DAFTAR TABEL
2.1 Dampak negatif pembangunan pariwisata 8
2.2 Matrik SWOT 13
3.1 Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data 15
3.2 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor kelerengan 18
3.3 Indeks Penilaian Terhadap Potensi Lanskap 19
3.4 Indeks Kepekaan Tanah terhadap erosi 20
3.5 Analisis stakeholders 21
3.6 Matrik identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal
adanya kegiatan ekowisata di kawasan CAPS
21
3.7 Matrik internal dan eksternal SWOT pengelolaan ekowisata 22
3.8 Analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengelolaan ekowisata 22
4.1 Jenis tumbuhan yang teridentifikasi di kawasan CAPS 26
4.2 Jenis Mamalia yang ditemukan di kawasan CAPS 27
4.3 Jenis aves yang ditemukan di CAPS 28
4.4 Jumlah penduduk desa Tambakrejo 31
4.5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Tambakrejo 31
4.6 Mata pencaharian penduduk Desa Tambakrejo 32
5.1 Hasil penilaian potensi ODTWA CAPS 34
5.2 Hasil inventori potensi ODTWA 35
5.3 Indeks hasil penilaian faktor koreksi kelerengan blok rimba CAPS 52
5.4 Indeks penilaian terhadap potensi lanskap kawasan CAPS 53
5.5 Nilai faktor pengkoreksi pada penentuan nilai daya dukung riil 55
5.6 Analisis stakeholders : peranan, tuntutan dan kepentingan 65
5.7 Matrik SWOT strategi kebijakan pengelolaan kawasan CAPS 71
DAFTAR GAMBAR
1.1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 3
2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung ekowisata 10
3.1 Peta lokasi penelitian 14
3.2 Model matriks grand strategy 23
4.1 Hutan mangrove di teluk Ra’as, Air tawar, Semut
30 5.1 Peta potensi obyek daya tarik wisata alam di Pulau Sempu
36 5.2 Pulau Sempu dipisahkan dengan selat Sendang Biru
36 5.3 Pantai Waru-waru yang berombak tenang
37 5.4 Pantai Raas dan pantai Teluk Semut
38 5.5 Pantai Tanjung dan view pantai Setumbut
38 5.6 Pantai Setigen dan pantai Karetan
39 5.7 Pantai Pondok Kobong dan pantai Plawangan
39 5.8 Pantai Gladakan dan pantai Baru-baru
40 5.9 Danau Segara Anakan dan Karang Bolong
40
5.10 Pantai Pasir Panjang dan pantai Pasir Kembar 2 41
DAFTAR GAMBAR lanjutan
5.11 Ekosistem yang ada di kawasan CAPS 43
5.12 Monyet ekor panjang dan Lutung Jawa 44
5.13 Elang laut perut putih Haliaetus leucogaster di Pulau Sempu 44
5.14 Jamur Stereum sp dan Bunga bangkai Amorphophallus sp 45
5.15 Goa macan dan sumber air tawar di pantai air tawar 45
5.16 Sampah plastik dari dalam kawasan dan kerawanan kawasan 46
5.17 Alat transfortasi darat dan laut menuju kawasan CAPS 47
5.18 Kantor resort Pulau Sempu dan sarana parahu patroli 48
5.19 Sampah botol plastik dan pemadatan tanah pada jalan trek 49
5.20 Tradisi petik laut nelayan Sendang Biru 50
5.21 Pembuatan perahu nelayan dan menangkap ikan secara tradisional 51
5.22 Jumlah pengunjung CAPS dalam 5 tahun terakhir 56
5.23 Jenis kelamin dan usia responden pengunjung 57
5.24 Tingkat pendidikan dan pekerjaan responden pengunjung 57
5.25 Daerah asal responden pengunjung 58
5.26 Sumber informasi tentang CAPS 59
5.27 Tujuan pengunjung datang ke CAPS 60
5.28 Tipe rombongan pengunjung dan frekwensi kunjungan 60
5.29 Obyek yang menjadi daya tarik pengunjung di kawasan CAPS 61
5.30 Persepsi pengunjung tentang pemanfaatan kawasan 61
5.31 Bentuk wisata yang diinginkan di kawasan CAPS 62
5.32 Tingkat pendidikan dan pengetahuan status kawasan 62
5.33 Ketergantungan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan 63
5.34 Perubahan status dan keberadaan CAPS 64
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kriteria penilaian obyek daya tarik wisata alam di kawasan CAPS 83
2. Perhitungan daya dukung fisik, riil dan efektif 93
3. Matrik identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal 95
4. Matrik IFAS Internal Factor Analisis Summary dan EFAS
Eksternal Factor Analisis Summary pengelolaan ekowisatadi CAPS 98
5. Matrik SWOT pengelolaan ekowisata di kawasan CAPS 100
6. Kuesioner dan panduan kawasan penelitian 101
7. Peta tutupan vegetasi dan sebaran satwa di kawasan CAPS 105
8. Peta rencana pengelolaan blok kawasan CAPS 105
9. Data curah hujan di Kec. Sumbermanjingwetan Kab. Malang tahun 2008-2012
106 10. Grafik data curah hujan di Kec. Sumbermanjingwetan Kab. Malang
tahun 2008-2012 107
11. Perhitungan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah 108
12. Daftar riwayat hidup 109
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara mega biodiversity dunia yang memiliki
keanekaragaman hayati paling tinggi setelah Brasil dengan keunikan, keaslian dan keindahan alamnya Indrawan, Supriatna, Primack, 2007. Keanekaragaman flora,
fauna dan ekosistemnya serta keragaman budaya merupakan potensi dan dapat dijadikan salah satu dasar pembangunan nasional yang berkelanjutan Supyan,
2011. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat, melalui upaya konservasi, sehingga tercapai
keseimbangan dan keserasian antara aspek perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.
Dalam rangka untuk melindungi keanekaragaman hayati tersebut, pemerintah melalui Departemen Kehutanan menetapkan beberapa kawasan di
Indonesia sebagai kawasan konservasi Zuhri dan Sulistyawati, 2007. Kawasan konservasi merupakan perwakilan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem, keunikan dan keindahan alam. Dengan penetapan kawasan konservasi diharapkan dapat
mendukung pembangunan dan menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan hidup Ditjen PHKA, 2004.
Indonesia memiliki 245 kawasan cagar alam darat dan perairan dengan luas 4.485.230 ha Kemenhut, 2012. Pulau Sempu merupakan salah satu kawasan
konservasi di Jawa Timur. Kawasan pulau Sempu ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor. 46 Stbl
No. 69 tanggal 15 Maret 1928, dengan luas kawasan cagar alam tersebut saat itu adalah 877 ha. Penetapan kawasan tersebut didasarkan pada faktor botanis, estetis
dan topografis. Urgensi estetis dari kawasan Cagar Alam Pulau Sempu CAPS memiliki beberapa potensi wisata alam yang indah dan menarik terutama Segara
Anakan. Potensi tumbuhan, satwa dan ekosistem mempunyai nilai tinggi yang dapat mewakili kondisi hutan dan ekosistem daratan Pulau Jawa BBKSDA Jatim,
2011. Menurut Kramadibrata et al. 2010 kawasan CAPS memiliki 4 tipe ekosistem yaitu : ekosistem hutan tropis dataran rendah, ekosistem hutan
mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem danau. Keragaman ekosistem tersebut menjadikan CAPS memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang
tinggi.
Cagar Alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan. Perlindungan cagar alam banyak mengalami hambatan dan gangguan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga
memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan masyarakat Zuhri dan Sulistyawati, 2007. Permasalahan yang terjadi pada kawasan suaka alam
tersebut disinyalir karena ketidakoptimalan dalam pengelolaan. Ketidakoptimalan pengelolaan kawasan suaka alam diindikasikan dengan hampir semua kawasan
suaka alam mengalami gangguan pencurian, perambahan dan adanya kegiatan wisata alam pada kawasan cagar alam sehingga kawasan tidak berfungsi
2 sebagaimana peruntukan dan masyarakat sekitar hutan termarjinalisasi secara
sosial ekonomi Wiratno et al. 2004. Pemerintah berupaya untuk mempertahankan kawasan cagar alam dari
tekanan dan gangguan. Salah satu caranya adalah dengan memberlakukan aturan pemanfaatan secara ketat. Pengelola menganalogkan kawasan cagar alam sebagai
museum, hanya boleh dilihat dan tidak boleh disentuh, apalagi dimanfaatkan secara langsung. Pemanfaatan kawasan hanya untuk menunjang pendidikan,
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pada sisi lain, upaya memperketat penjagaan kawasan tidak diimbangi dengan keberadaan sumber
daya pengelolaan yang memadai. Keterbatasan sarana prasarana pengelolaan, sumber daya manusia dan dana pengelolaan menyebabkan permasalahan dalam
pelaksanaan pengelolaan kawasan Chasanatun, 2010.
Pada saat ini telah dikembangkan paradigma baru dalam pengelolaan konservasi, dengan memberdayakan peran serta masyarakat dalam perencanaan
pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Fandeli 2000c kegiatan ekowisata sebagai bagian prinsip pengembangan dan pemanfaatan kawasan konservasi
dianggap memberikan manfaat secara berkelanjutan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan cara seperti itu, ekowisata dapat memberikan
kontribusi keuntungan jangka panjang bagi masyarakat lokal dan lingkungan Wight, 1993.
Peningkatan permintaan wisata ke daerah-daerah yang alami akan berdampak pada penurunan kawasan yang alami baik secara kualitas maupun
kuantitas Wearing dan Neil, 2009. Demikian juga adanya kegiatan ekowisata di kawasan CAPS, memberikan dampak kepada masyarakat lokal tentang status dan
fungsi kawasan cagar alam. Di satu sisi pengelola kawasan selalu menyatakan kepada masyarakat bahwa mereka tidak diijinkan memasuki kawasan CAPS
kecuali untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan yang menunjang budidaya. Di sisi lain bahwa
masyarakat lokal melihat banyak wisatawan memasuki kawasan untuk berwisata menikmati keunikan dan keindahan alam kawasan CAPS. Sementara pemerintah
sebagai pengelola kawasan masih belum bisa membuat aturannya karena terkendala dengan status cagar alam.
Dari kondisi tersebut maka perlu dilakukan kajian yang menganalisis potensi dan daya dukung ekowisata di kawasan CAPS untuk merumuskan
alternatif kebijakan pengelolaan kawasan. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi stakeholders dalam menyelesaikan permasalahan
pengelolaan kawasan untuk mewujudkan kawasan yang secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan
Kerangka Pemikiran
Kawasan CAPS dalam beberapa tahun terakhir menghadapi permasalahan pengelolaan yang memerlukan penanganan serius. Permasalahan tersebut adalah
adanya ekowisata dalam kawasan cagar alam. Hal ini bertentangan dengan UU RI No. 5 tahun 1990 pasal 17 ayat 1 yaitu di dalam cagar alam hanya dapat dilakukan
kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya.
3 Adanya permasalahan dan tekanan permintaan ekowisata yang besar
terhadap kawasan CAPS, akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelestarian kawasan cagar alam, sehingga tujuan penetapan kawasan konservasi
tidak dapat tercapai. Berdasarkan keadaan tersebut, diperlukan upaya strategis dalam mengelola kawasan CAPS, sehingga tercapai optimalisasi fungsi dan
manfaat kawasan serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini sekaligus dapat memecahkan masalah yang dihadapi kawasan pada saat
sekarang dan mengantisipasi kondisi yang akan datang.
Tingginya permintaan ekowisata di kawasan CAPS merupakan potensi yang harus dikelola dengan baik, namun hal ini bertentangan dengan status kawasan
sebagai cagar alam. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan kerjasama antar stakeholders BBKSDA Jatim, Pemerintah Daerah, Masyarakat lokal dan pihak-
pihak terkait
supaya tidak terjadi konflik kepentingan diantara stakeholders dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan CAPS. Dengan kebijakan baru ini
diharapkan kawasan cagar alam secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan masyarakat lokal. Kerangka pemikiran kajian potensi dan daya
dukung ekowisata di kawasan CAPS Jawa Timur secara rinci disajikan pada Gambar 1.1 berikut :
Gambar 1.1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
4
Perumusan Masalah
Permintaan ekowisata yang terus meningkat pada kawasan CAPS dan didukung adanya potensi sumberdaya alam dengan segala keunikannya yang
dimiliki CAPS, terkendala dengan status kawasan sebagai cagar alam. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang menganalisis potensi dan daya dukung
kawasan dengan adanya kegiatan ekowisata. Untuk menganalisis adanya permasalahan kegiatan ekowisata di kawasan CAPS perlu dilakukan identifikasi
potensi obyek wisata dengan faktor-faktor pendukungnya biofisik, kebijakan pengelolaan, sosial dan ekonomi yang sesuai dengan status kawasan, tujuan
pengelolaan dan rencana pengembangan daerah sekitar kawasan. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi stakeholders dalam menyelesaikan
permasalahan pengelolaan dan pelestarian kawasan CAPS. Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian adalah :
1.
Bagaimana potensi CAPS yang dapat dimanfaatkan untuk ekowisata? 2.
Bagaimana daya dukung yang disediakan kawasan CAPS untuk ekowisata? 3.
Bagaimana strategi pengelolaan kawasan CAPS yang mampu mengadopsi kepentingan para pihak dengan resiko serendah-rendahnya
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi dan menganalisis potensi obyek daya tarik wisata alam di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu.
2. Menganalisis daya dukung kawasan Cagar Alam Pulau Sempu dengan adanya
kegiatan ekowisata. 3.
Merumuskan rencana alternatif kebijakan pengelolaan kawasan pulau sempu yang sesuai dengan potensi dan status kawasan cagar alam.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pengelola kawasan CAPS dalam menerapkan kebijakan pengelolaan untuk mencapai kawasan yang
secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan. 2.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan CAPS
.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ekowisata
Istilah ekowisata diperkenalkan pertama oleh Ceballos-Lascurain pada tahun 1983 yang mendefinisikan ekowisata sebagai kunjungan ke daerah-daerah
yang masih alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi, menikmati pemandangan alam, satwa liar dan
budayanya baik masa lalu maupun masa sekarang yang ada pada tempat tersebut. Kemudian Lascurain 1996 melakukan peninjauan ulang terhadap definisi
ekowisata yang dirumuskan sebelumnya dengan menambahkan : untuk mempromosikan konservasi, meminimalkan dampak negatif yang diakibatkan
oleh
pengunjung dan
masyarakat terlibat
secara ekonomi
dalam penyelenggaraanya. Menurut Tuohino dan Hynonen 2001 ekowisata adalah
wisata berbasis alam, dikelola secara lestari, mendukung konservasi dan lingkungan pendidikan.
Ekowisata menurut definisi dari The Ecotourism Society adalah perjalanan wisata ke kawasan alami atau belum terkontaminasi yang bertujuan untuk
mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Kegiatan ini awalnya dilakukan oleh wisatawan pecinta alam
yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga. Ekowisata juga merupakan bentuk
perluasan pariwisata alternatif yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak
ekologis dan sosial, akan tetapi hanya mementingkan keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia. Pelaksanaan ekowisata lebih menekankan konservasi
secara ekologi namun juga tetap memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat lokal Fennell, 1999.
