Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010 (Studi Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2

(1)

(Studi Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia

pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15

Agustus 2010)

SKRIPSI

OLEH:

MUTIARA AYU MARTOYO PUTRI

0743010015

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

2010

 


(2)

(Studi Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia

pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15

Agustus 2010)

 

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar

Sarjana pada Fisip UPN “Veteran” Jawa Timur

OLEH:

MUTIARA AYU MARTOYO PUTRI

0743010015

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(3)

(4)

pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010)

Mutiara Ayu Martoyo Putri

0743010015

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program

Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada Tanggal : 02 Desember 2010

PEMBIMBING TIM PENGUJI

1.Ketua

Dra.Dyva Claretta,M.Si

Dra.Sumardjijati,M.Si

NPT. 366.019.400.251

NIP.196.203.231.993.092.001

2.Sekretaris

Drs.Kusnarto,M.Si

NIP. 195.808.011.984.021.001

3.Anggota

Dra.Dyva Claretta,M.Si

NPT.366.019.400.251

Mengetahui,

DEKAN

Dra. Hj Suparwati. M.Si.

NIP.195.507.181.983.022.001


(5)

Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah

Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010)

Nama

: Mutiara Ayu Martoyo Putri

NPM :

0743010015

Program studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas

: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

PEMBIMBING

Dra.Dyva Claretta,M.Si

NPT. 366.019.400.251

Mengetahui,

DEKAN

Dra. Hj Suparwati. M.Si.

NIP.195.507.181.983.022.001


(6)

rahmat serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul REPRESENTASI “KREDIBILITAS PENEGAK HUKUM” DI

INDONESIA PADA KARIKATUR MAJALAH TEMPO EDISI 09-15

AGUSTUS 2010 (Studi Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di

Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15

Agustus 2010).

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan akademis bagi

mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini atas

bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Pada kesempatan ini,

penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang

terhormat:

1.

Dra.Hj.Suparwati, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN

“Veteran” Jawa Timur.

2.

Juwito, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

3.

Dra.Dyva Claretta, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa

memberikan waktu pada penulis dalam penysuunan skripsi penelitian ini.

4.

Seluruh staf dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.


(7)

buat omelannya hehehhee. Banyak terima kasih juga yang tiada hentinya

buat supportnya ya mama baik dan memberikan bantuan baik materiil

maupun moril dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih. Sampai detik ini kalau

tiada doa mama dan papa adek juga gag akan maju dan cepat selesai seperti

sekarang.

To my Lovely and my hubby

Oky Kristanto. Thank you so much sayangku buat semangatnya, dorongan

untuk selalu mengingatkanku akan maju dalam skripsiku. Selalu membantu

dalam pencarian penelitianq juga, selalu ikut repot buat mondar-mandir

kesana kesini juga, terima kasih hubbyku sayang. Hubbyku juga kudu cepet

selesai ngerjain skripsinya yaa. Doaku dan doamu akan selalu didengar dan

diberikan yang terbaik oleh Tuhan. God Bless You

To Daddy and Mommy Oky

Om dan Tante.. Terima Kasih ya terutama untuk doa dan semangatnya. Om

sama tante sudah mutia anggep seperti papa dan mama sendiri. Support

yang kalian berikan sangat berkesan untuk mutia. Makasih tante om. Mutia

sayang sama kalian..

To my Best Friends Teroreth Jungkir Baligh

Mami meyenk (Maria Meilinda), Tancong buntil (Tania R.N), Jupe (Mey

Fitria Z), Sasyong (Marsha F.) banyak-banyak terima kasih ya

teman-temanku..Perjalanan pertemanan kita selama kurang lebih 2tahun kita kenal

bener-bener sangan berkesan dan tidak akan aku lupakan..Semoga tetep

berlanjut sampai kerja dan punya anak ya..Love you my best friends..


(8)

hehehhee dan semua yang kenal dech.. Thank you so much buat doa dan

supportnya ya..

Semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat serta karuniaNya atas

jasa-jasanya yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Karena

apabila terdapat kekurangan didalam menyusun skripsi ini, peneliti dengan senang

hati menerima segala saran dan kritik demi sempurnanya skripsi ini.

Surabaya,

Desember

2010

Penulis


(9)

HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR GAMBAR……….. ix

DAFTAR LAMPIRAN……… x

ABSTRAKSI……… xi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah………. 1

1.2

Perumusan Masalah………... 16

1.3

Tujuan Penelitian………... 17

1.4

Manfaat Penelitian ……….... 17

1.4.1. Kegunaan Teoritis……….. ...17

1.4.2. Kegunaan Praktis……….... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori……….. 18

2.1.1. Media Cetak………... 18

2.1.2. Majalah………... 18

2.1.3. Representasi………... 19

2.1.4. Kredibilitas………. 22

2.1.5. Hukum………... 24

2.1.6. Hukum dan Peradilan di Indonesia……… 26

2.1.7. Pengadilan……….. 27

2.1.8. Peradilan………. 28


(10)

2.1.12. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)………... 36

2.1.13. Iklan Layanan Masyarakat……… 37

2.1.14. Konsep Makna………. 38

2.1.15. Pemaknaan Warna………... 41

2.1.16. Karikatur……….. 45

2.1.17. Semiotika………. 46

2.1.18. Semiotik Charles Sanders Peirce………. 47

2.2. Kerangka Berpikir………. 51

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.

Metode

Penelitian……….

53

3.2. Kerangka Konseptual……… 54

3.2.1.

Corpus………

54

3.2.2. Unit Analisis………... 55

3.2.2.1. Ikon (icon)……… 55

3.2.2.2. Indeks (index)………... 56

3.2.2.3. Simbol (symbol)………... 56

3.3. Teknik Pengumpulan Data………. 56

3.4. Teknik Analisis Data……….. 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian………..……….... 60

4.1.1. Sejarah Majalah Tempo………...………....…. 60

4.1.2. Pemaknaan Terhadap Karikatur

“Kredibilitas Penegak Hukum” ………...…………....…. 65

4.2. Penyajian dan Analisis Data………...………... 66

4.2.1 Klasifikasi Tanda ………...70

4.3. Analisis Pemaknaan Karikatur

“Kredibilitas Penegak Hukum”………...…... 72

4.3.1.

Ikon………...…..73


(11)

4.4. Makna Keseluruhan Pemaknaan Representasi “Kredibilitas

Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo

edisi 09-15 Agustus 2010……….. 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ……….. 100

5.2. Saran ………...…. 102

DAFTAR PUSTAKA………... 103

LAMPIRAN………... 105


(12)

Halaman

Gambar 2.1 Model Semiotik Peirce……….. 49

Gambar 2.2 Model Kategori Tanda Oleh Peirce……….

50

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir………. 52

Gambar 4.1 Gambar Karikatur “Kredibilitas Penegak Hukum”

dalam kategori tanda Pierce ………...…... 69


(13)

Halaman

Lampiran 1

Gambar Karikatur “Kredibilitas Penegak Hukum”

di Indonesia……….. 105

                       


(14)

xi

Mutiara Ayu Martoyo Putri, Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di

Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010 (Studi

Semiotik Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada

Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus

2010 ).

Negara Indonesia saat ini memiliki sistem hukum yang sangat lemah.

Dengan adanya fenomena yang terjadi saat ini yaitu dengan banyaknya para

penegak hukum yang begitu mudahnya menerima suap dari berbagai kalangan

masyarakat dan tidak memperdulikan lagi hukum yang sudah dibuat untuk

ditegakkan. Maka tak heran perilaku suap-menyuap di negeri ini menjadi budaya

yang dilestarikan. Hukum pun bisa dipermainkan oleh penguasa atau mereka yang

punya uang yang menjadikannya berkuasa. Dengan uang dan kekuasaan hukum

bisa mengubah yang salah jadi benar dan yang benar disalahkan. Bahkan, dengan

uang dan kekuasaan para penguasa dan pengusaha korup ini tak tersentuh oleh

hukum.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Representasi dari

Kredibilitas Penegak Hukum pada Karikatur Majalah Tempo edisi 09-15 Agustus

2010.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Semiotika Charles

Sanders Peirce. Dalam semiotik Peirce membagi antara tanda dan acuannya

tersebut menjadi tiga kategori yaitu ikon, indeks, dan simbol.

Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu analisis semiotika pada

corpus penelitian pada Karikatur “Kredibilitas Penegak Hukum” setelah melalui

tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan menginterpretasikan

tanda-tanda tersebut untuk diketahui maknanya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kredibilitas yang berarti kualitas

dan kekuatan seorang hakim untuk suatu kepercayaan sangat sulit lagi untuk

ditemukan. Banyak dari penegak hukum terutama hakim saat ini untuk bersikap

jujur dan menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum yang sudah ditegakkan.

Karena saat ini yang mempunyai uang banyaklah yang berkuasa dan yang miskin

akan selalu lemah dan tertindas. Hanya dengan segenggam uang hukum dapat

dibeli dan dinikmati secara pribadi tanpa harus melihat mana yang benar dan yang

salah.


(15)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Masyarakat haus akan informasi, sehingga media massa sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Media massa terdiri dari media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak terdiri dari majalah, surat kabar, dan buku. Sedangkan media massa elektronik terdiri dari televisi, radio, film, internet, dan lain-lain. Media cetak seperti majalah, surat kabar, dan buku justru mampu memberikan pemahaman yang tinggi kepada pembacanya, karena ia sarat dengan analisa yang mendalam dibanding media lainnya (Cangara,2005 : 128).

Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antar manusia media yang paling dominan dalam berkomunikasi adalah panca indera manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima panca indera selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap suatu hal sebelum dinyatakan dalam tindakan. Media cetak sebagai salah satu media massa memiliki fungsi utama yaitu memberikan informasi kepada khalayak. Media cetak khususnya majalah berbentuk seperti buku. Memiliki kualitas yang baik dan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama sehingga informasi yang terkandung didalamnya dapat dibaca berulang kali.


(16)

Kehadiran media massa merupakan salah satu gejala yang menandai kehidupan masyarakat modern dalam menyampaikan informasinya, media mempunyai cara pengemasan yang fariatif dan beragam yang disesuaikan dengan segmentasi, konsumen, orientasi internal diri media itu sendiri dan banyak faktor-faktor kepentingan yang lain.

Media massa merupakan bidang kajian yang kompleks, media massa bukan berarti hanya satu variasi media yang menyajikan informasi kepada khalayak, tetapi khalayak juga yang menggunakan media untuk mendapatkan informasi, ada juga yang menggunakan media untuk mendapatkan hiburan atau mengisi waktu.

Media massa adalah penyaji realita. Para pengelola media massa di ibaratkan koki yang memproses peristiwa menjadi berita, features, investigative reporting, artikel, dialog interaktif, gambar bergerak dan suara penyiar untuk disajikan kepada khalayak. Sang koki seharusnya merujuk pada fakta, akurasi, aktualitas, kaidah bahasa dan etika. Namun ia boleh memasukkan subyetivitas dengan menentukan mana yang diletakkan pada bagian yang “sangat penting” agar mendapat perhatian dan minat khalayak (Pareno, 2005 : 6).

Media massa menurut Defleur dan Denia merupakan suatu alat yang digunakan untuk komunikasi dalam penyampaian pesan yang ditransmisikan dengan menggunakan suatu tehnologi, dimana sasaran media tersebut merupakan khalayak yang besar dan misal yang menyimak dan merasakan terpaan pesan dengan caranya sendiri (Winarso, 2005 : 171).


(17)

Fungsi media massa menurut Jay Black dan F.C Whitney, yaitu media massa memberikan hiburan, melakukan persuasi dan sebagai transmisi budaya atau tempat berlalunya nilai-nilai budaya dan sosial diluar kita (Winarso, 2005 : 28). Fungsi media massa secara umum dalam berbagai wacana ada empat fungsi yaitu fungsi penyalur informasi, fungsi untuk mendidik, fungsi untuk menghibur dan fungsi untuk mempengaruhi. Keempat fungsi tersebut sangat melekat erat dalam media massa secara utuh dan fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan, mempengaruhi atau mendukung satu dengan yang lainnya sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara bersama-sama, tanpa mengesampingkan salah satu diantaranya.

Media cetak bisa dipakai untuk mentransmisikan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena memiliki kemampuan membawa pesan yang spesifik dengan penyajian yang mendalam. Majalah berbentuk seperti buku yang mempunyai kualitas permanent sehingga bisa disimpan dalam waktu yang lama.

Majalah yang ada saat ini, seiring dengan perkembangan jaman telah mengalami banyak kemajuan. Jika pada mulanya kehadiran majalah dalam bentuk cetak sederhana, dicetak diatas kertas dengan kualitas apa adanya. Maka saat ini hadir dalam bentuk dan sajian yang lebih bagus dan menarik. Karena dicetak dengan kualitas yang tinggi. Macam-macam majalah yang beredar saat ini sangat beraneka ragam seperti majalah anak-anak, remaja, dewasa, olahraga, keluarga, politik, bisnis, pria dan wanita. Semakin banyak


(18)

jumlah majalah yang beredar di masyarakat secara otomatis akan membuat pembaca menjadi selektif dalam memilih majalah sesuai dengan kebutuhan mereka akan informasi dan hiburan, baik majalah dalam negeri maupun majalah luar negeri.

Majalah merupakan media yang terbit secara berkala, yang isinya meliputi bermacam-macam artikel, cerita, gambar dan iklan (Djuroto, 2002 : 32). Majalah mempunyai fungsi menyebarkan informasi yang ada disekitar lingkungan masyarakat. Dalam buku Desain Komunikasi Visual, Kusmiati (1999:36), mengatakan bahwa Visualisasi adalah cara atau sarana untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi lebih jelas secara visual yang mampu menarik emosi pembaca, dapat menolong seseorang untuk menganalisa, merencanakaan dan memutuskan suatu problema dengan mengkhayalkannya pada kejadian yang sebenarnya. Media verbal gambar merupakan media yang paling cepat untuk menanamkan pemahaman. Informasi bergambar lebih disukai dibandingkan dengan informasi tertulis karena menatap gambar jauh lebih mudah dan sederhana. Gambar berdiri sendiri, memiliki subjek yang mudah dipahami dan merupakan “symbol” yang jelas dan mudah dikenal (Waluyanto, 2000:128).

Karikatur sebagai wahana penyampai kritik sosial seringkali kita temui didalam berbagai media cetak, di dalam media ini karikatur menjadi pelengkap terhadap tajuk rencana, opini, serta artikel pilihan lainnya. Keberadaannya biasanya disajikan sebgai selingan atau dapat dikatakan sebagai penyejuk setelah para pembaca menikmati rubrik-rubrik atau


(19)

artikel-artikel yang lebih serius dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran. Meskipun sebenarnya pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah karikatur sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita dan artikel namun pesan-pesan dalam karikatur lebih mudah dicerna karena sifatnya yang menghibur. Seringkali gambar itu terkesan lucu dan menggelikan sehingga membuat kritikan yang disampaikan oleh karikatur tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan.

Kesengajaan dalam membentuk sebuah pesan menggunakan bahasa simbol atau non verbal ini juga bukanlah tanpa maksud, penggunaan bentuk non verbal dalam karikatur lebih diarahkan kepada pengembangan interpretasi oleh pembaca secara kreatif, sebagai respon terhadap apa yang diungkapan melalui karikatur tersebut. Dengan kata lain, meskipun dalam suatu karya karikatur terdapat ide dan pandangan-pandangan seorang karikaturis, namun melalui suatu proses interpretasi muatan makna yang terkandung didalamnya akan dapat berkembang secara dinamis, sehingga dapat menjadi lebih kaya serta lebih dalam pemaknaannya.

