30
Menurut Basri 1996:43 tentang lembaga peradilan menyetakan: Pembahasan mengenai pengadilan biasanya dilakukan secara preskriptif,
atau “apa yang seharusnya”. Hal itu dilakukan oleh karena peradilan sebagai institusi atau pranata hukum dan pengadilan sebagai organisasi
penyelenggaraan peradilan dipandang sebagai sesuatu yang otonom. Ia dipandang sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi, yang terdiri atas
berbagai unsur yang saling berhubungan dan saling tergantung. Namun demikian, pembahasan mengenai kekuasaan pengadilan dapat pula
dilakukan secara deskriptif atau “apa yang senyatanya”. Ia didasarkan pada fakta yang diperoleh dari pelaksanaan kekuasaan pengadilan
berhubungan dengan berbagai macam unsur di luar pengadilan yang beraneka ragam, maka pengadilan dikemukakan dengan serba
“kemungkinan”.
2.1.8. Hukum dan Peradilan di Indonesia
Hukum dan peradilan di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhono yang terus diliputi awan kelabu baik dari internal
kebinetnya hingga dampak pada masyakaratnya. Degradasi moral dalam perpolitikan memang selalu kita dengar. Apalagi ketika mendekati hari-
hari pemilu, terutama pada ajang kampanye Pilpres 2009 yang lalu, hati nurani bangsa merasa sangat terhina. Cara-cara politik yang berbau busuk
itu terpampang di hadapan mata begitu kasarnya. http:umum.kompasiana.com20090628 jangan-jadikan-politik-kotor-
sebagai-kebiasaan.
31
Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie pada orasi ilmiah di Universitas Jayabaya, menyatakan reformasi hukum
dan peradilan di Indonesia masih pincang dan terseok-seok. Lembaga penegakan hukum dan peradilan belum berubah secara mendasar
mengikuti langgam perubahan di bidang politik dan ekonomi. Pembentukan lembaga-lembaga baru, katanya, juga mengakibatkan
tumpang tindih dan belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem kenegaraan baru. Begitu pula dalam proses penegakan hukum,
aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja tradisional dan
cenderung primitif. http:erabaru.netnasional50-jakarta9850-reformasi- hukum-indonesia-pincang
Pakar hukum tata negara yang disebut-sebut masuk dalam Dewan Pertimbangan Presiden Wantimpres mengusulkan sistem peradilan
dievaluasi dan diubah secara mendasar agar proses dan produknya menjamin keadilan.
Eksaminasi istilah dalam peradilam tersebut sesungguhnya bukanlah konsep baru dalam sistem peradilan di Indonesia, karena sudah
dikenal sejak tahun 60-an sebagai ideologi pengawasan internal hakim oleh Mahkamah Agung dalam rangka untuk menciptakan pengadilan yang
bersih dan berwibawa. Program eksaminasi dalam perjalannya hilang begitu saja bersamaan dengan lahirnya orde baru dan istilah itu muncul
kembali kepermukaan ketika aktifis organisasi non pemerintah ornop
32
membentuk Majelis Eksaminasi untuk menguji putusan Peninjauan Kembali atas bebasnya Tommy Suharto. Sejak itu gagasan eksaminasi
terus bergulir yang makna ideologisnya adalah upaya untuk melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk peradilan baik yang
bersifat prosedural maupun substansial. Gagasan eksaminasi muncul sekurang-kurangnya ditandai oleh
banyaknya ketidakpercayaan masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan sebagai akibat dari penerapan hukum yang dilakukan dengan
cara-cara yang tidak bermoral. Sudah lama masyarakat mendengar tentang adanya “mafia peradilan“ yang menzalimi pencarian keadilan.
Persepsi tentang pengadilan yang berpihak kepada yang kuat bukan rahasia lagi. Asas persamaan di depan hukum yang diamanatkan oleh
pendiri Republik ini telah dijungkirbalikkan oleh pengadilan melalui putusan-putusannya yang berpihak. Banyak keputusan hakim yang
diintervensi oleh kemauan dan keinginan pemegang kekuasaan di luar pengadilan sendiri atau karena oleh tekanan ekonomi.
Dalam posisi ini, maka masyarakat yang miskin dan lemah selalu dikalahkan dan menjadi korban ketidakadilan, akibatnya tidak banyak
orang yang bersemangat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan walaupun hak-haknya telah dirugikan sekalipun. Sepertinya mereka tidak
percaya lagi bahwa pengadilan adalah simbol keadilan. Kenyataan itu tidak dapat dibiarkan terus berlangsung sampai ke titik nadir.
33
Pengadilan harus segera dikembalikan pada posisinya semula sebagai institusi yang netral, bebas, bersih dan berwibawa. Pengadilan
harus dapat menjadi ultimum remedium ialah senjata pamungkas yang berfungsi membabat semua ketidakadilan. Untuk itu maka ke depan
dibutuhkan sebuah konsep yang mendasar untuk segera membenahi dunia peradilan. Siapapun sepakat bahwa kita mendambakan hakim yang tidak
di bawah kekuasaan apapun, tidak dipengaruhi oleh kepentingan apapun, sehingga bebas memutuskan perkara sesuai dengan hati nuraninya. Situasi
pengadilan semacam ini dalam sejarah peradilan di Indonesia pernah terjadi di era tahun 60-an.
Permainan kotor selalu mewarnai penanganan perkara di pengadilan, apalagi jika perkara itu berpotensi ekonomis maka akan
direspon dengan penuh semangat. Hal itu sangat kontras dengan penanganan perkara-perkara yang kering seperti pembunuhan, pencurian
yang biasanya dilakukan dengan setengah hati. Pertimbangan- pertimbangan putusan hakim didominasi oleh alasan-alasan yang
dipaksakan semata-mata untuk memenuhi keinginan sepihak. Sering kali dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang hanya mengadopsi dari
tuntutan jaksa, pledoi pengacara atau dari kesimpulan perkara perdata, tergantung “ pesanan “. Tidak ada inisiatif hakim untuk mencari alasan-
alasan hukum sendiri apalagi mencari nilai-nilai hukum yang berkembang di masyarakat. Karena itu jauh panggang dari api menemukan putusan
hakim sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang agar hakim
34
sebagai penegak hukum dan keadilan memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itu dalam banyak kasus, maka putusan pengadilan sesungguhnya tidak lebih dari sebuah akumulasi dari proses ketidakadilan
baik dalam perkara-perkara perdata, perkara pidana serta perkara administrasi negara bahkan beberapa tahun terakhir telah merambat ke
Pengadilan Agama. Celakanya ketika putusan-putusan itu dimintakan banding atau kasasi yang diharapkan lebih mencerminkan rasa keadilan,
justru Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam putusannya banyak yang mengambil alih putusan-putusan Pengadilan tingkat pertama
begitu saja untuk dikuatkan atau ditolak tanpa alasan dan pertimbangan hukum.
2.1.9. Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia