DAFTAR TABEL
2.1  Dampak negatif pembangunan pariwisata 8
2.2  Matrik SWOT 13
3.1  Jenis  data, sumber dan teknik pengumpulan data 15
3.2  Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor kelerengan 18
3.3  Indeks Penilaian Terhadap Potensi Lanskap 19
3.4  Indeks Kepekaan Tanah terhadap erosi 20
3.5  Analisis stakeholders 21
3.6  Matrik  identifikasi  dan  pemberian  bobot  faktor  internal  dan  eksternal
adanya kegiatan ekowisata di kawasan CAPS
21
3.7  Matrik internal dan eksternal SWOT pengelolaan ekowisata 22
3.8  Analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengelolaan ekowisata 22
4.1  Jenis tumbuhan yang teridentifikasi di kawasan CAPS 26
4.2  Jenis Mamalia yang ditemukan di kawasan CAPS 27
4.3  Jenis aves yang ditemukan di CAPS 28
4.4  Jumlah penduduk desa Tambakrejo 31
4.5  Tingkat pendidikan penduduk Desa Tambakrejo 31
4.6  Mata pencaharian penduduk Desa Tambakrejo 32
5.1  Hasil penilaian potensi ODTWA CAPS 34
5.2  Hasil inventori potensi ODTWA 35
5.3  Indeks hasil penilaian faktor koreksi kelerengan blok rimba CAPS 52
5.4  Indeks penilaian terhadap potensi lanskap kawasan CAPS 53
5.5  Nilai faktor pengkoreksi pada penentuan nilai daya dukung riil 55
5.6  Analisis stakeholders : peranan, tuntutan dan kepentingan 65
5.7  Matrik SWOT strategi kebijakan pengelolaan kawasan CAPS 71
DAFTAR GAMBAR
1.1  Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 3
2.1  Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung ekowisata 10
3.1  Peta lokasi penelitian 14
3.2  Model matriks grand strategy 23
4.1 Hutan mangrove di teluk Ra’as, Air tawar, Semut
30 5.1  Peta potensi obyek daya tarik wisata alam di Pulau Sempu
36 5.2  Pulau Sempu dipisahkan dengan selat Sendang Biru
36 5.3  Pantai Waru-waru yang berombak tenang
37 5.4  Pantai Raas dan pantai Teluk Semut
38 5.5  Pantai Tanjung dan view pantai Setumbut
38 5.6  Pantai Setigen dan pantai Karetan
39 5.7  Pantai Pondok Kobong  dan pantai Plawangan
39 5.8  Pantai Gladakan  dan pantai Baru-baru
40 5.9  Danau Segara Anakan  dan Karang Bolong
40
5.10  Pantai Pasir Panjang dan pantai Pasir Kembar 2 41
DAFTAR GAMBAR lanjutan
5.11  Ekosistem yang ada di kawasan CAPS 43
5.12  Monyet ekor panjang dan Lutung Jawa 44
5.13  Elang laut perut putih Haliaetus leucogaster di Pulau Sempu 44
5.14  Jamur Stereum sp  dan Bunga bangkai Amorphophallus sp 45
5.15  Goa macan dan sumber air tawar di pantai air tawar 45
5.16  Sampah plastik dari dalam kawasan  dan kerawanan kawasan 46
5.17  Alat transfortasi darat  dan laut menuju kawasan CAPS 47
5.18  Kantor resort Pulau Sempu  dan sarana parahu patroli 48
5.19  Sampah botol plastik dan pemadatan tanah pada jalan trek 49
5.20  Tradisi petik laut nelayan Sendang Biru 50
5.21  Pembuatan perahu nelayan dan menangkap ikan secara tradisional 51
5.22  Jumlah pengunjung CAPS dalam 5 tahun terakhir 56
5.23  Jenis kelamin dan usia responden pengunjung 57
5.24  Tingkat pendidikan dan pekerjaan responden pengunjung 57
5.25  Daerah asal responden pengunjung 58
5.26  Sumber informasi tentang CAPS 59
5.27  Tujuan  pengunjung datang ke CAPS 60
5.28  Tipe rombongan pengunjung dan  frekwensi kunjungan 60
5.29  Obyek yang menjadi daya tarik pengunjung di kawasan CAPS 61
5.30  Persepsi pengunjung tentang pemanfaatan kawasan 61
5.31  Bentuk wisata yang diinginkan di kawasan CAPS 62
5.32  Tingkat pendidikan dan pengetahuan status kawasan 62
5.33  Ketergantungan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan 63
5.34  Perubahan status dan keberadaan CAPS 64
DAFTAR LAMPIRAN
1.  Kriteria penilaian obyek daya tarik wisata alam di kawasan CAPS 83
2.  Perhitungan daya dukung fisik, riil dan efektif 93
3.  Matrik identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal 95
4.  Matrik  IFAS  Internal  Factor  Analisis  Summary  dan  EFAS
Eksternal Factor Analisis Summary pengelolaan ekowisatadi CAPS 98
5.  Matrik SWOT pengelolaan ekowisata di kawasan CAPS 100
6.  Kuesioner dan panduan kawasan penelitian 101
7.  Peta tutupan vegetasi dan sebaran satwa di kawasan CAPS 105
8.  Peta rencana pengelolaan blok kawasan CAPS 105
9.  Data  curah  hujan  di  Kec.  Sumbermanjingwetan  Kab.  Malang  tahun 2008-2012
106 10.  Grafik  data  curah  hujan  di  Kec.  Sumbermanjingwetan  Kab.  Malang
tahun 2008-2012 107
11.  Perhitungan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah 108
12.  Daftar riwayat hidup 109
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia  adalah  negara  mega  biodiversity dunia  yang  memiliki
keanekaragaman hayati paling tinggi setelah Brasil dengan keunikan, keaslian dan keindahan alamnya Indrawan, Supriatna, Primack, 2007. Keanekaragaman flora,
fauna  dan  ekosistemnya  serta  keragaman  budaya  merupakan  potensi  dan  dapat dijadikan  salah  satu  dasar  pembangunan  nasional  yang  berkelanjutan    Supyan,
2011.  Oleh  karena  itu  perlu  dikembangkan  dan  dimanfaatkan  bagi  sebesar- besarnya  kesejahteraan  rakyat,  melalui  upaya  konservasi,  sehingga  tercapai
keseimbangan  dan  keserasian  antara  aspek  perlindungan,  pengawetan  dan pemanfaatan secara lestari.
Dalam  rangka  untuk  melindungi  keanekaragaman  hayati  tersebut, pemerintah  melalui  Departemen  Kehutanan  menetapkan  beberapa  kawasan  di
Indonesia  sebagai  kawasan  konservasi  Zuhri  dan  Sulistyawati,  2007.  Kawasan konservasi  merupakan  perwakilan  keanekaragaman  jenis  tumbuhan  dan  satwa,
keutuhan  sumber  plasma  nutfah,  keseimbangan  ekosistem,  keunikan  dan keindahan  alam.  Dengan  penetapan  kawasan  konservasi  diharapkan  dapat
mendukung pembangunan dan menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan hidup Ditjen PHKA, 2004.
Indonesia memiliki 245 kawasan cagar alam darat dan perairan dengan  luas 4.485.230  ha  Kemenhut,  2012.  Pulau  Sempu  merupakan  salah  satu  kawasan
konservasi di Jawa Timur. Kawasan pulau Sempu  ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal  Hindia Belanda Nomor. 46 Stbl
No. 69 tanggal 15 Maret 1928, dengan luas kawasan cagar alam tersebut saat itu adalah 877 ha. Penetapan kawasan tersebut didasarkan pada faktor botanis, estetis
dan  topografis.  Urgensi  estetis  dari  kawasan  Cagar  Alam  Pulau  Sempu  CAPS memiliki beberapa potensi wisata alam  yang indah dan menarik terutama Segara
Anakan.  Potensi  tumbuhan,  satwa  dan  ekosistem  mempunyai  nilai  tinggi  yang dapat mewakili kondisi hutan dan ekosistem daratan Pulau Jawa BBKSDA Jatim,
2011.  Menurut  Kramadibrata  et  al.  2010  kawasan  CAPS  memiliki  4  tipe ekosistem  yaitu :  ekosistem  hutan  tropis  dataran  rendah,  ekosistem  hutan
mangrove,  ekosistem  hutan  pantai,  ekosistem  danau.  Keragaman  ekosistem tersebut  menjadikan CAPS memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa  yang
tinggi.
Cagar  Alam sebagai  salah satu  kawasan konservasi  memiliki  fungsi  pokok sebagai  kawasan  pengawetan  keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan
sistem  penyangga    kehidupan.  Perlindungan  cagar  alam  banyak  mengalami hambatan  dan  gangguan  yang  disebabkan  oleh  pembatasan  akses,  sehingga
memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan masyarakat Zuhri dan Sulistyawati, 2007. Permasalahan yang   terjadi   pada   kawasan suaka alam
tersebut disinyalir karena ketidakoptimalan  dalam pengelolaan. Ketidakoptimalan pengelolaan  kawasan  suaka  alam  diindikasikan  dengan  hampir  semua  kawasan
suaka  alam  mengalami   gangguan pencurian, perambahan dan  adanya kegiatan wisata  alam  pada  kawasan  cagar  alam  sehingga  kawasan  tidak  berfungsi
2 sebagaimana  peruntukan  dan  masyarakat  sekitar  hutan  termarjinalisasi  secara
sosial ekonomi Wiratno et al. 2004. Pemerintah  berupaya  untuk  mempertahankan  kawasan  cagar  alam  dari
tekanan dan gangguan. Salah satu caranya adalah  dengan  memberlakukan  aturan pemanfaatan secara ketat. Pengelola menganalogkan kawasan cagar alam  sebagai
museum,  hanya  boleh  dilihat  dan  tidak  boleh  disentuh,  apalagi  dimanfaatkan secara  langsung.  Pemanfaatan  kawasan  hanya  untuk  menunjang  pendidikan,
penelitian  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan.  Pada  sisi  lain,  upaya memperketat  penjagaan  kawasan  tidak  diimbangi  dengan  keberadaan  sumber
daya pengelolaan  yang  memadai. Keterbatasan  sarana  prasarana  pengelolaan, sumber  daya  manusia  dan  dana  pengelolaan  menyebabkan  permasalahan  dalam
pelaksanaan pengelolaan kawasan Chasanatun, 2010.