Memahami makna karikatur sama rumitnya dengan membongkar makna sosial dibalik tindakan manusia, atau menginterpretasikan maksud dari karikatur sama dengan menafsirkan tindakan sosial. Menurut Heru Nugroho, bahwa dibalik tindakan manusia ada makna yang harus ditangkap dan dipahami, sebab manusia melakukan interkasi sosial melalui saling memahami makna dari masing-masing tindakan (Indarto, 1999 : 1).


(20)

Dalam sebuah karikatur yang baik, kita menemukan perpaduan dari unsur-unsur kecerdasan, ketajaman dan ketepatan berpikir secara kritis serta ekspresif melalui seni lukis dalam menanggapi fenomena permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat luas, yang secara keseluruhan dikemas secara humoris. Dengan demikian memahami karikatur juga perlu memiliki referensi-referensi sosial agar mampu menangkap pasan yang ingin disampaikan oleh karikaturisnya. Tokoh, isi, maupun metode pengungkapan kritik yang dilukiskan secara karikatural sangat bergantung

pada isu besar yang berkembang yang dijadikan headline.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa karikatur merupakan salah satu

wujud lambang (symbol) atau bahasa visual yang keberadaannya

dikelompokkan dalam kategori komunikasi non verbal dan dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Karikatur merupakan ungkapan ide dan pesan dari karikaturis kepada publik yang dituju melalui simbol yang berwujud gambar, tulisan dan lainnya.

Gagasan menampilkan tokoh atau simbol yang realistis diharapkan membentuk suasana emosional, karena gambar lebih mudah dimengerti dibandingan tulisan. Sebagai sarana komunikasi, gambar merupakan pesan non verbal yang dapat menjelaskan dan memberikan penekanan tertentu pada isi pesan. Gambar dalam karikatur dangat berpengaruh, karena gambar lebih mudah diingat daripada kata-kata, paling cepat pemahamannya dan mudah dimengerti. Karena terkait dengan maksud pesan yang terkadung dalam isi dan menampilkan tokoh yang sudah dikenal. Gambar mempunyai


(21)

kekuatan berupa fleksibilitas yang tinggi untuk menghadirkan bentuk atau perwujudan gambar menurut kebutuhan informasi visual yang diperlukan. Simbol atau tanda pada sebuah karikatur mempunyai makna yang dapat digali kandungan faktualnya. Dengan kata lain, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis pula. Dimana didalamnya terkandung makna, maksud dan arti yang harus diungkap.

Simbol pada gambar merupakan simbol yang disertai maksud (signal). Sobur (2003:163) menyatakan bahwa pada dasarnya simbol adalah sesuatu yang berdiri atau ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan di antaranya tersembunyi atau tidak jelas. Sebuah symbol dapat berdiri untuk institusi, ide, cara berpikir, harapan dan banyak hak lain.

Dapat disimpulkan bahwa simbol atau tanda pada sebuah gambar memiliki makna yang dapat di gali. Dengan kata lain, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis pula. Atau memiliki sesuatu yang pasti diungkap maksud dan artinya.

Karikatur sebenarnya memiliki arti sebagai gambar yang didistorsikan, diplesetkan atau dipelototkan secara karakteristik tanpa bermaksud melecehkan si pemilik wajah. Karikatur membangun masyarakat melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Jika dilihat dari wujudnya, karikatur mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi itulah pesan tersebut menjadi bermakna. Disamping itu, gabungan antara tanda dan pesan yang ada pada karikatur diharapkan mampu mempersuasi khalayak yang dituju.


(22)

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tanda verbal (terkait dengan judul, subjudul dan teks) dan tanda visual (terkait dengan ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual) karikatur dengan pendekatan semiotika.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karikatur, disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda vebal akan didekati dari ragam bahasanya, tema dan pengertian yang didapatkan, sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya apakah secara ikon, indeks maupun simbolis.

Hal tersebut tercermin pada Karikatur Layanan Masyarakat pada Majalah Tempo edisi 09-15 Agustus 2010 mengenai Kredibilitas Penegak Hukum yang saat ini bisa dibilang tidak bisa dipercaya lagi kebenarannya sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Iklan Layanan Masyarakat ini menyampaikan pesan bahwa “Keadilan Tak Berpihak, Keadilan Tak Bisa Dibeli”. Pesan ini menyampaikan bahwa keadilan tidak bisa disuap, memberikan keputusan yang benar adalah menjadi hal yang terbaik. Keadilan juga tidak memihak siapapun, semuanya harus berdasarkan hukum secara tertulis.

Nyaris setahun terakhir ini, kondisi peradilan di Indonesia menjadi sorotan banyak pihak akibat berbagai kasus yang mencuat. Persoalan makelar kasus, korupsi dan suap yang melibatkan penegak hukum, serta mafia peradilan yang lebih dikenal sebagai mafia hukum. Semua ini


(23)

menyisakan ketakutan dalam hati setiap warga masyarakat Indonesia. Karena itu, sebagai lembaga independen yang bertugas mengawasi jalannya peradilan di Indonesia, Komisi Yudisial kembali menegaskan status dan wewenang yang ada sesuai dengan undang-undang. Dilihat dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi setidaknya ada dua tugas Konstitusi Yudisial yaitu sebagai lembaga pengawas peradilan. Undang-Undang Dasar amandemen ketiga pasal 24B menyebutkan dengan jelas bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (majalah Tempo Rubrik Komisi Yudisial edisi 09-15 Agustus 2010).

Menjadi penegak hukum yang terpilih tidaklah mudah, mereka yang akan mengabdi kepada kebenaran hukum ini harus melalui seleksi persyaratan yang ketat. Yang bisa menjadi nomine hakim terbaik adalah mereka yang telah bekerja sebagai hakim lebih dari lima tahun, tidak pernah tersangkut penyalahgunaan kode etik, pernah menangani kasus yang menyita perhatian publik, punya terobosan dalam pertimbangan hukum, dan bersih. Singkatnya, integritas calon penegak hukum haruslah teruji dan diakui. Peserta seleksi calon hakim agung tidka bisa datang dari usulan mereka sendiri, tidak seperti seleksi anggota lembaga negara lainnya. Para calon hakim agung ini mesti diusulkan oleh pihak lain. Proses seleksi hakim agung ini memang sangat ketat, karena calon hakim agung yang terpilih diharapkan menjadi ujung tombak pembaruan di Mahkamah Agung


(24)

sehingga penegakkan hukum dan keadilan yang kita harapkan dapat segera terwujud (majalah Tempo Rubrik Komisi Yudisial edisi 09-15 Agustus 2010).

Dilihat dari fenomena yang ada saat ini keseriusan aparat pun dipertanyakan dalam memproses hukum orang-orang yang terlibat. Kebenaran dan keadilan pun dipertanyakan dalam memproses hukum orang-orang yang terlibat. Keadilan ini memiliki dengan dua timbangan seimbang melambangkan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keteraturan dalam lingkungan sosial. Aturan mencakup semua aspek kehidupan berdasarkan norma, etika, adat istiadat, dan pandangan logis. Kenyataan di lapangan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara sering main mata. Keberadaan pengadilan hanya formalitas untuk legalitas vonis yang sudah tidak murni lagi. Jatuhnya vonis pengadilan bisa diatur sesuai imbalan yang diberikan. Jangan heran bila banyak terdakwa yang terlibat kasus kelas kakap mendapat vonis ringan bahkan bebas. Hukum berlaku tegas, keras, dan memaksa kepada masyarakat lemah yang buta hukum. Jauh dari itu aparat sering menindas masyarakat dengan memanfaatkan faktor kebutaan pengetahuan tentang hukum. Berbanding 180 derajat hukum melempem menghadapi orang dengan kekuatan kekuasaan dan financial besar. Patokan palu hakim terdengar manis bagi pembeli keputusan dan terdengar pahit bagi pencari kebenaran hakiki. Karena itu, masyarakat sangat phobia berhubungan dengan hukum.


