Representasi Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan Di Indonesia”( Studi Semiotik Representasi Karikatur “ Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia “ Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 ).

(1)

dan Peradilan Di Indonesia” Dalam Harian Kompas

Edisi 21 November 2009)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pada FISIP UPN ” Veteran ” Jawa Timur

Oleh:

Reyna Satya Nugraha

0643010139

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

Kompas Edisi 21 November 2009)

Nama : Reyna Satya Nugraha

NPM : 0643010139

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti ujian Skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama

Juwito, S.Sos, MSi NPT. 367049500361

Mengetahui DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NPT. 030 175 349


(3)

Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 )

Oleh :

Reyna Satya Nugraha 0643010139

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji

Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada tanggal 21 Mei 2010 Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji :

1. Ketua

Juwito, S. Sos, MSi Juwito, S.Sos, MSi

NPT. 3 6704 95 0036 1 NPT. 3 6704 95 0036 1 2. Sekretaris

Dra. Herlina Suksmawati, MSi

NIP. 19641225 1993092 00 1

3. Anggota

Zaenal Abidin, S. Sos, MSi

NPT. 3 7305 99 0170 1

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 030 175 349


(4)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “REPRESENTASI KARIKATUR “KARUT MARUT HUKUM DAN PERADILAN DI INDONESIA“ (Studi Semiotik Representasi Karikatur “Karut Marut Hukum Dan Peradilan Di Indonesia“ Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009)"

Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar- besarnya kepada :

1. Kedua orang tua, terima kasih untuk semua dukungan dan doa yang sudah diberikan.

2. Kakak lelaki beserta istri dan si kecil Syfa yang rela pindah ke Surabaya untuk memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

3. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

4. Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur, sekaligus Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu pada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur, terima kasih buat semua ilmunya.


(5)

v doanya :

1. Buat sahabat- sahabat yang selalu memberikan semangat dan dukungannya, Ucrith, Sheila , Oki, Terima kasih teman.

2. Kakak – kakak angkatan 2004 yang selalu mendukung dalam pengerjaan Skripsi ini, Bom – bom, Nanda Kincum, Icank Gendut, makasih buat pinjeman skripsinya.

3. Buat Ex. Team BCA, koko Yohanes, Yetno, Bang Adounz, Yayan, Mbak Ninda, Ditha, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan. Only With BCA.

4. Dan teman – teman yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini. Terima kasih atas semua dukungan dan support yang telah diberikan kepada saya. Pokoknya I love u all.

Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi penelitan ini. Maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Terima Kasih.

Surabaya, Mei 2010


(6)

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

UJIAN SKRIPSI... ii

KATA PENGANTAR ……….. iv

DAFTAR ISI ………. vi

DAFTAR GAMBAR ……….... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

ABSTRAKSI... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 10

1.3. Tujuan Penelitian... 10

1.4. Manfaat Penelitian... 10

1.4.1. Kegunaan Teoritis... 10

1.4.2. Kegunaan Praktis... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 12

2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa. 12 2.1.2. Media dan Kontruksi Realitas... 16

2.1.3. Representasi... 18

2.1.4. Karikatur... 20

2.1.4.1 Pengertian Karikatur... 20

2.1.4.2 Karikatur Sebagai Karya Komunikasi Kritik Sosial... 21

2.1.5. Teori Charles Sanders Peirce ... 23

2.1.6. Hukum... 27


(7)

2.2. Kerangka Berpikir... 37

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian………... 39

3.2. Kerangka Konseptual……….………..…… 39

3.2.1. Corpus……… 39

3.2.2. Unit Analisis………... 40

3.2.2.1. Ikon (ikon)………..……40

3.2.2.2. Indeks (index)………. 41

3.2.2.3. Simbol (symbol)………. 41

3.3. Teknik Pengumpulan Data………... 41

3.4. Teknik Analisis Data………. 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian………... 44

4.1.1 Gambaran Umum Harian Kompas... 44

4.1.2 Sejarah Kompas...45

4.2 Penyajian Data...47

4.3 Analisis Data... 48

4.3.1. Klasifikasi Tanda...50

4.4 Gambar Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 ……….. ……52

4.5 Ikon, Indeks, Simbol………....54


(8)

viii

2009…………... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...80

5.2 Saran...81

DAFTAR PUSTAKA………... 83


(9)

Halaman Lampiran I Gambar Karikatur Karut Marut Hukum dan Peradilan

Di Indonesia ... 85

 


(10)

Di Indonesia”( Studi Semiotik Representasi Karikatur “ Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia “ Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 )

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi karut marut hukum dan peradilan di Indonesia dalam Harian Kompas edisi 21 November 2009.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika Charles Sanders Peirce. Dalam semiotik Peirce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga kategori yaitu : ikon, indeks, dan symbol.

Tekhnis Analisis Data dalam penelitian ini analisis semiotika pada corpus penelitian pada karikatur “ Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia “ setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk diketahui maknanya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interpretasi secara umum kegiatan mencuci dalam hal ini adalah membersihkan pemerintahan khususnya di bidang peradilan dan hokum di Indonesia yang dilakukan oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan sebuah tujuan yang sulit untuk dicapai, mengingat banyaknya mafia–mafia peradilan di hampir semua institusi hukum serta buruknya moral dari para penegak hukum saat ini. Namun dengan undang-undang dan system hukum yang ditegakkan saat ini, usaha pemerintah tersebut mulai menampakkan keberhasilan karena banyaknya kasu-kasus yang terungkap sehingga tidak lagi merugikan negara.

Kata kunci : semiotic, ikon, indeks, symbol, karikatur, Peirce ABSTRACT

Reyna Satya Nugraha, Representation Caricature “ Karut Marut Legal And Judicial In Indonesia “ (Semiotics Study Representation Caricature “Karut Marut Legal And Judicial In Indonesia” In Kompas Daily Edition of 21 November 2009)

The purpose of this research is to find representation caricature of “Karut Marut Legal And Judicial In Indonesia in Kompas daily edition 21 November 2009.

Theory used in this research is the theory of semiotics Charles Sanders Peirce. In Peirce’s semiotic divide between the marks and reference it into three categories : icon, index, and symbol.

Data analysis technique in this research analysis on the corpus of research on the semiotics of caricature “Karut Marut Legal And Judicial In Indonesia” after going through the next stage of coding the researcher will interpret these signs to know its meaning

The result of this study indicate that the general interpretation of these events washing is to clean up government, especially in the field of justice and law in Indonesia by President Susilo Bambang Yudhoyono is a difficult goal to achieve, considering the number of mafia-mafia courts at nearly all institutions Moral of the law and bad law enforcement today. But with the law and legal system upheld today, government effort are starting to show success as the number of cases uncovered so they would not harm the state.

Keyword : semiotic, icons, index, symbols, caricatures, Peirce


(11)

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan masyarakat pemakai bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi berperan penting guna mengungkapkan pikiran, perasaan dan gagasan seseorang. Jadi, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Oleh karena itu, dalam pengungkapan pikiran, perasaan, dan gagasan tersebut harus disertai dengan bahasa yang baik, yang mampu dimengerti lawan tutur. Dalam berkomunikasi dengan orang lain dapat dilakukan dengan banyak cara. Wujud komunikasi tersebut dapat secara lisan ataupun tulis. Komunikasi secara lisan seperti berdialog, pidato, wawancara, talkshow, dan lain-lain. Komunikasi secara tertulis misalnya surat, berita, artikel, jurnal, makalah, bahkan karikatur juga dapat menjadi suatu alat komunikasi.

