Gimmu dan Giri. Dengan adanya norma-norma ini di dalam keluarga seorang anak


(20)

dapat mempelajari nilai-nilai norma yang baik dalam keluarga, sebagai mana kita ketahui tujuan dari norma ini adalah tau diri,bertanggung jawab, menjalin hubungan kasih sayang, peduli antar sesama. Sehingga dengan adanya peran konsep norma ini seorang anak dapat mengerti bahwasanya dia tidak sendiri, dia tau bahwasanya keluarga peduli terhadapnya. Maksud kata tidak sendiri disini adalah dia dapat menghadapi masalah yang di hadapi bersama dengan keluarganya sehingga rasa frustasi tidak di hadapi sendiri, sebagai mana rasa frustasi dapat menjadi pemicu penyimpangan-penyimpangan tingkah laku remaja.

- Pertanggung jawaban

Pertanggung jawaban yang di maksud disini adalah mengetahui posisi dan fungsi dalam keluarga, hal ini lebih di tujukan kepada ayah/ibu dimana seorang ayah atau ibu harus mempertanggung jawabkan posisi sebagai orang tua yang fungsinya sebagai kepala keluarga yang mendidik dan mempersatukan anggota keluarga. dengan adanya pertanggung jawaban ayah/ibu sebagai orang tua maka sebuah keluarga akan menjalin hubungan batin yang kuat.

- Menjalin keharmonisan

Keharmonisan dalam keluarga sangat diperlukan dalam menjalin hubungan yang baik antar sesama anggota keluarga. Maknakeharmonisan dalam keluarga ini memiliki arti bahwasanya


(21)

hubungan antar sesama anggota keluarga sangat dekat, tidak adanya rasa terpendam dan bahkan tidak adanya rahasia seorang anak terhadap orang tua, artinya seorang anak jujur dan mau bercerita tentang keluh kesal yang di hadapai di luar rumah tangga, sehingga mudah di atasi dan di mengerti.

- Berkerja sama

Maksud berkerja sama disini adalah melibatkan seluruh anggota keluarga dalam kegiatan maupun usaha dalam keluarga. Melibatkan anak dalam setiap kegiatan dengan sewajarnya di dalam rumah sehingga tidak muncul anggapan “tidak dianggap” sebagai mana kita ketahui kata “tidak dianggap” dapat menjadi salah satu pemicu munculnya sifat apatis yang tidak peduli terhadap sesuatu hal. Sifat apatis ini sangat berbahaya, sifat ini egois dan memiliki pola fikir tersendiri dan tidak ambil peduli dengan sekitar.

- Memberikan pendidikan yang wajar tanpa adanya harapan yang berlebihan

Pendidikan sangat penting bagi seorang anak. Terutama di Jepang pendidikan merupakan tolak ukur umum untuk setiap anak. semakin bagus sekolah yang ia dapatkan semakin dekat pula ia dengan kesuksesan. Orang tua juga memandang pendidikan anak yang menjadi gambaran masa depan seorang anak. Sebagai mana kita ketahui setiap orang tua mengharapkan yang terbaik untuk anaknya,


(22)

hingga akhirnya muncul pengharapan yang berlebihan terhadap anak. Dan pengharapan berlebihan ini yang dapat memicu terjadinya pertentangan keinginan orang tua dan anak, dan hal inilah yang memingkinkan terjadinya kateinai boryouku.

Dengan adanya pendidikan seorang anak juga mendapatkan pembelajaran dari sekolah.sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwasanya di sekolah juga ada pendidikan keagamaan.selain dirumah ,di sekolah anak juga mendapatkan pendidikan moral. Sehingga moral ini dapat menjadi pencegah seorang anak berprilaku menyimpang, lain halnya pada anak yang mengidap kejiwaan.

- Konseling

Seperti yang di jelaskan di atas bahwasanya keluarga yang harmonis akan dapat mengetahui keluh kesal yang di alami seorang anak. Begitu juga dengan seorang anak yang mengalami gangguan kejiwaan. Dengan hubungan yang dekat, seorang ayah ataupun ibu dapat mengetahui kelainan dalam jiwa si anak. sehingga dapat dengan segera melakukan konseling terhadap pihak ahli, untuk mengatasinya. Karna kateinai boryouku tidak hanya di lakukan oleh anak yang sehat, melaikan anak yang mengidap kelainan jiwa juga sering melakukan kateinai boryouku.


(23)

- Pemasangan tombol darurat

Sebagaimana guna tombol darurat ini merupakan program pemerintah, namun tidak berarti danpa persetujuan keluarga. Seperti namanya tombol darurat ini merupakan sebuah normor darurat untuk meminta pertolongan kepada pihak berwajib ataupun masyarakat sekitar. Sebagaimana telah di jelasakan di bab II bahwasanya kateinai boryouku juga dapat terjadi dalam rumah tangga yang biasa, yang dalam arti keluarga yang mencukupi tanpa adanya pertanda akan terjadinya kekerasan. Seperti halnya anak yang di kenal baik ternyata mengalami kateinai boryouku secara tiba-tiba. Untuk hal tersebutlah tombol ini berguna. tombol ini terhubung langsung kepada kantor polisi ataupun kantor pengaduan daerah terdekat rumah tangga yang terjadi kateinai boryouku.

- Pengenalan terhadap agama

Memperkenalkan agama terhadap anak dan terhadap seluruh anggota keluarga, seperti yang telah di jelaskan di atas norma agama juga menjadi senjata kuat dalam pencegahan kekerasan-kekerasan.


(24)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Segala bentuk kekerasan yang di lakukan anak adalah sebuah gambaran akan ketidak puasan seorang anak atau kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga terhadapnya. Dapat dilihat dari perkumpulan atau pun group anak-anak yang lebih sering berkumpul dengan teman-temannya di luar, di bandingkan dengan keluarga sendiri. Mereka lebih merasa nyaman berada di luar bersama teman-temannya. Dan dari sini dapat kita kita lihat bahwasanya seorang anak tidak lagi mengutamakan keluarga dalam bersosialisasi, namun tak selamanya juga keluarga dapat menjadi teman sosialisasi yang baik mislanya keluarga yang orang tuanya tidak bertanggung jawab akan posisinya sebagai kepala keluarga.

Di jepang fenomena-fenomena kenakalan remaja sangat banyak, dimulai dari ijime, enjo kosai, kateinai boryouku, konai boryouku dan kenakalan-kenakalan remaja lainnya. Kasus ini sudah menjadi hal yang biasa kita jumpai di jepang. Jika dilihat dari segala penyebab dari kenekalan remaja ini dapat di simpulkan bahwasanya kekeluargaan jepang sangat rentan mengalami kateinai

broyouku, hal ini di sebabkan dengan berbagai permasalahan-permasalahn dalam

keluarga, mulai dari kurangnya sosok ayah/ibu, pengharapan yang berlebihan dari orang tua, sampai kedalam faktor kejiwaan anak. Selain dari dalam keluarga itu sendiri, penyebab kateinai boryouku juga dapat di sebabkan akan tekanan-tekanan


(25)

semua penyebab-penyebab ini, yang menjadi acuan utama adalah peran orang tua dalam keluarga.

Michiyoshi Hayashi, penulis buku best seller berjudul fusei no fukken (1996) atau rehabilitas karakter ayah, mengemukakan secara kritis masalah peran ayah yang memudar dalam sebuah keluraga.

Selain hayashi, ada pendapat yang senada yang di kemukakan oleh seorang professor dari universitas Keio Gijuku bernama Keigo Okonogi, dalam pendapatnya ini ia mengemukakan bahwasanya seorang ayah atau suami telah hilang posisinya dalam keluarga, mereka telah kehilangan perannya dalam keluaraga. Mereka telah menjadi manusia kantoran super sibuk dan hampir tidak punya waktu untuk keluarga. Walaupun secara fisik mereka ada.

Dan begitu juga dengan peran seorang ibu, sang ibu juga yang telah menjadi seorang yang paling dekat dengan anak, otomatis jalinan kasih sayang juga lebih kuat. Namun seorang ibu juga menjadi orang yang paling rentan mendapatkan perlakuan kateinai boryouku. Seperti yang kita ketahui semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun dengan pernyataan inilah muncul sebuah pengharapan yang berlabihan, dimana tanpa meihat potensi si anak terlebih dahulu, sang ibu memberikan pengharapan yang berlebihan sehingg si anak frustasi dengan perasaan ketidak mampuan ataupun merasa terpaksa. Seperti yang kita ketahui rasa frustasi merupakan gejala-gejala awal terjadinya kateinai

boryouku.

Istilah kateinai boryouku mulai di pergunakan secara umum pada awal tahun 1980-an. Pengertian yang terkandung di dalam terminology ini adalah


(26)

kekerasan yang di lakukan oleh anak terhadap orang tuanya atau anggota keluarga yang lain, kekerasan ini dapat berupa kekerasan mencederai orang alain bahkan sampai membunuh dan kebanyakan objek kekerasan adalah seorang ibu.

Yang menjadi penyebab utama munculnya kekerasan oleh anak terhadap orang tua ini, masi dalam berdasarkan penelitian inamura, terdapat pada sikap asuh orang tua sedikit bertolak belakang. Pada ibu harapan yang berlebihan yang di bebankan kepada anak dan seorang ibu terlalu ikut campur dalam urusan dan masalah si anak. Sementara pada si ayah, anak meniali mereka terlalu lepas tangan dan apatis pada masalah keluarga, terutama dalam hal pengasuhan anak. Dengan hilangnya peran seorang ayah dalam keluarga, maka seorang ibu akan berusaha dalam menggantikan posisi itu sehingga tanpa di sadari seorang ibu terjatuh dalam intervensi yang besar dan cukup dirasakan menggangu oleh anak. Kedua hal ini menjadi faktor penyebab yang dominan dan menonjol dalam kasus

kateinai boryouku.

Adapun penanganan yang di lakukan adalah dari berbagai kalangan, kalangan pemerintah telah melancarkan program reformasi pendidikan manbusho, pemfasilitasi keamanan di daerah-daerah, dapat berupa kantor polisi dan kantor pengaduan. Dan kemudian penangan yang di lakukan masayarakat adalah penerapan budaya atau norma-norma yang seharusnya dimiliki orang jepang seperti, Omoiyari, Amae, On, Gimu, Giri. Dan kemudian penanganan yang di lakukan keluarga. Penanganan ini tidak jauh berbeda dengan penangan dari masyarakat, namun disini lebih intensif dan penuh dengan rasa kasih sayang dankepedulian. Sebagaimana arti dan fungsi setiap anggota keluarga.


(27)

4.2 Saran

Pelaku dari kekerasan ini (kateinai boryouku) adalah anak-anak yang berumur 20 tahun kebawah. Sebagaimana anak dibawah umur 20 sangat memerlukan perhatian dan pengendalian dalam bertingah laku, sebagai mana kita ketahui dalam usia tersebut seorang anak mengalami masa puberitas. Biasanya di saat-saat puber ini anak-anak sangat terlihat bertingkah laku sedikit ekstrim, hanya mau bersenang-senang dan terlihat labih. Dan dimasa ini pula anak remaja sangat rentan menghadapai masalah-masalah, sehingga di seharusnya di masa-masa ini diperlukannya perhatian yang lebih namun sewajarnya tanpa terlalu ikut campur dalam urusan mereka, sebagai mana yang di ungkapkan Inamura sebaiknya biarkan mereka beristirahat secara fisik maupun mental, karna mereka benar-benar membutuhkannya.

Kateinai boryouku ini terjadi dalam sebuah rumah tangga yang

kurang harmonis , sebagai mana telah di jelaskan di atas. Dengan demikian ada baiknya permasalahan kateinai boryouku ini di selesaikan ataupun di cegah dalam rumah tangga, karna pemicu utama dalam munculnya kateinai broyouku ini adalah kondisi dan keadaan sebuah rumah tangga tersebut.

Dan yang menjadi peran penting dalam penanganan dan pencegahan kateiani boryouku ini adalah kedua orang tua. Dimana orang tualah yang menjadi pemandu dan pemersatu dalam sebuah keluarga.


(28)

BAB II

KATEINAI BORYOUKU DALAM RUMAH TANGGA

DI JEPANG

2.1 Pengertian Kateinai Boryouku

Secara harfiah kateinai boryouku merupakan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Jika di lihat dari frase kanji yang membentuk kateinai boryouku mengandung makna di dalam frase tersebut.

Kateinai boryouku mengandung dua frase kanji yaitu kateinai ( 家 庭 内 ) yang

bermakna di dalam rumah tangga, dan boryouku ( 暴 力 ) yang bermakna

kekerasan.

Di dalam the great japans dictionary terbitan kondansha juga terdapat pengertian kateinai boryouku yaitu kekerasan yang di lakukan anak remaja atau anak di bawah umur terhadap orang tuanya. Pada umumnya kasus kateinai boryouku ini merupakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, namun khususnya sejak tahun 1997 kateinai boryouku merujuk pada kasus kekerasan yang di lakukan anak terhadap orang tua, mulai menonjol di dalam kalangan masyarakat dan kemudian pada awal tahun 1980-an istilah kateinai boryouku di pergunakan secara umum. Sebelumnya konsep dan sebutan seperti ini tidak ada karna kasus ini relative baru di dalam masyarakat jepang. Kemungkinan istilah ini dulunya di gunakan kepada kasus kekerasan antara suami-istri atau orang tua-anak yang di dalamnya terkandung arti kekerasan yang di lakukan oleh orang yang kuat


(29)

ataupun yang berkuasa terhadap orang yang lemah atau pun di bawah taraf. Pengertian seperti ini jelas sangat berbeda dengan pengertian kateinai boryouku yang sekarang di gunakan, di mana fenomena yang muncul sekarang adalah

kateinai boryouku di mana pelaku kekerasan tersebut adalah seorang anak

terhadap orang tua, si lemah ( anak) terhadap orang tua (kuat). Pengertian kateinai

boryouku yang di gunakan di jepang saat ini adalah seorang anak yang melakukan

kekerasan terhadap orang tua ataupun terhadap anggota keluarga yang lain. Dan pengertian yang seperti ini lah yang di gunakan saat ini di jepang.

Kekerasan ini juga bermacam-macam bentuknya bisa berupa bentuk kekersan terhadap fisik ataupun penghancuran terhadap barang-barang bahkan pengucapan kata-kata kasar dan tidak etis kepada anggota keluarga, terutama kepada orang yang seharusnya di hargai di dalm sebuah rumah tangga yaitu, ayah-ibu ataupun kakek nenek dan kakak-abang. Di berbagai kasus tertentu bentuk kekerasan ini sangat kejam dimana sang korban bisa saja mengaalami luka fisik maupun psikologis yang parah, adakalanya kasus ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang umumnya kepada anggota keluarga yang seharusnya di hormati namun lemah dalam fisik, yaitu seorang ibu yang lemah ataupun seorang ibu yang telah lanjut usia, sedangkan kasus kekerasan terhadap ayah jarang sekali terjadi. Namun tetap saja kasus ini merambat terhadap anggota keluarga yang lain yang ingin membela atau menyelamatkan sang korban kekersan dan biasanya kepada kakak perempuan ataupun sang ayah yang rela menerima kekerasan fisik demi menyelamatkan sang korban.


(30)

2.2 Jenis-Jenis Kateinai Boryouku

Jenis-jenis kateinai boryouku juga di bagi menjadi dua tipe yakni:

2.3.1 Tipe Kekerasan Berdasarkan Aksi

Menurut Inamura di dalam kateinai boryouku terdapat berbagai tipe.

Salah satunya tipe yang di lihat dari aksi apa saja yang telah di lakukan si pelaku pada saat kekerasan itu terjadi.

a. Kateinai boryoku nomi (kateinai boryouku saja)

Perlakuan kekerasan terjadi di dalam rumah, si pelaku melempar dan menghancurkan benda ataupun barang-barang yang ada di dalam rumah, dan hal ini sangat berbanding terbalik dengan sifat pelaku di luar rumah, sehingga sulit menyadari bahwasanya telah melakukan kekerasan di dalam rumah.

b. Kateinai boryouku dan toko kyohi

Koto kyohi merupakan penolakan seorang anak untuk pergi ke sekolah dan latar belakang penolakan ini adalah penyakit kejiwaan yang di derita sang anak. Umunya kateinai boryouku di barengi dengan toko kyohi yang telah ada sebelum kateinai boryouku. Dapat di katakan toko kyohi ini merupakan gejala awal kateinai boryouku ini. Mereka memberontak karna di paksa melakukan sesuatu oleh orang tuadan pemberontakan ini di wujudkan dengan melakukan


(31)

c. Kateinai boryouku dan toko kyohi dan hiko

Hiko merupakan pelanggaran hukum yang di lakukan anak di bawah umur 20 tahun atau kenakalan remaja. Selain kateinai boryouku dan toko kyohi, pelaku juga melakukan hiko atau kenakalan-kenakalan remaja seperti menguntit, mencuri uang, menginap tanpa seijin orang tua dan sebagainya.

d. Kateinai boryouku dan hiko

Pelaku terlebih dahulu melakukan kenakalan, mengabaikan pelajaran dan bolos sekolah, dan ketika orang tua atau anggota keluarga yang lain mengingatkan agar menasehati, dia langsung marah tidak terima dengan nasihat dan melakukan kateinai boryouku terhadap orang yang mengingatkan dan biasanya korban adalah seorang ibu.