(25)

(http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/9 5/palu-hakim-untuk-siapa ).

Mereka menganggap mengurus suatu perkara sama dengan buang-buang uang, tenaga, waktu, dan membuka pintu penjara sendiri. Palu meja hijau selalu bermata hijau kepada limpahan uang sehingga uang adalah raja dan keadilan keberpihakan kepada uang. Kerjasama antara polisi, jaksa, hakim, dan pengacara dalam bersandiwara di pengadilan sudah berlangsung lama. Mereka hidup disana, mereka membawa nama besar institusi penegak hukum, dan mereka pula yang mencoreng-coreng muka sistem peradilan. Image kotor ini karena aparat tunduk pada kekuasaan dan materi belaka. Sedangkan keadilan untuk rakyat kecil diabaikan. Keadilan telah

bermetamorfosa menjadi barang langka dengan melawan common sense

(proses politik yang dipenuhi dengan hal-hal yang logis dan bisa dinalar secara sederhana oleh “subjek sadar” secara luas dan umum). Pengadilan bahkan lebih banyak mengorbankan kebaikan dan fakta kebenaran, meringankan timbangan kesalahan dan menghilangkan fakta kebenaran merupakan perilaku tercela yang merendahkan martabat pengadilan.

(http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/9 5/palu-hakim-untuk-siapa ).

Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan


(26)

demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.


(27)

Beberapa contoh bahwa saat ini terjadi kekotoran institusi penegakan hukum adalah terjadinya korupsi. Korupsi sampai saat ini semakin lama semakin merajalela dikalangan pengusaha besar maupun untuk oknum-oknum pemerintahan itu sendiri. Salah satu contoh kasus korupsi yang sedang hangat-hangatnya adalah kasus penanganan kasus money laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan. Gayus telah dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Karena Gayus seorang pegawai negeri yang hanya golongan III A dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Sangat tidak mungkin dan tidak logis jika Gayus memiliki uang sebanyak itu. Setelah diteliti oleh jaksa, terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus. Kasus korupsi lainnya adalah jaksa agung Syahril Johan dituntut hukuman dua tahun penjara dan denda 75 juta rupiah, dalam sidang kasus dugaan mafia hukum yang mendudukkannya di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Karena berdasarkan fakta di persidangan, Syahril Johan terlibat dalam kasus suap dengan menyerahkan uang sebesar 500 juta rupiah, dari kuasa hukum pemilik PT HU, Haposan Hutagalung kepada mantan Kabareskrim Komjen Polisi Susno Duaji untuk penanganan kasus PT Salman Arwana Lestari. Terdakwa juga diminta


(28)

oleh Haposan untuk menyampaikan pesan kepada Susno terkait kasus pajak Gayus Tambunan.

Dengan adanya kasus-kasus korupsi yang sudah menjadi kegiatan kebiasaan ini dikarenakan adanya kenakalan para penegak hukum dan adanya permainan dari keterlibatan penegak hukum dengan para pejabat tinggi atau pemerintahan. Masyarakat Indonesia menantikan langkah konkret rehabilitasi kekotoran institusi penegakan hukum. Pertama, pengadilan sebagai institusi netral harus menegakkan independensi. Kedua, pengadilan menggunakan dua mata keadilan dalam menilai kebenaran dan kebohongan. Ketiga, institusi ini harus menimbang tinggi kejujuran fakta sehingga keadilan bisa diperoleh siapapun. Terakhir, penegak hukum harus memenangkan kebenaran dan menghukum tegas kebatilan.

Seiring dengan maraknya kasus korupsi yang semakin melebar, masyarakat sangat merasa resah dan marah. Masyarakat selalu mengungkapkan rasa resahnya dengan melakukan pemberontakan secara langsung. Contohnya dengan demonstrasi, banyak sekali masyarakat sering menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah dengan cara demonstrasi tersebut.

Tidak hanya itu saja, masyarakat maupun pegawai jika merasa tidak puas dengan keadaan yang telah dijalaninya dan butuh perubahan. Mereka pun mengikuti cara pemberontakan secara langsung yaitu dengan demonstrasi. Seperti masyarakat dengan pemerintahan, pegawai dengan managernya, dan mahasiswa dengan rektor.


(29)

Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti ingin merepresentasikan “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia yang dapat dipercaya, jujur, tidak menerima suapan, dapat memberikan kebenaran sesuai hukum yang berlaku, adil dan bersih. Dalam Iklan Layanan Masyarakat ini penulis berharap dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat di Indonesia bahwa Keadilan tidak dapat dibeli dan Keadilan tidak memihak siapapun.

Melalui pendekatan teori semiotika diharapkan karikatur mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan estetik pada karikatur dipandang dari hubungan antara tanda dan pesan. Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan karikatur serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreatifitas pembuatan desain karikatur.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karikatur, disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya dimana hal tersebut terangkum dalam teori Charles Sanders Pierce. Tanda-tanda yang telah


(30)

dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan lainnya.

Peneliti memilih majalah Tempo karena melihat dari sejarah dari majalah Tempo ini telah memiliki keberanian yang sangat kritis dalam mengangkat fenomena-fenomena yang berkaitan dengan permasalahan poleksusbudhankam. Salah satunya tentang tokoh-tokoh politik nasional, dengan adanya penyampaian pesan lewat karikatur akan didapatkan persepsi yang berbeda-beda dari khalayak sasaran yang memaknainya. Contohnya yaitu adalah salah satu rubrik liputan khusus terlipih majalah Tempo yang mengangkat Hakim-Hakim Pilihan Tempo. Liputan khusus ini sangat tidak mudah menjalaninya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, karena tim ini harus mencari hakim-hakim diseluruh Indonesia yang terbaik dan benar-benar terpilih. Butuh waktu 8 bulan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan liputan khusus ini.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi yang bertujuan untuk melakukan sebuah studi semiotika untuk mengetahui Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010).

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka perumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :


(31)

Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Iklan Layanan Masyarakat Majalah Tempo Edisi 09-15 Agustus 2010).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atas wawasan serta bahan referensi bagi mahasiswa komunikasi pada jenis penelitian semiotika, serta seluruh mahasiswa pada umumnya agar dapat diaplikasikan untuk perkembangan ilmu komunikasi pada masa mendatang.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat menjadi kerangka acuan bagi pihak Editor untuk menghasilkan karikatur yang lebih inovatif dan variatif dalam menggambarkan realitas kehidupan, cermin budaya masyarakat, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.


(32)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Media Cetak

Secara garis besar media massa dapat dibedakan menjadi dua, yakni media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak maupun media massa elektronik merupakan media massa yang banyak digunakan oleh masyarakat di berbagai lapisan social terutama di masyarakat kota. Keberadaaan media massa seperti halnya pers, radio, televisi, film dan lain-lain, tidak terlepas kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. media massa dapat menjadi jembatan yang menghubungkan komunikator dengan komunikan yang melintasi jarak, waktu, bahkan lapisan sosial dalam masyarakat (Sugiharti, 2000:3).

Media cetak dalam hal ini adalah suatu bentuk media yang statis yang mengutamakan pesan-pesan visual. Media ini terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambaran atau foto dalam tata warna dan halaman putih (Kasali, 1992:99).

2.1.2. Majalah

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, Majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, informasi yang patut diketahui oleh konsumen pembaca, artikel, sastra, dan sebagainya yang menurut kala


(33)

terbitnya dibedakan atas majalah bulanan, majalah tengah bulanan, majalah mingguan dan sebagainya.