Pada  saat  ini  telah  dikembangkan  paradigma  baru  dalam  pengelolaan konservasi,  dengan  memberdayakan  peran  serta  masyarakat  dalam  perencanaan
pengelolaan  kawasan  konservasi.  Menurut  Fandeli    2000c  kegiatan  ekowisata sebagai  bagian  prinsip  pengembangan  dan  pemanfaatan  kawasan  konservasi
dianggap  memberikan  manfaat  secara  berkelanjutan  dalam  meningkatkan pendapatan  masyarakat.  Dengan  cara  seperti  itu,  ekowisata  dapat  memberikan
kontribusi  keuntungan  jangka  panjang  bagi  masyarakat  lokal  dan  lingkungan Wight, 1993.
Peningkatan  permintaan  wisata  ke  daerah-daerah  yang  alami  akan berdampak  pada  penurunan  kawasan  yang  alami  baik  secara  kualitas  maupun
kuantitas Wearing dan Neil, 2009. Demikian juga adanya kegiatan ekowisata di kawasan CAPS, memberikan dampak kepada masyarakat lokal tentang status dan
fungsi  kawasan  cagar  alam.  Di  satu  sisi  pengelola  kawasan  selalu  menyatakan kepada  masyarakat  bahwa  mereka  tidak  diijinkan  memasuki  kawasan  CAPS
kecuali  untuk  kepentingan  penelitian  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan, pendidikan,  dan  kegiatan  yang  menunjang  budidaya.  Di  sisi  lain  bahwa
masyarakat  lokal melihat  banyak  wisatawan memasuki kawasan untuk  berwisata menikmati  keunikan dan keindahan alam  kawasan CAPS. Sementara pemerintah
sebagai  pengelola  kawasan  masih  belum  bisa  membuat  aturannya  karena terkendala dengan status cagar alam.
Dari  kondisi  tersebut  maka  perlu  dilakukan  kajian  yang  menganalisis potensi  dan  daya  dukung  ekowisata  di  kawasan  CAPS  untuk  merumuskan
alternatif  kebijakan  pengelolaan  kawasan.  Hasil  kajian  ini  diharapkan  dapat menjadi  masukan  bagi  stakeholders  dalam  menyelesaikan  permasalahan
pengelolaan  kawasan  untuk  mewujudkan  kawasan  yang  secara  ekologis  tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan
Kerangka Pemikiran
Kawasan  CAPS  dalam  beberapa  tahun  terakhir  menghadapi  permasalahan pengelolaan  yang  memerlukan  penanganan  serius.  Permasalahan  tersebut  adalah
adanya ekowisata dalam kawasan cagar alam. Hal ini bertentangan dengan UU RI No. 5 tahun 1990 pasal 17 ayat 1 yaitu di dalam cagar alam hanya dapat dilakukan
kegiatan  untuk  kepentingan  penelitian  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya.
3 Adanya  permasalahan  dan    tekanan  permintaan  ekowisata  yang  besar
terhadap  kawasan  CAPS,  akan  menimbulkan  dampak  yang  dapat  mengancam kelestarian  kawasan  cagar  alam,  sehingga  tujuan  penetapan  kawasan  konservasi
tidak  dapat  tercapai.  Berdasarkan    keadaan  tersebut,  diperlukan  upaya  strategis dalam  mengelola    kawasan  CAPS,  sehingga  tercapai  optimalisasi    fungsi  dan
manfaat  kawasan  serta  sumberdaya  alam  yang  terkandung  di  dalamnya.  Hal ini  sekaligus    dapat    memecahkan    masalah  yang    dihadapi  kawasan  pada  saat
sekarang dan mengantisipasi kondisi yang akan datang.
Tingginya permintaan ekowisata di kawasan CAPS merupakan potensi yang harus  dikelola  dengan  baik,  namun  hal  ini  bertentangan  dengan  status  kawasan
sebagai  cagar  alam.  Oleh  karena  itu  diperlukan  kebijakan  dan  kerjasama  antar stakeholders  BBKSDA Jatim, Pemerintah Daerah, Masyarakat lokal dan pihak-
pihak  terkait
supaya  tidak  terjadi  konflik  kepentingan  diantara  stakeholders dalam  pengelolaan  dan  pelestarian  kawasan  CAPS.  Dengan  kebijakan  baru  ini
diharapkan  kawasan cagar alam secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan  masyarakat  lokal.  Kerangka  pemikiran  kajian  potensi  dan  daya
dukung  ekowisata  di  kawasan  CAPS  Jawa  Timur  secara  rinci  disajikan  pada Gambar 1.1 berikut :
Gambar 1.1  Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
4
Perumusan Masalah
Permintaan  ekowisata  yang  terus  meningkat  pada  kawasan  CAPS  dan didukung  adanya  potensi  sumberdaya  alam  dengan  segala  keunikannya  yang
dimiliki  CAPS,  terkendala  dengan  status  kawasan  sebagai  cagar  alam.  Oleh karena  itu  perlu  dilakukan  kajian  yang  menganalisis  potensi  dan  daya  dukung
kawasan  dengan  adanya  kegiatan  ekowisata.  Untuk  menganalisis  adanya permasalahan  kegiatan  ekowisata  di  kawasan  CAPS  perlu  dilakukan  identifikasi
potensi  obyek  wisata  dengan  faktor-faktor  pendukungnya  biofisik,  kebijakan pengelolaan,  sosial  dan  ekonomi  yang  sesuai  dengan  status  kawasan,  tujuan
pengelolaan dan rencana pengembangan daerah sekitar kawasan. Hasil kajian ini diharapkan  dapat  menjadi  masukan  bagi  stakeholders  dalam  menyelesaikan
permasalahan  pengelolaan  dan  pelestarian  kawasan  CAPS.  Untuk  dapat menjawab permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian adalah :
1.
Bagaimana potensi CAPS yang dapat dimanfaatkan untuk ekowisata? 2.
Bagaimana daya dukung yang disediakan kawasan CAPS untuk ekowisata? 3.
Bagaimana  strategi  pengelolaan  kawasan  CAPS  yang    mampu  mengadopsi kepentingan para pihak dengan resiko serendah-rendahnya
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi  dan  menganalisis  potensi  obyek  daya  tarik  wisata  alam  di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu.
2. Menganalisis daya dukung kawasan Cagar Alam Pulau Sempu dengan adanya
kegiatan ekowisata. 3.
Merumuskan  rencana  alternatif  kebijakan  pengelolaan  kawasan  pulau  sempu yang sesuai dengan potensi dan status  kawasan cagar alam.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Sebagai  bahan  masukan  dan  pertimbangan  bagi  pengelola  kawasan  CAPS dalam  menerapkan  kebijakan  pengelolaan  untuk  mencapai  kawasan  yang
secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan. 2.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan CAPS
.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ekowisata
Istilah  ekowisata  diperkenalkan  pertama  oleh  Ceballos-Lascurain  pada tahun  1983  yang  mendefinisikan  ekowisata  sebagai  kunjungan  ke  daerah-daerah
yang masih alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi, menikmati pemandangan alam, satwa  liar dan
budayanya baik masa lalu maupun masa sekarang yang ada pada tempat tersebut. Kemudian  Lascurain  1996  melakukan  peninjauan  ulang  terhadap  definisi
ekowisata  yang  dirumuskan  sebelumnya  dengan  menambahkan  :  untuk mempromosikan  konservasi,  meminimalkan  dampak  negatif  yang  diakibatkan
oleh
pengunjung dan
masyarakat terlibat
secara ekonomi
dalam penyelenggaraanya.  Menurut  Tuohino  dan  Hynonen  2001  ekowisata  adalah
wisata  berbasis  alam,  dikelola  secara  lestari,  mendukung  konservasi  dan lingkungan pendidikan.
Ekowisata  menurut  definisi  dari  The  Ecotourism  Society  adalah  perjalanan wisata  ke  kawasan  alami  atau  belum  terkontaminasi  yang  bertujuan  untuk
mengkonservasi  lingkungan  dan  melestarikan  kehidupan  dan  kesejahteraan penduduk setempat. Kegiatan ini awalnya dilakukan oleh wisatawan pecinta alam
yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan  kesejahteraan  masyarakat  tetap  terjaga.  Ekowisata  juga  merupakan  bentuk
perluasan  pariwisata  alternatif  yang  timbul  sebagai  konsekuensi  dari ketidakpuasan  terhadap  bentuk  pariwisata  yang  kurang  memperhatikan  dampak
ekologis  dan  sosial,  akan  tetapi  hanya  mementingkan  keuntungan  ekonomi  dan kenyamanan  manusia.  Pelaksanaan  ekowisata  lebih  menekankan  konservasi
secara  ekologi  namun  juga  tetap  memperhatikan  kepentingan  sosial  ekonomi masyarakat lokal Fennell, 1999.
Selanjutnya  masyarakat  ekowisata  internasional  mencoba  mengidentifikasi prinsip-prinsip  ekowisata  berdasarkan  pada  definisi  ekowisata  yang  telah
berkembang. Prinsip ekowisata dimaksudkan adalah sebagai berikut : 1.
Mengurangi  dampak  negatif  berupa  kerusakan  atau  pencemaran  lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata;
2. Membangun  kesadaran  dan  penghargaan  atas  lingkungan  dan  budaya,  baik
pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya; 3.
Menawarkan pengalaman-pengalaman positif Damanik dan Weber, 2006. Menurut    McDill  et  al.  1999  bahwa  ekowisata  mempunyai  karakteristik
umum sebagai berikut : 1.
Wisata yang berbasis alam; 2.
Penghargaan sebagai alasan untuk melakukan perjalanan wisata; 3.
Mengembangkan  konservasi  sumber  daya  alam  dengan  melindungi  dan memperkecil dampak terhadap lingkungan;
4. Memberikan manfaat kepada penduduk lokal;
5. Menghormati kultur lokal dan memperkecil dampak sosial;
6. Mempromosikan pendidikan lingkungan kepada pengunjung.
6
Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Kawasan
Kedatangan  wisatawan  ke  tempat  wisata  di  Negara  tropika,  menurut MacKinnon  et  al.  1993  tidak  lain  adalah  ingin  melihat  sesuatu  yang  berbeda,
sesuatu  yang  baru,    sesuatu  yang  spektakuler,  sesuatu  untuk  didokumentasikan serta  ingin  bertamasya  dengan  nyaman,  dengan  menggabungkan
“petualangan” dengan kegiatan waktu senggang. Terkait dengan hal tersebut maka paket wisata
yang paling  berhasil adalah kombinasi sejumlah minat-minat tersebut. Faktor-faktor  yang  membuat  suatu  kawasan  konservasi  menjadi  menarik
untuk dikunjungi bagi pengunjung adalah : 1.