2.2.2 Tipe Kateinai Boryouku yang Berdasarkan Seishin Igaku

( Ilmu Penyembuhan Mental)

Berdasarkan penelitian psikolog Inamura terhadap para pelaku yang

melakukan konsultasi padanya, membagi lagi tipe kateinai boryouku berdasarkan seishin igaku. Tipe-tipe tersebut adalah sebagai berikut:

a. Shinkeisho gata (tipe neurosis)

Dalam kasus ini sang pelaku mengalami atau memiliki penyakit kejiwaan seperti kyohaku shinkensho atau memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu untunya, fuan shinkensho ( rasa cemas yang berlebihan), kyufusho (ketakutan) dan juga hysteria. Salah satu gejala penyakit ini adalah kateinai boryouku itu


(32)

sendiri yang di lakukannya sebagai salah satu cara yang di lakukannya untuk melepaskan diri dari penderitaannya.

Isi dari kekerasan bentuk ini beragam, terjadi hampir setiap hari dan berlangsung dalam waktu yang relative panjang. Misalnya pelaku selalu menyerang ibu dengan kata-kata kasar, menedang dan memukul, memaksa ibu untuk berkali kali minta maaf karena cara mengasuh anak dan sikap yang tidak baik, lekas meledak emosinya apabila ibu melakukan kesalahan sekicil apapun terhadapnya.dan sebagainya.

b. Seishinbyo gata (tipe penyakit mental)

Meningkatnya impuls-impuls sangat berhubungan dengan ketidak stabilan emosi yang di sebabkan oleh penyakit mental. Yang di maksud dengan penyakit mental di sini adalah adalah mengarah kepada skizofrenia yang artinya penyakit kejiwaan yang di tandai ketidak acuhan, halusinasi, merasa berkuasa untuk menghukum dan sifat dari tipe kekerasan ini sangat hebat, impulsive dan tak terduga.

c. Ippan gata (tipe umum)

Sebagian besar pelaku kekerasan ini berada dalam keadaanke jiwaan yang mendekati gangguan mental. Jadi,buka gangguan mental yang jelas terlihat. Pelaku memberontak dan merasakan dendam dan benci yang besar kepada urang tua sehingga pada saat meledak menjadi tindak kekerasan yang hebat. Kekerasan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan beragam.pada umumnya kekerasan ini relative lebih ringan bila di bandingkan dengan tipe yang di


(33)

d. Ikkasei gata (tipe memendam)

Penderita ini memendam rasa ingin menyerang dan rasa ingin balas dendam hingga pada suatu saat perasaan dendam ini dikeluarkan. Akhir-akhir ini banyak anak-anak yang memiliki control diri yang lemah. Apabila mereka berhadapan dengan suatu konflikatau suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan yang di harapkan, mereka segera melampiaskan amarahnya kepada orang lain walaupun penyebabnya adalah masalah sepele.

2.3 Karakteristik Kateinai Boryouku

2.3.1 Ibu Sebagai Objek Kateinai Boryouku

Orang tua yang menjadi korban kekerasan anak merupakan bukti bahwa kekerasa anak terhadap orang tua itu ada. Seperti telah di sebutkan sebelumnya, kateinai boryouku yang terjadi di jepang memiliki dua kesamaan yaitu objek kekerasannya adalah anggota keluarga dan pelakunya adalah “anak biasa” berusia remaja yang masi bersekolah yang berasal dari “keluarga biasa”, yang mementingkan pendidikan dan secara ekonomi mampu. Berdasarkan data terahir pada tahun 2005 keseluruhan kasus berjumlah 1275 kasus yang dilaporkan, diantaranya 773 kasus kekerasan terhadap ibu dan 111 kekerasan terhadap ayah dan yang menjadi sorotan utama adalah kasus kekerasan terhadap ibu yang selalu jauh lebih besar daripada kekerasan terhadap ayah.

Menurut Futagami, alasan anak melakukan kekerasan terhadap ibu dapat di bagi menjadi tiga hal. Pertama, secara biologis ibu lebih banyak


(34)

menghabiskan waktu bersama anak-anak di bandingkan dengan ayah, karena ibu yang membesarkan dan merawat anak sejak lahir dan ayah lebih banyak bekerja di luar. Kedua adanya rasa bergantung anak terhadap ibu. Hal ini berhubungan dengan kondisi minimnya ayah di rumah. Ayah selalu bekerja hingga larut malam atau bekerja keluar kota, sehingga frekuensi untuk bertemu anak sangat sedikit.

Dengan kondisi rendahnya frekuensi pertemuan dengan ayah, secara otomatis anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu. Dan ketiga, salah satu alasan kuat seorang anak melakukan kekerasan terhadap ibu, yaitu ketidakberdayaan ibu dan kasih sayng ibu yang berlebihan. Hal ini diperkuat oleh hasil data kuesioner yang di lakukan terhadap anak SD,SMP dan SMU mengenai ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai di sekolah dan ibu yang memahami mereka.

Berdasarkan pertanyaan yang di ajukan kepada anak-anak mengenai ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai, jawaban yang di dapatkan yaitu pada anak SD yang menjawab “iya” hanya sebesar 39,8 persen, sedangkan yang menjawab “tidak” 55,8 persen. Lain halnya pada anak SMP dan SMU, yang menjawab “iya” yaitu sebesar 53 dan 49,8 persen, sedangkan yang menjawab “tidak” hanya 42,8 dan 46<8 persen (soumuchou 1993). Pada anak SMP dan SMU, mereka menyadari ibu mereka meributkan masalah belajar dan nilai sekolah lebih besar daripada yang tidak, karena berhubungan dengan adanya pesaing ketat dalam ujian masuk sekolah menengah maupun perguruan tinggi, yang menuntut ibu untuk memperhatikan pelajaran dan nilai anak di sekolah karena sang ibu mengharapkan anaknya dapat lulus masuk sekolah menengah


(35)

2.3.2 “Anak Biasa” sebagai Pelaku Kateinai boryouku

Seperti yang telah di jelaskan di atas mayoritas objek kateinai boryouku adalah orang tua, terutama ibu. Dan anak-anak yang melakukan kekersan terhadap orang tua adala mereka yang di kenal sebagai murid baik ataupun di kenal sebagai “anak biasa” di sekolah dan sangat perhatian terhadap yang lain. Maksud dari “anak biasa” adalah anak yang baik, pandai, pendiam, dan tak pernah berulah tidak baik di sekolah maupun di depan public. Menurut Japanese journal of sociological criminology terdapat dua image “anak biasa”, seperti di kutip berikut:

1. Biasanya, anak yang pendiam, anak yang rajin, dan anak yang tidak bermasalah dengan nilai.

2. Setidaknya, kebutuhan hidup dan pendidikan anak dalam keluarga terpenuhi

Selain anak yang pendiam, rajin dan tak berulah, image “anak biasa” juga termasuk dalam keluarga menengah ke atas. Menurut Saitou Tamaki, “anak biasa” yang melakukan kateinai boryouku diikuti pula dengan kondisi keluraga yang tidak memiliki figure ayahdan kasih saying ibu yang berlebihan. Memang cukup mengagetkan, anak yang sehari-hari mendapat julukan “biasa” tiba-tiba melakukan hal yang tak terduga.

Dalam masyarakat Jepang, pada jenjang usia 15-16 di perkirakan sebagai masa kritis karena tiga alasan. Pertama kedewasaan adalah masa yang penuh dengan tekanan untuk lulus tes masuk, dan merupakan masa bagi generasi muda mengalami ketidakstabilan emosional. Kedua, kenyataan bahwa hamper 90 persen masyarakat jepang meneruskan pendidikan hingga ke tingkat SMU dan


(36)

perguruan tinggi membuat generasi muda semakin cemas. Ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi merupakan hal yang sangat diperhatiakn dalam pendidikan jepang, karena keberhasilan dalam ujian masuk adalah tahap yang sangat penting agar dapat masuk ke dalam kelompok elit masyarakat jepang, dan dianggap memiliki kemampuan. Hal ini sesuai dengan yang di katakana kiefer dan di kutip oleh lebra, mengen ai system ujian masuk masyarakat jepang berikut ini:

Kiefer saw the Japanese examination system as a

series of crisis rites through which the child passes from family-centered to peer-group-centered values rather than as a mechanism for minimazing competition within group.

kiefer menilai bahwa system ujian masuk di jepang cenderung sebagai kegiatan penting yang dengan melalui ujian tersebut, seorang anak beralih dari nilai-nilai yang berpusat pada keluarga dari pada sebagai suatu mekanisme untuk mempersempit persaingan dalam sebuah kelompok.