Majalah lazimnya berjilid, sampul depannya dapat berupa ilustrasi foto, gambar atau lukisan tetapi dapat pula berisi daftar isi atau artikel utama serta kertas yang digunakan lebih mewah dari surat kabar. Majalah sebagai salah satu bentuk dari media massa yang snagat perlu diperhatikan keheterogenan pembaca yang merupakan ciri dari komunikasi massa. Majalah adalah terbitan berkala yang berita bacaannya ditujukan untuk umum dan ditulis oleh beberapa orang dengan bahasa yang popular sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

Menurut Junaedhie (1991:54), dilihat dari isinya majalah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a. Majalah Umum

Majalah yang memuat karangan-karangan, pengetahuan umum, komunikasi yang menghibur, gambar-gambar, olahraga, film dan seni.

b. Majalah Khusus

Majalah yang hanya memuat karangan-karangan mengenai bidang-bidang khusus seperti majalah keluarga, politik dan ekonomi.

2.1.3 Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Pilang, 2006:24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Melalui representasi, ide-ide ideologis dan abstrak mendapat bentuk


(34)

abstraknya. Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, berita dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahsa. Ada empat komponen dasar dalam industri media yang mengemas pesan dan produk:

1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk

2. Pesan atau produk itu sendiri

3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri maupun

bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan

4. Dan penampakan akhir dari produk itu tersebut

Komponen-komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang diperjuangkan secara terus- menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini dapat menimbulkan pola-pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda.

Menurut Stuart Hall (1977) Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol


(35)

dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memaknai representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada didunia. Kedua, pendekatan intensional dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga, adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, mental yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yaitu berperan penting pada proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dini dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua kita mengkonstruksi seperangkat rantai


(36)

korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.

(Juliastuti, 2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm)

2.1.4 Kredibilitas

Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan. Aplikasi umum yang sah dari istilah kredibilitas berkaitan dengan kesaksian dari seseorang atau suatu lembaga selama persidangan. Kesaksian haruslah kompeten dan kredibel apabila ingin diterima sebagai bukti dari sebuah isu yang diperdebatkan. Kredibilitas dari saksi atau pihak tergantung kepada kemampuan hakim atau juri (di negara yang menggunakan sistem juri) untuk mempercayai dan menyakini apa yang ia katakan, dan terkait dengan akurasi dari kesaksiannya sendiri terhadap logika, kebenarannya, dan kejujuran. Kredibilitas pribadi tergantung pada kualitas dari seseorang yang akan mengarahkan juri untuk percaya atau tidak percaya kepada apa yang ia katakan (www.wikipedia.com).

Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga walaupun itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama. Hakim juga adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan tugasnya

ditentukan oleh undang-undang.  Hakim adalah pegawai negeri sipil yang

mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim. 


(37)

Tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.

Hakim harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Zaman sekarang kadang-kadang hakim salah menempatkan sikapnya, yang seharusnya sikap itu harus dilingkungan keluarga, ia bawa waktu persidangan. Ini tentunya akan mempengaruhi putusan.

Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat. Uraian Kode Etik Hakim meliputi :

1. Etika keperibadian hakim 2. Etika melakukan tugas jabatan

3. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan 4. Etika hubungan sesama rekan hakim 5. Etika pengawasan terhadap hakim

Setiap hakim bertanggung jawab atas perbuatannya di bidang hukum (peradilan). Tanggung jawab tersebut dibedakan antara tanggung jawab undang-undang (public) dan tanggung jawab moral. Tanggung jawab undang-undang-undang-undang


(38)

adalah tanggung jawab hakim kepada penguasa (Negara) karena telah melaksanakan peradilan berdasarkan perintah undang-undang. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab hakim selaku manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberinya amanat supaya melaksanakan peradilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.

Tanggung jawab hakim diwujudkan melalui keputusannya yang baik, bermutu, dan berdampak positif bagi masyarakat dan Negara. Jika tidak demikian, maka hakim yang tidak bertanggung jawab akan menanggung segala akibat yang ditimbulkan oleh keputusannya yang tidak adil itu, baik berupa kebencian masyarakat, sanksi undang-undang, atau pembalasan dari Tuhan. (www.fadliyanur.blogspot.com.2008-01.html)

2.1.5 Hukum

Istilah hukum mengandung pengertian yang luas yang meliputi semua peraturan atau ketentuan baik yang teretulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya.

Hukum memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dan perubahan masyarakat. Ada dua aspek yang menonjol dalam perubahan hukum dan perubahan masyakat yaitu (Ali, 2002:191) :

1. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian oleh

hukum. Dengan kata lain, bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat. Ini menunjukkan sifat pasif dari hukum.


(39)

2. Sejauh mana hukum beperan untuk menggerakan masyarakat menuju suatu perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif dan inilah yang sering

disebut sebagai fungsi hukum “a tool of social engineering” sebagai alat

rekayasa masyarakat.

Dalam rangka menjalankan fungsi untuk sebagai “a tool of social

engineering”, hukum sebagai sarana pembangunan, hukum itu menurut Michael

Hager dapat mengabdi pada 3 (tiga) sector utama yaitu (Abdurachman, 1979:21) :

1. Hukum sebagai alat penertib (Ordering)

Dalam rangka penertiban ini hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum secara baik. Ia pun dpat meletakkan dasar hukum

(legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan.

2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (Balancing)

Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara atau kepentingan umum dan kepentingan perorangan.

3. Hukum sebagai katalisator

Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya

proses perubahan melalui pembaharuan hukum (Law Reform) dengan bantuan

tenaga kreatif dibidang profesi hukum.

Mengingat fungsi dan peranan hukum yang sangat strategis dalam pembangunan masyarakat dewasa ini, maka hukum harus menjamin adanya kepastian hukum, keadilan dan kegunaan bagi masyarakat (Rahardjo, 1986:20).


(40)

2.1.6 Hukum dan Peradilan di Indonesia

Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut “stabilitas nasional”. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.

Dimanapun, lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya jauh dari harapan. Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan masyarakat dari keadilan. Orang begitu sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan. Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan adanya permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia peradilan. Pengadilan perkara korupsi mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaedi yang mengamuk dan berteriak telah memberikan uang Rp 600 juta kepada jaksa yang sebagiannya, yakni Rp 250 juta digunakan untuk memesan hakim adalah bukti bahwa keberadaan mafia peradilan bukanlah isapan jempol.

Disinyalir, menurut hampir semua lapisan aparat penegak hukum terlibat mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, hingga advokat mulai dari tingkat daerah


(41)

sampai di Mahkamah Agung. Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998 menyebutkan, korupsi di peradilan Indonesia memiliki rangking paling tinggi di antara negara-negara seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan seterusnya.

Tidak hanya itu, saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang hilang dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung , tidak hanya menunjukkan banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) yang dilakukan oleh masyarakat

khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes) adalah bukti

ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum (disrespecting

and distrusting the law). (http//ahmardifan.wordpress.com)

2.1.7 Pengadilan

Pengadilan adalah sebuah forum publik, resmi, dimana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif, dan kriminal di bawah hukum.

Dalam negara dengan system common law, pengadilan merupakan cara utama


(42)

memiliki hak untuk membawa klaimnya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta perlindungan di pengadilan.

(http//id.wikipedia.org/wiki/pengadilan).

2.1.8 Peradilan

Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar “adil” yang berarti meletakkan sesuatu pada semestinya. Kata peradilan dan pengadilan mempunyai arti yang berbeda akan tetapi terkadang dipakai untuk arti yang sama. Peradilan adalah sebuah sistem aturan yang mengatur agar supaya kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan, sedangkan pengadilan adalah sebuah perangkat organisasi penyelenggara peradilan, dan pengadilan inilah yang biasa disebut lembaga peradilan. Sedangkan keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya (Friedrich, 2004:239).

Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolute dan mengasumsikannya bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat


(43)

mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini.