Letaknya dekat atau jauh dari bandar udara internasional dan pusat wisata; 2.
Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman atau  sulit dan berbahaya; 3.
Kawasan  tersebut  mempunyai  atraksi  yang  menonjol  misalnya  satwa  liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu;
4. Kemudahan untuk melihat atraksi atau satwaliar;
5. Memiliki beberapa keistimewaan berbeda;
6. Memiliki budaya yang menarik;
7. Unik dalam penampilannya;
8. Mempunyai obyek rekreasi pantai, danau, sungai, air terjun, kolam renang;
9. Cukup  dekat  dengan  lokasi  lain  yang  menarik  wisatawan  sehingga  dapat
menjadi bagian kegiatan wisatawan lain; 10.
Sekitar kawasan itu memiliki pemandangan indah; 11.
Keadaan makanan dan akomodasi tersedia. Menurut  Wright  1993  strategi  yang  dibutuhkan  untuk  mengembangkan
ekowisata seharusnya memenuhi prinsip-prinsip dasar diantaranya : 1.
Ekowisata  tidak  menyebabkan  degradasi  sumber  daya  alam  dan pengembangan selalu berdasarkan prinsip ramah lingkungan.
2. Ekowisata  seharusnya  mendukung  partisipasi  dan  pengalaman  baru  bagi
wisatawan. 3.
Ekowisata  seharusnya  mencakup  pengetahuan  komunitas  lokal,  pemerintah, lembaga  swadaya  masyarakat,  industri,  wisatawan  sebelum  dan  sesudah
melakukan perjalanan. 4.
Ekowisata seharusnya menemukan seluruh nilai intrinsik sumber daya. 5.
Ekowisata mencakup daya dukung sumber daya. 6.
Ekowisata  mempromosikan  saling  pengertian  dan  menjebatani  hubungan antar  pihak  terkait.  Seluruh  pihak  terkait  seharusnya  mempromosikan
tanggung jawab perilaku moral dan etika yang berkaitan alam dan budayanya. 7.
Ekowisata seharusnya memberikan keuntungan dalam jangka panjang untuk sumberdaya, komunitas lokal dan industri dimana keuntungan tersebut dapat
berupa konservasi, ilmu pengetahuan dan budaya atau ekonomi. 8.
Ekowisata berorientasi kepada tujuan pembangunan berwawasan lingkungan dengan tetap mengindahkan  kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
9. Kegiatan  ekowisata  seharusnya  menjamin  bahwa  etika  dasar  praktek
lingkungan  yang  bertanggung  jawab  diterapkan  tidak  hanya  sebagai sumberdaya  eksternal  yang menjadi  atraksi  wisata tetapi  juga faktor internal
operasional.
Pemilihan  ekowisata  sebagai  konsep  pengembangan  kawasan  didasarkan pada beberapa unsur utama yaitu 1 Ketergantungan pada kualitas sumber daya,
7 peninggalan  sejarah  dan  budaya;  2  Melibatkan  masyarakat;  3  Meningkatkan
kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya; 4 Tumbuhnya pasar ekowisata ditingkat internasional dan nasional; 5 Sebagai
sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan Shelly dan Wall, 2001
Pengembangan Ekowisata Dalam  Kawasan Konservasi
Indonesia  mempunyai  potensi  yang  sangat  besar  dalam  pengembangan ekowisata kawasan hutan tropika  yang tersebar  di  kepulauan sangat  menjanjikan
untuk  ekowisata  dan  wisata  minat  khusus.  Ekowisata  diberi  batasan  sebagai kegiatan  yang  bertumpu  pada  lingkungan  dan  bermanfaat  secara  ekologi,  sosial
dan  ekonomi  bagi  masyarakat  serta  bagi  kelestarian  sumberdaya  dan berkelanjutan.
Pengembangan  ekowisata  di  dalam  kawasan  hutan  dapat  menjamin keutuhan  dan  kelestarian  ekosistem  hutan.  Ecotraveler  menghendaki  persyaratan
kualitas dan kebutuhan ekosistem, oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan  ekowisata  yang  harus  dipenuhi.  The  Ecotourism  Society
Eplerwood,  1999  dalam  Fandeli,  2000  menyebutkan  ada  tujuh  prinsip  dalam kegiatan  ekowisata  yaitu:  1  Mencegah  dan  menanggulangi  dari  aktivitas
wisatawan yang menggangu terhadap alam dan budaya; 2 Pendidikan konservasi lingkungan;   3 Pendapatan langsung untuk  kawasan;  4 Partisipasi  masyarakat
dalam  perencanaan;  5  Meningkatkan  penghasilan  masyarakat;  6  Menjaga kehormonisan  dengan  alam;  7  Menjaga  daya  dukung  lingkungan;  8
Meningkatkan devisa buat pemerintah.
Menurut  Ridwan 2000 bahwa pengembangan ekowisata harus melibatkan berbagai  unsur  seperti  :  pengunjung  atau  ekowisatawan,  sumber  daya  alam,
pengelola,  masyarakat  setempat,  kalangan  bisnis  termasuk  tour  operator, pemerintah,  lembaga  swadaya  masyarakat  dan  lain  sebagainya.  Pada  prinsipnya
pengembangan  ekowisata  yang  baik  merupakan  simbiosis  antara  konservasi  dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku
ekowisata  bisa  terjadi.  Perencanaan  pengembangan  ekowisata  diantaranya mengacu pada perencanaan perlindungan dan pelestarian lingkungan, perencanaan
penggunaan lahan dan tata ruang. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari proses  pemanfaatan  dari  sumberdaya  dan  berkelanjutan  yang  terkoordinasi  dan
interaktif berdasarkan aspek pelestarian ekologis kawasan, biodiversitas dan nilai sosial dalam keterlibatan wisatawan bersama masyarakat lokal.
Menurut  Bengen  2005  bahwa  salah  satu  cara  untuk  mencapai keseimbangan  antara  ketersediaan  sumberdaya  dan  kebutuhan  manusia  adalah
menetapkan  jenis  dan  besaran  aktifitas  manusia  sesuai  dengan  kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Artinya setiap aktifitas pembangunan  di suatu
wilayah  harus  didasarkan  pada  analisis  kesesuaian  lingkungan.  Analisis kesesuaian lingkungan harus mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi yaitu:
1.
Aspek Ekologis, dapat didekati dengan menganalisis; a.
Potensi maksimum sumberdaya berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis, dihitung kapasitas maksimum sumberdaya untuk menghasilkan
barang dan jasa good and services dalam jangka waktu tertentu.
8 b.
Kapasitas  daya  dukung  carrying  capacity.  Daya  dukung  didefinisikan sebagai  tingkat  pemanfaatan  sumberdaya  alam  secara  berkesinambungan
tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. c.
Kapasitas penyerapan limbah assimilative capacity. Kapasitas penyerapan limbah  adalah  kemampuan  sumberdaya  alam  dapat  pulih  misalnya  air,
udara,  tanah  untuk  menyerap  limbah  aktifitas  manusia.  Kapasitas  ini bervariasi  akibat  faktor  eksternal  seperti  cuaca,  temperatur  dan  aktifitas
manusia.
2. Aspek Sosial;
Aspek sosial dapat dilihat dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang akan dilakukan, mencakup dukungan sosialterhindar dari konflik pemanfaatan,
terjaganya  kesehatan  masyarakat  dari  akibat  pencemaran,  budaya,  estetika, keamanan dan kompatibilitas.
3. Aspek Ekonomi;
Aspek  ekonomi  dapat  ditinjau  dari  kelayakan  usaha  dari  aktifitas  yang  akan dilaksanakan.
Dalam  rangka  untuk  mewujudkan  pembangunan  pariwisata  yang berkelanjutan  sustainable  tourism,  ekowisata  diharapkan  dapat  meminimalisir
potensi kerusakan budaya dan lingkungan alam yang mungkin akan terjadi. Oleh karena  itu  perlu  dilakukan  identifikasi  terhadap  adanya  potensi  dampak  negatif
adanya  pembangunan  pariwisata  seperti  pada  Tabel  2.1.  Identifikasi    potensi dampak  tersebut  penting  untuk  dilakukan  dalam  membuat  perencanaan  dalam
penerapan konsep ekowisata dalam rangka pengembangan kawasan konservasi.
Tabel 2.1 Dampak negatif pembangunan pariwisata
Komponen lingkungan
Fenomena dampak negatif Kegiatan pariwisata yang menimbulkan
dampak negatif Flora dan fauna
Gangguan perkembang biakan Hilang atau kepunahan
Pengamatan burung bird watching, Gerak jalan hiking
Perburuan Hunting Masakan istimewa unique dishes
Padatnya visitasi
Perubahan pola migrasi satwa Perjalanan dalam jalur migrasi
Kerusakan vegetasi Pembangunan sarana wisata
Kegiatan wisata pada kawasan hutan konservasi
Polusi Polusi air dan tanah
Limbah cair, Ceceran minyak dan bahan kimia, Pembuangan sampah padat
Polusi udara Emisi kendaraan bermotor
Polusi suara Kemacetan lalu lintas, Kehidupan
malam, Tingginya visitasi Erosi
Pengikisan permukaan tanah Lalu lintas yang padat
Longsor Lingkungan binaan yang tidak terkendali
Penggundulan hutan Kerusakan DAS
Wisata sungai yang tidak terkendali Kepadatan pengunjung
Sumberdaya alam
Habisnya cadangan air tanah dan air permukaan
Banyaknya kawasan terbangun Kerusakan sumber air
Tingginya kemungkinan kebakaran
Api yang tidak terkendali
Sumber : diadopsi dari Heriawan, 2004
9
Konsep Daya Dukung Pengembangan Kawasan Wisata
Pada  saat  ini,  konsep  daya  dukung  merupakan  paradigma  untuk  mengatasi dan membatasi jumlah pembangunan wisata sesuai tujuan telah ditetapkan. Untuk
menetapkan  daya  dukung  jumlah  wisatawan  tertentu,  dalam  jangka  waktu  yang ditentukan.  Kekhawatiran  tersebut  dianggap  tepat  untuk  mempertahankan
masyarakat  lokal  dalam  konteks  budaya  dan  lingkungan  McCool  dan  Lime, 2001
Konsep  daya  dukung  carrying  capacity  selalu  dihubungkan  dengan kapasitas  atau  jumlah  manusia  yang  dapat  ditampung  dalam  sebuah  ruang
tertentu.  Dalam  hubungannya  dengan  ekowisata  maka  konsep  daya  dukung dinyatakan sebagai jumlah atau kapasitas wisatawan yang dapat ditampung dalam
suatu    ruang  tertentu  yang  tergantung  pada  kemampuan  sumber  daya  wisata Dirawan,  2006.  Menurut  Lascurain  1996  Tourism  Carrying  Capacity  TCC
adalah  daya  dukung  lingkungan  dan  berhubungan  dengan  aktivitas  wisatawan. TCC  didefinisikan  sebagai  tingkat  maksimum  pengunjung  yang  dapat
diakomodasi  oleh  kawasan  wisata  dan  pembangunannya.    Sedangkan  daya dukung  wisatawan  merupakan  daya  dukung  lingkungan  terhadap  kegiatan
rekreasi.  Dengan  demikian  konsep  daya  dukung  mempunyai  komponen  utama yaitu  kualitas  lingkungan  dan  kemampuan  untuk  dapat  melakukan  aktifitas
rekreasi.