Jadi menurut kiefer, ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi dipandang sebagai tahap untuk memasuki kelompok baru setelah keluarga, bukan dinilai sebagai ajang untuk saling menjatuhkan para pesaing lain. Dan yang ketiga, anak usia 15-16 tahun memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kekerasan secara langsung pada orang tu, terutama terhadap ibu, karena secara biologis, ibu yang melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersamak anak dibanding ayah, ketika ayah bekerja di luar, ibu selalu ada di rumah bersama anak. Dengan kata lain ibu sebagai orang


(37)

terdekat bagi anak, sehingga memudahkan anak untuk melampiaskan rasa kesal pada orang terdekat, yaitu ibu.

Disamping itu, anak-anak yang melakukan kekerasan terhadap orang tua dapat juga dilihat dari faktor kejiwaan seperti yang telah di diskripsikan di atas.

2.3.2 Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam “keluarga biasa”( futsu no katei )

“Anak biasa” yang melakukan kekerasan terhadap orang tua, di besarkan dalam lingkungan “keluarga biasa”. Maksud dari “keluarga biasa” (futsu no katei) disini adalah keluarga berlatar belakang ekonomi menengah ke atas, mementingkan pendidikan dan tidak terjadi masalah di dalamnya, sebagaimana diungkap oleh futagami berikut.

Yang di sebut “ keluarga biasa” adalah kedua orang tua yang berhubungan baik (dengan anak), orang tua yang memperhatikan pendidikan anak dan secara ekonomi mampu.

“keluarga biasa” yang berlatar belakanng ekonomi mampu (menengah ke atas) dan memperhatikan anak, didalmnya terjadi kateinai boryouku. Pada tahun 1977, terjadi kateinai boryouku dalam “keluarga biasa” sebesar 61,4 persen. Jumlah ini meningkat pada tahun 1988 dan 1995, yaitu 72,6 persen dan 79,2 persen. Persentase munculnya kateinai boryouku “keluarga biasa” tahun 2001, stabil pada angka 75,5 persen pada tahun sebelumnya 1955, kateinai boryouku


(38)

malah terjadi pada keluarga miskin sebesar 72,8 persen, tetapi jumlah ini menurun menjadi 68,2 persen pada tahun 1960.

2.3.4 Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam Keluarga Tanpa Ayah atau Ibu

kateinai boryouku yang terjadi tanpa ayah ataupun ibu sudah jelas terjadi di karenakan kurangnya perhatian ataupun kasih sayang orang tua (ayah,ibu) terhadap anak. Yang seharusnya tugas seorang ayah adalah menyatukan keluarga, memberikan saran dan ide, mengajarkan kebudayaan norma-norma dalam masyarakat. Namun, tugas ayah yang seperti ini semakin menghilang. Akibatnya keluarga berantakan, muncul istilah hoteru no kazoku (keluarga hotel), tumbuh orang-orang yang tak punya kesadaran yang dalam akan makna yang baik dan buruk, makin bertambah orang-orang yang tak punya semangat dan egosentris.

Tugas seorang ayah takbisa terlaksanakan bila si ayah bukan ayah yang berwibawa atau rippana chichioya. Walaupun ia bersusah payah melaksanakan fungsinya, ia hanya akan di anggap remeh oleh keluarganya. Upaya untuk menciptakan ayah yang terhormat ini di pandang penting, tetapi dalam masyarakat sekarang hal ini bukanlah pekerjaan yang susah sehingga tidak menjadi permasalahan yang perlu di perhatikan sehingga menimbulkan kemungkinan kemungkina terjadinya kateinai boryouku di dalam rumah tangga yang memiliki ayah yang tidak berwibawa ataupun di remehkan, kemudian rumah tangga yang tida memiliki ibu yang sebenarnya. Maksud dari ibu yang sebenarnya


(39)

di sini adalah ibu yang melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang menjaga dan memperhatikan anak-anak, namun sekarang kebanyakan seorang ibu rumah tangga dalah seorang ibu karir, dimana si ibu lebih banyak ataupun lebih mementingkan pekerjaannya dari pada anak-anaknya, sehingga hal ini menjadi pemicu besar akan terjadinya kateinai boryouku di dalam rumah tangga. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya pemicu utama kateinai boryouku adalah tidak adanya keharmonisan ataupun ikatan batin (emosional) terhadap sesama anggota keluarga. Dalam posisi ini seorang anak juga tidak akan perduli dengan apa yang terjadi di dalam rumah tangga yang demikian, hal yang sering terjadi pada seorang anak pada posisi keadaan keluarga seperti ini adalah menjadi anak yang tak tau aturan , semena-mena dan tak ada peduli terhadap sesama anggota keluarga(serizawa, op. cit, hal 23).

Seperti yang telah di uraikan di atas hubungan dalam keluarga sangat mempengaruhi keadaan keluarga, untuk lebih jelasnya lagi, ada dua faktor utama dan esensial dari kateinai boryouku ini, yaitu faktor fusei ketsujo (kurangnya figure ayah) dan kakansho (campur tangan orang tua, khusunya , ibu yang berlebihan. Tidak hanya itu, ada pula faktor-faktor lain yang berhubungan dengan orang tua-anak. D sini bisa di simpulkan empat tipe utama yang menyangkut hubungan orang tua dan anak yang memungkinkan timbulnya tindakan menyimpang dari seorang anak.

1. Hubungan yang tidak harnonis di antara kedua orang tua

2. Kurangnya figure ayah. Biasanya untuk menutupi hal tersebut, peran ibu membesar dan pada akhirnya ibu menjadi terlalu ikut campur dalam masalah


(40)

anak, serta memiliki harapan berlebihan. Hal ini merupakan faktor tipikal mun culnya penyimpangan pada anak.

3. Orang tua yang overreaksi. Yang dimaksud overreaksi adalah orang tua yang telalu campur tangan, menaruh harapan berlebihan tau mencintai secara berlebihan, sehingga justru menyebabkan mereka terlalu ketat dalam peraturan dan control terhadap anak.

4. Orang tua yang apatis dalam pengasuhan anak. Baik ayah maupun ibu tidak peduli terhadap perkembangan anak.

Keempat tipe di atas merupakan penyebab dominan dan kerap di temui dalam masalah kekeluargaan di jepang.

2.4 Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kekerasan

Agar dapat memahami penyebab mengapa seorang anak tega sampai mampu melakukan kekerasan kepada orang tuanya sendiri, berikut ini merupakan beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.

(1) Harapan berlebihan

Fenomena harapan berlebihan kepada anak dapat di karenakan cara mengasuh ayah dan ibu terhadap anaknya. Orang tua manapun juga, khususnya ibu jepang, memiliki harapan besar terhadap anak-anaknya.harapan ini memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap orang tua. Akan tetapi yang menjadi masalah disini adalah, apabila


(41)

terkotak pada masalah sistem sekolah dan keberhasilan si anak dalam sistem ujian. Di mana antara para pengamat masalah masyarakat jepang di kenal dengan istilah kyoiku

mama atau ibu pendidikan dan shaken jigoku yang bila di

terjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi neraka ujian. Hal ini menggambarkan betapa kerasnya tekanan maupun persaingan di antara anak-anak jepang untuk bisa mendapatkan pendidikan unggul dan terbaik dalam hidupnya.

Setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya dan peran orang tua dalam hal pendidikan anak sangat penting . hal ini berdasarkan asumsi yang menyatakan bahwa dengan memberikan pendidikan yang baik, berarti orang tua telah mempersiapkan kehidupan anak yang lebih baik.hal itu sulit di sangkal.

Akan tetapi, di dalam diri si anak akan mengalami stress akibat tekanan yang di lancarkan kepada mereka untuk senantiasa melanjutkan pendidikan ke sekolah unggulan yang sulit untuk dimasuki. Mereka tentu merasa takut apabila tidak bisa memenuhi harapan orang tuanya. Mereka takut gagal. Ketakutan dan kecemasan yang mereka rasakan hamper tidak bisa di pahami oleh orang dewasa, dalam hal ini orang tua mereka sendiri.


