BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Gizi merupakan penentu kualitas
sumber daya manusia. Kurang gizi bisa mengakibatkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, meningkatkan kesakitan dan kematian.
Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor
pencetus munculnya masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalahnya dapat berbeda antar kelompok usia.
Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok usia yang paling menderita akibat kurang gizi,
dan jumlahnya dalam populasi besar Sihadi, 2009. Kasus gizi buruk sudah banyak menyerang anak balita di seluruh penjuru
dunia. Status gizi balita yang buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Kekurangan gizi yang menahun inilah yang memengaruhi
kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk pada anak balita dapat berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ Intelligence Quotient. Setiap anak bergizi
buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10-15 point Dinkes Propinsi Sumut, 2006. Bank Dunia dalam dokumennya yang diterbitkan pada tahun 2006 dengan
judul:” Repositioning Nutrition as Central to Development: A strategy for Large- Scale Action,” menyatakan keprihatinannya bahwa ”Salah Gizi” Malnutrition,
Universitas Sumatera Utara
utamanya kekurangan gizi, masih merupakan masalah kesehatan dunia yang paling serius dan merupakan kontributor utama terhadap kematian anak. Masyarakat
internasional juga semakin khawatir bahwa tujuan Millenium Development Goals tidak akan tercapai apabila masalah gizi tidak diatasi. Ini semua disebabkan oleh
kenyataan bahwa masalah gizi merupakan faktor dasar underlying factor dari berbagai masalah kesehatan, terutama pada bayi dan anak-anak Achadi, 2007.
Menurut data yang dirilis lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB 2009, sedikitnya 200 juta anak di bawah usia lima tahun balita di dunia ini harus hidup
dalam kondisi gizi buruk. Hal ini membuat direktur organisasi pangan PBB, Food and Agriculture Organization FAO, meminta para pemimpin dunia untuk serius
memperhatikannya. Anak-anak yang mengalami gizi buruk itu merupakan bagian dari miliaran manusia di dunia yang kini terancam kelaparan Anonim, 2009.
Sepertiga dari jumlah anak yang mengalami gizi buruk berakhir dengan kematian. Saat ini setiap enam detik terdapat satu balita di dunia yang meninggal
karena gizi buruk dan kelaparan. Sebanyak 90 persen balita yang mengalami gizi buruk itu, sekarang berada di Afrika dan Asia. Wilayah Asia yang menghadapi
problem tersebut secara serius meliputi negara-negara Asia Selatan seperti Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, juga Afghanistan. Di wilayah itu terdapat sedikitnya 83
juta balita gizi buruk Anonim, 2009. United Nations Development Programme UNDP Report 2003, melaporkan
bahwa pada tahun 2003, Indeks Pembangunan Manusia IPM Indonesia menduduki peringkat 112 dari 174 negara di dunia. Pada tahun 2004, IPM Indonesia menempati
peringkat 111 dari 177 negara UNDP 2004. Pada tahun 2006 UNDP 2006, IPM
Universitas Sumatera Utara
Indonesia menduduki peringkat 109 dari 179 negara. Data ini menunjukkan bahwa IPM Indonesia belum mengalami peningkatan yang berarti selama selang waktu 3
tahun tersebut. Rendahnya IPM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk.
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007, menunjukkan bahwa persentase anak balita gizi buruk di Indonesia sebesar 5,4. Walaupun angka
ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 2005 8,8, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama;
jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk 1 maka termasuk masalah berat Depkes RI, 2008.
Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2008, prevalensi kasus gizi buruk di Sumut tahun 2007, sebesar 4,4 dan gizi kurang 18,8. Berdasarkan
data tersebut, kasus di Sumut masih berada di bawah angka nasional yang menetapkan maksimal kasus gizi buruk 5 dan untuk gizi kurang 20. Fenomena
gizi buruk bagai gunung es dimana banyak kasus gizi buruk yang tidak terdeteksi oleh para petugas kesehatan dan kader. Hal ini terjadi karena kurangnya partisipasi
ibu dan keluarganya untuk memanfaatkan posyandu dan puskesmas yang berada di lingkungannya sehingga seluruh bayi dan balita yang seyogianya ditimbang setiap
bulan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangannya, luput dari perhatian dan tidak terpantau pertumbuhannya.
Kota Medan merupakan salah satu kota di Sumatera Utara yang mengalami masalah peningkatan kasus gizi buruk. Pada tahun 2007, di Kota Medan terdapat 8
kasus gizi buruk pada balita sedangkan tahun 2008 ditemukan 460 0,34 kasus
Universitas Sumatera Utara
balita gizi buruk. Pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 460 kasus gizi buruk karena dilaksanakan kegiatan secara aktif untuk menjaring balita gizi buruk melalui operasi
timbang wajib yang dilaksanakan oleh seluruh puskesmas dan puskesmas pembantu sehingga balita yang selama ini tidak pernah datang ke posyandu dapat terjaring pada
saat operasi ini Profil Dinkes Kota Medan, 2009. Operasi timbang wajib ini dilaksanakan karena berita munculnya kembali
kasus gizi buruk yang diawali di propinsi NTT dan NTB yang kemudian diikuti dengan Propinsi lainnya sehingga Depkes membuat suatu kebijakan agar seluruh
balita ditimbang untuk menemukan apabila ada balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk Khafid, 2009.
Kasus gizi buruk terbanyak di Kota Medan berada di Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas yaitu sebanyak 43 kasus 0,61 . Jumlah balita yang ada
di wilayah kerja Puskesmas Amplas sebanyak 13.811 balita sedangkan balita yang ditimbang hanya 7.021 balita Profil Dinkes Kota Medan, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1. Jumlah Balita Gizi Buruk Di Kota Medan Tahun 2008
No Puskesmas
Jumlah Balita Jumlah Balita
Gizi Buruk Balita Yang Ada
Ditimbang
1 Tuntungan
2605 1564
16 2
Simalingkar 5936
2278 10
3 Medan Johor
9703 4844
26 4
Kedai Durian 4634
1771 12
5 Amplas
13811 7021
43
6 Desa Binjei
5105 1454
14 7
Tegal Sari 5288
3942 18
8 Medan Denai
3585 2101
18 9
Bromo 2713
1781 9
10 Kota Matsum
4065 2638
5 11
Sukaramai 5112
3003 28
12 M. Area Selatan
3934 1511
9 13
Teladan 3861
1769 3
14 Pasar Merah
3503 2747
8 15
Sp. Limun 4347
785 14
16 Kp. Baru
6926 4309
19 17
Polonia 4688
2953 12
18 Pd. Bulan
5166 3096
8 19
Pb. Selayang 9169
4696 10
20 Desa lalang
4079 2308
11 21
Sunggal 7307
4337 13
22 Helvetia
15072 6744
10 23
Petisah 3008
2119 1
24 darusalam
3158 1302
7 25
rantang 2165
1222 2
26 Glg. Kota
2139 1575
6 27
Pulo Brayan 2126
942 6
28 Sei Agul
4155 3612
10 29
Glugur darat 14112
7714 11
30 Sentosa Baru
10999 9647
21 31
Mandala 8098
3703 21
32 Sering
6447 2791
7 33
Mdn. Deli 14955
8903 9
34 Titi Papan
2925 2036
5 35
Mdn Labuhan 3484
1957 2
36 Pekan Labuhan
3627 1460
8 37
Martubung 6889
2585 9
38 Terjun
12902 4437
6 39
Belawan 12402
10073 13
Total 245200
133730 460
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Medan, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan survei pendahuluan dengan melakukan wawancara kepada petugas gizi di Puskesmas Amplas, ditemukan bahwa faktor pengetahuan ibu tentang
gizi buruk dan sosial ekonomi keluarga menjadi penyebab terjadinya gizi buruk. Selain itu, keadaan ini diperburuk dengan adanya penyakit penyerta seperti ISPA,
diare, dan sebagainya. Menurut Notoatmodjo 2003, masalah gizi masyarakat bukan menyangkut
aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Keadaan sosial ekonomi
merupakan aspek sosial budaya yang sangat memengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh pada pola penyakit, bahkan juga berpengaruh pada kematian, misalnya
obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi, dan sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan di kalangan yang berstatus
ekonominya rendah. Dari beberapa penelitian terdahulu yang sudah dilakukan, alasan yang
menyebabkan gizi buruk pada anak, yaitu kurangnya pengetahuan sang ibu tentang asupan gizi pada balitanya, tentang masalah ekonomi rumah tangganya dan kesibukan
sang ibu di luar rumah. Faktor tersebut sangat besar pengaruhnya pada perkembangan hidup si bayi, lebih lagi ketika seorang ibu hanya sibuk dengan urusan financial
rumah tangganya Ronie, 2009. Menurut Jeliffe yang dikutip Supariasa 2001, ada enam faktor ekologi yang
perlu dipertimbangkan sebagai penyebab malnutrisi, yaitu keadaan infeksi, sosial ekonomi, produksi pangan, konsumsi makanan, pengaruh budaya, serta pelayanan
kesehatan dan pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut United Nations Children’s Fund Unicef 1998, gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai
penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah. Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan adanya
penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Pokok
masalah adalah kemiskinan, kurang pendidikan, dan kurangnya keterampilan. Adapun penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis
ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang memengaruhi ketidak- seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya
memengaruhi status gizi balita Supariasa, 2001. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusrizal 2008, faktor sosial
ekonomi masyarakat pendidikan, jenis pekerjaan berpengaruh terhadap status gizi anak balita di wilayah Pesisir Kabupaten Bireuen dan pengetahuan merupakan
variabel dari faktor budaya masyarakat yang sangat berpengaruh dan paling dominan pengaruhnya terhadap status gizi anak balita di wilayah Pesisir Kabupaten Bireuen.
Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pengetahuan ibu dan sosial ekonomi pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, jumlah anak terhadap tindakan ibu dalam pencegahan gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Amplas Kecamatan Medan Amplas Tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah