Latar Belakang Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih Di Danau Toba Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga Studi Kasus : Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir

10 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Danau Toba memiliki luas lebih kurang 369.854 Ha, terdiri dari 190. 3124 Ha daratan di Pulau Sumatera keliling luar danau, 69.280 ha daratan Pulau Samosir di tengah danau dan 110.260 ha berupa perairan Danau Toba luas permukaan. Secara geografis, Ekosistem Kawasan Danau Toba EKDT terletak di antara koordinat 2º10’LU–3º0’LU dan 98º20”BT–99º50”BT. EKDT terdapat di Pegunungan Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Utara. Menurut wilayah administrasi pemerintahan, EKDT meliputi tujuh Kabupaten yaitu: 1 Kabupaten Tapanuli Utara, 2 Kabupaten Humbang Hasundutan, 3 Kabupaten Toba, 4 Kabupaten Samosir, 5 Kabupaten Simalungun, 6 Kabupaten Karo, dan 7 Kabupaten Dairi. ITB, 2001 dalam Siregar, A.Z., 2008. Menurut Siregar, H.D., 2007, Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir. Danau Toba sebagai salah satu danau alami terbesar di Indonesia memiliki potensi alam yang cukup besar untuk meningkatkan perekonomian daerah. Disamping sebagai salah satu andalan objek pariwisata di Sumatera Utara, juga berfungsi sebagai prasarana transportasi air yang menghubungkan beberapa kota yang terletak di pinggiran Danau Toba dengan Pulau Samosir. Selain itu fungsi yang tak kalah penting adalah sebagai sumber air masyarakat serta 11 pembangkit listrik tenaga air untuk mensuplai kebutuhan energi listrik Industri Alumunium Asahan. Danau Toba merupakan fungsi sumberdaya air yang mempunyai nilai sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitar, sebagai tempat penangkapan ikan dan budidaya ikan dalam keramba jaring apung, kegiatan transportasi air, menunjang berbagai jenis industri seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-Gura dan Asahan. Tak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara dan sangat potensial untuk pengembangan pariwisata di Provinsi Sumatera Utara. Fitra E., 2008 Danau Toba dilihat dari asal proses terbentuknya merupakan danau volcano- tektonik yang menurut Van Bemmelen 1949, dikatakan terbentuknya akibat proses tanah terban yang terjadi karena bagian kedalamannya yang berupa magma naik ke permukaan melalui celah tektonik membentuk gunung api. Ruang yang ditinggalkan oleh magma membentuk rongga di dalam kerak bumi dan kemudian beban di permukaannya mengalami terban dan terpotong menjadi beberapa bagian. Bagian yang cukup besar berada pada bagian tengah dengan posisi miring ke arah barat berupa pulau Samosir, dan bagian lain yang posisinya lebih rendah selanjutnya tergenang air permukaan membentuk danau. Erupsi magma di bagian barat yang muncul ke permukaan membentuk gunung api Pusuk Bukit 1981 m sedangkan di sekeliling bagian yang terban terbentuk dinding terjal atau caldera rim. Luas keseluruhan danau termasuk pulau Samosir adalah 1.810 kilometer 12 persegi, dengan luas danau lebih dari 1.100 kilometer. Bapedalda Sumut, 2000 dalam Fitra E., 2008. Pada beberapa tempat, lahan DTA Danau Toba dimanfaatkan penduduk setempat sebagai lahan usaha tani, walaupun produktifitasnya relatif rendah, tetapi produksi pertanian ini turut memegang peranan dalam menunjang kelestarian lingkungan DTA Danau Toba. Demikian pula dengan adanya keterkaitan hulu-hilir, maka keberadaan Danau Toba terutama dalam pemanfaatan ruangnya memegang peranan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan Daerah Aliran Sungai DAS Asahan bagian hilir. Dari fungsi DTA Danau Toba tersebut di atas, yang paling menonjol saat ini adalah pemanfaatan potensi alam sebagai objek wisata yang sangat tergantung pada kelestarian alamnya, serta tenaga massa air outlet Danau Toba untuk PLTA yang sangat tergantung kepada debit air dan fluktuasinya. Ilyas, D.S., 1998. Di perairan Danau Toba ini tempo dulu masih dijumpai ikan asli yaitu ikan batak dan pora-pora. Tetapi saat ini sudah jarang bahkan mungkin sudah hilang dan tidak jelas apa penyebabnya. Pada tahun 1996 usaha perikanan di perairan Danau Toba mulai berkembang dalam bentuk Keramba Jaring Apung KJA dan hingga saat ini mencapai luas ± 440 ha. Walaupun luas perairan yang digarap baru mencapai 0,4 dari ambang luas dan yang diizinkan sebesar 1 dari luas perairan Danau Toba. LP Universitas Sumatera Utara, 1999 dalam Sianturi, T., 2004. Banyak masalah yang timbul, seperti penyebaran lokasi KJA tersebut berada di dalam kawasan daerah wisata. Sebagai contoh terdapat di daerah turis Tomok 13 yang walaupun dalam jumlah yang sedikit, para wisatawan terutama dari mancanegara sudah terusik dan enggang mandi di perairan tersebut. Demikian juga di kota Haranggaol, sepanjang pantainya penuh dengan KJA