(42)

Dari sinilah biasanya muncul anak-anak yang bermasalah dengan sekolah, mereka takut untuk pergi ke sekolah yang di kenal dengan sebutan toko kyohi. Bisa ditebak kemudian, dan dengan dukungan oelh hasil penelitian,setelah toko kyohi, biasanya dilanjutkan dengan kateinai boryouku.

(2) Terlalu ikut campur, perlindungan dan kasih sayang berlebihan

Perlindungan dan kasih sayang berlebihan di sini bisa di simpulkan bahwa apa yang di anggap oleh orang tua sebagai ungkapan kasih sayang diterima oleh si anak sebagai suatu gangguan karena terlalu berlebihan sifatnya. Mungkin ada baiknya orang tua memberikan sedikit kebebasan kepada anak-anaknya dalam memutuskan suatu masalah. Hal ini penting untuk menumbuhkan sifat mandiri pada anak.

(3) Kekhawatiran

Mungkin sedikit sulit dibayangkan bahwa adda orang tua yang tidak yakin dan khawatir dengan kemampuan untuk mengasuh anak. Tetapi hal inilah yang sebagian besar dirasakan oleh para orang tua yang anak-anaknya terlibat masalah kateinai boryouku


(43)

(4) Karakteristik ayah yang menonjol

Masalah sikap asuh ayah adalah keapatisan, seorang ayah seolah-olah menghindar dan melepas begitu saja tanggung jawab dalam masalah pengasuhan anak. Mereka cenderung bersikap masa bodoh dan tidak mau tau. Bisa di katakan bahwa ikatan batin antara anak dengan ayah tidak kuat. Parahnya sang ayah sangat di sibukkan dengan masalah kantor/pekerjaan, ketika pulang ke rumah mereka hanya ingin istirahat dan tidak ingin di ganggu dengan masalah anak-anak. Mereka menyerahkan sepenuhnya tugas mengasuh kepada istri. Pendapat Keigo Okonogi mengenai chichioya fuzai atau fenomena non-eksistensi ayah senada dengan hal ini. Ia mengatakan bahwa kini dalam keluarga-keluarga jepang, suami dan ayah telah hilang kedudukannya sebagai kepada keluarga. Mereka kehilangan kedudukan dan perannya dalam keluarga. Kebanyakan ayah telah menjadi manusia kantoran yang super sibuk dan tak ada waktu luang untuk keluarga. Walaupun secara fisik mereka ada, tetapi secara psikologis mereka tidak dirasakannya keberadaannya.

.

Menurut hasil penelitian kantor keperdanamentrian, muncul data yang mengungkapkan enam poin latar belakang munculnya kekerasan. Hasil penelitian


(44)

ini kurang lebih senada dengan sikap mengasuh ayah dan ibu yang sudah di bahas sebelumnya, menurut psikolog S. Supardi, secara teoritis terdapat tiga jenis pola asuh, yang pertama dominan otoriter, sikap orang tua dalam hal ini tidak bisa di bantah, anak harus patuh dan menurut penuh terhadap orang tua.

2.4.1 Kondisi Kejiwaan Anak

Berdasarkan pengamatan inamura, di dalam diri anak-anak yang melakukan kateinai boryoukuI terdapat beberapa konflik mental. Konflik-konflik tersebut dapat di simpulkan sebagai berikut:

(1) Perasaan hancur dan kesadaran diri sebagai korban

Pelaku merasa canggung dan serba salah. Mereka juga di penuhi oleh perasaan hancur, rasa cemas dan aseri atau rasa diburu-buru sehingga mereka tidak tahu apa yang sebaiknya di lakukan. Selain itu mereka berfikir bahwa “saya yang sekarang adalah korban” saya berada dalam kondisi yang menyedihkan dan sangat sengasara” mereka berfikir bahwa penyebab semua penderitaan ini adalah orang tua yang salah mengasuh.

(2) Rasa benci terhadap orang tua

Seperi yang telah di jelaskan di atas,pelaku sangat putus asamemandang diri sendiri, mereka berfikir bahwa semua ini adalah kesalahan orang tua. Mereka berkeyakinan


(45)

dengan sedikit berhalusinasi bahwa sumber dari malapetaka ini adalah orang tua sehingga mereka merasa wajar bila mereka benci kepada orang tua

(3) Pembenaran akan kekerasan

Para pelaku menganggap tindak kekerasan yang mereka lakukan adalah benar, oleh karena hal ini di dukung oleh peratusan secara psikologis yang menyatakan bahwa rasa benci kepada orang tua dan kesadaran diri sebagai korban sperti uraian di atas.

(4) Tiadanya rasa takut akan dosa

Pelaku tidak memiliki rasa takut akan dosa sehingga pada tahap mengkhawatirkan terhadap apa yang ia lakukan. Indikasi seperti ini menunjukkan bahwa esensi dari kateinai boryouku terletak pada usaha si anak untuk mengikatkan diri pada inosens pribadi yang sampai pada tahap berorienasi hanya kepada satu prinsipdan tidak mau mengubahnya sedikit pun.

Dari sudut psikologis si anak, kebanyakan mereka merasakan frustasi dan kekecewaan dalam dirinya. Rasa frustasi yang di alami ini penyebab beragam kasus,misalnya pada kasus toko kyohi,bila hal ini berlajut, cukup lama, pelaku akan meresakan kecemasan dan aseri


(46)

atau rasa diburu-buru. Atau mungkin juga, mereka tetap pergi kesekolah, tetapi mereka tidak merasa puas dengan prestasi di sekolah, tidak percayadengan kemampuannya bisa mengikuti ujian. Ataupun, di sekolah mereka merasa dikucilkan oleh teman-temannya, menerima perlakuan

ijime, dan sebagainya. Mereka menghadapi

masalah-masalah seperti itu yang menyebabkan frustasi cukup dalam.pada akhirnya,oleh karena keccemasan dan keputus asa-an, di dalam diri mereka meningkat sifat ofensif.

Sementara itu pada orang tua yang melihatkondisi anaknya seperti itu, merasa sangat khawatir dan berusaha keras untuk turun tangan dalam penyelesaian masalah

toko kyohi ini. Mereka berusaha berbagai cara supaya si

anak bisa terbebas dari masalah yang di hadapi. Cara-cara tersebut misalnya dengan mengundang guru walikelas ke rumah untuk berdiskusi, atau memanggilteman-temanya kerumah. Dengan kata lain, orang tua melakukan berbagai langkah yang di anggap memaksa si anak kembali ke sekolah. Akan tetapi lantas si anak bukannya meras tertolong dengan tindakan orang tua, melainkan merasa kesal kerena campur tangan orang tua dan akibatnya frustasi yang di alami semakin menjadi. Rasa frustasi tersebut muncul Karen mereka merasa terbebani


(47)

dengan harapan orang tua mereka. Mereka merasa gagal untuk memenuhi harapan tersebut. Akibanya, mereka merasa tidak tenang secara mental hingga pada suatu saat, kondisi mental yang tidak tenang tersebut meledak menjadi sebuah tindak kekerasan. Sebenarnya menurut inamura, langkah yang sebaiknya di ambil orang tua adalah tidak terlalu memaksakan anaknya untuk kembali kesekolah. Tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa perhitungan akan semakin menambahburuk keadaan saja. Sebaiknya mereka membiarkan anak untuk sementara waktu, biarkan si aank istirahat secara mental, karena mereka sangat membutuhkannya.

Jadi, dapat di simpulkan disini, dalam diri si anak itu awalnya mun cul rasa frustasi.hal ini kemudian didukung dengan sifat mereka yang oversensitive, senantiasa berkecil hati dan tidak percaya diri. Maka, walaupun sebenarnya masalahnya tidak besar, mereka memikirkan hal itu sebagai suatu hal yang besar dan penting sekali. Mereka menjadicemas yang berlebihan karenanya. Sementara itu orang tua tidak memahami hal tersebut, malah mereka memperburuk keadaan dengan usaha intervensi untuk menyelesaikan masalah yang di hadapi si anak. Pada umumnya esensi struktur masalah kateinai boryouku muncul dari latar belakng kondisi seperti ini.


(48)

Sementara itu, ada faktor yang lain di samping kondisi kejiwaan anak. Faktor tersebut adalah figure dan kedudukan orang tua dalam keluarga.

2.4.2 Figur dan Kedudukan Orang Tua dalam Keluarga

Sebagai mana telah di jelaskan pada bab I bahwasanya setiap anggota keluarga memiliki fungsi-fungsi tertentu, dalam hal ini fungsi orang tua sangat di perhatikan dalam pengembangan dan pembentukan sifat seorang anak dalam rumah tangga. Banyak yang memandang bahwasanya asuhan orang tua terfokus kepada seorang ibu saja, sebagai mana yang telah kita ketahui di bab I seorang ayah juga sangat penting dalam pembentukan sifat seorang anak dalam sebuah rumah tangga. Berikut merupakan sebuah pendapat dari Inamura sehubungan dengan figure ayah terhadap permasalahan kateinai boryouku.