Selanjutnya masyarakat ekowisata internasional mencoba mengidentifikasi prinsip-prinsip ekowisata berdasarkan pada definisi ekowisata yang telah
berkembang. Prinsip ekowisata dimaksudkan adalah sebagai berikut : 1.
Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata;
2. Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya, baik
pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya; 3.
Menawarkan pengalaman-pengalaman positif Damanik dan Weber, 2006. Menurut McDill et al. 1999 bahwa ekowisata mempunyai karakteristik
umum sebagai berikut : 1.
Wisata yang berbasis alam; 2.
Penghargaan sebagai alasan untuk melakukan perjalanan wisata; 3.
Mengembangkan konservasi sumber daya alam dengan melindungi dan memperkecil dampak terhadap lingkungan;
4. Memberikan manfaat kepada penduduk lokal;
5. Menghormati kultur lokal dan memperkecil dampak sosial;
6. Mempromosikan pendidikan lingkungan kepada pengunjung.
6
Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Kawasan
Kedatangan wisatawan ke tempat wisata di Negara tropika, menurut MacKinnon et al. 1993 tidak lain adalah ingin melihat sesuatu yang berbeda,
sesuatu yang baru, sesuatu yang spektakuler, sesuatu untuk didokumentasikan serta ingin bertamasya dengan nyaman, dengan menggabungkan
“petualangan” dengan kegiatan waktu senggang. Terkait dengan hal tersebut maka paket wisata
yang paling berhasil adalah kombinasi sejumlah minat-minat tersebut. Faktor-faktor yang membuat suatu kawasan konservasi menjadi menarik
untuk dikunjungi bagi pengunjung adalah : 1.
Letaknya dekat atau jauh dari bandar udara internasional dan pusat wisata; 2.
Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman atau sulit dan berbahaya; 3.
Kawasan tersebut mempunyai atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu;
4. Kemudahan untuk melihat atraksi atau satwaliar;
5. Memiliki beberapa keistimewaan berbeda;
6. Memiliki budaya yang menarik;
7. Unik dalam penampilannya;
8. Mempunyai obyek rekreasi pantai, danau, sungai, air terjun, kolam renang;
9. Cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga dapat
menjadi bagian kegiatan wisatawan lain; 10.
Sekitar kawasan itu memiliki pemandangan indah; 11.
Keadaan makanan dan akomodasi tersedia. Menurut Wright 1993 strategi yang dibutuhkan untuk mengembangkan
ekowisata seharusnya memenuhi prinsip-prinsip dasar diantaranya : 1.
Ekowisata tidak menyebabkan degradasi sumber daya alam dan pengembangan selalu berdasarkan prinsip ramah lingkungan.
2. Ekowisata seharusnya mendukung partisipasi dan pengalaman baru bagi
wisatawan. 3.
Ekowisata seharusnya mencakup pengetahuan komunitas lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, industri, wisatawan sebelum dan sesudah
melakukan perjalanan. 4.
Ekowisata seharusnya menemukan seluruh nilai intrinsik sumber daya. 5.
Ekowisata mencakup daya dukung sumber daya. 6.
Ekowisata mempromosikan saling pengertian dan menjebatani hubungan antar pihak terkait. Seluruh pihak terkait seharusnya mempromosikan
tanggung jawab perilaku moral dan etika yang berkaitan alam dan budayanya. 7.
Ekowisata seharusnya memberikan keuntungan dalam jangka panjang untuk sumberdaya, komunitas lokal dan industri dimana keuntungan tersebut dapat
berupa konservasi, ilmu pengetahuan dan budaya atau ekonomi. 8.
Ekowisata berorientasi kepada tujuan pembangunan berwawasan lingkungan dengan tetap mengindahkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
9. Kegiatan ekowisata seharusnya menjamin bahwa etika dasar praktek
lingkungan yang bertanggung jawab diterapkan tidak hanya sebagai sumberdaya eksternal yang menjadi atraksi wisata tetapi juga faktor internal
operasional.
Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan didasarkan pada beberapa unsur utama yaitu 1 Ketergantungan pada kualitas sumber daya,
7 peninggalan sejarah dan budaya; 2 Melibatkan masyarakat; 3 Meningkatkan
kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya; 4 Tumbuhnya pasar ekowisata ditingkat internasional dan nasional; 5 Sebagai
sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan Shelly dan Wall, 2001
Pengembangan Ekowisata Dalam Kawasan Konservasi
Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan ekowisata kawasan hutan tropika yang tersebar di kepulauan sangat menjanjikan
untuk ekowisata dan wisata minat khusus. Ekowisata diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial
dan ekonomi bagi masyarakat serta bagi kelestarian sumberdaya dan berkelanjutan.
Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan
kualitas dan kebutuhan ekosistem, oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. The Ecotourism Society
Eplerwood, 1999 dalam Fandeli, 2000 menyebutkan ada tujuh prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: 1 Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas
wisatawan yang menggangu terhadap alam dan budaya; 2 Pendidikan konservasi lingkungan; 3 Pendapatan langsung untuk kawasan; 4 Partisipasi masyarakat
dalam perencanaan; 5 Meningkatkan penghasilan masyarakat; 6 Menjaga kehormonisan dengan alam; 7 Menjaga daya dukung lingkungan; 8
Meningkatkan devisa buat pemerintah.