sehingga mengganggu sekaligus sebagai kota tujuan wisata potensial di Kabupaten Simalungun dan banyak lagi daerahkota lain di sekitar Danau Toa dan Pulau Samosir. Dengan demikian sudah terjadi konflik penggunaanpemanfaatan perairan Danau Toba antara para petani KJA dengan pariwisata. Demikian juga dengan transportasi perairan perhubungan dapat terganggu apabila penempatan KJA yang sembarangan. Sianturi, T., 2004. Daerah Tangkapan Air DTA Danau Toba mempunyai peranan penting dalam menunjang pembangunan wilayah Propinsi Sumatera Utara. Hal ini ditunjukkan dengan Danau Toba sebagai pusat industri Pariwisata, debit air outlet Danau Toba sebagai sumber tenaga massa air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA Tangga, PLTA Sigura-gura dan PLTA Asahan, serta sebagai penunjang industri pulp PT Inti Indorayon Utama. Di samping itu, DTA Danau Toba memiliki hutan lindung sebagai penyangga sistem kehidupan dan simpanan plasma nutfah. Perairan Danau Toba dimanfaatkan sebagai media pengembangan perikanan dan sarana transportasi air. Ilyas, D.S., 1998. Pada 3 Januari 2003, ikan bilih yang asli danau Singkarak tersebut diintroduksikan di Danau Toba oleh Tim Peneliti Dr. Achmad S Sarnita dan Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja, MSc. dari Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. Ikan yang ditebarkan sebanyak 3.400 ekor tersebut telah berhasil berkembang dengan pesat. Pertumbuhan ikan bilih di danau Toba ini bahkan 14 dinilai lebih tinggi dibandingkan di habitat aslinya. Tidak hanya itu, ikan bilih di danau Toba telah tumbuh menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat di sekitar danau Toba sehingga ikan ini sering disebut sebagai ”ikan anugerah”. Wibowo, S. 2009. Ikan bilih Mystacoleucus pandangensis Blkr. merupakan ikan khas Danau Singkarak. Ikan pemakan plankton sepanjang 6-12 sentimeter ini hasil dari evolusi selama berjuta-juta tahun di lingkungan danau itu. Ikatan antara ikan ini dengan danaunya sangat erat bahkan sampai belum bisa dibudidayakan di kolam buatan. Anonimous, 2010. Mempertimbangkan perkembangan ikan bilih yang cepat dan kondisi lingkungan Danau toba yang sangat sesuai bagi perkembangannya, maka pada tahun selanjutnya hasil tangkapan ikan bilih akan mendominasi total hasil tangkapan ikan di danau ini. Pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih yang dicatat oleh enumerator di beberapa tempat pendaratan ikan menunjukkan hasil tangkapan sebesar 653,6 ton atau 14,6 dari total hasil tangkapan ikan sebesar 4.462 ton. Sedangkan total potensi produksi ikan yang ditaksir berdasarkan produktivitas primer perairannya berkisar antara 2.519-7.309 tontahun. Hasil tangkapan ikan bilih tersebut berada pada urutan ketiga setelah tangkapan ikan mujair dan nila. Dengan rata-rata harga jual ikan bilih sebesar Rp 6.000, diperkirakan nilai hasil tangkapan pada tahun 2005 tersebut mencapai 3.9 milyar rupiah. Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008. 15 Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan dan pedagang ikan pada bulan April 2008 diperoleh informasi bahwa aktivitas penangkapan ikan bilih mulai tinggi pada tahun 2007. Pada saat itu, pedagang pengumpul yang datang dari Kota Pekanbaru, Riau mulai berdatangan dan bersedia menampung ikan hasil tangkapan nelayan di beberapa sentra produksi seperti di Tigaraja, Parapat, Tongging, Bakara di Porsea, Balige dan daerah lainnya. Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008. Di pasar Tigaraja setiap hari didaratkan antara 1,5-2 ton ikan bilih yang dijual ke pedagang pengumpul untuk kemudian diangkut dalam bentuk segar menggunakan kotak plastik kapasitas 50-60 kg ke Pekanbaru. Rata-rata harga ikan bilih yang dibeli pedagang pengumpul dari nelayan paling tinggi yaitu Rp 4.000,- jika dibandingkan dengan tempat pendaratan lainnya. Prakiraan pendapatan kotor nelayan di sekitar Parapat ini antara 200-300 ribu rupiah per hari atau sekitar 6-6.9 juta rupiah per bulan. Tingkat pendapatan yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat pendapatan nelayan pada umumnya yang hanya kurang dari 800 ribu rupiah per bulan. Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008. Seiring pesatnya perkembangan dan pertumbuhan ikan bilih di Danau Toba yang bahkan dinilai lebih tinggi dibandingkan di habitat aslinya, saat ini juga ikan bilih Danau Toba telah tumbuh menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat di sekitar sehingga sering disebut sebagai ”ikan anugerah”. Hal ini membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh tentang Analisis Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan Bilih di Danau Toba dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Keluarga di Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. 16

1.2. Identifikasi Masalah