Dari sudut lingkungan rumah tangga yang memicumunculnya kateinai boryouku, ada satu lagi faktor penyebab yang besar. Faktor itu adalah,keberadaan ayah yang memudar di dalam rumah tangga. Dalam psikologis sejak dahulu,ayah dianggap sebagai symbol dari otoritas dan kekuatan. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah bahwa hal tersebut tidak terdapat lagi di dalam rumah tangga. Ayah yang seperti ini, tidak bisa memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya, kebanyakan merekahanya tenang dan baik hati tetapi tidak punya spirit, atau ada juga kasus seperti mereka jarang berada di rumah karena pergi berdinas ke tempat lain dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, baik psikis maupun


(49)

Di dalam sebuah rumah tangga, perceraian dan kematian juga bisa menimbulkan

fusei ketsujo atau kurangnya figure ayah. Dalam rumah tangga yang ada hanya

ada ibu dan anak, atau juga sebaliknya ketika ibu meninggal yang ada hanya ayah dan anak. Kebanyakan kasus yang telah di jelaskan bahwasanya didalam kelurga jepang sang ayah biasanya mendapat kasus tidak adanya existensi di dalam rumah dan biasanya bersifat apatis dalam pengasuhan anak. Begitu juga kasus yang di hadapi seorang ibu adalah biasanya seorang ibu kebanyakan terlalu memanjakan taupun memaksakan kehendak terhadap seorang anak, yang memungkinkan membuat seorang anak merasa stress atau frustasi di mana telah di jelaskan bahwasanya rasa stress dan frustasi dapat memicu terjadinya kateinai boryouku.

Ketika seorang ayah ataupun ibu tidak lagi memiliki vigur ataupun kedudukan dalam rumah tangga, sudah dapat di pastikan keadaan rumah tangga itu tidak lagi memiliki hubungan batin yang kuat antara sesama anggota keluarga dan ketika sebuah keluarga tidak memiliki itu, keluarga tersebut rentan akan permasalahan kateinai boryouku.

2.4.3 Pengaruh Norma Agama dan Masyarakat

Norma agama dan masyarakat tidak terlepas pengaruhnya dalam permasalahan kateinai boryouku ini. Sebagai contohnya dalam pengaruh norma agama adalah, di dalam masyarakat korea dan Taiwan yang pengaruh ajaran konfusianismenya yang masih sangat kental, masalah kateinai boryouku dan sejenisnya hamper tidak di temukan, salah satu ajaran yang masi ada sampai sekarang adalah penghormatan terhadap orang yang lebih tua dan kewajiban


(50)

seorang anak untuk berbakti kepada orang tua.yang dapat kita simpulkan bahwasanya ajaran tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menghentikan dan pengontrol dalam usaha menghindarai segala macam bentuk penganiayaan anak terhadap orang tua.

Salah satu contoh yang bisa kita ambil dari jepang sendrir adalah, di daerah Okinawa dimana di daerah ini ajaran konfusianismenya juga kuat dan hidup sampai sekarang, dan kasus kateinai boryouku nyaris tidak di jumpai. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa masyarakat yang masi menganut ajaran ataupun norma yang kuat sangat jarang menghadapi permasalahan kateinai boryouku ini. Namun selain di daerah Okinawa Negara jepang telah banyak yang tidak mengikuti ajaran-ajaran agama sehingga sangat memungkinkan terjadinya kateinai boryouku, seorang psikologis Inamura mengemukakan bahwa norma yang bertindak sebagai pengontrol telah pudar di dalam masyarakat jepang. Ia mengkritik kondisi keluarga jepang dewasa ini yang sepertinya tidak ketat dalam pengawasan dan pendidikan moral anak.

Teori empirisme yang di pelopori oleh john lock (1632-1704) menyatakan bahwa seorang individu semenjak lahir bahkan semenjak dalam kandungan, telah berinteraksi dengan orang lain. Dan melalui interaksi ini seorang bayi belajar, dan dengan bersamaan dengan proses tersebut,pada bayi timbul pengetahuan bahwa orang-orang di sekitar menginginkannya bertingkah dan berprilaku tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu.

Teori ini tidak percaya akan adanya sifat pembawaan pada manusia. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar, yaitu faktor lingkungan hidup dan pendidikan.


(51)

Berdasarkan curse of study (kurikulum pendidikan) yang di keluarkan oleh departemen pendidikan jepang di dalam kurikulum SD dan SMP terdapatpendidikan moral sebagai salah satu bidang studi. Tujuan dari pendidikan moral ini adalah:

- Menghormati martabat manusia dalam kehidupan - Menciptakan kebuyaaan yang kaya dan

membangun Negara dan masyarakat yang demokratis.

- Melatih manusia jepang yang mampu memberikan konstribusi kepada masyarakat internasional yang damai

- Menumbuhkan moralitas sebagai pondasi pemikiran hal-hal baru.

Di samping waktu khusus yang di berikan dalam pengajaran pendidikan moral di kelas, standar moral anak juga diharapkan dapat tumbuh dan berkembang melalui seluruh kegiatan di sekolah. Di beberapa sekolah swasta, pendidikan moral ini biasa di gantikan dengan pendidikan Agama.

2.5 Sejarah Kateinai Boryouku

Kataeinai boryouku merupakan fenomena yang muncul pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1980, ada sebuah peristiwa pembunuhan yang sangat mengejutkan public jepang dengan menggunakan pemukul bisbol. Kasus ini mencuat kepermukaan karena menjadi bahan berita utama di media massa pada


(52)

saat itu. Yang menjadi tersangka adalah seorang ayah yang berlatar belakang pendidikan tinggi, sementara yang menjadi korban adalah anak laki-lakinya. Berdasarkan penyelidikan, latar belakang pembunuhan itu adalah si anak yang telah lama melakukan kateinai boryouku kepada ayah-ibu. Pada beberapa tahun sebelumnya ada juga kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anak SMU pada tahun 1977 dan kasus bunuh diri seorang pelajar SMU setelah dia membunuh neneknya (1980) (shibundo.1981).

Kasus kateinai boryouku kebanyakan disertai dengan masalah took kyohi. Oleh karena itu, pada awalnya banyak psikiater yang menangani masalah ini hanya sebagai kasus took kyohi. Dengan kata lain, penanganannyalebih difokuskan ke masalah took kyohi. Bukan ke masalah kekerasan itu sendiri.

Pada awal tahun muncul fenomena ini, pada banyak kasus kateinai boryouku dianggap sebagai penyakit jiwa yang di sebut skizofernia.

Di bawah ini ada kutipan yang menarik untuk disimak sehubungan dengan hal ini.

Hal yang tak bisa dilupakan mengenai kateinai boryouku pada masa awalnya adalah pada beberapa kasusu kateinai boryouku disalahartikan sebagai skizofernia. Bila di lihat dari pandangan umum saat itu, kekerasan anak terhadap orang tua, dalam hal ini melakukakn kekerasa yang mengerikan adalah hal yang sulit di pikirkan secara lazim (Tokyo. Shonyosha.1985).

Dari kutipan di atas, bila dikatakan bahwa masyarakat mulanya menganggap kateinai boryouku sebagai suatu hal yang tidak pantas dilakukan


(53)

yang melakukan itu maka dapat di pastikan bahwa anak itu mengindap kelainan mental.

Selanjutnya Inamura menuliskan hal sebagai berikut:

Akan tetapi bukankah suatu hal yang aneh jika sebuak tindak kekerasan yang dilakukan seorang anak dianggap sebagai penyakit jiwa, karena bagaimanapun dilihat dari penampilan luar, tidak tampak adanya masalah di pihak orang tua yang mengundang timbulnya kekerasan seperti itu. Terlebih lagi, di dalam diri pelaku tiada rasa berdosa, menginci diri dalam kamar dan menjalani kehidupan tanpa banyak kegiatan, membalikkan siang dengan malam, ekspresinya dan lain-lain amat menyerupai penyakit puberitas. Hal yang seperti ini di pandang sebagai skizofernia. Oleh karenanya anak itu dimasukkan kerumah sakit secara paksa, dan diberikan obat-obatan mentalnya dalam dosis tinggi.