Daya dukung wisata merupakan “batas  dimana kehadiran wisatawan dan
fasilitas  pendukungnya  tidak  menimbulkan  ganguan  terhadap  lingkungan  fisik atau  kehidupan  ma
syarakat”.  Konsep  daya  dukung  merupakan  sebuah  konsep yang  mudah  untuk  dimengerti  akan  tetapi  sangat  sulit  untuk  dapat  dihitung
sehingga  tidak  terdapat  standar  baku  untuk  menghitung  nilai  daya  dukung tersebut.  Konsep  tersebut  juga  sangat  bervariasi  terhadap  waktu,  iklim  dan
karakteristik dilakukannya wisata seperti pesisir, kawasan lindung, rural, gunung, kawasan  sejarah.  Terdapat  beberapa  komponen  untuk  dapat  mengukur  daya
dukung wisata diantaranya : 1.
Daya  dukung  fisik  yang  berhubungan  dengan  kemampuan  lingkungan. Komponen  ini  sangat  tergantung  pada  kapasitas  dari  sumberdaya,  sistem  dan
kemampuan  lingkungan  untuk  mengasimilasi  dampak  seperti  kemampuan ekologis lahan, iklim seperti pengaruh frekwensi dan curah hujan.
2. Daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan penggunaannya
secara  ekologi  termasuk  didalamnya  flora  dan  fauna,  habitat  alamiah  dan bentang alam.
3. Daya  dukung  sosial  budaya  masyarakat  terutama  masyarakat  penerima
wisatawan sebagai contoh: keragaman budaya, kebiasaan penduduk. Konsep  daya  dukung  merupakan  prasyarat  minimum  dalam  perencanaan
dan  pengembangan  konsep  ekowisata.  Kondisi  ini  berkaitan  dengan  aturan  dan pengertian  wisata  alam  terbatas  yang  dapat  dilakukan  pada  kawasan  konservasi.
Dimana  wisata  terbatas  juga  sangat  tergantung  dengan  kapasitas  daya  dukung untuk  dapat  memberikan  nilai  maksimum  terhadap  peningkatan  ekonomi  dan
partisipasi  masyarakat  sekitar  kawasan  dengan  tetap  mempertahankan  nilai perlindungan dan pelestarian serta menekan dampak negatif yang di timbulkan.
Dalam  perhitungan  daya  dukung  pada  kawasan  konservasi  telah berkembang  metode  meliputi  :  limit  of  acceptable  change  LAC,  visitor  impact
10 management  VIM, visitor  experience and resources protection  VERP, visitor
activity  management  process  VAMP,  the  recreation  opportunity  spectrum ROS.  Perkembangan  tersebut  dipengaruhi  oleh  kompleknya  permasalahan,
keinginan  dan  kebutuhan  pengunjung,  ketersediaan  sumberdaya  pada  kawasan suaka alam yang rentan terhadap perubahan habitat. Berikut Gambar 2.1 adalah
konsep daya dukung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sumber : diadopsi dari Dirawan, 2006 Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung ekowisata
Konsep  limit  of  acceptable  change  LAC  digunakan  untuk  melihat kesesuaian  antara  kondisi  dengan  kebutuhan  wisata.  Dimana  konsep  ini
dimaksudkan  untuk  mengontrol  terjadinya  kerusakan  terhadap  sumberdaya dibandingkan  mencegahnya.  Konsep  ini  bisa  dilakukan  apabila  manajemen
pengelola kawasan mempunyai informasi yang mendukung terkait dengan kondisi eksisting kawasan dan pengaruh jumlah pengunjung yang mempergunakan sebuah
obyek  wisata  pada  kawasan.  Dalam  proses  analisis  LAC  terlihat  bahwa kemampuan dari identifikasi terhadap kebutuhan akan kegiatan wisata yang telah
dilakukan  pada  kawasan  didukung  dengan  upaya  memonitor  kondisi  kawasan, melalui langkah-langkah berikut :
1. Mengidentifikasi masalah dan isu-isu di kawasan
2. Mendefinisikan dan menggambarkan peluang
3. Pemilihan indikator sumber daya dan kondisi sosial
4. Inventarisasi sumber daya dan kondisi sosial
5. Menentukan standar khusus untuk sumber daya dan kondisi sosial
6. Mengidentifikasi alternatif lokasi dan peluang
7. Tindakan manajemen untuk setiap alternatif
8. Mengevaluasi dan memilih alternatif tindakan
9. Melaksanakan tindakan dan mengevaluasi McKay, 2006
11
Kawasan Konservasi
Menurut  UU  RI  No.    41    tahun    1999    tentang  Kehutanan  mendefinisikan kawasan  konservasi  sebagai  kawasan  hutan  dengan  ciri  khas  tertentu,  yang
mempunyai  fungsi  pokok      pengawetan      keanekaragaman      tumbuhan      dan satwa   serta   ekosistemnya. Oleh karena itu, kegiatan konservasi meliputi tiga hal
yaitu konservasi genetik, konservasi spesies dan konservasi ekosistem. Sedangkan tujuan  utamanya  dalam  melakukan  kegiatan  konservasi  yaitu:  1  Melindungi
keanekaragaman  hayati;  2  Mempelajari  fungsi  dan  manfaat  keanekaragaman hayati;  3  Memanfaatkan  keanekaragaman  hayati  tersebut  untuk  kesejahteraan
umat manusia Alikodra, 1997.
Perlindungan kawasan
konservasi dilakukan
untuk melindungi
keanekaragaman    biota,    tipe    ekosistem,    gejala    dan    keunikan    alam    bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya.
Menurut IUCN dalam  MacKinnon  et  al. 1993  dalam  pedoman  menajemen terdapat    dua    prinsip  mendasar  untuk  menentukan  luasan  kawasan  konservasi
yaitu  daerah  tersebut  harus  cukup  luas  untuk  memelihara  spesies  dan  dapat mendukung  proses  ekologi.  Keanekaragaman    hayati    saat    ini    menjadi    salah
satu  issu  global  yang  sangat penting,  sehingga  kawasan  konservasi  mendapat perhatian  ekstra.
Menurut    UU  RI  No.  5  tahun  1990  tentang  Konservasi  Sumberdaya  Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem kawasan konservasi di Indonesia terdiri atas:
1. Kawasan Suaka Alam KSA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan  maupun  perairan  yang  mempunyai  fungsi  pokok  sebagai  kawasan pengawetan  keanekaragaman  tumbuhan,  satwa  dan  ekosistemnya  juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka alam terdiri dari :
a.
Cagar Alam yaitu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan  tumbuhan,  satwa  dan  ekosistemnya  atau  ekosistem  tertentu  yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. b.
Suaka  Magasatwa  yaitu  kawasan  suaka  alam  yang  mempunyai  ciri  khas berupa  keanekaragaman  dan  atau  keunikan  jenis  satwa  yang  untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 2.
Kawasan    Pelestarian    Alam    KPA    adalah    kawaan    dengan    ciri    khas tertentu,  baik    di    darat    ataupun    di    perairan    yang    mempunyai    fungsi
perlindungan    sistem  penyangga    kehidupan,    pengawetan    keanekaragaman jenis    tumbuhan    dan    satwa,  serta      pemanfaatan      secara      lestari      terhadap
sumber      daya      alam      hayati      dan  ekosistenya.  Kawasan    pelestarian    alam terdiri  atas :
a.
Taman  Nasional  yaitu  kawasan  pelestarian  alam  yang  mempunyai ekosistem asli, dikelola berdasarkan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian,  ilmu  pengetahuan,  pendidikan,  penunjang  budidaya,  pariwisata dan rekreasi.
b. Taman    Wisata    Alam    yaitu  kawasan  pelestarian  alam  yang  terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. c.
Taman  Hutan  Raya  yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
12 asli  yang  dimanfaatkan  bagi  kepentingan  penelitian,  ilmu  pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya pariwisata dan rekreasi. 3.
Taman    Buru    adalah    kawasan    hutan    yang    telah    ditetapkan   untuk diselenggarakannya  perburuan  satwa  secara  teratur  PP  Nomor  13  Tahun
1994.  Habitat  yang  ada  bersifat  alami  atau  semi  alami  berukuran  sedang sampai  besar,  memiliki  potensi  satwa  buru    yang  jumlah  populasinya  cukup
besar,  tersedianya  fasilitas  buru  yang  memadai  dan  lokasinya  mudah dijangkau.
Berdasarkan  UU  No.  5  tahun  1990  tentang  konservasi  sumber  daya  alam hayati  dan  ekosistemnya,  terdapat  tiga  kegiatan  yang  menjadi  kuwajiban  dan
tanggung jawab
pemerintah dan
masyarakat yaitu
1 Pengawetan
keanekaragaman  tumbuhan,  satwa  dan  ekosistemnya  2  Perlindungan  terhadap sistem  penyangga  kehidupan  3  Pemanfaatan  sumber  daya  alam  hayati  dan
ekosistemnya.
Paradigma  baru  dalam  pengelolaan  kawasan  konservasi  tidak  lagi memandang  kawasan  sebagai  sesuatu  yang  terisolasi  eksklusif,    melainkan
bagian  integral  dari  wilayah  yang  lebih  besar  disekelilingnya.    Dengan  sudut pandang  seperti  ini  disadari  bahwa  keberhasilan  pencapaian    tujuan    konservasi
in-situ    tergantung    pada    unsur-unsur    tersebut.        Oleh  sebab    itu    disepakati bahwa  aspek-aspek  sosial  budaya,  ekonomi  dan  politik  perlu dipertimbangkan
dalam    pengelolaan    kawasan    konservasi    Wiratno  et    al.    2004.  Dengan paradigma tersebut, maka pengelolaan kawasan konservasi khususnya cagar alam
harus    juga    mempertimbangkan    azas    pemanfaatan    disamping    untuk    tujuan pelestarian.  Artinya  keberadaan  cagar  alam  harus  dapat  bermanfaat  bagi
masyarakat  dengan    tetap    menjamin    kelestariannya.        Pada    kenyataannya, pengelolaan    kawasan  konservasi    sekarang    ini    lebih    mengedepankan    aspek
perlindungan  dan  pelestarian. Sedangkan  untuk  pemanfaatan  kawasan  belum dilakukan    secara    optimal.  Untuk  itulah  memerlukan  strategi  pengelolaan  yang
bersinergi dengan berbagai pihak dan disesuaikan dengan situasi kawasan dengan menganut pola pengelolaan yang adaptif dan prinsip kehati-hatian.
Analisis Ekowisata
Strategi  adalah suatu pendekatan pemakaian sumber daya di dalam kondisi persaingan  agar  seperangkat  sasaran  dapat  dicapai.  Strategi  pengelolaan  adalah
pengelolaan  keunggulan  persaingan  mencakup  mengidentifikasi  sasaran  dan menganalisis lingkungan, mengenali ancaman dan peluang, penerapan strategi dan
memantaunya  agar  keunggulan  persaingan  dapat  berlanjut  meskipun  harus menghadapi perubahan dalam lingkungan Hayden, 1991.
Menurut  Steiner  dan  Miner  1997  dalam  Rangkuti  2000  strategi merupakan  respon  terus  menerus  maupun  adaftif  terhadap  peluang  dan  ancaman
eksternal  serta  kekuatan  dan  kelemahan  internal  yang  dapat  mempengaruhi organisasi.  Beraneka  ragam  faktor  harus  diperhitungkan  dalam  analisis  yang
bersifat  strategis,  sehingga  terpilih  suatu  alternatif  tertentu  yang  diyakini merupakan keputusan yang paling tepat. Para pakar sependapat bahwa instrumen
untuk  menilai  berbagai  faktor  yang  layak  diperhitungkan  yakni  analisis  SWOT dan pendekatan matriks.
13 Menurut Rangkuti 2000 analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor
secara  sistematis  untuk  merumuskan  strategi  perusahaan.  Analisis  ini  didasarkan pada  logika  yang  dapat  memaksimalkan  kekuatan  strengths  dan  peluang
opportunities,  namun  secara  bersamaan  dapat  meminimalkan  kelemahan weaknesses  dan  ancaman  threats.  Analisis  SWOT  membandingkan  antara
faktor  eksternal  peluang  dan  ancaman  dengan  faktor  internal  kekuatan  dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi.
Adapun matriks SWOT disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2  Matriks SWOT
Internal Ekternal
Kekuatan Strengths Tentukan
5-10 faktor-faktor
kekuatan internal Kelemahan Weakness
Tentukan 5-10
faktor-faktor kelemahan internal
Peluang Opportunities Tentukan  5-10  faktor-
faktor peluang eksternal S-O,  Strategi  kekuatan-peluang:
menciptakan strategi
yang menggunakan  kekuatan  untuk
memanfaatkan peluang W-O,
Strategi kelemahan-
peluang:  menciptakan  strategi yang  meminimalkan  kelemahan
untuk memanfaatkan peluang Ancaman Threats
Tentukan  5-10  faktor- faktor ancaman eksternal
S-T, Strategi
kekuatan- ancaman:  menciptakan  strategi
yang  menggunakan  kekuatan untuk mengatasi ancaman
W-T, Strategi
kelemahan- ancaman:  menciptakan  strategi
meminimalkan kelemahandan
menghindari ancaman
Menurut  Rangkuti  2000  dalam  analisis  SWOT  digunakan  matriks  yang akan menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif dari suatu strategi yaitu:
- Strategi  SO  :  strategi  yang  dibuat  dengan  memanfaatkan  seluruh  kekuatan
untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya. -
Strategi  ST  :  strategi  dalam  menggunakan  kekuatan  yang  dimiliki  untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul.
- Strategi  WO  :  strategi  yang  diterapkan  berdasarkan  pemanfaatan  peluang
yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. -
Strategi  WT  :  strategi  ini  didasarkan  pada  kegiatan  yang  bersifat  defensive dan  berusaha  meminimalkan  kelemahan  yang  ada  serta  menghindari
ancaman. Menurut  Marimin  2004  bahwa  proses  yang  dilakukan  dalam  analisis
SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Tahapan pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal;
b. Tahapan analisis data yaitu pembuatan matriks internal, eksternal dan matriks
SWOT; c.
Tahapan pengambilan keputusan.
14
3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian  dilakukan  di  kawasan  CAPS  dengan  luas  kawasan  ±  877  Ha, s
ecara  geografis  terletak  pada  koordinat  112º40’45’’–  112º42’45’’  BT  dan 8º27’24’’  –  8º24’54’’  LS.  Secara  administratif  masuk  dalam  wilayah  dusun
Sendang  Biru,  Desa  Tambakrejo,  Kecamatan  Sumbermanjing  Wetan,  Kabupaten Malang,  Provinsi   Jawa  Timur.  Peta  kawasan  CAPS  disajikan  pada  Gambar  3.1.
Penelitian  dilaksanakan  selama  ±  6  bulan,  mulai  bulan  Oktober  2012  sampai dengan Maret  2013, meliputi penyusunan proposal, pengumpulan data penelitian,
pengolahan data dan penulisan tesis.
Gambar 3.1  Peta lokasi penelitian
Alat dan Bahan
Peralatan  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  alat  tulis,  Geografis Position Sistem GPS, kamera dan komputer. Sedangkan bahan yang diperlukan
pada penelitian ini adalah kuesioner, panduaan wawancara dan peta kerja.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian  dilakukan  dengan  metode  deskriptif  melalui  survei  dengan  cara pengamatan  lapangan  observasi  terhadap  fenomena-fenomena  yang  ada  di
lokasi penelitian, wawancara mendalam indepth interview terhadap stakeholders pemerintah, masyarakat lokal dan pengunjung dan studi pustaka Slamet, 2011
15 Responden  dalam  penelitian  ini  adalah  masyarakat  sekitar  kawasan  CAPS
Desa  Tambakrejo  Kecamatan  Sumbermanjing  Wetan  Kabupaten  Malang  dan pengunjung  kawasan  CAPS.  Teknik  pengumpulan  data  yang  digunakan  yaitu
secara  purposive  sampling  yang  merupakan  metode  penetapan  responden  untuk dijadikan  sampel  berdasarkan  kriteria    tertentu.  Penentuan  jumlah  responden
untuk masyarakat lokal dan pengunjung di kawasan CAPS didekati dengan rumus Solvin  Siregar, 2011 yaitu :
Keterangan : n  =  Jumlah responden
N =  Ukuran populasi dalam waktu tertentu e  =  Perkiraan tingkat kesalahan
Data  yang  dikumpulkan  dalam  penelitian  meliputi  data  primer  dan  data
sekunder.  Data  primer  diperoleh  melalui  pengamatan  langsung  di  lapangan, pengisian  kuesioner  dan  wawancara,  berupa  potensi  ekowisata  potensi  obyek
daya  tarik  wisata  alam,  atraksi  alam,  budaya  dan  jenis  kegiatan  wisata  lainnya, akomodasi,  fasilitas,  pelayanan  dan  infrastruktur,  persepsi  pengunjung,  persepsi
masyarakat  dan  kebijakan  yang  berkaitan  dengan  pengelolaan  kawasan  CAPS. Sedangkan  data  sekunder  dikumpulkan  dari  hasil  penelitian,  laporan,  dokumen
dan sumber pustaka yang berkaitan dengan tujuan penelitian, berupa kondisi fisik kawasan  topografi,  geologi,  iklim,  potensi  jenis  flora  dan  fauna  dan  kondisi
sosial  ekonomi  masyarakat  lokal  serta  peta  kawasan.  Jenis  data  primer  dan  data sekunder  beserta  sumber  data  dan  teknik  pengumpulan  data  yang  dibutuhkan
dalam penelitian disajikan pada Tabel 3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.1  Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data
No. Jenis Data
Aspek-aspek Sumber data
Teknik pengumpulan
data 1.  Daya tarik
wisata darat a.
Keindahan alam b.
Keunikan sumberdaya alam c.
Banyaknya sumberdaya alam yang menonjol
d. Keutuhan sumber daya alam
e. Kepekaan sumber daya alam
f. Jenis kegiatan wisata alam
g. Kebersihan lokasi
h. Keamanan kawasan
 Observasi lapangan
 BBKSDA Jatim
 Masyarakat Observasi
lapangan Wawancara
2.  Daya tarik wisata pantai
a. Keindahan
b. Keselamatankeamanan pantai
c. Jenis dan warna pasir
d. Variasi kegiatan
e. Kebersihan pantai
f. Lebar  pantai  diukur  waktu  surut
terendah g.
Kenyamanan  Observasi
lapangan  BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
16 Tabel 3.1  Lanjutan jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data
No. Jenis Data
Aspek-aspek Sumber data
Teknik pengumpulan
data 3.  Aksesibilitas
a. Kondisi dan jarak jalan darat
dari ibukota propinsi b.
Pintu gerbang udara internasionaldomestik
c. Waktu tempuh dari ibukota
provinsi d.
Frekwensi kendaraan dari pusat informasi ke obyek
 Observasi lapangan
 BBKSDA Jatim
Observasi lapangan
Wawancara
4.  Pengelolaan dan pelayanan
a. Jenis fasilitas yang tersedia
b. Bentuk pelayanan yang ada
c. Bentukjenis pengamanan
dalam kawasan  Observasi
lapangan  BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
5.  Akomodasi a.
Jenis dan jumlah penginapan b.
Jumlah kamar yang tersedia  BBKSDA
Jatim  Dinas
pariwisata Observasi
lapangan Wawancara
6.  Elemen institusi
a. Status kawasan
b. SDM yang tersedia dalam
bidang ekowisata c.
Kompetensi SDM yang tersedia  BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
7.  Daya Dukung a.
Jumlah pengunjung b.
Kepekaan tanah c.
Kemiringan lahan d.
Jenis kegiatan dan luas zona pemanfaatan
 Observasi lapangan
 BBKSDA Jatim
Observasi lapangan
Wawancara
8.  Keamanan a.
Ada tidaknya binatang pengganggu
b. Ada tidaknya arus bahaya dan
tanah labil c.
Ada tidaknya gangguan kamtibmas
 Observasi lapangan
 BBKSDA Jatim
Observasi lapangan
Wawancara
9.  Kualitas lingkungan
a. Jenis permasalahan lingkungan
yang terjadi b.
Gangguan keamanan kawasan c.
Perubahan status kawasan d.
Penurunan kualitas lingkungan  Observasi
lapangan  BBKSDA
Jatim  Dinas
pariwisata Observasi
lapangan Wawancara
10.  Potensi Pengunjung
a. Karakteristik pengunjung
b. Pola kunjungan
c. Motivasi pengunjung
d. Persepsi penggunjung
e. Jumlah pengunjung
 Petugas lapangan
 Pengunjung  BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
11.   Iklim a.
Jumlah  bulan  kering  rata-rata pertahun
b. Suhu udara musim kemarau
 BMKG Malang
Studi pustaka 12.  Hubungan
dengan OWA di sekitarnya
a. Sejenis
b. Tak sejenis
 Observasi lapangan
 Dinas pariwisata
Observasi lapangan
Studi pustaka
17 Tabel 3.1  Lanjutan jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data
No. Jenis Data
Aspek-aspek Sumber data
Teknik pengumpulan
data 13.
Sosekbud Masyarakat
sekitar kawasan
a. Tingkat ketergantungan
masyarakat dengan kawasan b.
Hubungan sosial budaya masyarakat dengan kawasan
c. Persepsi masyarakat terhadap
ekowisata di CAPS d.
Harapan masyarakat terhadap ekowisata di CAPS
e. Tingkat pendidikan
f. Mata pencaharian penduduk
g. Tanggapan masyarakat terhadap
pengembangan OWA  Masyarakat
sekitar kawasan
 Data kependuduk
an desa Observasi
lapangan Wawancara
14.  Kebijakan Pengelolaan
Bentuk kebijakan BBKSDA Jatim tentang pengelolaan kawasan di CAPS
serta kebijakan Pemda Kab.Malang  BBKSDA
Jatim  Pemda  Kab
Malang Wawancara
15.  Kondisi  umum lokasi
penelitian a.
Kondisi fisik b.
Kondisi biologi c.
Kondisi sosial, ekonomi, budaya  BBKSDA
Jatim  Masyarakat
sekitar kawasan
Studi pustaka Observasi
lapangan Wawancara
16. Peta
Peta kawasan CAPS  BBKSDA
Jatim Studi pustaka
Metode Analisis Data
Data  yang  diperoleh  diolah  dengan  cara  mentabulasikan  dan  kemudian dianalisis sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya.
Analisis Penilaian Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam
Analisis  daerah  operasi  obyek  daya  tarik  wisata  alam  ADO-ODTWA merupakan  suatu  kegiatan  analisis  terhadap  suatu  obyek  wisata  alam  dengan
menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan untuk mendapatkan penilaian  dapat  atau  tidaknya  suatu  obyek  dikembangkan  menjadi  obyek  wisata.
Analisis potensi obyek daya tarik wisata alam menggunakan sistem nilai  skoring dan  pembobotan  berdasarkan  pedoman  analisis  ADO-ODTWA  yang  ditetapkan
Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003.
Analisis Daya Dukung Kawasan
Analisis  daya  dukung  berdasarkan  kriteria  yang  berhubungan  dengan penerapan konsep ekowisata. Indikator dan kriteria tersebut berdasarkan data dan
analisis di lapangan dengan perhitungan sebagai berikut :
18 1.
Daya  Dukung  Fisik  physical  carrying  capacity  adalah  jumlah  maksimum pengunjung  yang  secara  fisik  tercukupi  oleh  ruang  yang  disediakan  pada
waktu tertentu. Untuk menghitung PCC digunakan rumus Cifuentes 1992 dimodifikasi Fandeli dan Muhammad 2009 sebagai berikut:
PCC
=  A × 1B × Rf Keterangan :
A =  Luas areal yang digunakan untuk wisata
B =  Luas areal yang dibutuhkan oleh seorang wisatawan untuk
berwisata dengan tetap memperoleh kepuasan Rf
=  Faktor rotasi 2.
Daya  Dukung  Riil  real  carrying  capacity  adalah  jumlah  pengunjung maksimum  yang  diperkenankan  berkunjung  ke  obyek  dengan  faktor  koreksi
Cf  yang  diambil  dari  karakteristik  obyek  diterapkan  pada  PCC.  Faktor koreksi  diperoleh  dengan  mempertimbangkan  variabel  biofisik,  lingkungan,
ekologi dan manajemen. RCC dihitung dengan rumus sebagai berikut:
RCC =    PCC × 100-Cf
1
100 × 100-Cf
2
100 × …..× 100-Cf
n
100 Adapun  untuk  menghitung  faktor  koreksi  Cf  :  faktor  koreksi  diperoleh
dengan  mempertimbangkan  variabel  yang  diperoleh  berdasarkan  data lapangan  yaitu : kelerengan, kepekaan tanah terhadap erosi, potensi lanskap,
koreksi  iklim  dan  koreksi  pada  gangguan  terhadap  musim  kawin  satwa  liar. Kemudian  dihitung  faktor  koreksinya  dengan  menggunakan  rumus  sebagai
berikut: Cf
=   M
i
M
t
× 100 Keterangan :
M
i
=   Batas besaran varibel M
t
=   Batas variabel total Faktor-faktor  koreksi  yang  digunakan  dalam  perhitungan  daya  dukung  riil
adalah: a.
Faktor  koreksi  RCC  dalam  bentuk  gangguan  terhadap  musim  kawin monyet ekor panjang Macaca fascicularis Santoso, 1996.
Cf =  GnGt × 100
Keterangan : Gn
=  Jumlah bulan terjadinya musim kawin Gt
=  Jumlah bulan dalam satu tahun b.
Faktor koreksi RCC dalam bentuk indeks kelerengan Untuk  mengetahui  faktor  kelerengan  Indeks  tingkat  kelerengan,
klasifikasi kelerengan dinilai berdasarkan kelas lereng sebagaimana pada Tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.2  Klasifikasi dan nilai skor faktor kelerengan kawasan
Kelas lereng Kelerengan
Keterangan Nilai
1 0  -  8
Datar 20
2 8  -  15
Landai 40
3 15  -  25
Agak curam 60
4 25  -  45
Curam 80
5 45
Sangat curam 100
Sumber : SK. Menteri Pertanian No.837KPTSUM111980
19 c.
Faktor koreksi RCC dalam bentuk potensi lanskap Untuk  mengetahui  faktor  koreksi  pada  potensi  lanskap  didasarkan  pada
kriteria  unsur  lanskap  yaitu  :  bentuk,  vegetasi,  air,  warna  dan  pemandangan Fandeli dan Muhammad, 2009 sebagaimana Tabel 3.3.
Tabel 3.3  Indeks penilaian terhadap potensi lanskap
Unsur Lanskap. Kriteria
Skor Bentuk lahan
Bukit  rendah  dan  berombak;  bukit  di  kaki  gunung atau  dasar  lembah  yang  datar  atau  bahkan  bukan
ciri-ciri lanskap yang menarik. 1
Ngarailereng yang curam; kerucut gunung api atau pola-pola  erosiabrasi  oleh  angin  yang  menarik;
atau  variasi  ukuran  dan  bentuk  lahan  atau  ciri-ciri detail yang dominan.
3
Relief vertikal yang tinggi yang ditunjukkan adanya puncak
mencolok; puncak
seperti menara;
singkapan  batuan  raksasa  atau  variasi  permukaan yang  menakjubkan;  formasi-formasi  yang  mudah
tererosi atau ciri dominan dan sangat mencolok. 5
Vegetasi Sedikit atau tidak ada perbedaan vegetasi.
1 Beberapa jenis vegetasi tetapi hanya 1,2 atau 3 jenis
yang dominan 3
Banyak  tipe  dan  vegetasi  yang  menarik,  yang ditunjukkan dalam pola, tekstur dan bentuk
5 Air
Tidak  terdapat  air  atau  terdapat  tetapi  tidak kelihatan dengan jelas.
1 Mengalir  dengan  tenang  tetapi  bukan  hal  yang
dominan dalam suatu lanskap. 3
Jernih, bersih, mengalir, beriak atau komponen apa saja dari air yang dominan.
5 Warna
Variasi  warna  yang  halus  dan  kontras,  umumnya bersifat mati.
1 Terdapat  jenis-jenis  warna,  ada  pertentangan  dari
tanah, batu dan vegetasi tetapi bukan pemandangan yang dominan.
3 Kombinasi  warna  yang  beragam  jenis  atau
pertentangan  yang  indah  dan  warna  tanah,  batu, vegetasi air dan lain-lain.
5 Pemandangan
Pemandangan di
dekatnya sedikittidak
berpengaruh terhadap kualitas pemandangan. 1
Pemandangan  di  dekatnya  sangat  banyak  yang menarik
3 Sumber : Fandeli dan Muhammad, 2009
d. Faktor koreksi RCC dalam bentuk  indeks kepekaan tanah terhadap erosi
Untuk  mengetahui  faktor  kepekaan  tanah  terhadap  erosi  indeks  tingkat erosi,  kepekaan  tanah  terhadap  tingkat  erosi  dinilai  berdasarkan  jenis
tanah sebagaimana Tabel 3.4.