Menurut Basri (1996:43) tentang lembaga peradilan menyatakan: Pembahasan mengenai pengadilan biasanya dilakukan secara preskriptif, atau “apa yang seharusnya”. Hal itu dilakukan karena peradilan (sebagai institusi atau pranata hukum) dan pengadilan (sebagai organisasi penyelenggara peradilan) dipandang sebagai sesuatu yang otonom. Ia dipandang sebagai suatu kesatuan yang integrasi, yang terdiri atas berbagai unsur yang saling berhubungan dan saling tergantung. Namun demikian, pembahasan mengenai kekuasaan pengadilan dapat pula dilakukan secara deskriptif atau “apa yang senyatanya”. Ia didasarkan pada fakta yang diperoleh dari pelaksanaan kekuasaan pengadilan berhubungan dengan berbagai macam unsur di luar pengadilan yang beraneka ragam, maka pengadilan dikemukakan dengan serba “kemungkinan”.

2.1.9 Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia

Presiden SBY pun menyadari betapa lemahnya penegakan hukum di Tanah Air. “Presiden menyambut baik penelitian yang dilakukan Todung Mulya Lubis dkk. Presiden sejak awal pemerintahan sudah menyadari lemahnya penegakan hukum di Indonesia”, kata staf khusus presiden bidang hukum Sardan Marbun. Hal ini disampaikan dia usai diskusi bertajuk “Reformasi lembaga peradilan” di Timebreak Cafe, Plaza Semanggi, Jakarta. “Namun saat ini penegakkan hukum selama SBY memerintah sudah lebih baik. Untuk reformasi peradilan, itu tergantung dari yudikatif, bukan eksekutif. Pemerintah tidak boleh


(44)

campur tangan”. Sementara anggota Komisi III DPR Nursjahbani Katjasungkana menilai survey dari TII merupakan persepsi dari lembaga tersebut. Praktek-praktek suap di peradilan saat ini masih ada dan dilakukan oleh semua perangkat peradilan, seperti panitera, hakim, dan jaksa.

(http//www.detiknews.com/read/2007/03/03/193745/749373/10/sby-nyadari-lemahnya-penegakan-hukum-di-tanah-air)

2.1.10 Permasalahan Hukum di Indonesia

Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil


(45)

tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.

Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Sehingga dapat di katakan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.

Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Antara lain :

 Tingkat Kekayaan Seseorang

Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan


(46)

menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus-kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.

 Tingkat Jabatan Seseorang

Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, sementara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Dalam


(47)

kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

 Nepotisme

Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.

2.1.11 Korupsi

Korupsi di Indonesia berkembang pesat. Korupsi meluas ada dimana-mana dan terjadi secara sistematis. Artinya seringkali korupsi dilakukan dengan


(48)

rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi modern. Seseorang yang mengetahui ada dugaan korupsi jarang yang mau bersaksi, dan kalaupun berani melapor serta bersaksi, ada saja oknum penegak hukum yang tidak melakukan tindakan hukum sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya dalam kenyataan hidup sehari-hari, korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang. Masyarakat yang terbiasa korup, akan sulit membedakan mana tindakan yang korup dan mana yang bukan tindakan korup. Ternyata ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi meningkat pula. Sebaliknya ketika korupsi berhasil dikurangi, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum bertambah. Kepercayaan yang membaik dan dukungan masyarakat membuat penegakan hukum menjadi efektif. Penegakan hukum yang efektif dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi. Jadi kita bisa katakan bahwa dengan mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.

Asal kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.

Corruptio berasal dari kata corrumpere , suatu kata latin yang lebih tua. Dari

bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption,

corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari

bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu Korupsi (Andi Hamzah, 2005:4).

Ciri-ciri korupsi menurut Alatas(1983):

1. Dilakukan lebih dari satu orang

2. Merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin diraih


(49)

4. Berlindung dibalik pembenaran hukum

5. Melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum

6. Mengkhianati kepercayaan

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu:

1. Penegakan hukum tidak konsisten. Penegakan hukum hanya sebagai make-up

politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.

2. Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak

menggunakan kesempatan.

3. Langkanya lingkungan yang antikorup. System dan pedoman antikorupsi

hanya dilakukan sebatas formalitas.

4. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh

harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

5. Kemiskinan, keserakahan. Masyarakat kurang mampu melakukan korupsi

karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.

6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.


(50)

2.1.12 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Selama ini pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian serta badan-badan lain mengalami berbagai hambatan (karena ada campur tangan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif). Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai kewenangan luas (meliputi kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan) dan independen (mandiri, bebas dari kekuasaan manapun), dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan korupsi. (www.kpk.go.id)

Visi KPK yaitu mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Dan Misi KPK yaitu sebagai penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi. Berdasarkan waktu, strategi KPK dapat dibagi menjadi Strategi Jangka Pendek, Strategi Jangka Menengah, dan Strategi Jangka Panjang. Sedangkan berdasarkan tugasnya, strategi KPK dapat dibagi menjadi Strategi Pembangunan Kelembagaan, Strategi Pencegahan, Strategi Penindakan dan Strategi Penggalangan Keikutsertaan Masyarakat. Asas KPK adalah kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.

KPK bertanggung jawab kepada masyarakat atas pelaksanaan tugasnya, dengan cara melakukan audit terhadap kinerja dan pertanggung jawaban keuangan, menerbitkan dan menyampaiakan Laporan Tahunan kepada Presiden, DPR, BPK dan membuka akses informasi kepada masyarakat.


(51)

2.1.12. Iklan Layanan Masyarakat

Iklan layanan masyarakat adalah iklan yang digunakan untuk menyampaikan informasi, mempersuasi atau mendidik khalayak dimana tujuan akhir bukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, melainkan keuntungan sosial (Widyatama, 2007:104). Keuntungan sosial yang dimaksud adalah munculnya penambahan pengetahuan-pengetahuan, kesadaran sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap masalah yang diiklankan, serta mendapat citra baik dimata masyarakat.

Secara normatif, bertambahnya pengetahuan, dimilikinya kesadaran sikap dan perubahan perilaku masyarakat tersebut sangat penting bagi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Sebab masyarakat akan terbangun dan digiring pada situasi kearah keadaan yang lebih baik. Umumnya, materi pesan yang disampaikan dalam iklan jenis ini berupa informasi-informasi publik untuk menggugah khalayak melakukan sesuatu kebaikan yang sifatnya normatif. Misalnya anjuran agar tertib berlalu lintas; memiliki budaya antri; menyukai kebersihan lingkungan; hemat listrik; hemat air; hemat BBM; menjaga kelestarian lingkungan; melindungi satwa liar; mencintai budaya sendiri; memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi; demokratis; anti kekerasan; sportivitas; perilaku seks yang sehat; mengikuti gerakan orang tua asuh; peduli dengan kelompok masyarakat miskin; dan sebagainya.

Selain mendatangan kebaikan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, bertambahnya pengetahuan masyarakat dan munculnya kesadaran sikap serta


(52)

perilaku sebagaimana inti pesan juga dapat menguntungkan pengiklan itu sendiri, selain mendapatkan citra baik di tengah masyarakat.

Keuntungan tersebut misalnya, program kerja institusi tersebut dapat lebih terbantu; Visi dan misi lembaga tersebut dapat lebih mudah diwujudkan dan sebagainya. Keuntungan tersebut bisa diperoleh karena masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang mendukung terhadap program kerja, visi dan misi lembaga. Sehingga untuk mewujudkan isi dan misi lembaga tersebut, maka akan didukung pula oleh masyarakatnya. Dengan demikian, beban lembaga untuk mewujudkan visi dan misi tersebut dapat lebih ringan, karena didukung dan dibantu oleh masyarakat.

2.1.13. Konsep Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan

istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of Meaning, (Ogden

dan Richards dalam Kurniawan, 2008:27) telah mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna.

Makna sebagimana dikemukakan oleh Fisher (dalam Sobur 2004:248), merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “Ultarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner. “tetapi”, kata Jerold Kats (dalam


(53)

Kurniawan,2008:47), “setiap usaha untuk memberikan jawaban yang langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya Plato, telah terbukti terlalu samar dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban salah”.

Menurut Devito, makna terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. “Kita” lanjut Devito, menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar dan apa yang ada dalam benak kita.

Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah (1) menjelaskan makna secara alamiah, (2) mendeskripsikan secara alamiah, (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson dalam Sobur, 2004:258).

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep makna. Model konsep makna (Johnson dalam Devito,1997:123-125) sebagai berikut :

1. Makna dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata

melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar apa yang ada dalam benak kita dan proses ini adalah proses yang bisa salah.


(54)

2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis, banyak dari kata-kata yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang alu. Tetapi makna dari kata-kata ini dan berubah dan ini khusus yang terjadi pada dimensi emosional makna.

3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi

mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

4. Penyingkatan berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat

dengan gagasan bahwa acuan tersebut kita butuhkan bilamana terjadi masalah komunikasi yang akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan acuan yang diamati. Bila kita berbicara tentang cerita, persahabatan, kebahagiaan, kejahatan dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengatkainnya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.

5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata

dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu kebanyakan kita mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila ada sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

6. Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita

peroleh dari suatu kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut yang tetap tinggal dalam


(55)

benak kita, karenanya pemaknaan yang sebenarnya mungkin juga merupakan tujuan yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai (Sobur, 2003:258-289).

2.1.14. Pemaknaan Warna

Para teoritis bahasa mengemukakan bahwa kebanyakan kata memiliki makna majemuk. Setiap kata dari kata-kata seperti : merah, kuning, hitam, dan

putih memiliki makna konotatif yang berlainan. Dalam Roget’s ThesaurusI,

seperti dikutip Mulyana (2003:269-261), terdapat kira-kira 12 sinonim untuk kata hitam, dalam beberapa kepercayaan warna-warna seperti warna hitam dan abu-abu memiliki asosiasi yang kuat dengan bahasa, hitam tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang bersifat buruk dan negatif, misalnya : daftar hitam, dunia hitam, dan kambing hitam.

Sedangkan terdapat sinonim untuk kata putih, dan semua bersifat positif. Warna putih kebalikan dari warna hitam, putih mewakili sesuatu yang menyenangkan dan mencerminkan segala sesuatu yang bersifat kebaikan, seperti : murni, bersih, dan suci. Jadi kata hitam umumnya berkonotasi negatif dan warna putih berkonotasi positif (Sobur, 2001:25).

Warna mampu memberikan pemaknaan tentang sesuatu hal, misalnya warna merah, berarti api atau darah, dibeberapa kata merah darah lebih tua dibandingkan dengan kata merah itu sendiri, namun dibeberapa bahasa kata merah digunakan pada saat bersamaan menjadi merah darah. Karena unsur-unsur tersebut, merah dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat dalam hubungannya


(56)

dengan ikatan, kebenaran dan kejayaan, namun tak jarang pula warna merah diartikan sebagai suatu kebencian dan dendam tergantung dari situasi.

Kuning bisa diartikan sebagai sebuah optimis, filosofi dalam budaya barat. Sedangkan warna ungu menandakan nuansa spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekasaran dan keangkuhan. Warna orange yang bersifat energy, keseimbangan, kehangatan, menekankan pada suatu produk yang tidak mahal, menurut budaya barat (Mulyana,2003:376).

Warna menurut Hoed dan Benny Hoedoro 1992. Dalam bukunya “Periklanan” memiliki beberapa makna dalam menunjang kegiatan periklanan karena perpaduan dan kombinasi warna yang menarik akan mempunyai nilai ketertarikan tersendiri dibenak khalayak, diantaranya:

1. Merah

Merah merupakan warna power, energy, kehangatan, cinta, nafsu, agresif, bahaya, kekuatan, kemauan , aksentrik, aktif, bersaing, warna ini memberikan pengaruh kemauan keras dan penuh semangat. Sering juga diapresiasikan untuk menunjuk emosi atau debaran jantung.

2. Orange

Orange merupakan warna energi, keseimbangan, kehangatan, antusiasme, perluasan, pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, keadilan, penjualan, persahabatan, kesehatan pikiran dan pengetahuan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, tekanan sosial, modal kecil, murah, ketertarikan dan independent.


(57)

3. Kuning

Warna kuning ini bersifat menonjol, semangat untuk maju dan toleransi tinggi. Pengaruh warna ini antara lain riang, dermawan dan sukses. Kuning adalah warna yang berkesan optimis, dan termasuk pada golongan warna yang mudah menarik perhatian. Warna ini dapat digunakan untuk menaikkan metabolisme.

4. Merah muda

Merah muda berarti memiliki asosiasi yang kuat dengan citra, keberanian dan kesenangan. Ikatan antara merah dan kehidupan memilki peranan yang penting dalam kebudayaan dibumi.

5. Hijau

Hijau melambangkan alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan, warna bumi, penyembuhan fisik, kesuksesan materi, kelimpahan, kesuburan, keajaiban, tanaman dan pohon, pertumbuhan, pencapaian personal, kebangkitan, jiwa muda, stabilitas, daya tahan, kesegaran, lingkungan, keamanan, rujukan, cinta, keseimbangan, ketenangan, harapan, ketergantungan, dan persahabatan. Warna hijau melambangkan elastisitas keinginan. Cenderung pasif, bertahan, mandiri, posesif, susah menerima pikiran orang lain. Pengaruh dari warna ini adalah teguh dan kokoh, mempertahankan miliknya, keras kepala, dan berpendirian tetap.


(58)

6. Biru

Biru melambangkan kepercayaan, keamanan, teknologi, kebersihan, keteraturan, komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi, spiritual, kelambutan, dinamis, air, laut, kreatifitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari alam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, empati, dingin, konservatisme, persahabatan dan harmoni kasih sayang, kalem, ketenangan, menenangkan namun juga dapat berarti dingin dan depresi. Sebagai dari akibat efek menenangkan, warna biru dapat membuat orang lebih konsentrasi.

7. Abu-abu

Abu-abu melambangkan kewibawaan, intelek, masa depan, kesederhanaan, kesedihan, keamanan, reabilitas, kepandaian, tenang, serius, kesederhanaan, kedewasaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, professional, kualitas, diam dan tenang.

8. Putih

Putih melambangkan positif, ketepatan, ketidak bersalahan, steril , kematian, kedamaian, pencapaian ketinggian diri, kebersihan, kesempurnaan, cahaya, persatuan, lugu, murni, ringan, netral dan fleksibel.


(59)

9. Hitam

Hitam melambangkan power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, keanggunan, keagungan, perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negative, mengikat, formalitas, kekayaan, kajahatan, perasaan yang dalam, kemarahan, harga diri dan ketangguhan.

10.Ungu/Jingga

Ungu/Jingga melambangkan spiritual, misteri, kebangasawanan, transformasi, kekasaran, keangkuhan, pengaruh, pandangan ketiga, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, upacara, kebijakan, pencerahan, arogan, intuisi, mimpi, ketidaksadaran, telepati, empati, imajinasi, kepercayaan yang dalam, harga diri, indepedensi, kontemplasi dan meditasi, ambisi, kemewahan, kekayaan, feminisme, artistik, kuno dan romantik.

2.1.15. Karikatur

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:138).

Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul


(60)

disetiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai karikatur (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139).

Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan

representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana kritik sosial dan politik (Sumandiria, 2005:8).

Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana dia memilih topik isu yang tepat (Sobur, 2006:140).

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2006:140).

2.1.16. Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotic berasal dari kata Yunani semion yang

berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16) dalam Sobur (2006:95).


(61)

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memakai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek

tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001 dalam Sobur, 2006:15).

2.1.17. Semiotik Charles Sanders Peirce

Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara ketiganya disebut hubungan makna. Bila Pierce menekankan pada fungsi logika tanda, maka Saussure yang dianggap sebagai mandiri linguistic modern, lebih menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan menurut Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan berbagai makna. Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna seperti yang dikemukakan oleh Pierce (Bintoro, 2002:12).