Pada mulanya , kateinai boryouku dianggap sebagai penyakit jiwa yang diderita oleh pelaku. Cara penyembuhannya pun difokuskan kepada si pelaku saja, sehingga mengabaikan orang tua dalam terjadinya kasus ini. Secara logis, memang tindak kekerasan yang di lakukan seorang anak remaja terlihat sebagai suatu hal yang janggal. Apalagi, objek kekerasan itu adalah orang tuanya sendiri. Anggapan ini diperkuat lagi dengan tingkah laku si anak yang seoalah


(54)

tidak menyesal dengan perbuatannya. Bahkan tingkah lakunya bertentangan dengan perilaku seorang normal. Mereka menjadikan malam seperti siang dan sebaliknya, mereka cenderung menutup diri dan bersikap apatis.

Akan tetapi. Lama kelamaan banyak muncul kasus yang berlawanan dengan anggapan tersebut dan keadaan yang sebenarnya menjadi jelas. Berdasarkan penelitian terhadap kaus-kasus, sedikit demi seddikit pemahaman mengenai fenomena ini dan cara penanganan yang tepat dapat ditemukan. Terutama dengan semakin meningkatnya kasus kateinai boryouku ini, menyebabkan perhatian terhadap masalah ini semakin meningkat, tidak hanya dari para dokter, tetapi juga dari masyarakat umum. Dengan di latar belakangi masalh ini, muncul pula kasus pembunuhan orang tua oleh anaknya, ataupun sebaliknya sehingga menjadi berita sensasional di media massa. Fakta mencengangkan seperti ini amat mengejutkan masyarkat dan menyadarkan mereka bahwa masalah kateinai boryouku bukanlah suatu hal yang sederhana namun perlu penanganan serius dari berbagai pihak. Semenjak saat itu kekerasan “kateinai boryouku” dan istilah ini menjadi popular sampai saat ini. Penetapan konsep dan cara penanggulangan terhadap masalh ini berkembang pesat saat itu.

Kateinai boryouku bisa di katakan sebagai fenomena yang muncul dan popular dua dasawarsa terahir. Berdasarkan berbagai referensi dan kenyataan yang ditemukan di Negara-negara eropa-amerika ini tidak dijumpai dalam masyarakatnya. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa fenomena ini adalah masalah yang khas dan cukup menonjol dalam masyarakat jepang.


(55)

Selain faktor kondisi rumah tangga, terdapat faktor lain yang cukup penting dalam masalah kateinai boryouku. Faktor tersebut adalah norma masyarakat. Misalanya di Negara Indonesia yang sangat menghargai aturan dan norma saling menghargai sesama terutama menghargai orang yang lebih tua dan kewajiban seorang anak adalah berbakti kepadda orang tua. Maka bisa di simpulkan norma dalam masyarakat dapat menjadi tenaga pengontrol dan pengehenti sehingga munculnya gejala dan fenomena ini dapat di tekan, penangan dan usaha mengatsi kateinai boryouku akan di jelaskan pada BAB III.

2.6 Hal yang Melindungi Kateinai boryouku

Peraturan yang melindungi kateinai boryouku di sesuaikan kepada setiap kasus yang terjadi, di jepang saat ini pemerintah telah menyediakan system pengaduan kekerasan yang terjadi di dalam rumah dan bahkan hampir semua kasus kekerasan dapat di adukan ketempat pengaduan ini, tepat pengaduan ini berupa kantor yang tersebar di seluruh wilayah jepang, bahkan wilayah plosok sekalipun. Kantor pengaduan tersebut bekerja sama dengan pihak kepolisian jepang (khususnya pihak kepolisian di masing-masing wilayah) untuk mendeteksi sebanyak mungkin kasus kekerasan yang terjadi. Dua institusi tersebut melakukan rapat network tahunan untuk evaluasi. Menurut hasil surfing yang banyak di lakukan di berbagai situs menyebutkan, bahkan petugas dari kantor tersebut datang dan melakukan pengamatan secara langsung kerumah atau daerah yang di curigai terjadi kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Bukan hanya penanganan, tetapi petugas juga melakukan konseling dan pemulihan terhadap korban


(56)

kekerasan tersebut dan dari hasil konseling inilah bisa di ketahui motif-motif kekerasan yang terjadi dan penyebab-penyebab terjadinya kekerasan ini.

Seperti yang kita ketahui jika pelaku adalah seorang anak ataupun anggota keluarga lain yang melakukan kekerasan yang di akibatkan kejiwaan, maka pelaku kekerasan ini akan dibawa dan dirawat di rumah sakit. Dan pelaku yang mengidap penyakit kejiwaan ini akan mendapatkan perawatan yang sepantasnya di dapatkan. Jepang juga memberlakukan peraturan yang mengatakan jika anak yang di bawah umur melakukan kekerasa tersebut, anak tersebut tidaklah mendapatkan hukuman seperti orang dewasa yang biasanya mendapatkan hukuman penjara sesuai kekerasan yang dilakukakan.

Selain penanganan secara fisik maupun kejiwaan yang dilakukan terhadap korban ataupun pelaku, biasanya untuk sementara waktu sesuai ketentuan yang berlaku dan permintaan korban, pelaku dan korban di pisahkan untuk jangka waktu sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku di jepang.


(57)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial, di mana saling membutuhkan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Semua manusia awalnya polos dan tak mengerti apa-apa sampai ia diajarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia tinggal. Seorang anak diasuh dan di didik dalam sebuah kelompok yang lazim disebut keluarga. Keluarga dalam rumah tangga merupakan lingkungan sosial yang sangat penting dalam pembentukan tingkah laku seorang anak, (Raharjo 1993 :221-232.). Keberhasilan dalam mendidik anak sangat bergantung kepada keluarga yang mengasuh si anak, terutama kedua orang tua dan bagian-bagian dari keluarga tersebut.

Keluarga memiliki pengertian sebagai suatu kesatuan paling kecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua (ayah dan ibu) serta anak-anak kerena ikatan darah atau ikatan umum (anak angkat). Namun, selain ikatan-ikatan tersebut, juga masih terdapat bentuk ikatan yang sangat penting, yaitu ikatan kasih sayang dan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak- anaknya, kasih sayang tersebut membawa akibat saling membatu, saling menghormati dan saling melindungi. Chie Nakane (1981:12) menjelaskan bahwa konsep keluarga Jepang adalah rumah tangga yang didasarkan pada kerjasama atas dasar pekerjaan.


(58)

Disamping arti keluarga yang sebenarnya, saat ini di jepang banyak terjadi

kekerasan dalam rumah tangga, hal ini di sebabkan oleh kurangnya hubungan yang erat antar sesama anggota keluarga, hubungan suami-istri, kakak-adik dan orang tua- anak. Salah satu pendapat yang perlu disimak adalah pendapat michiyoshi hayashi (1996) yang dalam bukunya berjudul fusei no fukken atau rehabilitasi karakter ayah. Di dalam buku ini Hayashi mengkritik sosok ayah yang tidak lagi memiliki peran ayah di dalam masalah rumah tangga terutama masalah terhadap anak.

Hayashi secara kritis mengemukakan masalah seorang ayah yang tidak memiliki peran dalam keluarga, tak mengherankan apabila muncul anak-anak yang bermasalah dari keluarga seperti itu karna orang tua dalam pembentukan watak anak sangat penting. Dan hal ini sesuai dengan teori empirisme yang di kemukakan oleh John Lock (1632-1704). Teori ini menyebutkan bahwa seorang bayi yang baru lahir, adalah organisme yang luwes yang siap dibentuk oleh subyek-subyek dalam keluarga. Pembentukan watak manusia dimulai sejak saat dilahirkan, bahkan sejak saat di dalam kandungan. Interaksi dengan orang lain berlangsung seketika itu juga, bersamaan dengan proses interaksi yang berlangsung, pada bayi timbul pengetahuan bahwa orang-orang disekitar mengharapkan dia bertingkah laku tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu. Di sini proses sosialisasi berlangsung, yaitu dalam diri anak terjadi proses tertanamnya nilai-nilai norma yang terjadi atau yang dikehendaki oleh masyarakat di sekitar.


(59)

ayah atau suami telah kehilangan perannya dalam rumah tangga, kebanyakan seorang ayah atau suami telah menjadi orang kantoran yang super sibuk dan tak punya waktu luang untuk keluarga sendiri.

Dengan dilatar belakangi kondisi keluarga yang seperti itu, muncullah masalah kateinai boryouku. Secara harfiah kateinai boryouku di artikan sebagai tindak kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Namun perkembangannya kemudian pengertiannya yang luas ini dipersempit menjadi tindak kekerasan terhadap orang tuanya. Terminology kateinai boryouku yang merujuk pada pengertian inilah yang sekarang umumnya dipergunakan.