Komunikasi adalah salah satu wujud manusia dalam berbahasa dan menyampaikan informasi serta pengertian kepada yang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Tiap kegiatan komunikasi tentu saja mempunyai tujuan bagi penutur dan lawan tutur. Diantara tujuan tersebut diantaranya agar komunikan (lawan bicara) mengerti apa yang kita sampaikan; agar mampu memahami orang lain melalui


(12)

interaksi komunikasi; agar gagasan yang kita sampaikan dapat diterima orang lain; untuk menggerakkan orang lain melakukan sesuatu. Wujud komunikasi terus berkembang sesuai perkembangan teknologi, dan kebutuhan masyarakat. Perkembangan itu dilakukan untuk mempermudah manusia dalam berinteraksi dan bersosial dengan yang lain. Melalui suatu media kita dapat saling berhubungan satu sama lain. Media massa atau elektronik juga berperan dalam interaksi sosial masyarakat.

Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna dalam materinya, karena sesungguhnya semiotika komunikasi, seperti halnya basis studi komunikasi adalah proses komunikasi dan intinya adalah makna. Dengan kata lain, mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimana ia memasuki materi media dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri. (Sobur, 2006:110)

Saat ini media massa lebih menyentuh persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat secara aktual, seperti harus lebih spesifik dan proporsional dalam melihat sebuah persoalan sehingga mampu menjadi media edukasi dan media informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Sebagai lembaga edukasi, media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media massa sebagai lembaga produksi, sehingga kasus-kasus pengaburan berita dan iklan tidak harus terjadi dan merugikan masyarakat.


(13)

Selama ini kita tahu bahwa surat kabar tidak hanya saja sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi, mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam media khususnya surat kabar (Sumadiria, 2005:86).

Fungsi surat kabar secara keseluruhan yaitu memberikan informasi, hiburan dan kontrol sosial. Selain sebagai penyedia informasi, fungsi surat kabar sebagai kontrol sosial juga merupakan yang terpenting karena pada hakekatnya dianggap sebagai kekuatan keempat yakni dapat menjalankan kontrol masyarakat terhadap pemerintahan, baik berupa dukungan maupun kritikan. Kontrol sosial salah satunya dapat dilakukan dengan tampilan gambar karikatur. Keberadaan karikatur dalam surat kabar bukan berarti hanya melengkapi artikel atau tulisan-tulisan di surat kabar saja, tetapi juga memberikan informasi kepada masyarkat. Banyak kejadian yang dilaporkan dalam bentuk gambar (misalnya gambar karikatur) yang lebih efektif daripada kalau diterangkan dengan kata-kata. Karena karikatur mempunyai kekuatan dan karakter yang sehingga pembaca tertarik untuk sekedar melihat atau bahkan berusaha memahami makna dan pesan yang terkandung dalam gambar karikatur tersebut.

Dari beberapa jenis opini dalam surat kabar, karikatur adalah salah satu jenis opini yang banyak disukai oleh pembaca. Karikatur adalah opini


(14)

redaksi media dalam bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukkan unsur kelucuan, anekdot, atau humor agar siapapun yang melihatnya bisa tersenyum termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri (Sumadiria, 2005:3).

Karikatur (latin: carricare) sebenarnya memiliki arti sebagai gambar yang didistorsikan, diplesetkan, atau dipeletotkan secara karakteristik tanpa bermaksud melecehkan si pemilik wajah. Seni memeletotkan wajah ini sudah berkembang sejak abad ke-17 di Eropa, Inggris dan samapai ke Amerika bersamaan dengan perkembangan media cetak pada masa itu (Pramoedjo, 2008:13). Karikatur adalah bagian kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa kritik atau usulan terhadap seseorang atu sesuatu masalah. Meski dibumbui dengan humor, namun karikatur merupakan kartun satire yang tekadang malahan tidak menghibur, bahkan dapat membuat seseorang tersenyum kecut (Pramoedjo,2008:13)

Karikatur membangun masyarakat melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Sayangnya muatan pesan verbal dan pesan visual yang dituangkan di dalam karikatur terlalu banyak. Secara visual, desain karikatur yang disajikan pun menjadi jelek, tidak komunikatif, kurang cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya masyarakat luas yang diposisikan sebagai target sasaran dari karikatur dengan serta merta akan mengabaikan pesan sosial yang ingin disampaikan oleh karikatur (http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/).


(15)

Karikatur sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologi, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana tangapan atau opini secara subyektif terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu. Karena itu kita bisa mendeteksi tingkat intelektual sang kartunis dari sudut ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003:140)

Hal tersebut tercermin pada karikatur Oom Pasikom pada surat kabar Kompas periode 21-11-2009 mengenai hukum dan peradilan di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhono yang terus diliputi awan kelabu baik dari internal kebinetnya hingga dampak pada masyakaratnya. Degradasi moral dalam perpolitikan memang selalu kita dengar. Apalagi ketika mendekati hari-hari pemilu, terutama pada ajang kampanye Pilpres 2009 yang lalu, hati nurani bangsa merasa sangat terhina. Cara-cara politik yang berbau busuk itu terpampang di hadapan mata begitu kasarnya. http://umum.kompasiana.com/2009/06/28/jangan-jadikan-politik-kotor-sebagai-kebiasaan.

Tidak hanya itu, akhir–akhir ini peradilan Indonesia mendapat perhatian luas. Ada ketimpangan keputusan di pengadilan, banyak sekali ketidakadilan dalam menghukum terdakwa. Meja hijau lebih mempertimbangkan jabatan, status sosial, dan kekuatan finansial dalam menentukan salah atau tidaknya seseorang. Pengadilan memang tempat membuktikan apakah seseorang bertindak melanggar hukum atau tidak.


(16)

Namun, bukan berarti semua terdakwa pasti bersalah. Nenek Minah mengambil tiga buah kakao seharga Rp2.000 malah diproses hukum dari penyelidikan, penyidikan, pelimpahan berkas, dan sidang. Padahal, untuk ongkos pergi ke pengadilan saja, nenek Minah dibantu orang lain. Lihat kasus kriminalisasi KPK, tidak satu orang pun tersentuh hukum. Hukum berhenti dan berlaku spesial bagi orang berduit. http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/95/ palu-hakim-untuk-siapa

Keseriusan aparat pun dipertanyakan dalam memproses hukum orang-orang yang terlibat. Dewi Keadilan dengan dua timbangan seimbang melambangkan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keteraturan dalam lingkungan sosial. Aturan mencakup semua aspek kehidupan berdasarkan norma, etika, adat istiadat, dan pandangan logis. Kenyataan di lapangan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara sering main mata. Keberadaan pengadilan hanya formalitas untuk legalitas vonis yang sudah tidak murni lagi. Jatuhnya vonis pengadilan bisa diatur sesuai imbalan yang diberikan. Jangan heran bila banyak terdakwa yang terlibat kasus kelas kakap mendapat vonis ringan bahkan bebas. Hukum berlaku tegas, keras, dan memaksa kepada masyarakat lemah yang buta hukum. Jauh dari itu aparat sering menindas masyarakat dengan memanfaatkan faktor kebutaan pengetahuan tentang hukum. Berbanding 180 derajat hukum melempem menghadapi orang dengan kekuatan kekuasaan dan finansial besar. Ketokan palu hakim terdengar manis bagi pembeli keputusan dan


(17)

terdengar pahit bagi pencari kebenaran hakiki. Karena itu, masyarakat sangat

fobia berhubungan dengan hukum. http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/95/

palu-hakim-untuk-siapa.