Menurut Ridwan 2000 bahwa pengembangan ekowisata harus melibatkan berbagai unsur seperti : pengunjung atau ekowisatawan, sumber daya alam,
pengelola, masyarakat setempat, kalangan bisnis termasuk tour operator, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Pada prinsipnya
pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku
ekowisata bisa terjadi. Perencanaan pengembangan ekowisata diantaranya mengacu pada perencanaan perlindungan dan pelestarian lingkungan, perencanaan
penggunaan lahan dan tata ruang. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari proses pemanfaatan dari sumberdaya dan berkelanjutan yang terkoordinasi dan
interaktif berdasarkan aspek pelestarian ekologis kawasan, biodiversitas dan nilai sosial dalam keterlibatan wisatawan bersama masyarakat lokal.
Menurut Bengen 2005 bahwa salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia adalah
menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Artinya setiap aktifitas pembangunan di suatu
wilayah harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan. Analisis kesesuaian lingkungan harus mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi yaitu:
1.
Aspek Ekologis, dapat didekati dengan menganalisis; a.
Potensi maksimum sumberdaya berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis, dihitung kapasitas maksimum sumberdaya untuk menghasilkan
barang dan jasa good and services dalam jangka waktu tertentu.
8 b.
Kapasitas daya dukung carrying capacity. Daya dukung didefinisikan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam secara berkesinambungan
tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. c.
Kapasitas penyerapan limbah assimilative capacity. Kapasitas penyerapan limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat pulih misalnya air,
udara, tanah untuk menyerap limbah aktifitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperatur dan aktifitas
manusia.
2. Aspek Sosial;
Aspek sosial dapat dilihat dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang akan dilakukan, mencakup dukungan sosialterhindar dari konflik pemanfaatan,
terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat pencemaran, budaya, estetika, keamanan dan kompatibilitas.
3. Aspek Ekonomi;
Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari aktifitas yang akan dilaksanakan.
Dalam rangka untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan sustainable tourism, ekowisata diharapkan dapat meminimalisir
potensi kerusakan budaya dan lingkungan alam yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terhadap adanya potensi dampak negatif
adanya pembangunan pariwisata seperti pada Tabel 2.1. Identifikasi potensi dampak tersebut penting untuk dilakukan dalam membuat perencanaan dalam
penerapan konsep ekowisata dalam rangka pengembangan kawasan konservasi.
Tabel 2.1 Dampak negatif pembangunan pariwisata
Komponen lingkungan
Fenomena dampak negatif Kegiatan pariwisata yang menimbulkan
dampak negatif Flora dan fauna
Gangguan perkembang biakan Hilang atau kepunahan
Pengamatan burung bird watching, Gerak jalan hiking
Perburuan Hunting Masakan istimewa unique dishes
Padatnya visitasi
Perubahan pola migrasi satwa Perjalanan dalam jalur migrasi
Kerusakan vegetasi Pembangunan sarana wisata
Kegiatan wisata pada kawasan hutan konservasi
Polusi Polusi air dan tanah
Limbah cair, Ceceran minyak dan bahan kimia, Pembuangan sampah padat
Polusi udara Emisi kendaraan bermotor
Polusi suara Kemacetan lalu lintas, Kehidupan
malam, Tingginya visitasi Erosi
Pengikisan permukaan tanah Lalu lintas yang padat
Longsor Lingkungan binaan yang tidak terkendali
Penggundulan hutan Kerusakan DAS
Wisata sungai yang tidak terkendali Kepadatan pengunjung
Sumberdaya alam
Habisnya cadangan air tanah dan air permukaan
Banyaknya kawasan terbangun Kerusakan sumber air
Tingginya kemungkinan kebakaran
Api yang tidak terkendali
Sumber : diadopsi dari Heriawan, 2004
9
Konsep Daya Dukung Pengembangan Kawasan Wisata
Pada saat ini, konsep daya dukung merupakan paradigma untuk mengatasi dan membatasi jumlah pembangunan wisata sesuai tujuan telah ditetapkan. Untuk
menetapkan daya dukung jumlah wisatawan tertentu, dalam jangka waktu yang ditentukan. Kekhawatiran tersebut dianggap tepat untuk mempertahankan
masyarakat lokal dalam konteks budaya dan lingkungan McCool dan Lime, 2001
Konsep daya dukung carrying capacity selalu dihubungkan dengan kapasitas atau jumlah manusia yang dapat ditampung dalam sebuah ruang
tertentu. Dalam hubungannya dengan ekowisata maka konsep daya dukung dinyatakan sebagai jumlah atau kapasitas wisatawan yang dapat ditampung dalam
suatu ruang tertentu yang tergantung pada kemampuan sumber daya wisata Dirawan, 2006. Menurut Lascurain 1996 Tourism Carrying Capacity TCC
adalah daya dukung lingkungan dan berhubungan dengan aktivitas wisatawan. TCC didefinisikan sebagai tingkat maksimum pengunjung yang dapat
diakomodasi oleh kawasan wisata dan pembangunannya. Sedangkan daya dukung wisatawan merupakan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan
rekreasi. Dengan demikian konsep daya dukung mempunyai komponen utama yaitu kualitas lingkungan dan kemampuan untuk dapat melakukan aktifitas
rekreasi.