Di dalam kamus Jepang-Inggris, kateinai boryouku di artikan sebagai

domestic violence. Arti dalam bahasa inggris ini, mencakup makna kekerasan

domestik yang luas yakni semua bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain: Kekerasan orang tua terhadap anak, Kekerasan diantara suami-istri, Kekerasan antara anak dan orang tua, Kekerasan antara saudara kandung, Kekerasan anak terhadap kakek/nenek, Kekerasan orang tua asuh terhadap anak adopsi, dan sebagainya.

Pada masyarakat Jepang dewasa ini, kateinai boryouku menjadi permasalahan yang paling sering terjadi, kekerasan ini semakin menjadi tak terhindarkan bagi keluarga-keluarga yang dimana keharmonisan dalam rumah tangga sangat minim. Berikut merupakan kutipan yang yang patut di simak yang berkaitan dengan kateinai boryouku yang menjadi ciri khas jepang selama ini:


(60)

Tipe “kekerasan dalam keluarga” yang anaknya melakukan kekerasan kepada orang tua adalah tipe kekerasan yang telah menjadi karakteristik Negara kami (jepang).

Rumah tangga di Jepang dewasa ini sering sekali menjadi sorotan media dan mengangkat tema ini sebagai artikel. Masalah kekerasan dalam rumah tangga ini juga telah menjadi tema acara-acara televisi, film dan kartun animasi yang sangat luas penyebarannya. Yang menjadi pemicu utama terjadinya permasalah

kateinai boryouku ini di mulai dari dalam rumah tangga itu sendiri. Seperti yang

telah dijelaskan di atas sebagai mana fungsi setiap anggota keluarga dalam kekeluargaan di Jepang. Semakin kurangnya keharmonisan dalam keluarga sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan kekeluargaan tersebut.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kurangnya keharmonisan dan hubungan yang kuat antar sesama anggota keluarga sangat mendominan terjadinya kateinai boryouku.

Dengan demikian penulis tertarik untuk membahas dan menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul

“Kekerasan dalam Rumah Tangga di Jepang (Kateinai Boryouku) Dewasa Ini”


(61)

1.2 Perumusan Masalah

Ruang lingkup kehidupan sangat mempengaruhi aktivitas, kebiasaan dan bahkan psikologis manusia, seperti pada kehidupan rumah tangga masyarakat jepang dewasa ini. Kehidupan seorang ayah, ibu dan anak saling berhubungan, saling mendukung dan saling melengkapi demi mencapai kesejahteraan. Namun ada juga rumah tangga yang tidak memiliki nilai-nilai yang seharusnya di miliki dalam rumah tangga. Rumah tangga jepang saat ini sering sekali terjadi kekerasan di dalamnya seperti yang akan di bahas adalah kateinai boryouku.

Sebagai salah satu kasus kekerasan yang pernah menjadi topic pembicaraan di jepang di mana di dalam kasus tersebut seorang ayah membunuh anak laki-lakinya dengan menggunakan pemukul baseball, pembunuhan di latar belakangi si anak melakukan kateinai boryouku terhadap kedua orang tuanya sudah cukup lama sehingga sang ayah nekad membunuh anaknya sendiri. dari kasus ini banyak memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar, sebagai mana yang kita ketahui bahwasanya dalam sebuah keluarga setiap anggota keluarga memiliki hubungan dan ikatan batin yang kuat.

Dan yang menjadi permasalahan yang akan di kaji penulis adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik dan jenis-jenis kateinai boryouku? 2. Bagaimana usaha-usaha dalam mengatasi kateinai boryouku?


(62)

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Kateinai boryouku merupakan sebuah kejadian ataupun kekerasan yang sangat fenomenal dalam kehidupan berumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga ini dapat terjadi kapan saja, dimana yang menjadi pelaku dan korban adalah orang yang memiliki hubungan yang dekat dan kekerasan dalam rumah tangga ini juga dapat terjadi dengan faktor-faktor yang cukup luas.

Oleh karena itu, dari permasalahan yang telah di kemukakan di atas penulis merasa perlu melakukan pembatasan ataupun mempersempit pembahasan dalam skripsi ini agar lebih terarah dalam penulisan nantinya, di mana penulis lebih memfokuskan kepada karakteristik kateinai boryouku, jenis-jenis kateinai boryouku dan usaha-usaha yang dilakukan dalam mengatasi kateinai boryouku. Penulis juga akan menjelaskan pengertian dan sejaraha dari kateinai boryouku demi mendukung pembahasan penelitian ini.

1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Herkutanto (1997) menjelaskan bahwasanya kekerasan itu adalah

tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan memiliki bentuk dan motif yang berbeda, bergantung kepada penyebab terjadinya kekerasan, dalam halnya kateinai boryouku. Kateinai boryouku yang merupakan kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah kasus kekerasan yang sering di jumpai pada


(63)

rumah tangga yang tidak memiliki hubungan yang dekat antar sesama anggota keluarga.

Kiyomi Morioka (1993:3), mengemukakan definisi keluarga yaitu keluarga adalah kelompok yang terbentuk dari anggota-anggota penting yaitu kerabat dekat yang jumlahnya sedikit, seperti suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan diantara mereka terikat hubungan emosional yang dalam. Tujuan utama kelompok juga menjelaskan bahwa konsep keluarga Jepang adalah rumah tangga yang didasarkan pada kerja sama atas dasar pekerjaan. Fungsi keluarga sangat penting dalam pembentukan sifat dan karakter anak, dimana orang tua mendidik dan mengasuh anak menjadi prioritas utama.

Menurut psikolog S Supardi (1991) dalam pola asuh dan remaja

bermasalah, secara teoritis terdapat tiga jenis pola asuh. Pertama dominan

otoriter, sifat orang tua dalam hal ini keras, tidak bisa di bantah, anak harus patuh dan menurut total terhadap keinginan orang tua. Kedua permisif, sifat ini mengarahkan, namun masi membuka peluang anak melakukan hal yang diinginkan anak atas pertimbangan orang tua. Ketiga bebas total, tanpa arahan. Artinya anak di benarkan melakukan apa saja tanpa sekehendak hati.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi, yang menurut Soekanto (1992:2), meliputi sosiologi keluarga yang merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara individu di dalam keluarga. Penulis menggunakan pendekatan ini karena bertujuan untuk mengetahui


(1)

KATEINAI BORYOUKU DALAM RUMAH TANGGA JEPANG DEWASA INI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

PANDILO TUA GULTOM 100708069

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph. D

NIP. 19580704 1984 12 1 001 NIP. 19600822 198803 1 002 Drs. Nandi S


(2)

Disetujui oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, 22 Oktober 2015 Deartemen Sastra Jepang Ketua

NIP . 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum


(3)

Puji syukur kepada yang Maha kuasa. Karna rahmatnya dan berkah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini menyangkut kekerasan yang terjadi di Jepang yang berjudul Kateinai Boryouku dalam Rumah Tangga Jepang Dewasa ini.

Pada dasarnya penyusunan skripi ini tidak terlepas dari bantuan moril serta materil berbagai pihak. Pada kesempatan ini, maka penulis mengucapkan terimakasi yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang Fakultas Ilmu Budaya.

3. Prof. Hamzon Situmorang, M. S, Ph. D, selaku dosen pembimbing I yang

bersedia meluangkan waktu, memberikan arahan serta masukan kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.

4. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen pembimbing II yang juga banyak

membantu dan membimbing dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf akademika Fakultas Ilmu Budaya khusunya


(4)

7. Para sahabat : Ferdian Lim, Budi Setiawan, Onesy, Rauf mazari, Barry, Ibrahim Nur, Rovindo, Risky. Dan semua teman yang saya kenal

8. Adik-adik kami Taufik Hidayatullah, Ibeb septyadi, Vandy, Oky, yazid,

dan teman-teman semuanya yang pernah berjabat tangan dengan saya. Terimakasi atas bantuannya materil dan moril, juga setiap canda dan tawanya. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis memiliki harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khusunya pembaca pada umumnya. Terimakasih

22 oktober 2015 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Perumusan Masalah

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.6 Metode Penelitian

BAB II KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI JEPANG (KATEINAI BORYOUKU)

2.1 Pengertian kateinai boryouku 2.2 Jenis-jemis kateinai boryouku

2.3 karakteristik kateinai boryouku 2.4 faktor penyebab munculnya kekerasan

2.5 Sejarah kateinai boryouku

2.6 Hal yang melindungi kateinai boryouku

BAB III USAHA-USAHA UNTUK MENGATASI KATEINAI BORYOUKU


(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA