Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan Yang Dimuat Dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Dan Kitab Undang-Undanghukum Perdata)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN HUKUM

PERSEROAN YANG DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS

(DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KITAB

UNDANG-UNDANGHUKUM PERDATA)

TESIS

Oleh

VERONICA TAMPUBOLON

087011127/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN HUKUM

PERSEROAN YANG DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS

(DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

VERONICA TAMPUBOLON

087011127/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Ekonomi global menuntut kepastian hukum dalam pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Dengan demikian, diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), dalam penjelasan umumnya menjawab tantangan global diatas oleh karena UUPT mengakomodir kepastian hukum melalui pengaturan mengenai salah satu bentuk badan usaha ”Perseroan Terbatas”.

UUPT secara jelas mengatur bahwa peran notaris mutlak diperlukan dalam keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Secara sederhana, UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum Perseroan ada yang secara tegas wajib dimuat dalam Akta Notaris dan ada juga perbuatan hukum yang ke-akta-annya diserahkan pada pilihan para pihak. UUPT menetapkan bahwa perbuatan hukum berikut ini harus dituangkan dalam akta notaris: Akta Pendirian; perubahan Anggaran Dasar; dan perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan dan Pengambilalihan Saham. UUPT secara sengaja mensyaratkan Akta Notaris untuk pembuktian tertulis yang mempunyai sifat otentik terhadap para pihak sehingga diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang memerlukan kepastian hukum. Ketiadaan Akta Notaris dapat mempengaruhi eksistensi serta validitas dari perbuatan hukum Perseroan diatas.

Secara umum dapat dipahami bahwa Direksi adalah nahkoda bagi Perseroan, yaitu pemegang amanah yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan, yaitu Direksi wajib secara hukum melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan standar kewajiban (standard of

duty) yang paling tinggi, yaitu peraturan perundangan yang berlaku dan anggaran dasar.

Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam Akta Notaris.

Dalam hal Direksi lalai melaksanakan tanggung jawab atas pengurusan Perseroan sehingga Perseroan dirugikan, Direksi dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara jabatan Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Dewan Komisaris. Lebih dari itu, Direksi juga dapat diberikan sanksi tanggung jawab perdata oleh karena Direksi wanprestasi untuk tidak melakukan pengurusan Perseroan sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar, yang diantaranya mengatur secara tegas bahwa perbuatan hukum korporasi tertentu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Wanprestasi tersebut merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata. Mekanisme meminta pertanggungjawaban perdata dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.


(4)

ABSTRACT

Global economy requires legal certainty in business development that in accordance with good corporate governance principal. Accordingly, required national ruling product that compatible with the world economy movement. Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company (“UUPT), in its general elucidation response to the global challenge due to UUPT accommodate legal certainty through the detailed ruling of one of business vehicle ”Limited Liability Company”.

UUPT clearly stipulates that notary role is mandatorily required in the existence of the Company as legal entity. Simply, UUPT stipulates that there are corporate actions that must be made in a Notarial Deed, and there are corporate actions that the form of deed is at the options of the parties. UUPT determined that the following corporate actions must be in a notarial deed: Deed of Establishment; amendment to the Articles of Association; and corporate actions of Merger, Amalgamation, Acquisition, Dissolution and Shares Acquisition. UUPT intentionally requires Notarial Deed for written evidence that has otenticity character against the parties so that expected to fulfill the public needs of the legal certainty. Nonexistence of Notarial Deed may affect the existence as well as the validity of the said corporate actions.

Generally it is understood that Directors are the captain of the Company, which is the trustee who must act as the authorizee. Directors hold fiducia position in the management of the Company, namely Directors legaly oblige to implement the company’s management in accordance with the highest standard of duty, ie the prevailing regulations and Articles of Association. One of the Directors’ obligation and responsibility in obeying the regulation is attentiveness and complying to the formal requirement of certain corporate actions that must be made in Notarial Deed.

In the event the Directors fail to implement their responsibility for the Company’s management until the Company is loss, Directors may be imposed an administrative sanctioned by temporarily discharged from the Directors position by General Meeting of Shareholders or Board of Commissioners. More than that, Directors may also be imposed civil responsibility sanction for Directors have commit a breach for not managing the Company in accordance with UUPT and Articles of Association, which clearly stipulates that certain corporate actions must be made in a Notarial Deed. The breach is ”Act That Breaks The Law” (commonly interpret as ”tort”) as mentioned by Article 1365 of Civil Code. The mechanism to enforce civil sanctioned can be implemented by submitting a civil claim with the indemnity claim based on Article 1365 of Civil Code.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia

yang tercurah sehingga tesis “Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan yang

dimuat dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)” dapat

diselesaikan dengan baik. Judul tersebut diatas sengaja dipilih karena penulis tertarik untuk mendalami tentang Perseroan Terbatas, terutama mengenai perbuatan hukum dalam lingkup Perseroan Terbatas. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan tulus ikhlas kepada:

1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI, selaku Ketua Komisi Pembimbing. Ditengah aktivitas yang padat, beliau berkenan membimbing, mengarahkan penulis dengan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa, serta meminjamkan banyak buku/literatur yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis dan tesis ini;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing,


(6)

masukan dan dorongan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini;

3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, CD, selaku Anggota Komisi Pembimbing,

yang telah membantu dan memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan demi perbaikan tesis ini;

4. Prof. Dr. Moh. Yamin Lubis, SH, CN, M.Hum dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar,

SH, CN, M.Hum, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan sekaligus juga selaku dosen penguji tesis ini, yang telah mengajar dan mengarahkan sejak awal pendidikan hingga selesainya tesis ini;

5. Bapak-bapak dan ibu-ibu para pengajar serta staf pada Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bantuan selama saya menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara; dan

6. Seluruh teman-teman mahasiswa, khususnya Kelas Reguler Grup A, yang tidak

bisa saya sebutkan satu per satu, atas kebersamaan dan suka duka selama menempuh pendidikan di Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan juga kepada suami terkasih, Okto Mardohartua Siburian, yang telah mendampingi penulis dengan penuh perhatian, pengertian, dorongan dan kasih sayang selama mengikuti pendidikan hingga akhirnya bisa menyelesaikan tesis ini. Akhirnya, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada orang tua; (Alm) Mulatua Tampubolon dan Rosmaida Hutapea, serta RD Siburian dan EM Aritonang; yang dengan segala


(7)

dukungan moril dan do’a turut membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.

Harapan penulis adalah tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama :Veronica Tampubolon

Tempat/Tanggal Lahir :Jakarta, 2 Oktober 1974

Status :Menikah

Agama :Kristen Protestan

Alamat :Jalan Sei Mencirim No. 49, Medan Baru,

Medan

II. Pendidikan

1. SD Negeri 03 Kebon Baru, Jakarta Selatan

2. SMP Negeri 3, Manggarai, Jakarta Selatan

3. SMA Negeri 8, Bukit Duri, Jakarta Selatan

4. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (S-1)

5. Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR/BAGAN ... xi

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 30

C. Tujuan Penelitian ... 30

D. Manfaat Penelitian ... 31

E. Keaslian Penelitian ... 31 F. Kerangka Teori dan Konsep ...

1. Kerangka Teori ... 2. Kerangka Konsep ...

36 36 41 G. Metode Penelitian ...

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 2. Sumber Bahan Hukum ... 3. Teknik Pengumpulan Data ... 4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...

46 46 48 49 50


(10)

BAB II: PERBUATAN HUKUM PERSEROAN YANG WAJIB DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS ...

51 A. Hakikat Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum ...

1. Ketentuan dan Tata Cara Pendirian Perseroan Terbatas .. 2. Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Sebagai Badan

Hukum ... 3. Organ Perseroan Terbatas ... 4. Prinsip-prinsip Hukum Perseroan Terbatas ...

51 55

64 68

75 B. Jenis Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Memenuhi

Persyaratan Formal untuk Dimuat dalam Akta Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas ... 80 1. Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam

Akta Notaris...