20 Tabel 3.4  Indeks kepekaan tanah terhadap erosi di CAPS
Kelas tanah Jenis tanah
Keterangan Nilai skor
1 Alluvial, Tanah Glei Olanosol
Hidromorf Kelabu, Literita Air Tanah
Tidak peka 15
2 Latosol
Agak peka 30
3 Brown Forest Soil, Non Calcis
Brown, Mediteran Kurang peka
45 4
Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, Podsolik
Peka 60
5 Regosol, Litosol, Organosol,
Renzina Sangat peka
75 Sumber : SK. Menteri Pertanian No.837KPTSUM111980
e. Faktor koreksi RCC dalam bentuk  indeks iklim
Untuk mengetahui faktor koreksi iklim menggunakan rasioindeks nilai Q bulan keringbulan basah selama 10 tahun terakhir :
Keterangan : -
Bulan kering : bulan dengan curah hujan  60 mm -
Bulan lembab: bulan dengan curah hujan 60 – 100 mm -
Bulan basah  :  bulan dengan curah hujan  100 mm Lakitan, 1997. 3.
Daya Dukung Efektif  effective carrying capacity adalah jumlah kunjungan maksimum dimana obyek tetap lestari pada tingkat manajemen yang tersedia.
Kapasitas  manajemen  merupakan  penjumlahan  dari  semua  kondisi  pada kawasan  perlindungan  yang  dapat  difungsikan  secara  obyektif  dan  sesuai
dengan  tujuan  dari  pengelolaan  kawasan,  Wiratno  2000  dalam  Fandeli 2000.  Kapasitas  manajemen  dibatasi  oleh  kriteria  :  sistem  pengelolaan,
jumlah staf pengelola  dengan perhitungan sebagai berikut :
ECC  =  RCC x faktor koreksi mc MC Management Capacity adalah jumlah petugas pengelola kawasan
MC Keterangan :
Rn adalah sumber daya yang aktif di lokasi Rt adalah jumlah sumber daya tetap pengelola
Analisis Stakeholders
Dilakukan  dengan  observasi  dan  wawancara  terhadap  stakeholders  yang berpengaruh  dalam  pengelolaan  kawasan  CAPS  dengan  adanya  ekowisata.
Menurut  Reed  et  al.  2009  analisis  stakeholders  dilakukan  dengan  cara  1 Melakukan identifikasi stakeholders; 2 Mengelompokkan dan mengkatagorikan
stakeholders  dan  3  Menyelidiki  hubungan  antar  stakeholders.  Analisis  ini dilakukan  untuk  mengetahui  sejauh  mana  peranan  dan  kepentingan  masing-
21 masing  stakeholders  dalam  pengelolaan  kawasan  dengan  adanya  kegiatan
ekowisata di kawasan CAPS, disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5  Analisis stakeholders adanya ekowisata di CAPS
Stakeholders Peranan
Tuntutan Kepentingan
BBKSDA Jatim Pemda Kab. Malang
Masyarakat jasa pemandupenyebrangan
Masyarakat lokal Pihak swasta
Pengunjung
Analisis Potensi Pengunjung
Data pengunjung hasil wawancara dan data sekunder pengunjung dianalisis dengan mentabulasikan, menghitung frekwensi dan menguraikan secara deskriptif
Wiratno,  2000.  Analisis  ini  akan  berhubungan  dengan  daya  dukung  obyek  dan analisis  kecenderungan  trend  analyisis.  Analisis  potensi  pengunjung  yang
digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  jumlah,  jenis  kelamin,  usia,  tingkat pendidikan,  asal  pengunjung,  lama  kunjungan,  motivasi,  pendapat  mengenai
kawasan CAPS dan tujuan kunjungan pendidikan, penelitian, rekreasi.
Analisis Strategi Pengelolaan
Arahan  strategi  pengelolaan  dan  pengembangan  ekowisata  di  kawasan CAPS  dirumuskan  dengan  menggunakan  analisis  SWOT.  Menurut  Rangkuti
2000  bahwa  analisis  SWOT  mengidentifikasikan  berbagai  faktor  secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Tahapan yang dilakukan dalam
analisis SWOT sebagai berikut :
1. Identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal.
Tabel 3.6 Matrik identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal adanya kegiatan ekowisata di kawasan CAPS.
No.  Faktor Nilai ADO-ODTWA
Bobot I.
Internal a.
Kekuatan Nilai unsur ADO-ODTWA
Nilai unsur ODTWA b.
Kelemahan dibagi total nilai
Keseluruhan unsur II.
Eksternal a.
Peluang Nilai unsur ADO-ODTWA
Nilai unsur ODTWA b.
Ancaman dibagi total nilai
Keseluruhan unsur
22
2. Analisis faktor internal dan eksternal
Berdasarkan  matriks  internal  dan  eksternal  yang  dibuat,  maka  bobot  dan rating  dapat  diberikan  terhadap  masing-masing  parameter  yang  telah  ditentukan
untuk  memperoleh  nilai  tertimbang.  Nilai  tersebut  kemudian  akan  memberikan arahan  tentang  pengelolaan  ekowisata  di  kawasan  CAPS  guna  memperoleh
rumusan  rencana  pengelolaan  ekowisata  yang  sesuai  dengan  potensi  dan  status sebagai kawasan cagar alam disajikan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7  Matrik internal dan eksternal SWOT pengelolaan ekowisata di kawasan CAPS
No. Faktor
Bobot Rating
Nilai tertimbang 1.
Strategi Internal 0 - 1
1 - 4 Bobot x Rating
a. Kekuatan
b. Kelemahan
2. Strategi Eksternal
0 - 1 1 - 4
Bobot x Rating a.
Peluang b.
Ancaman
Unsur-unsur tersebut kemudian dihubungkan keterkaitanya satu sama lainya dalam bentuk  matriks untuk  memperoleh beberapa alternatif strategi.  Matriks  ini
akan menghasilkan empat kemungkinan strategi pengelolaan kawasan yang sesuai dengan  potensi  dan  status  sebagai  kawasan  cagar  alam  Tabel  3.8.  Perumusan
alternatif  strategi  pengelolaan  ekowisata  yang  sesuai  dengan  potensi  dan  status sebagai  kawasan  cagar  alam  kemudian  dilanjutkan  dengan  pembuatan  matrik
grand  strategi  untuk  menentukan  strategi  pengelolaan  kawasan  yang  sesuai dengan potensi dan status sebagai kawasan cagar alam Gambar 3.2.
Tabel  3.8   Analisis SWOT untuk  merumuskan strategi  pengelolaan  ekowisata di kawasan CAPS
Internal Ekternal
Kekuatan Strengths Kelemahan Weakness
Peluang Opportunities SO, Strategi kekuatan-
peluang yaitu menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang WO, Strategi kelemahan-
peluang yaitu menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan
peluang
Ancaman Threats ST, Strategi kekuatan-
ancaman yaitu menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
WT, Strategi kelemahan- ancaman yaitu menciptakan
strategi untuk meminimalkan
kelemahandan menghindari ancaman
23 Penentuan posisi strategi pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan potensi
dan status  sebagai  kawasan cagar alam  untuk  tujuan alih fungsi  meliputi  analisis Matrik  Space  dan  analisis  grand  strategy  disajikan  pada  Gambar  3.2  sebagai
berikut.
Sel 3                  Sel 1
Sel 4 Sel 2
Gambar 3.2  Model matriks grand strategy Berbagai Peluang
Kelemahan Internal Kekuatan Internal
Berbagai Ancaman
24
4.  GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik
Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu CAPS terletak di Samudra Indonesia, di sebelah selatan pantai Sendang Biru,
pada koordinat 112º40’45’’– 112º42’45’’ Bujur  Timur  dan  8º27’24’’–  8º24’54’’  Lintang  Selatan.  Secara  administratif
masuk  dalam  wilayah  dusun  Sendang  Biru,  Desa  Tambakrejo,  Kecamatan Sumbermanjing  Wetan,  Kabupaten  Malang,  Provinsi  Jawa  Timur.  Dalam
pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Batas-batas kawasan  CAPS  di  sebelah  barat,  timur  dan  selatan  adalah  lautan  Samudra
Indonesia,  sedangkan  sebelah  utara  adalah  teluk  Sendang  Biru  dan  Desa Tambakrejo.
Pulau  Sempu  ditetapkan  sebagai  Cagar  Alam  sesuai  dengan  Surat Keputusan  Gubernur  Jenderal  Hindia  Belanda  Nomor  46  Stbld  No.  69  pada
tanggal  15  Maret  1928  dengan  luas  877  ha.  Penetapan  kawasan  tersebut didasarkan  pada  faktor  botanis,  estetis  dan  topografis.  Potensi  flora,  fauna  dan
ekosistem  mempunyai  nilai  tinggi  yang  dapat  mewakili  kondisi  hutan  dan ekosistem daratan Pulau Jawa.
Topografi
Topografi  kawasan  CAPS  adalah  berbukit  dengan  kelerengan  sedang sampai  curam  dengan  ketinggian  50
–  100  mdpl.  Akses  masuk  dalam  kawasan paling  mudah  adalah  dari  sisi  sebelah  utara  yaitu  dari  teluk  Sendang  Biru  yang
menghubungkan  dengan  Pulau  Jawa.  Kondisi  topografi  yang  berbukit  kemudian membentuk  lembah  atau  telaga  yang  berfungsi  menampung  air  tawar.  Lokasi
tersebut antara lain
Telaga Lele dengan luas ± 1,8 ha, Telaga Panjang dengan luas ± 2 ha dan Telaga Sat dengan luas 2,5 ha. Pada sisi sebelah barat terdapat telaga
dengan  luas  ±  4  ha  yang  dinamakan  danau  Segara  Anakan.  Sumber  air  danau Segara Anakan adalah hasil intrusi air laut dari lubang pada tebing selebar ± 50 m²
yang  dinamakan  Karang  Bolong.  Air  laut  akan  masuk  ke  dalam  danau  Segara Anakan pada saat ombak tinggi. Hal ini merupakan salah satu keunikan kawasan
CAPS yang banyak dijadikan tujuan kunjungan wisatawan.
Geologi
Berdasarkan  peta  tanah  tinjau  Propinsi  Jawa  Timur  skala  1:250.000,  jenis tanah di kawasan CAPS adalah Kompleks litosol dan mediteran merah kecoklat-
coklatan dengan bahan induk pembentuk batu kapur dan fisiografis karst. Warna tanah  merah  kecoklat-coklatan  dengan  struktur  pasir  sampai  lempung  berdebu.