Daya dukung wisata merupakan “batas dimana kehadiran wisatawan dan
fasilitas pendukungnya tidak menimbulkan ganguan terhadap lingkungan fisik atau kehidupan ma
syarakat”. Konsep daya dukung merupakan sebuah konsep yang mudah untuk dimengerti akan tetapi sangat sulit untuk dapat dihitung
sehingga tidak terdapat standar baku untuk menghitung nilai daya dukung tersebut. Konsep tersebut juga sangat bervariasi terhadap waktu, iklim dan
karakteristik dilakukannya wisata seperti pesisir, kawasan lindung, rural, gunung, kawasan sejarah. Terdapat beberapa komponen untuk dapat mengukur daya
dukung wisata diantaranya : 1.
Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan. Komponen ini sangat tergantung pada kapasitas dari sumberdaya, sistem dan
kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan ekologis lahan, iklim seperti pengaruh frekwensi dan curah hujan.
2. Daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan penggunaannya
secara ekologi termasuk didalamnya flora dan fauna, habitat alamiah dan bentang alam.
3. Daya dukung sosial budaya masyarakat terutama masyarakat penerima
wisatawan sebagai contoh: keragaman budaya, kebiasaan penduduk. Konsep daya dukung merupakan prasyarat minimum dalam perencanaan
dan pengembangan konsep ekowisata. Kondisi ini berkaitan dengan aturan dan pengertian wisata alam terbatas yang dapat dilakukan pada kawasan konservasi.
Dimana wisata terbatas juga sangat tergantung dengan kapasitas daya dukung untuk dapat memberikan nilai maksimum terhadap peningkatan ekonomi dan
partisipasi masyarakat sekitar kawasan dengan tetap mempertahankan nilai perlindungan dan pelestarian serta menekan dampak negatif yang di timbulkan.
Dalam perhitungan daya dukung pada kawasan konservasi telah berkembang metode meliputi : limit of acceptable change LAC, visitor impact
10 management VIM, visitor experience and resources protection VERP, visitor
activity management process VAMP, the recreation opportunity spectrum ROS. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kompleknya permasalahan,
keinginan dan kebutuhan pengunjung, ketersediaan sumberdaya pada kawasan suaka alam yang rentan terhadap perubahan habitat. Berikut Gambar 2.1 adalah
konsep daya dukung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sumber : diadopsi dari Dirawan, 2006 Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung ekowisata
Konsep limit of acceptable change LAC digunakan untuk melihat kesesuaian antara kondisi dengan kebutuhan wisata. Dimana konsep ini
dimaksudkan untuk mengontrol terjadinya kerusakan terhadap sumberdaya dibandingkan mencegahnya. Konsep ini bisa dilakukan apabila manajemen
pengelola kawasan mempunyai informasi yang mendukung terkait dengan kondisi eksisting kawasan dan pengaruh jumlah pengunjung yang mempergunakan sebuah
obyek wisata pada kawasan. Dalam proses analisis LAC terlihat bahwa kemampuan dari identifikasi terhadap kebutuhan akan kegiatan wisata yang telah
dilakukan pada kawasan didukung dengan upaya memonitor kondisi kawasan, melalui langkah-langkah berikut :
1. Mengidentifikasi masalah dan isu-isu di kawasan
2. Mendefinisikan dan menggambarkan peluang
3. Pemilihan indikator sumber daya dan kondisi sosial
4. Inventarisasi sumber daya dan kondisi sosial
5. Menentukan standar khusus untuk sumber daya dan kondisi sosial
6. Mengidentifikasi alternatif lokasi dan peluang
7. Tindakan manajemen untuk setiap alternatif
8. Mengevaluasi dan memilih alternatif tindakan
9. Melaksanakan tindakan dan mengevaluasi McKay, 2006
11
Kawasan Konservasi
Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan kawasan konservasi sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Oleh karena itu, kegiatan konservasi meliputi tiga hal
yaitu konservasi genetik, konservasi spesies dan konservasi ekosistem. Sedangkan tujuan utamanya dalam melakukan kegiatan konservasi yaitu: 1 Melindungi
keanekaragaman hayati; 2 Mempelajari fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati; 3 Memanfaatkan keanekaragaman hayati tersebut untuk kesejahteraan
umat manusia Alikodra, 1997.
Perlindungan kawasan
konservasi dilakukan
untuk melindungi
keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya.
Menurut IUCN dalam MacKinnon et al. 1993 dalam pedoman menajemen terdapat dua prinsip mendasar untuk menentukan luasan kawasan konservasi
yaitu daerah tersebut harus cukup luas untuk memelihara spesies dan dapat mendukung proses ekologi. Keanekaragaman hayati saat ini menjadi salah
satu issu global yang sangat penting, sehingga kawasan konservasi mendapat perhatian ekstra.
Menurut UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem kawasan konservasi di Indonesia terdiri atas:
1. Kawasan Suaka Alam KSA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka alam terdiri dari :
a.
Cagar Alam yaitu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. b.
Suaka Magasatwa yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 2.
Kawasan Pelestarian Alam KPA adalah kawaan dengan ciri khas tertentu, baik di darat ataupun di perairan yang mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari terhadap
sumber daya alam hayati dan ekosistenya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas :
a.
Taman Nasional yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola berdasarkan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
b. Taman Wisata Alam yaitu kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. c.
Taman Hutan Raya yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
12 asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya pariwisata dan rekreasi. 3.
Taman Buru adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan untuk diselenggarakannya perburuan satwa secara teratur PP Nomor 13 Tahun
1994. Habitat yang ada bersifat alami atau semi alami berukuran sedang sampai besar, memiliki potensi satwa buru yang jumlah populasinya cukup
besar, tersedianya fasilitas buru yang memadai dan lokasinya mudah dijangkau.
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, terdapat tiga kegiatan yang menjadi kuwajiban dan
tanggung jawab
pemerintah dan
masyarakat yaitu
1 Pengawetan
keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya 2 Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan 3 Pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Paradigma baru dalam pengelolaan kawasan konservasi tidak lagi memandang kawasan sebagai sesuatu yang terisolasi eksklusif, melainkan
bagian integral dari wilayah yang lebih besar disekelilingnya. Dengan sudut pandang seperti ini disadari bahwa keberhasilan pencapaian tujuan konservasi
in-situ tergantung pada unsur-unsur tersebut. Oleh sebab itu disepakati bahwa aspek-aspek sosial budaya, ekonomi dan politik perlu dipertimbangkan
dalam pengelolaan kawasan konservasi Wiratno et al. 2004. Dengan paradigma tersebut, maka pengelolaan kawasan konservasi khususnya cagar alam
harus juga mempertimbangkan azas pemanfaatan disamping untuk tujuan pelestarian. Artinya keberadaan cagar alam harus dapat bermanfaat bagi
masyarakat dengan tetap menjamin kelestariannya. Pada kenyataannya, pengelolaan kawasan konservasi sekarang ini lebih mengedepankan aspek
perlindungan dan pelestarian. Sedangkan untuk pemanfaatan kawasan belum dilakukan secara optimal. Untuk itulah memerlukan strategi pengelolaan yang
bersinergi dengan berbagai pihak dan disesuaikan dengan situasi kawasan dengan menganut pola pengelolaan yang adaptif dan prinsip kehati-hatian.
Analisis Ekowisata
Strategi adalah suatu pendekatan pemakaian sumber daya di dalam kondisi persaingan agar seperangkat sasaran dapat dicapai. Strategi pengelolaan adalah
pengelolaan keunggulan persaingan mencakup mengidentifikasi sasaran dan menganalisis lingkungan, mengenali ancaman dan peluang, penerapan strategi dan
memantaunya agar keunggulan persaingan dapat berlanjut meskipun harus menghadapi perubahan dalam lingkungan Hayden, 1991.
Menurut Steiner dan Miner 1997 dalam Rangkuti 2000 strategi merupakan respon terus menerus maupun adaftif terhadap peluang dan ancaman
eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Beraneka ragam faktor harus diperhitungkan dalam analisis yang
bersifat strategis, sehingga terpilih suatu alternatif tertentu yang diyakini merupakan keputusan yang paling tepat. Para pakar sependapat bahwa instrumen
untuk menilai berbagai faktor yang layak diperhitungkan yakni analisis SWOT dan pendekatan matriks.
13 Menurut Rangkuti 2000 analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor
secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan strengths dan peluang
opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan weaknesses dan ancaman threats. Analisis SWOT membandingkan antara
faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi.
Adapun matriks SWOT disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Matriks SWOT
Internal Ekternal
Kekuatan Strengths Tentukan
5-10 faktor-faktor
kekuatan internal Kelemahan Weakness
Tentukan 5-10
faktor-faktor kelemahan internal
Peluang Opportunities Tentukan 5-10 faktor-
faktor peluang eksternal S-O, Strategi kekuatan-peluang:
menciptakan strategi
yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang W-O,
Strategi kelemahan-
peluang: menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang Ancaman Threats
Tentukan 5-10 faktor- faktor ancaman eksternal
S-T, Strategi
kekuatan- ancaman: menciptakan strategi
yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
W-T, Strategi
kelemahan- ancaman: menciptakan strategi
meminimalkan kelemahandan
menghindari ancaman
Menurut Rangkuti 2000 dalam analisis SWOT digunakan matriks yang akan menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif dari suatu strategi yaitu:
- Strategi SO : strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan
untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya. -
Strategi ST : strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul.
- Strategi WO : strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang
yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. -
Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari
ancaman. Menurut Marimin 2004 bahwa proses yang dilakukan dalam analisis
SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Tahapan pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal;
b. Tahapan analisis data yaitu pembuatan matriks internal, eksternal dan matriks
SWOT; c.
Tahapan pengambilan keputusan.
14
3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di kawasan CAPS dengan luas kawasan ± 877 Ha, s
ecara geografis terletak pada koordinat 112º40’45’’– 112º42’45’’ BT dan 8º27’24’’ – 8º24’54’’ LS. Secara administratif masuk dalam wilayah dusun
Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Peta kawasan CAPS disajikan pada Gambar 3.1.