81 2. Perbuatan Hukum Perseroan yang Tidak Wajib Dimuat

dalam Akta Notaris ... 88 BAB III: SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS

PEMENUHAN PERSYARATAN FORMAL UNTUK MEMUAT PERBUATAN HUKUM TERTENTU DALAM

AKTA NOTARIS ... 89 A. Peran dan Kedudukan Direksi Pada Perseroan Terbatas ...

1. Kepengurusan Perseroan oleh Direksi ... 2. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi

Perseroan Pada Umumnya ………...

3. Perwakilan Perseroan oleh Direksi dan Penerapan Prinsip Fiduciary Duty oleh Direksi Berdasarkan UUPT Terkait dengan Kewajiban Memenuhi Persyaratan Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam Akta Notaris ...

89 91

96


(11)

B. Pertanggungjawaban Direksi atas Pemenuhan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam

Akta Notaris ... 113

1. Tanggung Jawab Perdata (Civil Liability) Direksi Sehubungan dengan Pemenuhan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam Akta Notaris ... 119

2. Tanggung Jawab Pidana (Criminal Liability) Direksi Sehubungan dengan Persyaratan Formal untuk Memuat Perbuatan Hukum Tertentu dalam Akta Notaris ... 126

BAB IV: FUNGSIONAL AKTA NOTARIS DALAM PERSEROAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS, UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ... 130

A. Notaris dan Akta-Aktanya ... 1. Tugas dan Wewenang Notaris ... 2. Otentisitas Akta Notaris, Minuta, In Originali, Salinan, Kutipan dan Grosse Akta ... 130 135 140 B. Pengaturan dan Pembuktian Akta Notaris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ... 150

C. Pertanggungjawaban Notaris atas Cacat atau Kebatalan Akta yang Memuat Perbuatan Hukum Perseroan ... 160

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 168

A. Kesimpulan ... 168

B. Saran ... 170


(12)

DAFTAR GAMBAR/BAGAN

No Judul Halaman

A. Permohonan Pendirian Perseroan……….………..… 59

B. Pengesahan, Pendaftaran dan Pengumuman Pendirian Perseroan…. 64

C. Perbuatan Hukum Perseroan dalam Kaitannya dengan Akta

Notaris……….... 81


(13)

ABSTRAK

Ekonomi global menuntut kepastian hukum dalam pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Dengan demikian, diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), dalam penjelasan umumnya menjawab tantangan global diatas oleh karena UUPT mengakomodir kepastian hukum melalui pengaturan mengenai salah satu bentuk badan usaha ”Perseroan Terbatas”.

UUPT secara jelas mengatur bahwa peran notaris mutlak diperlukan dalam keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Secara sederhana, UUPT mengatur bahwa perbuatan hukum Perseroan ada yang secara tegas wajib dimuat dalam Akta Notaris dan ada juga perbuatan hukum yang ke-akta-annya diserahkan pada pilihan para pihak. UUPT menetapkan bahwa perbuatan hukum berikut ini harus dituangkan dalam akta notaris: Akta Pendirian; perubahan Anggaran Dasar; dan perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan dan Pengambilalihan Saham. UUPT secara sengaja mensyaratkan Akta Notaris untuk pembuktian tertulis yang mempunyai sifat otentik terhadap para pihak sehingga diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang memerlukan kepastian hukum. Ketiadaan Akta Notaris dapat mempengaruhi eksistensi serta validitas dari perbuatan hukum Perseroan diatas.

Secara umum dapat dipahami bahwa Direksi adalah nahkoda bagi Perseroan, yaitu pemegang amanah yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan, yaitu Direksi wajib secara hukum melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan standar kewajiban (standard of

duty) yang paling tinggi, yaitu peraturan perundangan yang berlaku dan anggaran dasar.

Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam Akta Notaris.

Dalam hal Direksi lalai melaksanakan tanggung jawab atas pengurusan Perseroan sehingga Perseroan dirugikan, Direksi dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara jabatan Direksi oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Dewan Komisaris. Lebih dari itu, Direksi juga dapat diberikan sanksi tanggung jawab perdata oleh karena Direksi wanprestasi untuk tidak melakukan pengurusan Perseroan sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar, yang diantaranya mengatur secara tegas bahwa perbuatan hukum korporasi tertentu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Wanprestasi tersebut merupakan “Perbuatan Melawan Hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata. Mekanisme meminta pertanggungjawaban perdata dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.


(14)

ABSTRACT

Global economy requires legal certainty in business development that in accordance with good corporate governance principal. Accordingly, required national ruling product that compatible with the world economy movement. Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company (“UUPT), in its general elucidation response to the global challenge due to UUPT accommodate legal certainty through the detailed ruling of one of business vehicle ”Limited Liability Company”.

UUPT clearly stipulates that notary role is mandatorily required in the existence of the Company as legal entity. Simply, UUPT stipulates that there are corporate actions that must be made in a Notarial Deed, and there are corporate actions that the form of deed is at the options of the parties. UUPT determined that the following corporate actions must be in a notarial deed: Deed of Establishment; amendment to the Articles of Association; and corporate actions of Merger, Amalgamation, Acquisition, Dissolution and Shares Acquisition. UUPT intentionally requires Notarial Deed for written evidence that has otenticity character against the parties so that expected to fulfill the public needs of the legal certainty. Nonexistence of Notarial Deed may affect the existence as well as the validity of the said corporate actions.

Generally it is understood that Directors are the captain of the Company, which is the trustee who must act as the authorizee. Directors hold fiducia position in the management of the Company, namely Directors legaly oblige to implement the company’s management in accordance with the highest standard of duty, ie the prevailing regulations and Articles of Association. One of the Directors’ obligation and responsibility in obeying the regulation is attentiveness and complying to the formal requirement of certain corporate actions that must be made in Notarial Deed.

In the event the Directors fail to implement their responsibility for the Company’s management until the Company is loss, Directors may be imposed an administrative sanctioned by temporarily discharged from the Directors position by General Meeting of Shareholders or Board of Commissioners. More than that, Directors may also be imposed civil responsibility sanction for Directors have commit a breach for not managing the Company in accordance with UUPT and Articles of Association, which clearly stipulates that certain corporate actions must be made in a Notarial Deed. The breach is ”Act That Breaks The Law” (commonly interpret as ”tort”) as mentioned by Article 1365 of Civil Code. The mechanism to enforce civil sanctioned can be implemented by submitting a civil claim with the indemnity claim based on Article 1365 of Civil Code.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi dunia serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang dengan begitu pesat, sehingga globalisasi telah menjadi fenomena yang akrab dengan aktivitas ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Era globalisasi yang telah melanda dunia mengandung kompleksitas akan faktor-faktor kompetitif yang mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Terlebih lagi, pada bulan September 2009 lalu, Indonesia telah resmi menjadi bagian dari Grup 20 (selanjutnya disebut ”G-20”), yaitu kelompok non-formal negara-negara industri yang mendominasi perekonomian internasional. Sebagai anggota G-20 yang nantinya memiliki hak suara, Indonesia menjadi lebih mampu menyuarakan kepentingan nasional dan regional Asia Tenggara, misalnya terkait dengan masalah investasi. Elevasi peran G-20 ini menjadikan Indonesia akan selalu berada dalam ”radar” pelaku ekonomi global dan keadaan itu membuat keberadaan Indonesia diakui dunia231. Terkait dengan pengakuan dunia atas eksistensi Indonesia, jika Indonesia sebagai bagian dari dunia ingin mampu bersaing dengan negara-negara lain, maka perekonomian Indonesia perlu didukung oleh kepastian hukum yang dapat memberikan daya saing hukum atau kelebihan hukum. Pengaruh dari perkembangan

231 Kompas. Indonesia dan G-20. 29 September 2009. Diunduh dari website


(16)

ekonomi global tersebut lebih tampak dari sisi produk hukum, yaitu meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang

baik (good corporate governance, selanjutnya disebut ”GCG”)232. Dengan demikian,

diperlukan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan ekonomi dunia. Dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan International Monetary Fund (IMF) lebih menggiatkan perkenalan dan pelaksanaan prinsip GCG sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat. Konsep ini pada mulanya diharapkan dapat melindungi kepentingan pemegang saham dan kreditur agar dapat kembali memperoleh investasinya. Pelaksanaan GCG dilakukan dengan cara meningkatkan pengawasan Dewan Komisaris, dengan bantuan Komite Audit (audit committee), terhadap kegiatan anggota Direksi. Tujuannya adalah agar Perseroan dapat berusaha dengan efektif dan profesional. Penerapan konsep GCG di Indonesia diharapkan dapat meningkatan profesionalisme para pengurus Perseroan serta meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, tanpa mengabaikan kepentingan pihak lain yang terkait dengan perusahaan itu sendiri (stakeholders).