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dari gambar Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo edisi 09-15 Agustus 2010 diperoleh kesimpulan bahwa “Kredibilitas Penegak Hukum” merupakan gambar karikatur yang terdiri dari seorang hakim yang matanya sedang ditutup oleh kain putih, terdapat lingkaran kuning seperti lingkaran malaikat yang terdapat diatad kepala hakim tersebut, jubah beserta dasi yang dikenakan oleh hakim, timbangan yang dipegang erat dengan kedua tangan hakim, tiga iblis yang sedang menghambur-hamburkan uang disekeliling hakim. Dimana unsur-unsur tersebut merupakan suatu bentuk yang identik dari lembaga hukum yang ada di negara ini.

Gambar ini mempunyai makna bahwa hukum mudah untuk dipermainkan. Lembaga peradilan menjadi alat untuk menindas yang lemah, tetapi sering tidak berdaya ketika berhadapan dengan orang yang kuat seperti pejabat atau orang-orang kaya. Suap-menyuap dan kerja sama menjadi hal yang biasa di lembaga peradilan. Dalam pelaksanaannya pun peradilan di negeri ini sering berbelit-belit dan bertele-tele. Akibatnya, dalam suatu perkara baru bisa selesai diproses di pengadilan setelah makan waktu yang lama dapat dalam waktu berbulan-bulan atan bertahun-tahun. Belum lagi saat ini lagi banyak-banyaknya kasus yang menguap tidak diselesaikan hanya karena banyaknya tangan-tangan yang bermain.


(2)

101 

Umumnya hal itu terkait dengan kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat dan orang-orang besar seperti konglomerat. Biasanya kasus-kasus besar tersebut tidak jauh dari kasus korupsi dan suap-menyuap yang sering merugikan rakyat banyak, yang menyebabkan miliaran bahkan triliunan uang rakyat raib. Dalam fenomena yang seperti inilah yang menggambarkan rendahnya moral dan etika para penegak hukum. Hukum saat ini berlaku tegas, keras, dan memaksa kepada masyarakat lemah yang buta hukum. Jauh dari itu aparat sering menindas masyarakat dengan memanfaatkan factor kebutaan pengetahuan tentang hukum.

Menurut sudut pandang peneliti yang menjadi ikon dalam Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo edisi 09-15 Agustus 2010 ini ditujukan dengan seorang manusia yang memakai jubah hakim, seorang manusia yang ditutup matanya dengan kain putih dan diatas kepalanya terdapat lingkaran seperti malaikat, iblis yang mengitari manusia tersebut dengan menghambur-hamburkan uang,dan timbangan yang dipegang dengan kedua tangannya oleh manusia.

Yang menjadi indeks dalam penelitian ini adalah teks keadilan tak berpihak dan keadilan tak bisa dibeli, teks Lihat! Lawan! Laporkan!, teks KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sesuai dengan pengertian indeks itu sendiri, bahwa tanda yang hadir akibat adanya hubungan dengan cirri acuannya yang bersifat kausal atau tanda yang secara alamiah mempresentasikan objek lainnya yang muncul berdasarkan sebab akibat.

Sedangkan untuk simbol adalah jubah, dasi, timbangan, dan lingkaran malaikat, iblis, dan uang. Dikarenakan simbol pada dasarnya merupakan tanda


(3)

yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya atau sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan sekelompok orang yang disepakati bersama, bersifat arbiter atau semena.

Dari beberapa uraian kesimpulan seperti yang dijelaskan diatas tersebut, murni hanya sebatas subjektifitas dan pemahaman peneliti, Perbedaan sudut pandang dan pendapat adalah sah menurut Metode Deskriptif Kualitatif. Seperti metode yang peneliti gunakan dalam penelitian Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo edisi 09-15 Agustus 2010.

5.2. Saran

Munculnya gambar karikatur tersebut khususnya gambar dari Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo edisi 09-15 Agustus 2010 dapat menjadi penggerak hati seluruh penegak hukum di Indonesia agar lebih menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang telah dibuat dan untuk ditaati bukan untuk dilanggar. Lebih menegakkan keadilan tidak lagi memandang uang dan tidak lagi menerima suap. Penyampaian pesan dari gambar tersebut seharusnya tidak untuk para hakim saja tetapi lebih bagus jika diperuntukkan oleh seluruh penegak hukum lainnya. Seperti jaksa, polisi, anggota wakil rakyat lainnya. Alangkah indahnya jika menegakkan keadilan berdasarkan hukum yang berlaku, bukan menegakkan keadilan yang berdasarkan orang yang menyuap atau yang mempunyai uang. Janganlah kita terlena dengan kekayaan yang melimpah demi untuk kepentingan


(4)

103 

pribadi, karena disaat kita berbahagia menikmati uang yang melimpah tapi tanpa kita sadari kita telah menyakiti dan menganiaya rakyat kecil yang tidak bersalah.

Peneliti menyampaikan demikian agar orang tidak merasa bingung atau bahkan kecewa karena setiap orang pasti memiliki Field of Experince dan Frame of Refrence yang berbeda-beda. Sehingga dengan maksud dan tujuan tersebut diharapkan suatu permasalahan yang diangkat melalui karikatur harus dapat memahami khalayak mengenai isu-isu yang masih hangat. Dengan menggunakan tanda-tanda non verbal, penampilan gambar dan warna sehingga makna dan pesan dari karikatur dapat mengenai sesuai dengan konsep yang ditampilkan. Penelitian ini masih belum sempurna, maka diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya Representasi “Kredibilitas Penegak Hukum” di Indonesia pada Karikatur Majalah Tempo ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman, 1979, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Nasional,

Alumni, Bandung

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta

Basri, Hasan, 1996, Pelaksanaan Kekuasaan Pengadilan Dalam Lingkungan

dan Peradilan Agama Mimbar Hukum, No.29, Tahun VII, Jakarta :

Al-Hikmah dan DITBINPERA, 1996.

Cangara, Hafid, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : PT.Raja Grafindo

Djuroto, Totok, 2002, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung : PT.Remaja

Rosdakarya.

Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung

Nuansa dan Nusamedia

Indarto, Kuss, 1999, Sketsa DiTanah Mer(d)eka, Yogyakarta : PT.Tiara

Wacana Yogya

Junaedhie, Kurniawan, 1991, Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta :

PT.Gramedia Pustaka Utama

Kasali, Renald, 1995, Manajemen Periklanan Konsep Dan Aplikasinya Di

Indonesia, Jakarta : PT.Pustaka Utama Grafiti

Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Yogyakarta : Yayasan Indonesia

Kusmiati.R, Artini, 1999, Desain Komunikasi Visual, Jakarta : PT.Remaja

Rosdakarya

Panuju, Redi, 2005, Nalar Jurnalistik (Dasar-Dasarnya Jurnalistik), Malang:

Bayu Media Publishing

Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas

Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra

Rahardjo, Sacipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung


(6)

  103

Waluyanto, Heri, Dwi, 2000, Karikatur Sebagai Karya Komunikasi Visual

Dalam Menyampaikan Kritik Sosial, Surabaya : Nirm Journal Vol.2 No.2

UKP, hal 128-134

Widyatama, Rendra, 2007, Pengantar Periklanan, Kelompok Penerbit Pinus,

Yogyakarta

Winarso, Heru Puji, Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta, Prestasi Pestaka

Non Buku:

www.kpk.go.id

 

http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm

http//www.detiknews.com/read/2007/03/03/193745/749373/10/sby-nyadari

lemahnya-penegakan-hukum-di-tanah-air

www.wikipedia.com

 

http//id.wikipedia.org/wiki/pengadilan

http//ahmardifan.wordpress.com

http://kampus.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/12/24/95/287881/95/pa

lu-hakim-untuk-siapa

 

 

www.fadliyanur.blogspot.com.2008-01.html