Jenis  tanah  ini  secara  fisik  dapat  dilihat  sebagai  lapisan  humus  yang  tipis  atau dangkal, terutama di tebing-tebing pantai yang curam di sebelah selatan.
Sedangkan  struktur  geologi  kawasan  CAPS  berdasarkan  jawatan pertambangan bagian geologi dalam ikhtisar geologi  Jawa Timur 1951 skala 1 :
25 500.000  dan  berdasarkan  sumber  Geologi  Bandung  1965  skala  1 :  250.000,
memiliki  struktur  geologi  meosine  fasies  batu  gamping  batuan  meosine  feosies gamping.
Iklim
Berdasarkan  klasifikasi  iklim  Schmidt  dan  Ferguson,  kawasan  CAPS termasuk  dalam  tipe  iklim  C  dengan  nilai  Q  =  45,94,  dengan  rata-rata  curah
hujan  pertahun  adalah  2.271,1  mm  dengan  jumlah  rata-rata  hari  hujan  pertahun sebanyak  144  hari.  Temperatur  harian  berkisar  antara  24
–  29,5  °C.  Hari  hujan curah  hujan  100  mmbulan  umumnya  terjadi  pada  bulan  September
–  April. Sedangkan  musim  kemarau  curah  hujan  60  mmbulan  umumnya  terjadi  pada
bulan Mei – Agustus BBKSDA Jatim, 2011.
Aksesibilitas
Kawasan CAPS berjarak ± 68 km dari kota Malang ke arah selatan. Untuk mencapainya  dapat  menggunakan  kendaraan  umum  maupun  kendaraan  pribadi
baik  roda  dua  maupun  roda  empat.  Untuk  mencapai  lokasi  kawasan  CAPS menggunakan kendaraan umum, rute yang umum digunakan adalah kota Malang
terminal Arjosari, terminal Gadang dan Stasiun kota selanjutnya dapat ditempuh melalui dua rute sebagai berikut :
1. Malang    Kepanjen    Gondanglegi    Turen    Sumbermanjing  Wetan  
Sendang Biru  Pulau Sempu.
2. Malang    Bululawang    Turen    Sumbermanjing  Wetan    Sendang  Biru  
Pulau Sempu. Angkutan  umum  yang  terbatas  keberadaannya  adalah  pada  rute  dari  Kec.
Turen  sampai  Sendang  Biru  yang  hanya  tersedia  pada  pagi  hingga  siang  hari. Akses  jalan  berupa  aspal  permanen  yang  cukup  baik,  berupa  jalan  Provinsi
maupun  jalan  Kabupaten  dan  banyak  terdapat  medan  berbukit  dan  berkelok. Selepas  dari  Kec.  Turen,  pemukiman  penduduk  seringkali  terpisah  oleh  hutan
maupun  kebun  penduduk  dengan  jarak  antara  1-5  km.  Setelah  sampai  pantai Sendang Biru, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal nelayan sewaan
hingga  ke  pantai  Waru-waru  di  sebelah  utara,  pantai  Air  tawar  atau  pantai  teluk Semut  yang  merupakan  akses  masuk  menuju  danau  Segara  Anakan  di  kawasan
Pulau Sempu.
Potensi Flora dan Fauna Flora
Menurut Kramadibrata et al. 2010 dalam kajian ekosistem daratan rendah CAPS  tahun 2010. Kawasan CAPS  terdapat  70 jenis tumbuhan  yang tergolong
dalam  63  marga  dan  31  suku  yang  sudah  teridentifikasi  sebagaimana  Tabel  4.1 berikut.
26 Tabel 4.1  Jenis tumbuhan yang teridentifikasi di kawasan CAPS
No. Suku
Jenis 1.
Amaryllidaceae Crinum asiaticum L.
2. Anacardiaceae
Semecarpus sp. 3.
Anacardiaceae Spondias acida Bl.
4. Anacardiaceae
Mangifera 5.
Anacardiaceae Buchanania arborescens Bl.
6. Annonaceae
Diospyros cauliflora 7.
Annonaceae Annona
8. Annonaceae
Oropehea hexandra 9.
Apocynaceae Cerbera manghas L.
10. Asclepiadaceae
Hoya diversifolia 11.
Aspleniaceae Asplenium nidus L.
12. Asteraceae
Wedelia biflora DC. 13.
Avicenniaceae Avicennia officinalis L.
14. Bignoniaceae
Dolichandrone spathacea K.Schum. 15.
Burseraceae Canarium
16. Clusiaceae
Calophyllum inophyllum L 17.
Clusiaceae Garcinia dioica Bl.
18. Clusiaceae
Garcinia celebica L. 19.
Clusiaceae Garcinia
20. Combretaceae
Terminalia catappa L. 21.
Ebenaceae Diospyros cauliflora Bl.
22. Ebenaceae
Diospyros sp. 23.
Euphorbiaceae Baccaurea javanica Blume. Mull.Arg
24. Euphorbiaceae
Excoecaria agallocha L. 25.
Euphorbiaceae Mallotus sp.
26. Euphorbiaceae
Aglaia argentea Bl. 27.
Euphorbiaceae Croton argyratus Bl.
28. Euphorbiaceae
Antidesma bunius L. Spreng 29.
Euphorbiaceae Mallotus  floribundus Blume. Mull.Arg
30. Fabaceae
Caesalpinia bonduc L. Roxb 31.
Fabaceae Derris trifoliata Lour.
32. Fabaceae
Pangamian pinnata L. Pierre 33.
Fabaceae Sophora tomentosa L.
34. Fabaceae
Pelthoporum inerme Roxb. L Lanos. 35.
Flacourtiaceae Flacourtia rukam Zoll et Mor.
36. Flagellariaceae
Flagellaria indica L. 37.
Lauraceae Cinnamomum iners Bl.
38. Lecythidaceae
Barringtonia asiatica L. Kurz 39.
Lecythidaceae Barringtoniaracemosa L. Spreng
40. Leeaceae
Leea indica 41.
Malvaceae Hibiscus  tiliaceus L
42. Meliaceae
Xylocarpus granatum K.D.Koenig 43.
Meliaceae Xylocarpus rumphii kostel. Mabb
44. Meliaceae
Aglaia odoratissima Bl. 45.
Meliaceae Sandoricum koetjape Burm.f. Merr
46. Moraceae
Artocarpus elasticus Bl. 47.
Moraceae Ficus sp. 1
48. Moraceae
Ficus sp. 2 49.
Moraceae Streblus asper lour.
50. Myristicaceae
Myristica teysmannii Miq. 51.
Myrisinaceae Aegiceras corniculatum L. Blanco
52. Myrisinaceae
Ardisia
27 Tabel 4.1  Lanjutan jenis tumbuhan yang teridentifikasi di CAPS
No. Suku
Jenis 53.
Myrtaceae Syzygium littorale
54. Orchidaceae
Grosourdya appendiculata 55.
Orchidaceae Dendrobium subulatum
56. Orchidaceae
Taeniophyllum sp. 57.
Pandanaceae Pandanus tectorius Parkinson
58. Rhizophoraceae
Bruguiera gymnorrhiza L. Lamk. 59.
Rhizophoraceae Bruguiera sexangula Lour. Poir.
60. Rhizophoraceae
Ceriops decandra Griff. Ding Hou 61.
Rhizophoraceae Ceriops tagal Perr. C.B.Robinson
62. Rhizophoraceae
Rhizophora apiculata Blume 63.
Rhizophoraceae Bruguiera parviflora Wight  Arn.ex
64. Rubiaceae
Ixora sp. 65.
Rubiaceae Guettarda speciosa L.
66. Sterculiaceae
Heritiera liioralis Alt. 67.
Sterculiaceae Pheterospermum javanicum jungh.
68. Sterculiaceae
Sterculia coccinea Jack. var.coccinea 69.
Sterculiaceae Pterospermum diversifolium Bl.
70. Verbenaceae
Vitex pinnata L.
Sumber : Kramadibrata et al. 2010
Fauna
Keragaman jenis satwaliar di dalam kawasan CAPS ada 72 jenis yang terdiri dari  47  jenis  Aves,  16  jenis  Mamalia,  9  jenis  Reptil.  Beberapa  jenis  fauna  yang
banyak  ditemukan  antara  lain  jenis  mamalia  dan  aves,  baik  dijumpai  secara langsung  maupun  melalui  jejak  dan  kotoran  yang  ditinggalkan.  Peta  potensi
tutupan  vegetasi  dan  sebaran  satwaliar  di  kawasan  CAPS  ditunjukkan  pada Lampiran 7 BBKSDA Jatim, 2011.
a. Mamalia
Jenis  mamalia  yang  dapat  dijumpai  dan  ditemukan  di  kawasan  CAPS berdasarkan hasil inventarisasi BKSDA Jatim II tahun 1999 disajikan pada Tabel
4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2  Jenis mamalia yang ditemukan di kawasan CAPS
No. Nama Lokal
Nama Ilmiah Status Satwa
PP 7 Tahun 1999 1.
Macan kumbang Panthera pardus
Dilindungi 2.
Kijang Muntiacus muntjak
Dilindungi 3.
Lutung jawa Trachypithecus auratus
Dilindungi 4.
Kucing hutan Felis bengalensis
Dilindungi 5.
Jelarang Ratufa bicolor
Dilindungi 6.
Trenggiling Manis javanica
Dilindungi 7.
Landak Hystrix brachyura
Dilindungi 8.
Kancil Tragulus javanicus
Dilindungi 9.
Walang kopo Cynocephalus variegatus
Dilindungi 10.
Kukang Nictycebous javanicus
Dilindungi 11.
Monyet ekor panjang Macaca fascicularis
Belum dilindungi
28 Tabel 4.2  Lanjutan jenis mamalia yang ditemukan di kawasan CAPS
No. Nama Lokal
Nama Ilmiah Status Satwa
PP 7 Tahun 1999 12.
Kalong besar Pteropus vampyrus
Belum dilindungi 13.
Babi hutan Sus scrofa
Belum dilindungi 14.
Bajing Callosciurus notatus
Belum dilindungi 15
Musang cangkok Prionodon linsang
Belum dilindungi 16.
Lumba-lumba Tursiops truncatus
Belum dilindungi
Sumber : BKSDA Jatim II, 1999
b. Reptil