Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu periode penting dalam seluruh rentang kehidupan manusia. Sebagaimana masa yang lain dalam kehidupan, masa remaja memiliki sesuatu yang unik, yang berperan penting bagi individu dalam menghadapi masa-masa mendatang. Segala sesuatu yang terjadi pada masa ini akan berdampak pula pada kehidupannya di masa itu dan juga terhadap kehidupan selanjutnya. Para ahli menggambarkan masa remaja sebagai suatu masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa ini ditandai dengan adanya perubahan-perubahan dalam aspek fisik, psikis, tingkah laku, dan interaksi sosial Hurlock, 1980: h. 206. Sebagai masa transisi menuju masa dewasa, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh remaja. Perubahan yang terjadi pada masa ini pun sebenarnya merupakan suatu persiapan untuk memasuki masa dewasa. Remaja dituntut untuk mempersiapkan kemandirian – belajar bertanggung jawab, yang tidak terbatas pada tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tetapi juga tanggung jawab yang lebih luas, yaitu tanggung jawab kepada keluarga dan tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat. Di Indonesia, remaja baik laki-laki maupun perempuan adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, dan sumber daya insani potensial yang tak ternilai harganya bagi pembangunan bangsa. Sehingga bangsa Indonesia menaruh 1 harapan besar pada remajanya untuk memiliki rasa tanggung jawab dan mengusahakan agar bangsa dan negara ini mencapai kondisi yang lebih baik dari yang sudah dimiliki saat ini. Oleh karena itu, dalam pembinaan dan pengembangan generasi muda termasuk pemupukan rasa tanggung jawab, merupakan tugas semua pihak orangtua, keluarga, masyarakat, para pendidik, pemerintah. Namun sebenarnya bagaimanapun juga sumber rasa tanggung jawab adalah dari individu itu sendiri. Upaya pembinaan dari berbagai pihak tidak akan membawa hasil bila tidak ada kesadaran atau keinginan dari remaja itu sendiri. Dengan demikian, sangat diharapkan munculnya rasa tanggung jawab dari diri sendiri untuk terus berusaha mencapai hasil yang lebih baik dari saat ini. Kalau kita bicara tentang dorongan atau keinginan untuk mencapai suatu hasil yang lebih baik, maka kita akan bicara tentang motivasi untuk berprestasi. Pengertian motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi rintangan, melatih kekuatan, berusaha mengerjakan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin Murray seperti dikutip Franken, 2002 dalam Muhtar, 2005. Dalam rangka adanya motivasi berprestasi, tingkah laku individu akan dibandingkan dengan suatu standar keunggulan, baik yang menyangkut prestasi diri maupun orang lain. Tinggi rendahnya motivasi berprestasi menunjukkan perbedaan kecenderungan individu dalam berupaya untuk meraih suatu hal yang lebih baik dari yang sudah pernah dicapai oleh diri sendiri atau orang lain. 2 Mungkin hal tersebut akan lebih mudah jika dilakukan oleh kebanyakan remaja pada umumnya, akan tetapi bagaimana dengan para remaja yang berkebutuhan khusus seperti penyandang tunadaksa? Remaja dengan gangguan fisik atau tunadaksa ini adalah remaja yang memiliki salah satu kelainan yang sifatnya gangguan dari fungsi otot dan urat syaraf yang disebabkan adanya kerusakan otak atau bagian tubuh lainnya. Tunadaksa ditujukan kepada mereka yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna, seperti adanya gangguan koordinasi motorik, tangan satu, kaki satu, tanpa mempunyai kaki atau tangan, dan lainnya Sujarwanto, 2004. Ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, akibat luka kecelakaan, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Karakteristik fisik inilah yang membedakan remaja penyandang tunadaksa dengan remaja lainnya. Kondisi fisik yang seperti ini menyebabkan remaja penyandang tunadaksa dapat langsung dikenali oleh masyarakat awam, sehingga ketidaksempurnaan fisik ini dapat mempengaruhi seorang remaja penyandang tunadaksa dalam pembentukan konsep dirinya. Menurut Sunaryo dikutip oleh Noviantari 2008 pada umumnya bagi penyandang tunadaksa sulit untuk mencapai prestasi, baik dalam bidang pendidikan maupun bidang lainnya. Hal ini sering menimbulkan masalah psikologis, karena dengan kekurangan fisiknya itu remaja penyandang tunadaksa akan merasa dirinya tidak berdaya dan tidak berguna sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan minat pada prestasi dibutuhkan adanya 3 motivasi berprestasi yang tinggi untuk mencapai suatu keberhasilan. Dengan adanya motivasi berprestasi yang tinggi, remaja mempunyai keinginan untuk meraih sukses, memiliki tanggung jawab, berani mengambil keputusan dan menanggung segala resikonya, memiliki tujuan yang realistik, dan selalu mencari kesempatan untuk mewujudkan cita-cita. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif studi kasus tentang “Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tunadaksa” oleh Noviantari 2008, diketahui bahwa subjek remaja penyandang tunadaksa yang diteliti memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini didukung oleh karakteristik orang yang mempunyai motivai berprestasi tinggi ada pada diri subjek serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam motivasi berprestasi tingkah laku individu dibandingkan dengan suatu standar keunggulan tertentu. Penetapan standar ini bersifat subjektif, tergantung pemahaman individu yang bersangkutan tentang sampai dimana individu tersebut sadar akan kemampuan atau potensi yang dimilikinya. Jika kita bicara tentang kemampuan yang dimiliki individu, ada suatu konsep yang dapat menjelaskan hal tersebut, yaitu ‘konsep diri’. “Siapakah saya?” merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupan seseorang. Siapa saya bagi diri saya sendiri? Siapa saya bagi orang lain? Apa dan bagaimana lingkungan memandang saya? Jawaban atas pertanyaan- pertanyaan itulah yang kemudian dikenal dengan istilah konsep diri. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep diri merupakan penilaian mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. 4 Setiap manusia dilahirkan unik dan istimewa. Salah satu keunikan manusia adalah adanya kebutuhan pengakuan akan keberadaan dirinya dan pemahaman individu tersebut tentang segala kelebihan serta kekurangannya. Penilaian dan pemahaman yang tepat akan menghasilkan rasa mampu yang tepat pula. Selanjutnya ketepatan ini akan sangat bermanfaat bagi penetapan standar yang realistis dalam motivasi berprestasi. Oleh karena itulah bagaimana cara seseorang memandang dirinya sendiri inilah yang akan mempengaruhi orang tersebut dalam berinteraksi dengan orang lain dan juga mempengaruhi tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari Harter dalam Papalia, 2001; Dusek, 1996 seperti dikutip Moniaga, 2003, h: 2. Seseorang akan mendeskripsikan dirinya dengan cara tertentu, bisa berdasarkan fisik, kepribadian, maupun dengan cara berhubungan dengan orang lain. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa komponen yang paling penting pada remaja dalam mendeskripsikan dan mengevaluasi dirinya adalah penampilan fisik Simmons dan Blyth; Zumpf dalam Dusek seperti dikutip Moniaga, 2003. Ketika remaja menaruh perhatian yang besar pada penampilan fisik, maka remaja yang memiliki gambaran fisik yang tidak memuaskan akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dan merasa tidak bahagia. Jadi, penampilan fisik merupakan salah satu faktor penting pada remaja dalam pembentukan konsep dirinya. Karakteristik fisik dan keterbatasan dalam melakukan berbagai aktivitas motorik pada remaja penyandang tunadaksa menyebabkan orang lain, termasuk orangtua, guru, teman, dan lingkungan sekitar cenderung mempunyai persepsi 5 negatif tentang remaja penyandang tunadaksa karena keterbatasannya tersebut. Mereka menganggap bahwa segala keterbatasannya dapat menyulitkan orang- orang di sekelilingnya. Sebaliknya jika mereka menerima keberadaan remaja penyandang tunadaksa dengan apa adanya, maka persepsi-persepsi negatif pun dapat diminimalisir. Oleh karena itu, persepsi seseorang tentang remaja penyandang tunadaksa akan mempengaruhi sikap dan tindakannya terhadap remaja tersebut. Cooley dan Mead dalam Pope, McHale, dan Craighead, 1988 seperti dikutip Moniaga 2003, menyatakan bahwa seseorang memandang dirinya berdasarkan bagaimana mereka diperlakukan dan dipandang oleh orang lain. Hal-hal tersebutlah yang membebani mereka karena kondisi yang tidak sempurna seperti remaja-remaja yang lain. Jadi persepsi dan tindakan orang lain juga akan mempengaruhi remaja penyandang tunadaksa dalam membentuk konsep dirinya. Hal tersebut memang nyata, wawancara pada studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tiga remaja penyandang tunadaksa di Yayasan Anak Cacat Nusantara, Kecamatan Beji, Kota Depok, menghasilkan gambaran bahwa mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan sikap dan pandangan orang-orang di sekelilingnya. Memang pada awalnya mereka merasa rendah diri karena kecacatan yang dimiliki akan menjadi sebuah penghambat bagi dirinya untuk melakukan banyak hal, terutama hal-hal yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Namun, jika orang-orang tersebut mampu melihat bahwa mereka memiliki suatu kemampuan yang lebih, maka mereka akan semakin tegar dan semakin bersemangat untuk menunjukkan bahwa mereka 6 memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan dan patut diakui keberadaannya dan janganlah melihat mereka dari segi kekurangannya saja. Oleh karena itu, pengertian dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk dapat mengerti keadaan mereka agar segala konsep buruk tentang diri mereka tadi bisa dirubah sehingga tidak menambah beban psikis mereka maupun keluarga, terutama orangtua. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu yang berpengaruh pada remaja dalam mempersepsikan dirinya adalah orangtua. Michaelis 1980, menyatakan bahwa ada sesuatu yang sangat indah dan menyenangkan ketika mempunyai seorang anak, tapi ini akan berbeda jika anak yang lahir tersebut adalah anak cacat. Orangtua dari anak cacat menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan. Menjadi orangtua bagi seorang anak yang cacat adalah menyulitkan, dan sering membingungkan dan merupakan tugas yang membingungkan Wentworth dalam Gargiulo, 1985, h: 13. Pada studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada Desember 2009, kepada lima orangtua yang memiliki anak penyandang tunadaksa, tiga dari lima orangtua dengan anak penyandang tunadaksa atau cacat fisik mengalami reaksi dalam menghadapi keadaan anaknya saat pertama kali adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut, dan tidak mempercayai kenyataan kecacatan yang diderita anaknya. Selain itu, orangtua akan merasa kecewa, sedih, dan mungkin merasa marah ketika mengetahui realita yang dihadapinya tersebut. Serta dua orangtua lainnya dari awal kelahiran hingga kini, sudah menerima dengan ikhlas kondisi sang anak karena mereka yakin anak adalah titipan Tuhan, apapun yang Tuhan berikan itulah yang terbaik untuk mereka. Namun tidak dapat 7 dipungkiri mereka yang memiliki anak tunadaksa atau kecacatan lainnya akan merasa bahwa dirinya berbeda dengan orangtua lainnya yang tidak memiliki anak dengan hambatan fisik. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki si anak, seperti tidak dapat mengikuti rutinitas dan aturan yang ada dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian yang dilakukan Hermiati seperti dikutip Ismartini 2001 terhadap sejumlah orangtua menyatakan bahwa sebagian besar orangtua telah dapat menerima keadaan anaknya yang cacat, terbukti dalam caranya bersikap wajar pada anaknya, akan tetapi masih ada pula sikap orangtua yang ragu-ragu atau bahkan menolak anaknya. Hal ini bertentangan dengan fakta yang diberitakan Kompas Wajib, 1999 dan Mashuri, 2000 dalam Ismartini, 2001, yaitu masih banyak orangtua dan masyarakat yang sulit menerima kondisi anak dengan kecacatan yang bentuknya terlihat jelas seperti tunadaksa ini. Menurut Jourard dan Remy 1955; Helper 1955 dalam Burns 1993, orangtua sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri anak. Konsep diri anak-anak tampaknya serupa dengan pandangan dari orangtua mereka kepadanya seperti yang mereka yakini. Pola orangtua membesarkan anak yang akan membentuk konsep diri yang positif pertama kali diteliti oleh Stott dalam Burns 1993, yang melakukan penelitian pada 1800 anak remaja. Dia menemukan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki penerimaan, rasa saling percaya dan kecocokan di antara orangtua dan anak, lebih baik penyesuaian dirinya, lebih mandiri dan berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep diri bertumbuh dari kehangatan dan 8 penerimaan orangtua, dan kesuksesan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang berada di dalam batas-batas kemampuan anak tersebut. Untuk meningkatkan konsep diri remaja, orientasi kita harus pada proses terbentuknya konsep diri itu sendiri. Sikap orangtua terhadap remaja merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan penting terhadap pembentukan dan perkembangan konsep diri. Sikap orangtua yang mempunyai anak yang cacat seperti telah diungkapkan di atas adalah kecewa dan sedih. Sikap dan perasaan ini akan mempengaruhi penilaiannya terhadap anak itu. Sikap orangtua di sini dapat berupa penolakan, tidak memperhatikan, dan lain-lain yang akan sangat berpengaruh pada proses pembentukan konsep diri anak tunadaksa tersebut. Jika sikap penolakan dari orangtua terus terjadi, maka konsep diri yang terbentuk pada anak tunadaksa itu adalah konsep diri yang negatif. Sebaliknya, dengan adanya penerimaan terhadap kenyataan ini akan mengubah penilaiannya terhadap sang anak, sehingga dengan adanya penilaian yang positif terhadap anak tunadaksa tersebut maka akan mempengaruhi pembentukan konsep diri yang positif pula pada anak itu. Tentunya setiap orangtua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang tunadaksa. Namun dalam proses ke arah sana orangtua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan atau penilaian, selain itu juga tetap menghargai dan memahaminya sebagai individu yang berbeda dan mendukung perkembangannya karena penerimaan orangtua ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis mereka. Menerima anak berarti 9 menyadari anak sebagai seorang individu yang memiliki perasaan, keinginan cita-cita, dan kebutuhan yang sama dengan anak-anak normal lainnya. Melihat kenyataan di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keterkaitan penerimaan orangtua dengan konsep diri pada anak penyandang tunadaksa atau cacat fisik khususnya pada remaja dan pembentukan konsep diri yang seperti apa juga berpengaruh pada pembentukan motivasi berprestasi pada remaja tersebut. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana penerimaan diri orangtua dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri pada remaja penyandang tunadaksa dan bagaimana motivasi berprestasi mereka bisa terbentuk, serta bagaimana pengaruh keluarga, khususnya orangtua pada terbentuknya atau berkembangnya motivasi berprestasi yang dimiliki oleh para remaja penyandang tunadaksa melalui penelitian dengan judul “Hubungan antara Penerimaan Orangtua dan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tunadaksa ”. 1. 2. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. 2. 1 Perumusan Masalah