Mereka menganggap mengurus suatu perkara sama dengan buang-buang uang, tenaga,waktu, dan membuka pintu penjara sendiri. Palu meja hijau selalu bermata hijau kepada limpahan uang sehingga uang adalah raja dan keadilan adalah keberpihakan kepada uang. Kerjasama antara polisi, jaksa, hakim, dan pengacara dalam bersandiwara di pengadilan sudah berlangsung lama. Mereka hidup di sana. Mereka membawa nama besar institusi penegak hukum, dan mereka pula yang mencoreng-coreng muka sistem peradilan. Image kotor ini karena aparat tunduk pada kekuasaan dan materi belaka. Sedangkan keadilan untuk rakyat kecil diabaikan. Keadilan telah bermetamorfosa menjadi barang langka yang berharga mahal. Semua perkara dibenarkan atau disalahkan dengan melawan common sense (proses politik yang dipenuhi dengan hal-hal yang logis dan bisa dinalar secara sederhana oleh “subjek sadar” secara luas dan umum). Pengadilan bahkan lebih banyak mengorbankan kebaikan dan fakta kebenaran, meringankan timbangan kesalahan dan menghilangkan fakta kebenaran merupakan perilaku tercela yang merendahkan martabat pengadilan. http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/95/ palu-hakim-untuk-siapa.


(18)

Masyarakat Indonesia menantikan langkah konkret rehabilitasi kekotoran institusi penegakan hukum. Pertama, pengadilan sebagai institusi netral harus menegakkan independensi. Kedua, pengadilan menggunakan dua mata keadilan dalam menilai kebenaran dan kebohongan. Ketiga, institusi ini harus menimbang tinggi kejujuran fakta sehingga keadilan bisa diperoleh siapa pun. Terakhir, ketok palu hakim harus memenangkan kebenaran dan menghukum tegas kebatilan.

Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti ingin merepresantasikan kondisi ”hukum dan peradilan” Bangsa Indonesia di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terkandung pada karikatur Oom Pasikom pada surat kabar Kompas. Di Harian Kompas Edisi 21 November 2009 ditampilkan sebuah kariaktur editorial Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang mencuci Jas bertuliskan ”Goverment” didalam bak yang bertuliskan ”hukum dan peradilan” dimana air dalam bak tersebut sangat keruh dan kotor serta terdapat dua buaya yang sedang berenang dalam bak tersebut. Di sisi lain terdapat seseorang yang sedang menyaksikan aktivitas yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sembari mengeluarkan pernyataan ”Supaya Clean ganti air yang bersih pak”.

Melalui pendekatan teori semiotika diharapkan karikatur mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan estetik pada karikatur dipandang dari hubungan antara tanda dan pesan. Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat


(19)

diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan karikatur serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan desain karikatur.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karikatur, disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya dimana hal tersebut terangkum dalam teori Charles Sanders Pierce. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara yang satu dengan lainnya (http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/).

Peneliti memilih Kompas karena merupakan salah satu media yang memberikan porsi pada idealisme yang termaktup pula dalam visinya ”Amanat Hati Nurani Rakyat” yang sekaligus menjadi merek dagang Kompas membidik pasar kelas menengah keatas. Media Kompas merupakan salah satu saluran komunikasi politik di Indonesia selama era reformasi Realitas media dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di samping menggunakan bahasa tulis sebagai media utama penyampaian informasi, juga dapat digunakan dengan memakai gambar kartun. Sebagai koran nasional,


(20)

peredaran Kompas meliputi hampir seluruh kota di Indonesia, dan selalu menjadi market leader.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi yang bertujuan untuk melakukan sebuah studi semiotika untuk mengetahui representasi karikatur ”Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas edisi 21 November 2009.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka perumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah : Representasi karikatur ”Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas edisi 21 November 2009.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Representasi karikatur ”Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas edisi 21 November 2009.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atas wawasan serta bahan referensi bagi mahasiswa komunikasi pada jenis penelitian semiotika, serta seluruh mahasiswa pada umumnya agar dapat


(21)

diaplikasikan untuk perkembangan ilmu komunikasi pada masa mendatang.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat menjadi kerangka acuan bagi pihak Editor untuk menghasilkan karikatur yang lebih inovatif dan variatif dalam menggambarkan realitas kehidupan, cermin budaya masyarakat, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.


(22)

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa

Kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun kualitatif. (http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/)

Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media (Effendy, 2003:80).

Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.


(23)

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop (Effendy, 2003:79).

Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya. Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata

media of mass communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan

oleh teknologi modern. (Nurudin, 2007:4)

Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai saluran informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun kenyataannya media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu. Efek media massa tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula dapat mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat.


(24)

Hal tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam waktu pendek sehingga dengan cepat dapat mempengaruhi mereka, namun juga memberi efek dalam waktu yang lama, sehingga memberi dampak pada perubahan-perubahan dalam waktu yang lama.

McQuail menjelaskan bahwa efek media massa memiliki andil dalam pembentukan sikap, perilaku, dan keadaan masyarakat. Antara lain terjadinya penyebaran budaya global yang menyebabkan masyarakat berubah dari tradisional ke modern. Selain itu, media massa juga mampu mengubah masyarakat dari kota sampai ke desa, sehingga menjadi masyarakat konsumerisme.(Bungin, 2006 : 320).

Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa yang juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah surat kabar. Surat kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali (Djuroto, 2002:11).

Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu komunikasi, khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku “Ensiklopedi Pers Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar sebagai sebutan bagi penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak yaitu berupa lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan yang diterbitkan secara berkala : bias harian, mingguan dan bulanan, serta diedarkan secara umum (Junaedhi, 1991 : 257).


(25)

Surat kabar pada perkembangannya, menjelma sebagai salah satu bentuk dari pers yang mempunyai kekuatan & kewenangan untuk menjadi sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan kehidupan sosial, budaya dan politik.

Menurut Sumadiria (2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :

1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepat cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang aktual, akurat, faktual dan bermanfaat.

2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers harus mau dan mampu memerank an dirinya sebagai guru pers.

3. Fungsi Hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.

4. Fungsi Kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu masyarakat atau negara.

5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,


(26)

peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan yang lain.

2.1.2. Media dan Konstruksi Realitas

Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa, lewat bahasa, lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu (Eriyanto, 2004: 24).

Isi media merupakan hasil para pekerja dalam mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai sebuah berita, diantaranya realitas politik. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (Constructed Reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman dalam Sobur, 2001: 83).

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahwa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai alat realitas, namun juga menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki


(27)

peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2001: 88).

Setiap upaya “menceritakan” sebuah, peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas. Begitu pula dengan profesi wartawan. Pekerjaan utama wartawan adalah mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak. Dengan demikian mereka selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksikan realitas, yakni menyusun fakta yang dikumpulkannya ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita (News), karangan khas (Feature), atau gabungan keduanya (News Feature). Dengan demikian berita pada dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan (Constructed Reality). (Sobur, 2001: 88).

Penggunaan bahwa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad dalam Sobur (2001: 90) bahwa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas.

Dalam rekonstruksi realitas, bahasa dapat dikatakan sebagai unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi media (Sobur, 2001:91).


(28)

2.1.3. Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang, 2006: 24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm) Melalui representasi, ide- ide ideologis dan abstrak mendapat bentuk abstraknya. Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, berita dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Ada empat komponen dasar dalam industri media yang mengemas pesan dan produk:

1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk 2. Pesan atau produk itu sendiri

3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri maupun bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan

4. Dan penampakan akhir dari produk itu tersebut.

Komponen- komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang diperjuangkan secara terus- menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini dapat menimbulkan pola- pola dominasi dan representasi yang berbeda- beda.

Menurut Struat Hall (1977) representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep


(29)

yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakanai representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada didunia. Kedua, pendekatan intensional dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga, adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai.


(30)

Bagi Struat Hall, ada dua proses representasi. Pertama mental yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing- masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua bahasa berperan penting pada proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide- ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol- simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dini dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama- sama itulah yang dinamakan representasi. (Juliastuti, 2000: http// kunci.or.id/ teks/ 04rep2.htm)

2.1.4. Karikatur

2.1.4.1.Pengertian Karikatur

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta, 1987)

Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah


(31)

kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adlaah political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai karikatur. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139)

Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana kritik sosial dan politik. (Sumandiria, 2005:8)

Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pebngetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaiamana dia memilih topik isu yang tepat. (Sobur, 2006:140)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik.

2.1.4.2.Karikatur Sebagai Karya Komunikasi Kritik Sosial

Salah satu ciri gambar karikatur adalah jenaka. Namun lebih dari itu adalah karena penggambaran karikaturalnya, artinya satu dua aspek


(32)

kehidupan manusia dipilih dan dipertajam dengan serba dilebih-lebihkan berat sebelah agar jelas kontras mencolok, sehingga memunculkan sesuatu yang dalam penampakan normal tidak kentara. Aspek realita atau kehidupan manusia yang dicolokkan karikatur lucu itu terutama demi pengucapan kritik. (Nirmana, 2000:132)

Kritik yang tidak berbahasa kejam menghantam, tetapi ada bantalan empuknya demi peredaman benturan keras yang dapat berakibat fatal. Namun kritik empuk berkat humor seperti yang dilihat dalam gambar-gambar kartun. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Alm. Romo Mangun, bahwa karikatur yang baik seperti kincir angin, mampu memompa air penghidupan serta energi yang diperlukan oleh kehidupan dan penghidupan bersama masyarakat yang normal sehat, walaupun daya pemutarnya hanyalah yang empuk lembut. Itu adalah berkat gaya humornya. Oleh karena itu karikatur, kartun, dan lelucon politik dalam negara yang masyarakatnya masih kerdil dan sempit wawasannya sering tidak ditoleransi, bahkan terkadang dianggap tabu, dilarang oleh penguasa, teristimewa dalam negara-negara yang sedikit banyak bersifat totaliter diktatorial. Tidak asal mengkarikatur belaka dengan maksud mencekik lawan. Lucu atau jenaka selalu datang dari mental yang dewasa dan berkadar sikap mulia, fair-play, a consolating smile, itulah buah kejenakaan karikatur dan kartun yang baik. (Nirmana, 2000:133)

Ciri dari sebuah karya kartun atau karikatur secara visual harus mampu menyuguhkan lelucon atau humor dengan media gambar. Karya


(33)

karikatur harus memenuhi syarat untuk memancing tawa. Selanjutnya kelucuan atau serba tafsiran dapat ditambah sendiri. Sebuah karya kartun memang mengandung banyak sisi kenyataan dan itulah barangkali yang justru menghibur.

2.1.5. Teori Charles Sanders Pierce

Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara ketiganya disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi logika tanda, maka Sausssure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik modern, lebih menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan menurut Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan berbagai makna. Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna seperti yang dikemukakan oleh Peirce. (Bintoro, 2002:12)

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema ”Hukum dan Peradilan” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan


(34)

dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan siatuasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan.

Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Preirce menelaskan modelnya sebagai berikut: ”A sign is something which stands

to somebody for something in the respect or capacity. It addresses somebody,that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign for something, its object. (Tanda

adalah sesuatu yang memberi arti atas sesuatu bagi seseorang. Tanda ditujukan kepada seseorang, karenanya membuat seseorang menciptakan tanda yang ekuivalen atau tanda yang lebih berkembang di dalam benaknya. Tanda yang diciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda yang pertama. Tanda memberi arti atas sesuatu yang disebut obyek).” (Fiske, 1985:45)

Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga seperti berikut:


(35)

Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce

Sumber: Fiske (1990:42)

Sign

Interpretant Obyek

Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam hubungannya antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tanda merujuk pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh seseorang. Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep mental yang diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda terhadap sebuah obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit dipahami. Interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat


(36)

Gambar 2.2. Model Kategori Tanda Icon

Index Simbol

Sumber: Fiske (1990:47)

Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:

1. Ikon

Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat bersamaan bentuk alamiah (berupa hubungan kemiripan). Misalnya adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau yang ada dalam peta tersebut. Ikon Pierce merupakan tanda yang memberikan tanda berdasarkan kualiatasnya sendiri, dan berlawanan dengan indeks, yang tergantung pada objeknya, dan simbol yang tergantung pada konvensi antara interpretannya. (Noth, 2006:121) 2. Indeks

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan acuannya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya adalah asap sebagai tanda adanya api (Sobur, 2006:41). Menurut Noth


(37)

(2006:47) indeks sebagai tanda alami berdasarkan ”hubungan alami” antara alat tanda dan referen. Dengan demikian, indeks hanya bisa dinamai, tidak dapat direproduksi.

3. Simbol

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional. (Sobur, 2003:41). Menurut Pierce dalam Noth (2006:116) simbol didefinisikan sebagai tanda konvensional dan arbiter yang elementer. Sedangkan menurut Lacan simbolik merupakan sesuatu yang riil, imajiner, dan simbolis.

2.1.6. Hukum

Istilah “hukum” mengandung pengertian yang luas yang meliputi semua peraturan atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya.Hukum memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dan perubahan masyarakat. Ada dua aspek yang menonjol dalam perubahan hukum dan perubahan masyarakat yaitu (Ali, 2002:191): 1. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian

oleh hukum. Dengan lain perkataan, bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat. Ini menunjukkan sifat pasip dari hukum.


(38)

2. Sejauh mana hukum berperan untuk menggerakan masyarakat menuju suatu perubahan yang terencana. Di sini hukum berperan aktif, dan inilah yang sering disebut sebagai fungsi hukum “a tool of social

engineering” sebagai alat rekayasa masyarakat.

Dalam rangka menjalankan fungsi untuk sebagai “a tool of social

engineering”, hukum sebagai sarana pembangunan, hukum itu menurut

Michael Hager dapat mengabdi pada 3 (tiga) sektor yaitu (Abdurachman, 1979:21):

1. Hukum sebagai alat penertib (Ordering)

Dalam rangka penertiban ini hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. Ia pun dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan. 2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing).

Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan. 3. Hukum sebagai katalisator.

Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (Law

Reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.

Mengingat fungsi dan pernanan hukum yang sangat strategis dalam pembangunan masyarakat dewasa ini, maka hukum harus menjamin


(39)

adanya kepastian hukum, keadilan dan kegunaan bagi masyarakat. (Rahardjo, 1986:20)

2.1.7. Peradilan

Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar “adil” yang berarti meletakkan sesuatu pada semestinya. Kata peradilan dan pengadilan mempunyai arti yang berbeda akan tetapi terkadang dipakai untuk arti yang sama. Peradilan adalah sebuah sistem aturan yang mengatur agar supaya kebenaran adan keadilan bisa ditegakkan, sedangkan pengadilan asalah sebuah perangkat organisasi penyelenggaraan peradilan, dan pengadilan inilah yang biasa disebut lembaga peradilan. Sedangkan keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. (Friedrich, 2004:239)

Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini.


(40)

Menurut Basri (1996:43) tentang lembaga peradilan menyetakan: Pembahasan mengenai pengadilan biasanya dilakukan secara preskriptif, atau “apa yang seharusnya”. Hal itu dilakukan oleh karena peradilan (sebagai institusi atau pranata hukum) dan pengadilan (sebagai organisasi penyelenggaraan peradilan) dipandang sebagai sesuatu yang otonom. Ia dipandang sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi, yang terdiri atas berbagai unsur yang saling berhubungan dan saling tergantung. Namun demikian, pembahasan mengenai kekuasaan pengadilan dapat pula dilakukan secara deskriptif atau “apa yang senyatanya”. Ia didasarkan pada fakta yang diperoleh dari pelaksanaan kekuasaan pengadilan berhubungan dengan berbagai macam unsur di luar pengadilan yang beraneka ragam, maka pengadilan dikemukakan dengan serba “kemungkinan”.