Pasca pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade

Organisation (WTO)233, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1995 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 7 Maret 1995, yang juga mencabut

232 Penjelasan Umum, Paragrap 2, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (selanjutnya disebut ”UUPT”)

233 Pendirian WTO ditetapkan dalam Final Act Embodying The Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, tanggal 15 April 1994, dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994, Indonesia telah meratifikasi perjanjian pembentukan WTO


(17)

dualisme peraturan perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut

”KUHD”). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan ekonomi serta dunia usaha yang semakin pesat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga diganti dengan undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berlaku efektif pada tanggal 16 Agustus 2007 (selanjutnya disebut ”UUPT”).

Sebelum berlakunya UUPT, roda perekonomian Indonesia ditopang oleh beberapa bentuk badan usaha, seperti koperasi, persekutuan komanditer

(commanditaire vennootschap - CV), firma, usaha dagang (UD) dan bentuk

persekutan perdata lainnya; namun Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut

”Perseroan”), sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional,

merupakan pranata hukum utama yang paling banyak dipakai sebagai wahana untuk melakukan kegiatan bisnis dan ekonomi. Hal ini karena Perseroan dianggap lebih dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.

1. Perseroan Terbatas

Perseroan sebagai salah satu bentuk organisasi usaha merupakan pilihan yang paling tepat bagi setiap pelaku atau aktor ekonomi dalam menghadapi persaingan

global, mengingat Perseroan sebagai badan hukum234 telah menggariskan secara tegas

pemisahan harta kekayaan pribadi pemilik modal (pemegang saham) dengan

234


(18)

kekayaan Perseroan. Kelahiran Perseroan sebagai badan hukum (legal entity) karena dicipta atau diwujudkan melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Itu sebabnya, untuk dapat diakui keberadaannya sebagai badan hukum, Perseroan harus memenuhi formalitas dari suatu peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Tahapan proses pendirian Perseroan sebagai badan hukum, termasuk perizinan dasar yang diperlukan suatu Perseroan dapat dijelaskan secara mendetil dibawah ini. Tahap pertama, pendiri Perseroan, yang minimal terdiri dari 2 (dua) orang235, menentukan ruang lingkup Perseroan dan hal-hal lain yang akan dimuat dalam akta pendirian Perseroan, yang sekaligus juga merupakan Anggaran Dasar dari Perseroan tersebut. Para pendiri akan berkonsultasi dengan Notaris mengenai isi akta tersebut. Hal ini karena pendirian Perseroan harus dibuat dengan akta otentik dan dilakukan oleh Notaris yang berwenang di wilayah Republik Indonesia. Tahap kedua, Notaris akan melakukan pengecekan nama Perseroan236. Pengecekan dilakukan untuk mengetahui apakah nama Perseroan yang dipilih sudah dimiliki perusahaan lain atau belum. Jika belum, nama tersebut langsung bisa didaftarkan oleh Notaris melalui Sistem Administrasi Badan Hukum atau disingkat SABH, yang dahulu bernama sistem administrasi badan hukum atau disingkat SISMINBAKUM. Sebaliknya, jika nama Perseroan sudah dimiliki, maka para pendiri harus mengganti dengan nama yang lain. Proses pendaftaran dilakukan oleh Notaris untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

235 Pasal 7 ayat (1) UUPT 236


(19)

Republik Indonesia (”Menteri Hukum dan HAM”) sesuai dengan UUPT juncto Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. Tahap ketiga, pembuatan draft/notulen Anggaran Dasar. Draf/notulen Anggaran Dasar dibuat berdasarkan informasi yang diberikan oleh para pendiri didalam formulir pendirian Perseroan dan Surat Kuasa. Tahap keempat, pembuatan akta pendirian Perseroan oleh Notaris yang berwenang. Proses pembuatan akta pendirian dilakukan setelah nama Perseroan disetujui. Akta pendirian akan dibuat dan ditandatangani oleh Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia sesuai dengan

UUPT237. Tahap kelima, permohonan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Bagi

Perseroan yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat TDP sebagai bukti bahwa perusahaan telah melakukan Wajib Daftar Perusahaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998, dan aturan pelaksana yang diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/MPP/Kep/1/1998 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Wajib Daftar Perusahaan238 serta Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan. Tahap terakhir, pengumuman dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia. Setelah Perseroan melakukan wajib daftar perusahaan dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, maka

237

Pasal 7 ayat (1) UUPT

238 Perseroan wajib mendaftarkan perusahaan yang terdiri atas: (a) Akta Pendirian sesuai

dengan pengesahan Menteri Hukum dan HAM, (b) Akta perubahan anggaran dasar beserta surat persetujuan Menteri Hukum dan HAM, (c) Akta perubahan anggaran dasar beserta pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM.


(20)

akta pendirian harus diumumkan dalam Berita Negara/Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (”BNRI”) dan perusahaan yang telah diumumkan dalam BNRI telah sempurna proses pendiriannya.

Dengan status Perseroan sebagai badan hukum, yaitu sejak tanggal diterbitkannya keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemilik atau pemegang saham, dan pengurus atau Direksi dan Komisaris, terpisah dari Perseroan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa Perseroan mempunyai personalitas atau kepribadian berbeda dari orang-orang yang menciptakannya. Maksudnya, meskipun bila para pengurus atau Direksi terus berganti, Perseroan tetap memiliki identitas sendiri terlepas dari adanya pergantian anggota Direksi atau pemegang sahamnya. Perseroan, sebagai badan hukum yang berwujud artificial, diciptakan negara melalui serangkaian proses hukum untuk proses kelahirannya, yaitu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, kepada Perseroan yang bersangkutan tidak diberikan keputusan pengesahan untuk berstatus sebagai badan hukum oleh Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM239. Meskipun Perseroan adalah badan hukum artificial, namun Perseroan tidak fiktif. Sebaliknya, Perseroan nyata-nyata ada serta melakukan kegiatan bisnis atau kegiatan usaha ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Perseroan tidak hanya sebagai badan

239 M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. Juni 2009. Hlm.


(21)

hukum melainkan juga sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban seperti layaknya subyek hukum lain, yaitu manusia.

Sebagaimana layaknya manusia, Perseroan juga memiliki organ yang terdiri

atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris240.

RUPS adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau Anggaran Dasar241. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS lainnya242 yang sering juga disebut dengan RUPS Luar Biasa. RUPS tahunan wajib dilaksanakan tiap tahun yaitu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku, sedangkan RUPS lainnya dapat diadakan dalah hal-hal tertentu dengan kepentingan tertentu243. Selanjutnya, penjabaran dari definisi tersebut diatas diatur dalam Pasal 75 UUPT:

(1) RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

(2) Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.

(3) RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat.

(4) Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat.”

240 Pasal 1 angka 2 UUPT 241 Pasal 1 angka 4 UUPT 242 Pasal 78 ayat (1) UUPT 243


(22)

Direksi merupakan dewan direktur (board of directors) yang dapat terdiri atas satu atau beberapa orang direktur244. Sekaligus juga, Direksi adalah organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan

sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar245. Dewan Komisaris adalah organ

Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta

memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan246. Dewan

Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota harus bertindak secara kolegalial atau majelis dan tidak dapat bertindak sendiri-sendiri247. Dalam hal atau keadaan tertentu Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan, dan

bagi Komisaris berlaku semua hak, wewenang dan kewajiban Direksi248.

Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa UUPT tetap mempertahankan pola organ Perseroan yang diatur terdahulu pada KUHD, yaitu Pasal 44 (Direksi atau Pengurus), Pasal 52 (Dewan Komisaris) dan Pasal 55 (RUPS). Pola organ Perseroan yang diatur dalam KUHD tersebut diatas dilanjutkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang ditegaskan pada Pasal 1 angka 2 yang mengatur bahwa organ Perseroan terdiri dari RUPS, Direksi dan Komisaris. Ketentuan tentang organ Perseroan berlanjut terus pada UUPT.

244

Pasal 92 ayat (3) UUPT

245 Pasal 1 angka 5 UUPT 246 Pasal 1 angka 6 UUPT 247 Pasal 108 ayat (4) UUPT 248


(23)

2. Kewenangan dan Pertanggungjawaban Direksi dalam Kaitannya dengan Teori Fiduciary Duty

Meskipun RUPS memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, namun sangat nyata terlihat bahwa untuk alasan praktis maka RUPS mengangkat249 satu atau beberapa orang menjadi anggota Direksi250 untuk menyelenggarakan kegiatan usaha sehari-hari dari Perseroan tersebut. Tidak sembarangan orang bisa duduk di jajaran Direksi. Agar bisa diangkat ke jajaran elite Perseroan, tentu ada banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang. UUPT menegaskan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah seseorang yang cakap melakukan perbuatan hukum251. Selain itu, UUPT mensyaratkan bahwa dalam lima tahun terakhir, calon Direksi tidak sedang dinyatakan pailit252, menjadi

anggota Perseroan yang dinyatakan pailit253 atau dihukum karena merugikan

keuangan negara254. Instansi teknis pun dapat menentukan syarat tambahan bagi jabatan Direksi berdasarkan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku255. Jelaslah bahwa menjadi Direksi pada suatu Perseroan tidak mudah.

Hal ini penting mengingat Direksi menjadi nahkoda bagi perusahaan, orang yang akan membawa kapal perusahaan ke arah yang dituju. Dalam keadaan normal, Direksi perlu mengambil kebijakan agar kinerja perusahaan terus membaik. Dalam keadaan krisis seperti sekarang, nahkoda harus bisa membuat upaya penyelamatan;

249 Pasal 94 ayat (1) UUPT. 250 Pasal 92 ayat (3) UUPT. 251

Pasal 93 ayat (1) UUPT.

252 Pasal 93 ayat (1) huruf a UUPT. 253 Pasal 93 ayat (1) huruf b UUPT. 254 Pasal 93 ayat (1) huruf c UUPT. 255


(24)

paling tidak mempertahankan perusahaan dari terpaan krisis. Upaya-upaya tersebut dituangkan dalam bentuk kebijakan Direksi. Direksi adalah organ Perseroan yang langsung bertanggung jawab penuh atas kepengurusan kegiatan sehari-hari ataupun rutin dari Perseroan. Pasal 1 angka 5 UUPT mengatur bahwa Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.

Pengertian pelaksanaan pengurusan oleh Direksi meliputi pengelolaan dan memimpin tugas sehari-hari yakni membimbing dan membina kegiatan atau aktivitas Perseroan kearah pencapaian maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar256. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 92 ayat (1) dan (2) UUPT yang mengatur bahwa penugasan Direksi adalah untuk mengurus Perseroan sehari-hari dengan “kebijakan yang dipandang tepat“, yaitu kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis. UUPT dan formulir Anggaran Dasar standar perusahaan secara implisit memberi hak kepada Direksi untuk:

(a) menetapkan kebijakan dalam memimpin pengurusan perusahaan;

(b) mengatur ketentuan-ketentuan tentang kepegawaian perusahaan, termasuk

penetapan gaji, pensiun atau jaminan hari tua dan penghasilan lain untuk

256


(25)

para pegawai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan RUPS;

(c) mengangkat dan memberhentikan pegawai berdasarkan peraturan

kepegawaian perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(d) mengatur penyerahan kekuasaan Direksi untuk mewakili perusahaan

didalam dan diluar Pengadilan kepada seorang atau beberapa orang anggota Direksi yang khusus ditunjuk untuk itu atau kepada seorang atau beberapa orang pegawai baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau kepada orang lain; dan

(e) menjalankan tindakan-tindakan lainnya, baik mengenai pengurusan

maupun mengenai pemilikan kekayan perusahaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan yang ditetapkan oleh RUPS berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disisi lain, undang-undang yang sama juga memberikan kewajiban kepada Direksi untuk:

(a) membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan

risalah rapat Direksi257;

(b) membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan258;

257


(26)

(c) memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan

sebagaimana dimaksud diatas dan dokumen Perseroan lainnya259;

(d) menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan yang ditetapkan oleh RUPS berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dilihat bahwa fungsi penugasan Direksi adalah untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari Perseroan. Dengan perkataan lain, Direksi melaksanakan pengelolaan atau menangani bisnis Perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan dalam batas-batas kekuasaan atau kapasitas yang diberikan undang-undang dan Anggaran Dasar. Selain mempunyai kedudukan dan kewenangan mengurus Perseroan, Direksi juga diberi wewenang untuk mewakili Perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Perseroan260. Kewenangan mewakili itu adalah Direksi dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama

(for and on behalf) Perseroan. Perlu ditegaskan bahwa perbuatan hukum tersebut

bukan atas nama Direksi, tetapi dalam kapasitas Direksi mewakili (representative) Perseroan. Para anggota Direksi dan Dewan Komisaris, sebagai salah satu organ vital dalam badan hukum berbentuk Perseroan, merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Direksi

258 Pasal 100 ayat (1) huruf b UUPT 259 Pasal 100 ayat (1) huruf c UUPT 260


(27)

memiliki posisi fiducia dalam pengurusan Perseroan dan mekanisme hubungannya harus secara fair261.

Sehubungan dengan teori fiduciary duty, Black’s Law Dictionary262

mengartikannya sebagai a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty

toward another person and in the best interest of the other person (such as the duty that one partner owes to another). Teori tersebut diartikan bahwa fiduciary duty

adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peranan sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian

(scrupulous), itikad baik (good faith) dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini

termasuk hubungan seperti pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan

261

Bismar Nasution. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006. Hlm. 16.

262 Bryan A Garner. Black

’s Law Dictionary. Eight Edition, St. Paull-Minn, West Publishing


(28)

pelindung (guardian). Termasuk juga didalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya263.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, Munir Fuady menuliskan bahwa:

Doktrin fiduciary duty yang merupakan salah satu areal terpenting (ring satu) dalam hukum Perseroan, berasal dan mempunyai akar-akarnya dalam hukum Romawi, tetapi banyak dikembangkan oleh sistem hukum Anglo Saxon, ini menyelusup ke dalam berbagai bidang

hukum, termasuk ke dalam hukum perusahaan dengan

mengintrodusirnya sebagai tugas fiduciary dari direksi. Dalam prakteknya teori fiduciary duty ini berkembang secara unik terhadap direksi dalam hubungan amanah (hubungan fiduciary) dengan perseroan bahkan sampai batas-batas tertentu dalam hubungan dari direksi perseroan dengan pemegang saham dan para pekerja dalam perusahaan. Disamping itu, ternyata aplikasi teori fiduciary duty ini terhadap direksi perseroan juga akan berdampingan dengan berbagai teori atau hubungan hukum yang lain yang juga secara historis berlaku terhadap direksi, seperti hubungan keagenan. Atau berhadapan dengan tugas direksi yang lain yang berkenaan dengan tugas kepedulian (duty

of care) yang juga dituntut dari seorang direksi264.”

Berdasarkan landasan teori fiduciary duty tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang mempunyai fiduciary duty manakala ia mempunyai kapasitas

fiducia. Seseorang mempunyai kapasitas fiducia jika ia bertindak sebagai pemegang

kuasa atau amanah, dan pihak yang memberikan kuasa atau amanah tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Fiduciary duty juga merupakan tugas yang wajib dijalankan dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (Perseroan). Direksi, sebagai penerima kepercayaan serta amanah dari pemegang saham untuk menjalankan tugasnya dalam

263 Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary. Hlm. 625

264 Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. Hlm. 31.