2.1.8. Hukum dan Peradilan di Indonesia

Hukum dan peradilan di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhono yang terus diliputi awan kelabu baik dari internal kebinetnya hingga dampak pada masyakaratnya. Degradasi moral dalam perpolitikan memang selalu kita dengar. Apalagi ketika mendekati hari-hari pemilu, terutama pada ajang kampanye Pilpres 2009 yang lalu, hati nurani bangsa merasa sangat terhina. Cara-cara politik yang berbau busuk itu terpampang di hadapan mata begitu kasarnya. (http://umum.kompasiana.com/2009/06/28/ jangan-jadikan-politik-kotor-sebagai-kebiasaan).


(41)

Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie pada orasi ilmiah di Universitas Jayabaya, menyatakan reformasi hukum dan peradilan di Indonesia masih pincang dan terseok-seok. Lembaga penegakan hukum dan peradilan belum berubah secara mendasar mengikuti langgam perubahan di bidang politik dan ekonomi. Pembentukan lembaga-lembaga baru, katanya, juga mengakibatkan tumpang tindih dan belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem kenegaraan baru. Begitu pula dalam proses penegakan hukum, aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja tradisional dan cenderung primitif. (http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/9850-reformasi-hukum-indonesia-pincang)

Pakar hukum tata negara yang disebut-sebut masuk dalam Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengusulkan sistem peradilan dievaluasi dan diubah secara mendasar agar proses dan produknya menjamin keadilan.

Eksaminasi istilah dalam peradilam tersebut sesungguhnya bukanlah konsep baru dalam sistem peradilan di Indonesia, karena sudah dikenal sejak tahun 60-an sebagai ideologi pengawasan internal hakim oleh Mahkamah Agung dalam rangka untuk menciptakan pengadilan yang bersih dan berwibawa. Program eksaminasi dalam perjalannya hilang begitu saja bersamaan dengan lahirnya orde baru dan istilah itu muncul kembali kepermukaan ketika aktifis organisasi non pemerintah (ornop)


(42)

membentuk Majelis Eksaminasi untuk menguji putusan Peninjauan Kembali atas bebasnya Tommy Suharto. Sejak itu gagasan eksaminasi terus bergulir yang makna ideologisnya adalah upaya untuk melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk peradilan baik yang bersifat prosedural maupun substansial.

Gagasan eksaminasi muncul sekurang-kurangnya ditandai oleh banyaknya ketidakpercayaan masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan sebagai akibat dari penerapan hukum yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak bermoral. Sudah lama masyarakat mendengar tentang adanya “mafia peradilan“ yang menzalimi pencarian keadilan.

Persepsi tentang pengadilan yang berpihak kepada yang kuat bukan rahasia lagi. Asas persamaan di depan hukum yang diamanatkan oleh pendiri Republik ini telah dijungkirbalikkan oleh pengadilan melalui putusan-putusannya yang berpihak. Banyak keputusan hakim yang diintervensi oleh kemauan dan keinginan pemegang kekuasaan di luar pengadilan sendiri atau karena oleh tekanan ekonomi.

Dalam posisi ini, maka masyarakat yang miskin dan lemah selalu dikalahkan dan menjadi korban ketidakadilan, akibatnya tidak banyak orang yang bersemangat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan walaupun hak-haknya telah dirugikan sekalipun. Sepertinya mereka tidak percaya lagi bahwa pengadilan adalah simbol keadilan. Kenyataan itu tidak dapat dibiarkan terus berlangsung sampai ke titik nadir.


(43)

Pengadilan harus segera dikembalikan pada posisinya semula sebagai institusi yang netral, bebas, bersih dan berwibawa. Pengadilan harus dapat menjadi ultimum remedium ialah senjata pamungkas yang berfungsi membabat semua ketidakadilan. Untuk itu maka ke depan dibutuhkan sebuah konsep yang mendasar untuk segera membenahi dunia peradilan. Siapapun sepakat bahwa kita mendambakan hakim yang tidak di bawah kekuasaan apapun, tidak dipengaruhi oleh kepentingan apapun, sehingga bebas memutuskan perkara sesuai dengan hati nuraninya. Situasi pengadilan semacam ini dalam sejarah peradilan di Indonesia pernah terjadi di era tahun 60-an.

Permainan kotor selalu mewarnai penanganan perkara di pengadilan, apalagi jika perkara itu berpotensi ekonomis maka akan direspon dengan penuh semangat. Hal itu sangat kontras dengan penanganan perkara-perkara yang kering seperti pembunuhan, pencurian yang biasanya dilakukan dengan setengah hati. Pertimbangan-pertimbangan putusan hakim didominasi oleh alasan-alasan yang dipaksakan semata-mata untuk memenuhi keinginan sepihak. Sering kali dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang hanya mengadopsi dari tuntutan jaksa, pledoi pengacara atau dari kesimpulan perkara perdata, tergantung “ pesanan “. Tidak ada inisiatif hakim untuk mencari alasan-alasan hukum sendiri apalagi mencari nilai-nilai hukum yang berkembang di masyarakat. Karena itu jauh panggang dari api menemukan putusan hakim sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang agar hakim


(44)

sebagai penegak hukum dan keadilan memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Oleh karena itu dalam banyak kasus, maka putusan pengadilan sesungguhnya tidak lebih dari sebuah akumulasi dari proses ketidakadilan baik dalam perkara-perkara perdata, perkara pidana serta perkara administrasi negara bahkan beberapa tahun terakhir telah merambat ke Pengadilan Agama. Celakanya ketika putusan-putusan itu dimintakan banding atau kasasi yang diharapkan lebih mencerminkan rasa keadilan, justru Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam putusannya banyak yang mengambil alih putusan-putusan Pengadilan tingkat pertama begitu saja untuk dikuatkan atau ditolak tanpa alasan dan pertimbangan hukum.

2.1.9. Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia

Barangkali episode carut marut bangsa ini memang sedang dalam wujudnya yang paling kasat mata. Lelah, capek, frustrasi, dan melemahkan semangat adalah efek langsung yang nyata bagi orang yang peduli apayang akan terjadi terhadap bangsa ini di masa depan. Imajinasi tentang masa depan bangsa, saat ini sudah merupakan hal yang langka. Sejarah revolusi 1945 pernah memberikan inspirasi pada bangsa ini bahwa imajinasi masa depan pernah menjadi satu gagasan yang diperjuangkan bersama. Konteks tumbuhnya negara bangsa di periode tersebut menjadikan ide-ide menentukan nasib sendiri, perjuangan melawan kolonialisme, dan keinginan menyejajarkan identitas bangsa dalam


(45)

pergaulan dunia tumbuh subur dalam pergumulan gagasan yang bersemi dalam kelompok-kelompok kritis yang sadar bergerak melakukan perubahan. Tetapi perubahan yang berasal dari inspirasi revolusi 1945 adalah cerita masa lalu.

Perubahan yang terjadi di Indonesia khususnya dalam satu dekade terakhir telah melahirkan ruang lingkup negara, identitas kebangsaan, sistem politik, dinamika ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi hingga pergeseran perilaku budaya yang jauh lebih kompleks. Pasca periode reformasi 1998 perubahan-perubahan dalam berbagai berbagai dimensi kemasyarakatan dan kenegaraan telah melahirkan situasi kompleks yang tidak bisa dirangkum dalam satu lafal generalisasi. Lima kali suksesi kepemimpinan telah menciptakan satu tatanan politik yang kompleks khas Indonesia sebagai buah dari perebutan dan pertarungan politik. Sistem presidensial yang ambigu karena kekhawatiran guncangan di parlemen. Sistem hukum dan perundang-undangan yang tumpang tindih karena tidak jelasnya prioritas perubahan. Sistem pendidikan yang tidak menyentuh esensi perubahan. Dinamika informasi dan komunikasi yang hadir dalam hitungan detik. (http://www.inilah.com/news/read/citizen-journalism/2009/11/07/177867/periode-carut-marut-harus-dilewati/)

Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan


(46)

perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.

Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam konteks penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.

Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.

Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi


(47)

jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.

Harapan terwujudnya pemerintahan yang good governance dan terlaksananya pemberantasan korupsi sebagaimana disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (dalam salah satu amanatnya), bahkan harapan rakyat Indonesia, sampai hari ini tampaknya masih sia-sia. Ini karena ulah para penegak hukum Indonesia yang masih dapat diatur oleh seorang Anggodo (Pelita, Rabu 4 November 2009). Dalam bahasa pasaran, masalah tersebut sungguh memalukan. Karena itu, dengan terbongkarnya tuduhan kriminalisasi terhadap KPK, mengindikasikan bahwa sebagian dari para penegak hukum di Indonesia merupakan sosok yang tidak berkarakter dan tidak berjati diri, tidak berakhlaq mulia. (http://www.pelita.or.id/baca.php?id=82635)

2.2. Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini ingin merepresantasikan kondisi ”hukum dan peradilan” Bangsa Indonesia di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terkandung pada karikatur Oom Pasikom pada surat kabar Kompas. Di Harian Kompas Edisi 21 November 2009 ditampilkan sebuah kariaktur editorial Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang mencuci Jas bertuliskan


(48)

”Goverment” didalam bak yang bertuliskan ”hukum dan peradilan” dimana air dalam bak tersebut sangat keruh dan kotor serta terdapat dua buaya yang sedang berenang dalam bak tersebut. Di sisi lain terdapat seseorang yang sedang menyaksikan aktivitas yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sembari mengeluarkan pernyataan ”Supaya Clean ganti air yang bersih pak”.

Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat digambarkan dalam bentuk bagan:

Karikatur

“Hukum dan Peradilan” Oom Pasikom Edisi 21 November 2009

Analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce:

 Ikon

 Indeks

 Simbol

Hasil interpretan peneliti

Gambar 2.3.

Kerangka Berfikir Penelitian Tentang Representasi Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Dalam Harian Kompas


(49)

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik Pierce, untuk menginterprestasikan representasi karikatur pada media cetak yaitu surat kabar, yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah karikatur tentang karut marut hukum peradilan di Indonesia yang terdapat pada harian Kompas Edisi 21 November 2009.

Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social diseputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat memahami the nature atau kealamiahan dan culture meaning atau makna cultural dari artifact atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasi secara actual dan diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual/bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas


(50)

yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan.2001:7).

Corpus adalah kata lain dari sampel, bertujuan tetapi khusus digunakan untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dari penelitian ini adalah Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009.

3.2.2. Unit Analisis

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur ”Carut Marut Hukum dan Peradian di Indonesia” yang dimuat di harian Kompas, kemudian diinterpretsikan dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).

3.2.2.1. Ikon

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur rubrik opini yang dimuat di harian Kompas adalah gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


(51)

3.2.2.2. Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur yang dimuat di harian Kompas adalah ”teks hukum & peradilan”, teks ”goverment”, teks ”supaya clean ganti air yang bersih pak”, busa cucian, percikan air dan gesture.

3.2.2.3. Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda hukum dan peradilan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang dimuat di harian Kompas adalah air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi dan mengamati karikatur yang dimuat di surat kabar Kompas secara langsung serta melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data dan bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.

3.4. Teknis Analisis Data

Analisis Semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” setelah melalui tahapan


(52)

pengkodean maka selanjutnya peneliti akan menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.

Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam karikatur surat pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang tampak dalam Iklan, kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan menggunakan metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :

1. Obyek

Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini adalah karikatur pada harian Kompas “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Edisi 21 November 2009.

2. Sign

Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign dalam penelitian ini adalah gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, teks ”hukum & peradilan”, teks ”goverment”, teks ”supaya clean ganti air yang bersih pak”, busa cucian, percikan air, air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas.

3. Interpretant

Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi dari peneliti.


(53)

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut: 1. Ikon (Icon)

Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. . Ikon dalam karikatur rubrik opini yang dimuat di karikatur Oom Pasikom adalah gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

2. Indeks (Index)

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur yang dimuat di karikatur Oom Pasikom adalah teks ”hukum & peradilan”, teks ”goverment”, teks ”supaya clean ganti air yang bersih pak”, busa cucian, percikan air dan gesture.

3. Simbol (Symbol)

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang dimuat di harian Kompas adalah air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas.


(54)

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum Harian Kompas

Kompas adalah nama surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta. Kompas adalah bagian dari Kelompok Kompas Gramedia. Selain versi cetak, Kompas juga memiliki edisi online yang berisi berita-berita yang diperbarui secara aktual.

Ide awal penerbitan harian ini datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Seda untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya, P.K. Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama. Ojong langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertamanya.

Awalnya harian ini diterbitkan dengan nama Bentara Rakyat. Atas usul Presiden Sukarno, namanya diubah menjadi Kompas, sebagai media pencari fakta dari segala penjuru.

Kompas mulai terbit pada tanggal 28 Juni 1965 berkantor di Jakarta Pusat dengan tiras 4.800 eksemplar. Sejak tahun 1969, Kompas merajai penjualan surat kabar secara nasional. Pada tahun 2004, tiras hariannya mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi Minggunya malah mencapai 610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia. Seperti kebanyakan surat kabar yang lain,


(55)

harian Kompas dibagi menjadi tiga halaman bagian, yaitu bagian depan yang memuat berita nasional dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, serta bagian berita olahraga.

4.1.2. Sejarah Kompas

Sebuah buku telah lahir. Buku sejarah. Sejarah pers, khususnya Kompas, sebuah harian yang terbit untuk pertama kalinya 28 Juni 1965. Pendirinya adalah dwitunggal, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Ojong telah meninggal 27 tahun lalu, sedangkan Jakob masih sehat wal afiat. Semoga beliau panjang usia.

Buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Orang menyebutnya penerbit "Kebo", merujuk pada logo perusahaan penerbitan yang berlambang seekor kerbau dimana di atasnya bertengger seorang "bocah angon" (penggembala) yang sedang meniup seruling. Kantor PBK berada di samping kiri Gedung Kompas Gramedia lama, berbaur dengan rumah-rumah penduduk.

Ada beberapa rekan yang memplesetkan PBK menjadi Penerbit Buku Kliping. Ada benarnya, sebab beberapa buku merupakan dokumentasi dari ribuan artikel yang pernah dimuat di Harian Kompas, khususnya yang memberi inspirasi dan memompa semangat dan gairah berkiprah.

Tetapi tidak semua dari kliping. Ada buku-buku yang murni ditulis memang untuk menjadi buku. Ditulis secara serius, bukan hasil kliping. Salah satunya adalah buku "Kompas, dari Belakang ke Depan: menulis


(56)

dari dalam". Diterbitkan baru seminggu lalu dan mungkin baru beberapa hari lewat saja menghias rak-rak toko buku.

Inilah buku sejarah Kompas terkomplit yang pernah terbit. Selain bercerita mengenai kelahirannya, buku ini juga menceritakan jatuh-bangun, kisah sukses, sampai strategi bertahannya yang unik. Frans M. Parera, salah seorang penyumbang tulisan tidak harus malu mengatakan "jurnalisme kepiting" untuk strategi bertahan Kompas yang menjadikan harian ini tetap eksis bertahan.

August Parengkuan, seorang sesepuh Kompas dalam buku itu mengatakan, "Bagi Pak Jakob, Kompas harus terbit kembali. bukan saja agar para karyawan bisa terus bekerja tetapi yang penting tetap mempunyai medium untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, dan ide-ide baik kepada pemerintah maupun ke masyarakat. Jadi tidak perlu gagah-gagahan seakan-akan menjuadi pahlawan karena berseberangan dengan pemerintah, tulis August, "tetapi satu minggu sesudahnya semua orang lupa pernah ada koran bernama Kompas".

Sejumlah penulis memberi konstribusi dalam penulisan buku ini, antara lain St Sularto, Mamak Sutamat, Ninok Leksono, Suryopratomo, Agung Adiprasetyo, dan Arbain Rambey. Jakob memberi sambutan dalam buku ini. Buku dihiasi foto-foto lawas dari dokumentasi foto yang tidak atau belum pernah dipublikasikan. Unsur mengejutkan dan mencengangkan sudah pasti ada saat melihat foto-foto yang disunnting Arbain ini. Buku memuat pula kartun GM Sudarta yang dikenal sangat


(57)

"menyentil dan mengena" itu, juga ada ilustrasi dua halaman penuh sosok PK Ojong dan Jakob Oetama karya Jitet.

Buku ini tentu saja memberi inspirasi bagi siapapun, dari orang pers, mahasiswa, atau masyarakat umum yang ingin lebih kenal dekat Kompas. Dari buku ini kita bisa belajar bagaimana cara mempertahankan diri, penanaman karakter baik, integritas dan loyalitas, juga bisa tahu bahwa membangun sebuah kerajaan bisnis seperti yang bisa dilihat sekarang ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu 42 tahun untuk membangunnya. Sedangkan orang yang ingin menjatuhkan sekaligus menghancurkan Kompas, tidak perlu menunggu selama itu.

Buku ini tidak hanya wajib dibaca oleh 246 wartawan Kompas atau seluruh karyawannya yang berjumlah 953 orang (data 2007) dan kerabat serta keluarganya, juga oleh sekitar 5.000an karyawan yang bernaung di bawah bendera KKG, tetapi oleh mereka yang ingin mendalami nilai-nilai sebuah kejuangan dan semangat survive sebuah harian bernama Kompas.

4.2. Penyajian Data

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap gambar Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 disajikan hasil pengamatan terhadap gambar karikatur tersebut. Dalam tampilan gambar karikatur tersebut terdapat pesan verbal. Pesan verbalnya adalah terdapat gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, gambar tokoh karikatur Om Pasikom, teks


(58)

hukum & peradilan, teks goverment, teks supaya clean ganti air yang bersih pak, air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada gambar Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009, akan disajikan hasil pengamatan dari gambar karikatur Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 tersebut.

4.3. Analisis Data

Gambar karikatur keserakahan tersebut membagi tanda menjadi tiga kategori yaitu :

1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon yang dimuat dalam karikatur rubrik opini yang dimuat di karikatur Oom Pasikom adalah gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta gambar tokoh karikatur Oom Pasikom.

2. Indeksnya adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur rubrik opini yang dimuat di karikatur Oom Pasikom adalah teks hukum & peradilan, teks goverment, teks supaya clean ganti air yang bersih pak dan gesture.


(59)

3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur rubrik opini yang dimuat di karikatur Oom Pasikom ini adalah air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas.

Gambar 4.1.

Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Dalam Kategori Tanda Pierce

Dalam menganalisa hubungan antara tanda dan acuannya berdasarkan studi semiotik Pierce, yaitu Ikon (Icon), Indeks (Index) dan Simbol (Symbol), maka peneliti akan menginterpretasikan segala bentuk pemaknaan yang terdapat dalam gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia”, baik berupa makna denotatif dan makna konotatif.

Icon:

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tokoh karikatur

Oom Pasikom

Index:

teks hukum & peradilan, teks goverment, teks supaya clean ganti air yang bersih pak, busa cucian, percikan air dan

gesture.

Simbol: air keruh, sikat cucian,


(60)

4.3.1. Klasifikasi Tanda

Charles Sanders Pierce terkenal dengan teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce seringkali mengulang ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Untuk itu Pierce membagi tanda menjadi sepuluh jenis, selengkapnya sebagai berikut : 1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras

menunjukkan kualitas tanda. Gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam harian Kompas Edisi 21 November 2009 yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam harian Kompas Edisi 21 November 2009 yaitu gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jas. Adanya macam-macam iconic sinsign yang terdapat pada gambar karikatur tersebut memiliki kemiripan dengan kepala negara, jas dapat menjadi orang yang memiliki jabatan. 3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan sesuatu. Misalnya : gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, serta gambar tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat digambarkan bahwa presiden SBY sedang mencuci semua keadilan yang ada di negeri ini.


(61)

4. Discent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang

sesuatu. Misalnya : air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas yang menunjukkan bahwa keadilan di negeri ini serasa hanya milik orang – orang kalangan keatas.

5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau

hukum. Misalnya : hukum & peradilan.

6. Rhematic Indexica Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada obyek

tertentu. Misalnya : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan gambar tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

7. Dicent Indexica Legisign, tanda yang bermakna informasi dan

menunjuk subjek informasi. Misalnya teks hukum & peradilan, teks goverment, teks supaya clean ganti air yang bersih pak dan gesture. 8. Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan

dengan obyeknya melalui asosiasi ide umum yaitu semua gambar yang terdapat pada gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam harian Kompas Edisi 21 November 2009.

9. Dicent Symbol atau Proposion (proporsi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan obyek melalui asosiasi dalam otak. Gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, teks hukum & peradilan, teks goverment, teks supaya


(62)

clean ganti air yang bersih pak, air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas.

10. Argument, yakni tanda yang merupakan inferens seseorang terhadap

sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Misalnya : tokoh karikatur Oom Pasikom yang sedang menyaksikan aktivitas presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

4.4. Gambar Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 dalam Model Pierce

Menurut Pierce, sebuah tanda itu adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Dalam pendekatan semiotic model Charles Sanders Pierce, diperlukannya adanya sebagai model analisis yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant). Menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, karena tandaitu sendiri adalah pencitraan indrawi yang menampilkan pengertian dari obyek yang dimaksudkan, sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda.

Gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam harian Kompas edisi 21 November 2009 ini akan menjadi korpus penelitian terlebih dahulu akan dibagi menjadi unsur – unsur (komponen) berdasarkan unit analisis dalam penelitian ini, yaitu :


(63)

1. Tanda (Sign), dalam gambar karikatur ini adalah setiap bentuk pemaknaan yang dapat ditimbulkan oleh gambar karikatur tersebut baik itu makna yang bersifat konotatif maupun yang bersifat denotatif. 2. Obyek (Object), dalam penelitian ini adalah keseluruhan badan gambar

karikatur, mulai dari jenis gambar karikatur, bentuk gambar dan bentuk dari penyajian gambar karikatur tersebut.

3. Interpretan (Interpretant), sebagai interpretan peneliti akan menganalisa gambar karikatur yang akan dijadikan corpus, yaitu gambar karikatur keserakahan secara keseluruhan dengan menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model kategori tanda yang dimiliki pierce, yaitu : ikon, indeks dan simbol sehingga akan diperoleh makna dalam gambar karikatur tersebut.

Gambar 4.2.

Gambar Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam Elemen Makna Pierce

Obyek

karikatur pada harian Kompas “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Edisi 21

November 2009

Interpretasi Hasil interpretasi peneliti dalam melihat hubungan antara tanda

dan petanda

Tanda Setiap bentuk penggambaran yang dapat ditimbulkan oleh karikatur


(64)

Apabila digambarkan hubungan antara tanda, obyek dan interpretan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam harian Kompas edisi 21 November 2009 merupakan obyek dalam penelitian ini dan keseluruhan dari tampilan karikatur yang berupa gambar, teks dan warna yang menjadi latar belakang maupun visual dari gambar karikatur tersebut merupakan tanda – tanda yang terkandung dalam suatu gambar. Gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” ini akan direpresentasikan dengan menggunakan model Semiotik Pierce. Dalam semiotik Pierce sebuah acuan dan representasi adalah fungsi utamanya.

4.5. Ikon, Indeks, Simbol

Dalam pendekatan semiotic pierce terdapat tiga komponen yaitu, Tanda (Sign), Obyek (Object) dan Interpretan (Interpretant). Sebagai interpretan, peneliti menganalisa gambar karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” dalam harian Kompas edisi 21 November 2009 yang dijadikan korpus (sampel terbatas) dengan menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model semiotic Charles Sanders Pierce yang membagi tanda atas tiga bagian kategori yaitu ikon (icon), Indeks (index) dan simbol (Symbol) sehingga akan diperoleh interpretasi dari gambar melalui kategori tersebut.


(1)

di atasnya. Terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman oleh hakim di pengadilan negeri bisa melakukan banding atau kasasi untuk mengubah hukumannya hingga keputusannya bisa memperberat diperingan atau divonis bebas. Bagi terdakwa untuk mendapatkan hukum tetap bisa menempuh beberapa jenjang pengadilan dan itu berarti memakan waktu yang lama. Akibatnya bisa menumpuk berkas-berkas pengadilan yang antri untuk diselesaikan. Inilah salah satu celah bagi mafia peradilan. Sudah sangat jelas gambaran kehancuran dan kebobrokan sistem hukum yang berlaku saat ini yang memang bersumber dari sistem rusak (Kapitalisme).


(2)

5. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dari gambar karikatur harian Kompas “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Edisi 21 November 2009 diperoleh kesimpulan bahwa “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” merupakan gambar karikatur yang terdiri dari Susilo Bambang Yudhoyono, topi, seseorang yang sedang menyaksikan aktivitas Susilo Bambang Yudhoyono, teks hukum & peradilan, teks goverment, teks supaya clean ganti air yang bersih pak, air keruh, sikat cucian, bak cucian, dan jas. Dimana unsur-unsur tersebut merupakan suatu bentuk yang identik dari suatu realitas sosial yang terjadi di negara ini.

Sesungguhnya sudah sejak lama sistem hukum dan peradilan negeri ini karut-marut. Hukum mudah dipermainkan. Lembaga peradilan menjadi alat untuk menindas yang lemah, tetapi sering tidak berdaya ketika berhadapan dengan orang yang kuat, apakah pejabat atau orang-orang kaya. Suap-menyuap dan kongkalingkong menjadi hal biasa di lembaga peradilan, dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Dalam pelaksanaannya pun, peradilan di negeri ini sering berbelit-belit, bertele-tele. Akibatnya, suatu perkara baru bisa selesai diproses di pengadilan setelah memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak aneh jika bahkan di Mahkamah Agung kasus-kasus semakin menumpuk tak tertangani. Belum


(3)

lagi banyaknya kasus yang menguap begitu saja karena banyaknya tangan-tangan yang bermain. Umumnya hal itu terkait dengan kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat dan orang-orang besar, seperti konglomerat. Biasanya kasus-kasus besar tersebut tak jauh-jauh dari kasus korupsi dan suap-menyuap yang sering merugikan rakyat banyak, karena mengakibatkan miliaran bahkan triliunan uang rakyat raib. Hal ini tentu sangat berbahaya membiarkan kelakuan wakil rakyat yang tidak pernah berubah sepanjang periode. Ini bukan hanya sebagai gambaran rendahnya moral dan etika para wakil rakyat. Dari segi kepatutan, sesungguhnya wakil rakyat tidak patut memeriksa, mengawasi, terlebih menuduh eksekutif terlibat tindak korupsi. Maka Jangan heran bila banyak terdakwa yang terlibat kasus kelas kakap mendapat vonis ringan bahkan bebas. Hukum berlaku tegas, keras, dan memaksa kepada masyarakat lemah yang buta hukum. Jauh dari itu aparat sering menindas masyarakat dengan memanfaatkan faktor kebutaan pengetahuan tentang hukum. Berbanding 180 derajat hukum melempem menghadapi orang dengan kekuatan kekuasaan dan finansial besar. Ketokan palu hakim terdengar manis bagi pembeli keputusan. Dan terdengar pahit bagi pencari kebenaran hakiki. Karena itu, masyarakat sangat fobia berhubungan dengan hukum.

5. 2. Saran

Munculnya gambar karikatur tersebut khususnya gambar karikatur pada harian Kompas “Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia” Edisi


(4)

21 November 2009 dapat menjadi penggerak hati pemerintah agar lebih menegakkan hukum bagi mafia hukum dan peradilan yang selalu meresahkan masyarakat dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku sehingga para para mafia hukum dan peradilan yang akan melakukan tindakan tersebut tidak mengulangi kembali.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, 1979, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung.

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta.

Basri, Hasan, 1996, “Pelaksanaan Kekuasaan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama” Mimbar Hukum, No. 29, Tahun. VII (Jakarta: Al-Hikmah & DITBINPERA, 1996)

Bungin, Burhan, 2006, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Penerbit Prenada Media Grup, Jakarta.

Djuroto, Totok, 2002, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Effendy, Onong Uchana, 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya

Eriyanto, 2004, Metodologi Polling, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Junaedhi, Kurniawan, 1991, Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta, Erlangga Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang, Indonesia.

Mc. Quail, Dennis, 2005, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Nurudin, 2007, Pengantar Komunikasi Massa, Malang, Cespur.

Panuju, Redi, 2005, Relasi Kuasa Negara Media Massa dan Publik (Pertarungan Memenangkan Opini Publik Dan Peran Dalam Transformasi Sosial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra

Pramono, Promoedjo, 2008, Kiat Mudah Membuat Karikatur, Penerbit Creativ Media, Jakarta.


(6)

Rahardjo, Sacipto, 1986, Ilmul Hukum, Alumni, Bandung.

Rakhmat, Jalaluddin, 2002, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex, 2001, 2001, Analisis Teks Media, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

__________, 2003, Semiotik Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. __________, 2006, Semiotik Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Sumadiria, Haris, 2005, Jurnalistik Indonesia, Bandung, Simbiosa Rekatama

Media

Non Buku:

http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/

http://umum.kompasiana.com/2009/06/28/jangan-jadikan-politik-kotor-sebagai-kebiasaan

http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/95/palu-hakim-untuk-siapa

http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/ http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/9850-reformasi-hukum-indonesia-pincang http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm


Dokumen yang terkait

PENYIMPANGAN PRAGMATIK KARTUN OPINI DALAM BUKU “DARI PRESIDEN KE PRESIDEN” KARUT MARUT EKONOMI HARIAN & MINGGUAN KONTAN (2009) KARYA BENNY RACHMADI.

0 1 13

Karut Marut Jatinangor.

0 0 3

Karut-Marut Pemilu 2009.

0 0 2

PEMAKNAAN KARIKATUR VERSI “KOMODO” ( Studi Semiotik Pemaknaan Karikatur Versi “Komodo” Dalam Majalah Tempo Edisi 13 November 2011).

2 10 79

Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010 (Studi Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2

0 0 119

”PEMAKNAAN KARIKATUR DALAM RUBRIK OPINI PADA HARIAN KOMPAS”(Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur Dalam Rubrik Opini Pada Harian Kompas Edisi 4 November 2009)”.

0 6 78

Representasi Karikatur “Karut Marut Hukum dan Peradilan Di Indonesia”( Studi Semiotik Representasi Karikatur “ Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia “ Dalam Harian Kompas Edisi 21 November 2009 )

0 0 21

Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010 (Studi Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2

0 0 31

PEMAKNAAN KARIKATUR VERSI “KOMODO” ( Studi Semiotik Pemaknaan Karikatur Versi “Komodo” Dalam Majalah Tempo Edisi 13 November 2011)

0 0 21

PEMAKNAAN KARIKATUR VERSI “KOMODO” ( Studi Semiotik Pemaknaan Karikatur Versi “Komodo” Dalam Majalah Tempo Edisi 13 November 2011)

0 0 58