(29)

mengelola Perseroan, wajib melaksanakan fiduciary duty tersebut berdasarkan standar dari kewajiban yang paling tinggi (standard of duties), yaitu265:

(a) duty of care atau standard of care merupakan suatu standar yang

mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk tetap memperhatikan segala risiko, bahaya dan perangkap yang ada dan berupaya untuk meminimalisasi munculnya risiko-risiko tersebut. Sehingga dalam bertindak seorang Direksi harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan ketelitian, supaya dapat menghindari segala kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan;

(b) duty of loyalty merupakan sikap setia yang harus ditunjukan Direksi dalam

perusahaan yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional. Direksi harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi dan misi serta Anggaran Dasar. Direksi harus selalu berpihak pada kepentingan Perseroan yang dipimpinnya sekaligus juga bertindak untuk kepentingan pemegang saham dan stakeholders;

(c) duty of skill yaitu Direksi harus mempunyai keahlian dan pengetahuan

untuk mengelola Perseroan; dan

(d) duty to act lawfully dimana Direksi berkewajiban untuk memimpin

Perseroan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku, terutama UUPT, hukum perdata, hukum perburuhan/ketenagakerjaan, hukum pajak

265 Ridwan Khairandy. Perseroan Terbatas. Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi. Yogyakarta: Kreasi Total Medaia. 2009. Hlm. 210-212.


(30)

dan lain sebagainya. Apabila Direksi mengetahui perbuatan yang akan dilakukannya bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku, maka pengurus Perseroan tersebut sudah seharusnya tidak melakukannya. Doktrin atau teori fiduciary duty diatas juga diatur dalam UUPT, yaitu Pasal 97 ayat (1) yang mengatur bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Lebih lanjut, Pasal 98 ayat (1) UUPT menentukan bahwa Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan Pasal 97 ayat (2) UUPT menetapkan bahwa pengurusan Perseroan wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, yaitu dengan memperhatikan Perseroan secara seksama dan tekun.

Perbuatan hukum Perseroan yang dilakukan oleh Direksi menuntut Direksi untuk mempertanggungjawabkannya (akuntabilitas). Tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari pemberian fiducia tersebut. Menghindari penyalahgunaan kepercayaan (trust), menjadikan profesionalitas dan etika bisnis dijunjung tinggi, sekaligus juga menciptakan lingkungan usaha yang sehat. Kelalaian terhadap pengurusan Perseroan yang menyebabkan perusahaan merugi atau pailit, dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar kerugian tersebut dari kekayaan pribadinya266. Kekayaan pribadi Direksi dapat disita dan dilelang untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Sebaliknya, apabila Direksi telah menjalankan fiduciary duty dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, namun Perseroan tetap merugi, maka kerugian tersebut dapat dipertanggungjawabkan

266


(31)

sebagai resiko usaha yang harus ditanggung oleh Perseroan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila Direksi dapat membuktikan:

(a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

(b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

(c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

(d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

Khusus terhadap butir (d) diatas, UUPT menerangkan lebih lanjut bahwa

yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain

melalui forum rapat Direksi267. Jelas terlihat bahwa UUPT telah mempunyai standar

yang jelas untuk menentukan apakah Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada teori fiduciary duty. Pelanggaran terhadap prinsip duty of care, duty of loyalty, duty of skill dan duty to act

lawfully dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk

dimintai pertanggungjawaban hukum secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.

267


(32)

Selain itu, UUPT juga mengakui bahwa walaupun biasanya dalam praktik posisi Direksi sangat ditentukan oleh RUPS, namun dalam kegiatan bisnis praktis Direksi tak melulu harus menjadi penanggung jawab tunggal atas suatu kebijakan atau tindakan korporasi Perseroan. Hal ini karena dalam melakukan kegiatan usaha atau bisnis, Direksi dituntut untuk dapat mengambil keputusan dalam waktu cepat dan tepat mengingat kondisi bisnis cenderung dapat berubah dengan cepat. Hal ini menyebabkan Direksi acapkali juga harus dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan yang menurutnya cermat. Namun dilain pihak, apabila dalam menjalankan tugasnya Direksi selalu dibayangi ketakutan akan dituntut secara pribadi seandainya Perseroan yang ia pimpin merugi akibat keputusan yang salah, atau harus meminta persetujuan RUPS atau Dewan Komisaris atas setiap tindakan korporasi Perseroan sehingga Perseroan berjalan lambat dan kehilangan peluang usaha (proyek) oleh pesaingnya, maka Direksi juga dapat dipersalahkan karena tidak dapat meningkatkan nilai ekonomis perusahaan. Apabila Direksi pada saat mengambil keputusan telah melakukannya dengan pertimbangan matang, maka mengingat suasana bisnis yang penuh ketidakpastian, seandainya keputusan tersebut salah, seharusnya Direksi tidak dituntut secara pribadi. Sebab Perseroan juga harus ikut menanggung kerugian tersebut.

3. Pelaksanaan Fiduciary Duty dengan Cara Memenuhi Persyaratan Formal atas Perbuatan Hukum Perseroan yang Wajib Dimuat dalam Akta

Dalam konteks pertanggungjawaban perbuatan hukum Direksi, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari Direksi yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar


(33)

dalam mengelola Perseroan, termasuk menentukan standar perilaku untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan kekuasaan atau kewenangan yang diberikan undang-undang dan Anggaran Dasar. Salah satu dari kewajiban dan tanggung jawab Direksi adalah wajib patuh mentaati peraturan perundang-undangan (statutory duty), yaitu Direksi wajib patuh dan taat

(obedience) terhadap hukum dalam arti luas dan terhadap peraturan perundangan

serta Anggaran Dasar dalam arti sempit268. Ketaatan mematuhi peraturan

perundang-undangan dalam rangka mengurus Perseroan wajib dilakukan dengan itikad baik. Jika Direksi mengetahui bahwa tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau tidak hati-hati atau sembrono (carelessly) dalam melaksanakan kewajiban mengurus Perseroan, yang mengakibatkan pengurusan itu melanggar peraturan perundang-undangan, maka tindakan pengurusan itu melawan hukum

(unlawfull).

Pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Direksi dalam mentaati peraturan perundang-undangan adalah dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam akta. Menurut Prof. R. Subekti, yang dimaksud dengan “akta” adalah tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani269. Akta dapat berupa Akta Notaris270 atau dokumen dibawah tangan. Dari muatan

268 M. Yahya Harahap. Op.Cit. Hlm. 375

269 Subekti. Hukum Pembuktian, Cetakan 15. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2005. Hlm. 25 270 Pasal 1 angka 7 UUJN mengatur bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh


(34)

ketentuan UUPT, sangat jelas terlihat bahwa peran Notaris mutlak diperlukan sebagai rantai keberadaan Perseroan sebagai badan hukum. Kelalaian Direksi dalam memenuhi persyaratan formal diatas dapat menyebabkan perbuatan hukum Perseroan tersebut menjadi cacat demi hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga. UUPT mensyaratkan bahwa untuk pendirian dan perubahan Anggaran Dasar harus dibuat dengan Akta Notaris, sehingga cacatnya akta pendirian Perseroan dapat menjadi alasan bagi pihak yang berkepentingan untuk meminta pembubaran Perseroan melalui pengadilan negeri271.

Selain perbuatan hukum diatas, UUPT juga mengatur bahwa transaksi-transaksi dibawah ini juga wajib dimuat dalam suatu Akta Notaris:

(a) akta Penggabungan272; (b) akta Peleburan273; (c) akta Pengambilalihan274; (d) akta Pemisahan275; dan

271 UUPT telah menempatkan peranan penting notaris dalam Perseroan sebagaimana termuat

dalam beberapa pasal di UUPT, diantaranya Pasal 7 ayat (1) UUPT juncto Pasal 21 ayat (4) UUPT juncto Pasal 146 ayat (1) huruf b UUPT

272

Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 9 UUPT, yang menjelaskan bahwa Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum

273 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 10 UUPT, yang menjelaskan bahwa Peleburan

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum

274 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 11 UUPT, yang menjelaskan bahwa

Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut


(35)

(e) akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham276

Tentunya, jika ada peraturan yang mensyaratkan bahwa perbuatan hukum Perseroan tertentu wajib dimuat dalam Akta Notaris sebagaimana diatur dalam UUPT, maka ada juga perbuatan hukum Perseroan lainnya yang cukup dibuat dalam dokumen dibawah tangan. Perbuatan hukum tersebut seyogyanya merupakan perjanjian diantara para pihak, baik antar pemegang saham atau dengan pihak ketiga. Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (selanjutnya disebut ”KUHPerdata”). Menurut Pasal 1313 KUHPerdata,

perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata “perjanjian” adalah terjemahan dari overeenkomst yang merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis)277.

Buku III KUHPerdata, dimulai dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, mengatur mengenai 15 (lima belas) jenis perjanjian khusus, yang kesemuanya merupakan perjanjian bernama278. Sebagai contoh dari perjanjian-perjanjian yang

275 Pasal 128 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 12 UUPT, yang menjelaskan bahwa Pemisahan

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih

276 Pasal 128 ayat (2) UUPT

277 Tan Kamello. Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi PerbankanMelalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah. Disampaikan pada Rapat Terbuka Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum, Fakultas Hukum USU, 2 September 2006. Hlm. 4

278 Oky Deviany Burhamzah. Hukum Perikatan. Bentuk-bentuk Perjanjian Khusus Yang Ada Dalam Buku III KUH Perdata. Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. 2009. Hlm. 5


(36)

tidak wajib dibuat dalam Akta Notaris, maka akan dipaparkan perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu:

(a) Jual Beli (Koop en Verkoop)279. Perjanjian jual beli mengatur mengenai

rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak penjual dan pihak pembeli mengenai pihak yang satu menyerahkan barang, sedangkan pihak yang lain membayar harga yang dijanjikan.

(b) Tukar Menukar (Van Ruilling)280. Perjanjian ini berisi persetujuan dimana kedua belah pihak telah setuju untuk saling memberikan barang secara timbal balik. Saling memberikan barang sebagai ganti dari barang yang lain.

(c) Sewa Menyewa (Huur en Venhuur)281. Perjanjian dimana pihak yang satu

mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang lain. Dalam hal ini, pemilik barang hanya menyerahkan pemakaian atau pemungutan hasil dari barang yang disewakan.

(d) Perjanjian Kerja (Arbeids-Overeenkomst)282. Perjanjian dimana pihak yang satu menyatakan sanggup bekerja bagi pihak lainnya, dengan menerima upah dan dengan waktu tertentu. Jadi, hubungan kerja yang

279 Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata 280 Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata 281 Pasal 1547 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata 282


(37)

dimaksud adalah berdasarkan asas bahwa pekerjaan untuk majikan dapat dibayar dengan upah.

(e) Persekutuan Perdata (Maatschap)283. Persekutuan perdata adalah

perjanjian antara dua orang atau lebih yang berjanji untuk memasukan sesuatu kedalam Perseroan dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari Perseroan itu dibagi diantara mereka.

(f) Perkumpulan (Zedelijk Lichaam)284. Perjanjian dari para pihak dengan titik berat perkumpulan adalah tujuan sosial atau tujuan dilapangan lain daripada keuntungan semata.

(g) Hibah (Schenking)285. Perjanjian dimana seorang penghibah menyerahkan

suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.

(h) Penitipan Barang286. Perjanjian dimana seorang menitipkan barang kepada

orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.

(i) Pinjam Pakai (Bruiklening)287. Perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai secara cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu, setelah

283

Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUHPerdata

284 Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUHPerdata 285 Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata 286 Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUHPerdata 287


(38)

memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.

(j) Pinjam Pakai mengenai Uang dan sebagainya (Verbruiklening)288. Pinjam

pakai habis adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua, dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan dalam keadaan yang sama.

(k) Bunga Abadi (Altijd-Durende Rente)289. Perjanjian bunga abadi adalah suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali.

(l) Perjanjian Untung-Untungan (Kans-Overeenkomsten)290. Perjanjian yang hasilnya, yaitu mengenai untung rugi, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.

(m)Pemberian Kuasa (Lastgeving)291. Perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

288 Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata 289 Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata 290 Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUHPerdata 291


(39)

(n) Penanggungan Utang oleh Seseorang (Borgtocht)292. Perjanjian dimana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.

(o) Perjanjian Perdamaian (Dading)293. Perjanjian yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkaran.

Perjanjian-perjanjian tersebut diatas merupakan perjanjian konsensual, sebab perjanjian-perjanjian tersebut tidak memerlukan suatu cara yang tertentu melainkan bisa juga dengan pemufakatan secara lisan saja. Dengan lain perkataan, perjanjian konsensual dapat dituangkan dalam Akta Notaris atau dokumen dibawah tangan.

Dalam konsideran, batang tubuh, penjelasan umum ataupun penjelasan pasal demi pasal dari UUPT, tidak ditemukan definisi atau rumusan tentang Notaris atau Akta Notaris. Disamping itu, alasan hukum penempatan keharusan Akta Notaris dalam perbuatan hukum tersebut diatas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada para pihak yang membuat perjanjian itu ataupun pihak ketiga (masyarakat) melalui elemen kepastian hukum yang diberikan oleh Akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Hal ini disebabkan Akta Notaris mengandung nilai kepastian dalam hubungan hukum antara para pihak yang meletakan hak dan

292 Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata 293


(40)

kewajiban secara timbal balik. Bahkan, undang-undang telah memberikan nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat kepada Akta Notaris, yang artinya apabila suatu pihak mengajukan Akta Notaris maka hakim harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang dituangkan di dalam Akta Notaris itu sungguh-sungguh adalah benar sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lain294.

Manfaat perlunya Akta Notaris itu adalah kehendak masyarakat akan pentingnya alat bukti tertulis yang mempunyai kedudukan istimewa dalam bidang hukum perusahaan dan hukum perdata khususnya berkaitan dengan beban pembuktian dalam sengketa atau perkara perdata. Dalam sistim civil law, Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta-akta yang mempunyai nilai pembuktian yang spesifik atau kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ciri esensial dalam membuat akta, yaitu sifat mandiri dari Notaris yang tidak berpihak dalam arti

memperhatikan semua pihak yang terlibat dalam transaksi hukum295. Tentunya

diharapkan bahwa hal ini dapat mencegah terjadinya perkara.

Berdasarkan penjelasan diatas, jelas bahwa arah pembaruan hukum nasional sebagaimana digambarkan dalam UUPT masih menempatkan peran Notaris dalam tata hukum Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dari pasal suatu undang-undang yang menentukan untuk perbuatan hukum tertentu harus dituangkan dalam bentuk formal atau dalam bentuk otentik. Keharusan dengan akta otentik merupakan sifat hukum

294 Pasal 1870 KUHPerdata 295


(41)

imperatif dalam arti berfungsi sebagai formalitas kausa, maksudnya tindakan hukum itu baru sah jika dibuat dengan akta otentik dan berfungsi sebagai probationis kausa artinya tindakan hukum itu tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti lain selain dengan akta otentik.

Pengaturan secara spesifik mengenai rumusan Notaris atau Akta Notaris terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang

berlaku pada tanggal 6 Oktober 2004 (selanjutnya disebut ”UUJN”). UUJN

diterbitkan untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang dibutuhkan atas alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. UUJN mendefinisikan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya296. Hal ini karena Notaris menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Selain itu, UUJN juga telah memperkirakan bahwa peran Notaris dalam proses pembangunan akan semakin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.

Selanjutnya, Pasal 1 angka 7 UUJN mengatur bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Tugas utama Notaris yang ditentukan oleh

UUJN adalah untuk membuat akta otentik297, sehingga Notaris mempunyai otentisitas

296 Pasal 1 angka 1 UUJN 297


(42)

dari akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya. Stempel otentisitas atau daya pembuktian otentik hanya dapat tercipta jika syarat-syarat formal atau bentuk yang ditentukan dalam UUJN dipenuhi dan otentisitas tersebut tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Keterkaitan syarat formal dan otentisitas Akta Notaris dapat disimpulkan dari asas hukum yang terkandung dalam Pasal 84 UUJN yang berbunyi:

”Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”

Maksud dari ketentuan diatas sebenarnya untuk menunjukkan bahwa jika Notaris tidak memenuhi syarat-syarat formal suatu akta sehingga terdapat cacat terhadap akta yang dibuatnya, maka akta tersebut:

(a) batal demi hukum;

(b) dapat dibatalkan oleh pengadilan; atau

(c) Akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai dokumen

dibawah tangan, atau dengan perkataan lain tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai akta otentik.

Menurut Mudofir Hadi298, memang keputusan vernietigbaar (dapat

dibatalkan) memerlukan putusan hakim karena tanpa adanya permintaan pembatalan

298 Mudofir Hadi. Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim. Varia Peradilan 72.


(43)

dari pihak yang dibenarkan mengajukan oleh undang-undang, akta termaksud (perbuatan hukum tersebut) berlaku terus dan baru batal sejak putusan hakim. Adapun van rechtswege nietig (batal demi hukum) tanpa perlu putusan hakim sudah batal demi hukum atau barulah diperlukan suatu putusan hakim bila kebatalan itu disengketakan. Terhadap Akta Notaris yang dinyatakan oleh pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, terjadi jika Akta Notaris tersebut tidak mengandung kesalahan, yang salah adalah isi aktanya. Selanjutnya, Mudofir Hadi juga menjelaskan bahwa bisa otentisitas Akta Notaris tidak batal, tetapi isi atau perbuatan hukumnya yang batal. Hal ini terjadi apabila akta tersebut tidak mengandung cacat yuridis dan yang membatalkannya hanya perbuatan hukum/peristiwa hukum yang disebutkan dalam akta tersebut. Dalam hal suatu perbuatan hukum oleh undang-undang tidak diharuskan dituangkan dalam suatu akta otentik, dan jika akta tersebut kehilangan otentisitasnya karena tidak dipenuhi syarat formal yang dimaksud dalam UUJN, maka akta tersebut tetap berfungsi sebagai dokumen dibawah tangan bila akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Sepanjang berubahnya status akta otentik menjadi dokumen dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, Notaris yang bersangkutan tidak dapat dituntut untuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.

Dengan demikian, dalam hal Direksi telah patuh dan taat (obedience) terhadap peraturan perundang-undangan (statutory duty) serta Anggaran Dasar, khususnya memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib dimuat dalam ”Akta Notaris”, sedangkan Notaris lalai untuk memenuhi syarat-syarat formal atas akta yang dibuatnya, sehingga kelalaian itu menimbulkan


(44)

kerugian bagi Perseroan dan/atau pihak ketiga, maka Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan hukum Perseroan yang dimuat dalam Akta Notaris yang cacat tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. jenis perbuatan hukum Perseroan apa saja yang wajib dimuat dalam Akta Notaris berdasarkan UUPT?

2. bagaimana pertanggungjawaban Direksi atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib memenuhi persyaratan formal untuk dimuat dalam Akta Notaris?

3. bagaimana kedudukan fungsional Akta Notaris dalam Perseroan ditinjau dari UUPT dan KUHPerdata?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, selain untuk memenuhi persyaratan dalam rangka penyelesaian studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), juga mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk:

1. mengetahui dasar hukum atas perbuatan hukum Perseroan yang wajib

dimuat dalam Akta Notaris berdasarkan UUPT;

2. mengetahui pertanggungjawaban Direksi atas perbuatan hukum Perseroan


(45)

3. mengetahui pertanggungjawaban Notaris atas cacat atau dibatalkannya Akta Notaris oleh pengadilan menurut UUPT, UUJN, KUHPerdata dan Yurisprudensi Indonesia berkaitan dengan fungsional akta-akta dalam Perseroan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran serta bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum perusahaan di Indonesia, khususnya mengenai pertanggungjawaban Direksi atas perbuatan hukum Perseroan; 2. secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

kepada Notaris, Kementrian Hukum dan HAM dan pihak lain yang terkait dengan UUPT sehingga dapat diciptakan persepsi yang sama dalam penerapan UUPT, khususnya mengenai pemenuhan persyaratan formal

”akta” atas perbuatan hukum Perseroan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna untuk menyusun atau menyempurnakan suatu peraturan hukum mengenai Perseroan Terbatas.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan dan Tata Usaha Magister Kenotariatan USU, belum ada penelitian yang

dilakukan dengan mengangkat judul ”Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum


(46)

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)”.

Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini yang pernah dibahas sebelumnya adalah:

1. Tesis dengan judul ”Kajian Hukum Atas Peran dan Tanggung Jawab

Direksi Dalam Pembelian Kembali Saham Pada Perseroan Terbatas”.

Tesis yang ditulis oleh Lenny Mutiara Ambarita pada tahun 2009 ini berlatar belakang krisis finansial yang membuat indeks bursa merosot drastis sehingga Pemerintah menganjurkan perusahaan-perusahaan untuk melakukan pembelian kembali saham (buy back) guna mengatasi krisis tersebut. Kajian yang diteliti dalam tesis ini adalah tentang (i) peran dan kedudukan Direksi dalam jual beli saham pada perseroan terbatas, (ii) tanggung jawab Direksi dalam melakukan pembelian kembali saham pada perseroan terbatas, dan (iii) keabsahan pembelian kembali saham yang dilakukan tanpa melalui RUPS. Kajian tesis ini berlandaskan prinsip

fiduciary duty dan ultra vires, serta pembelaan diri Direksi berdasarkan

prinsip business judgement rule.

2. Tesis dengan judul ”Penerapan Business Judgement Rule Dalam

Pertanggungjawaban Direksi Bank yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas”. Tesis yang ditulis oleh Rudi Dogar Harahap ini meneliti tentang bank yang sangat ketat dalam menyalurkan kredit akhir-akhir ini sehingga tidak kondusif untuk mendorong perekonomian Indonesia.


(47)

Salah satu penyebab keadaan itu adalah terjadinya ketakutan di kalangan bankir, khususnya bankir bank-bank milik Pemerintah, didalam menjalankan tugasnya. Padahal bisnis bank sangat rentan terhada resiko. Untuk mengatasi hal ini di perlukan suatu payung hukum yang dapat memberikan kelegaan kepada para bankir terutama yang menduduki posisi Direksi, diantaranya UUPT memberikan perlindungan hukum kepada para Direksi karena telah mengakomodasi prinsip business judgement rule. Permasalahan yang diangkat dalam tesis diatas adalah (i) bagaimana pengelolaan bank dikaitkan dengan manajemen resiko, (ii) bagaimana batasan penerapan business judgement rule dalam pengelolaan Perseroan Terbatas oleh Direksi, serta (iii) bagaimana penerapan prinsip-prinsip

business judgement rule dalam pertanggung jawaban Direktur bank.

3. Tesis dengan judul ”Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan

Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham”. Tesis yang

ditulis oleh Guntur Graha Gideon Sitepu pada tahun 2009 ini meneliti tentang kewajiban Direksi untuk melakukan pengurusan Perseroan, termasuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), baik RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS Tahunan, Direksi dianggap telah melalaikan

fiduciary duty nya terhadap Perseroan. Sedangkan RUPS Luar Biasa

dianggap tidak wajib diselenggarakan Direksi jika ia menilai dan menaksir bahwa rapat tersebut berdampak buruk bagi Perseroan. Permasalahan yang


(48)

diangkat pada tesis ini terkait dengan apakah menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan bagian dari fiduciary duty Direksi dan dapatkah Direksi menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa berdasarkan prinsip

business judgement rule.

4. Tesis dengan judul ”Tanggung Jawab Direktur Terhadap Pemegang

Saham Minoritas Dalam Pengelolaan Perseroan”. Tesis ini ditulis oleh Boni F. Sianipar ini meneliti tentang peran strategis Direktur dalam perseroan terbatas karena Direksi sebagai organ yang menggerakkan roda organisasi perseroan terbatas, sehingga dapat disebut juga Direksi merupakan organ kepercayaan dari perseroan terbatas. Selain organ kepercayaan, Direksi juga dituntut dapat mengembangkan kemampuannya untuk menghasilkan keuntungan atau laba (profit) bagi perseroan terbatas. Direksi pada prinsipnya, diberi beban menjalankan fiduciary duty terhadap perseroan terbatas, sehingga Direksi memiliki tanggung jawab terhadap pemegang saham, akan tetapi Direksi juga dalam menjalankan fungsinya secara umum harus memperhatikan kepentingan stakeholders. Dengan demikian Direksi memiliki tanggungjawab baik terhadap pemegang saham mayoritas maupun terhadap pemegang saham minoritas sehingga kepentingan pemegang saham minoritas mendapat perlindungan. Disamping itu juga Direksi mempunyai kewajiban untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap masyarakat ataupun pihak ketiga, atas setiap kegiatan Perseroan. Jikalau Direksi lalai melaksanakan tugasnya,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

B. Buku-Buku:

Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. 2000. Boen, Hendra Setiawan. Bianglala Business Judgement Rule. Jakarta: PT Tata Nusa.

April 2008.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1999.

Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.

Fatahna, Muchlis dan Purwanto, Joko. Notaris Bicara Soal Kenegaraan. Jakarta: Wampone Press. 2003.

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Citra Aditya. 2005.

______________. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik (Buku Ketiga). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2002.

______________. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya

Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002.

Hadi, Mudofir. Pembatalan Isi Akta Notaris dengan Putusan Hakim. Varia Peradilan 72. September 1991.

Hadhikusuma, Sutantya R dan Sumantoro. Pengertian Pokok Hukum Perusahaan:

Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 1995.

Hamilton, Robert W. Corporation Including Partnership and Limited Partnership.

Cases and Materials. Fifth Edition. West Publising Company. 1994.

Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. Juni 2009. Hartono, Sri Redjeki. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Mandar Maju.


(2)

Kansil, C.S.T, Kansil, Christine S.T. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum

dalam Ekonomi) Bagian 1. Cetakan ke-7. Jakarta: Pradnya Paramita. 2005.

Khairandy, Ridwan. Perseroan Terbatas. Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan

dan Yurisprudensi. Yogyakarta: Kreasi Total Medaia. 2009.

Khairandy, Ridwan dan Malik, Camelia. Good Corporate Governance:

Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Total Media. 2007.

Kohar, A. Notaris Berkomunikasi. Bandung: Alumni. 1984.

Lipton, Philip dan Herzberg, Abraham. Understanding Company Law. The Law Book Company Limited. 1992.

Lumban Tobing, GHS. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga. 1983.

Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1992.

______________. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1999.

Nasir, Muhamad. Hukum Acara Perdata, Cetakan 2. Jakarta: Djambatan. 2005. Ningrat, Koentjara. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1997. Pettet, Ben. Company Law. Pearson Education Limited. 2001.

Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. Jakarta. Sumur Bandung. 1976.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000.

Rusli, Hardijan. Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996.


(3)

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. 1990.

Subekti. Hukum Pembuktian, Cetakan 15. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2005.

______________. Peran dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: PDHUI. 1979.

Tedjosaputro, Liliana. Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana. Semarang: CV Agung. 1991.

Waluyo, Bambang. Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 1992.

______________. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 1991. Widjaja, Gunawan. Seri Pemahaman Perseroan Terbatas: 150 Pertanyaan tentang

Perseroan Terbatas. Jakarta: Forum Sahabat. 2008.

______________. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Jakarta: Forum Sahabat. 2008.

______________. Seri Hukum Bisnis: Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan

Perseroan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.

Widyadharma, Ignatius Ridwan. Etika Profesi Hukum dan Keperanannya. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2001.

Wilamarta, Misahardi. Doktrin-doktrin Fiduciary Duties dan Business Judgement

Rule dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas. Depok: Center for Deucation


(4)

C. Makalah/Jurnal/Surat Kabar:

Ais, Chatamarrasjid. Kewajiban Direksi Perseroan Berdasarkan Duty of Skill and

Care, dalam Bab-Bab Tentang Hukum Korporasi. Jakarta: Universitas

Tarumanegara. 2003.

Burhamzah, Oky Deviany. Hukum Perikatan. Bentuk-bentuk Perjanjian Khusus yang

Ada dalam Buku III KUHPerdata. Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.

2009.

Everhardus, Pieter. Kedudukan Fungsional Akta Notaris dalam Perseroan Terbatas. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 1999.

Fachrudin, Irfan. Kedudukan Notaris dan Akta-Aktanya dalam Sengketa Tata Usaha

Negara. Varia Peradilan Nomor 111. 1994.

Kamello, Tan. Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan

Antara Bank dengan Nasabah. Disampaikan pada Rapat Terbuka Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum, Fakultas Hukum USU, 2 September 2006.

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Draft Standar Akta Perseroan Terbatas.

Koesmargono, RMJ dan Dja’is, Mochamad. Hukum Acara Perdata: Membaca dan

Mengerti HIR. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1998.

Latumeten, Pieter. Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta

Model Aktanya. Disampaikan pada Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia.

Surabaya: 28 Januari 2009.

Nasution, Bismar. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006.

______________. UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis:

Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule. Disampaikan

pada Seminar Bisnis 46 Tahun FE USU: “Pengaruh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas Eknomi USU, 24 November 2007.


(5)

Pramono, Nindyo. Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan Volume 5 Nomor 3. Desember 2007.

Prasodjo, Ratnawati W. Perbandingan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dengan

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Makalah

disampaikan pada Workshop Implikasi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Peranan Notaris. Depok. 12 Maret 2006. ______________. Organisasi Perusahaan. Makalah disampaikan pada Pendidikan

Khusus Profesi Advokat Angkatan 6. Jakarta. 31 Juli 2008.

Sirait, Ningrum N. Pengantar Hukum Perusahaan. Disampaikan dalam kuliah di Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum USU. 2009.

Syahrin, Alvi. Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi dalam Pencemaran dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum. 2005.

Tumbuan, Fred B.G. Tanggung Jawab Direksi Sehubungan dengan Kepailitan

Perseroan Terbatas. Disampaikan pada sebuah diskusi di Jakarta. Juli 1992.

D. Internet:

Jakarta, PAB-Online. Akta Pendirian PT Wibawa Murni Abadi Dasar Kasus Asabri

Palsu. Selasa, 21 Juli 2008 (16:47 Wib). Diunduh dari website

http://web.pab-indonesia. com/content/view/16146/9/. Diakses tanggal 2 Januari 2010.

Jakarta, Antara Online. Akta Pendirian PT. Wibawa Murni Abadi Dasar Kasus

Asabri Palsu. 22 Juli 2008 (16:25 Wib). Diunduh dari website http://www.

antaranews. com/print/1216718740. Diakses tanggal 2 Januari 2010.

Kompas. Indonesia dan G-20. 29 September 2009. http://cetak.kompas.com. Diakses tanggal 6 Oktober 2009.

Singapore Academy of Law. Case Law PT Hutan Domas Raya v Yue Xiu Enterprises

(Holdings) Limited and Another [2001] 2 SLR 49; [2001] SGCA 4. Diunduh

dari website http://www.singaporelaw.sg/rss/judg/11511.html. Diakses tanggal 22 Juni 2010.

Waspada Online. Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana. 29 Oktober 2007. http: www. waspada.co. id. Diakses tanggal 6 November 2009.


(6)

E. Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.

F. Kamus:

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 6th Edition. St. Paull-Minn, West Publishing Co. 1980.

Garner, Bryan A. Law Dictionary. 8th Edition, St. Paull-Minn, West Publishing Co. 2000.

G. Putusan Pengadilan:

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 16 November 2001 Nomor 3248.K/Pdt/2000.