Penelitian dilaksanakan selama ± 6 bulan, mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret 2013, meliputi penyusunan proposal, pengumpulan data penelitian,
pengolahan data dan penulisan tesis.
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, Geografis Position Sistem GPS, kamera dan komputer. Sedangkan bahan yang diperlukan
pada penelitian ini adalah kuesioner, panduaan wawancara dan peta kerja.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif melalui survei dengan cara pengamatan lapangan observasi terhadap fenomena-fenomena yang ada di
lokasi penelitian, wawancara mendalam indepth interview terhadap stakeholders pemerintah, masyarakat lokal dan pengunjung dan studi pustaka Slamet, 2011
15 Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar kawasan CAPS
Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang dan pengunjung kawasan CAPS. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
secara purposive sampling yang merupakan metode penetapan responden untuk dijadikan sampel berdasarkan kriteria tertentu. Penentuan jumlah responden
untuk masyarakat lokal dan pengunjung di kawasan CAPS didekati dengan rumus Solvin Siregar, 2011 yaitu :
Keterangan : n = Jumlah responden
N = Ukuran populasi dalam waktu tertentu e = Perkiraan tingkat kesalahan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, pengisian kuesioner dan wawancara, berupa potensi ekowisata potensi obyek
daya tarik wisata alam, atraksi alam, budaya dan jenis kegiatan wisata lainnya, akomodasi, fasilitas, pelayanan dan infrastruktur, persepsi pengunjung, persepsi
masyarakat dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan CAPS. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari hasil penelitian, laporan, dokumen
dan sumber pustaka yang berkaitan dengan tujuan penelitian, berupa kondisi fisik kawasan topografi, geologi, iklim, potensi jenis flora dan fauna dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat lokal serta peta kawasan. Jenis data primer dan data sekunder beserta sumber data dan teknik pengumpulan data yang dibutuhkan
dalam penelitian disajikan pada Tabel 3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.1 Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data
No. Jenis Data
Aspek-aspek Sumber data
Teknik pengumpulan
data 1. Daya tarik
wisata darat a.
Keindahan alam b.
Keunikan sumberdaya alam c.
Banyaknya sumberdaya alam yang menonjol
d. Keutuhan sumber daya alam
e. Kepekaan sumber daya alam
f. Jenis kegiatan wisata alam
g. Kebersihan lokasi
h. Keamanan kawasan
Observasi lapangan
BBKSDA Jatim
Masyarakat Observasi
lapangan Wawancara
2. Daya tarik wisata pantai
a. Keindahan
b. Keselamatankeamanan pantai
c. Jenis dan warna pasir
d. Variasi kegiatan
e. Kebersihan pantai
f. Lebar pantai diukur waktu surut
terendah g.
Kenyamanan Observasi
lapangan BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
16 Tabel 3.1 Lanjutan jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data
No. Jenis Data
Aspek-aspek Sumber data
Teknik pengumpulan
data 3. Aksesibilitas
a. Kondisi dan jarak jalan darat
dari ibukota propinsi b.
Pintu gerbang udara internasionaldomestik
c. Waktu tempuh dari ibukota
provinsi d.
Frekwensi kendaraan dari pusat informasi ke obyek
Observasi lapangan
BBKSDA Jatim
Observasi lapangan
Wawancara
4. Pengelolaan dan pelayanan
a. Jenis fasilitas yang tersedia
b. Bentuk pelayanan yang ada
c. Bentukjenis pengamanan
dalam kawasan Observasi
lapangan BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
5. Akomodasi a.
Jenis dan jumlah penginapan b.
Jumlah kamar yang tersedia BBKSDA
Jatim Dinas
pariwisata Observasi
lapangan Wawancara
6. Elemen institusi
a. Status kawasan
b. SDM yang tersedia dalam
bidang ekowisata c.
Kompetensi SDM yang tersedia BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
7. Daya Dukung a.
Jumlah pengunjung b.
Kepekaan tanah c.
Kemiringan lahan d.
Jenis kegiatan dan luas zona pemanfaatan
Observasi lapangan
BBKSDA Jatim
Observasi lapangan
Wawancara
8. Keamanan a.
Ada tidaknya binatang pengganggu
b. Ada tidaknya arus bahaya dan
tanah labil c.
Ada tidaknya gangguan kamtibmas
Observasi lapangan
BBKSDA Jatim
Observasi lapangan
Wawancara
9. Kualitas lingkungan
a. Jenis permasalahan lingkungan
yang terjadi b.
Gangguan keamanan kawasan c.
Perubahan status kawasan d.
Penurunan kualitas lingkungan Observasi
lapangan BBKSDA
Jatim Dinas
pariwisata Observasi
lapangan Wawancara
10. Potensi Pengunjung
a. Karakteristik pengunjung
b. Pola kunjungan
c. Motivasi pengunjung
d. Persepsi penggunjung
e. Jumlah pengunjung
Petugas lapangan
Pengunjung BBKSDA
Jatim Observasi
lapangan Wawancara
11. Iklim a.
Jumlah bulan kering rata-rata pertahun
b. Suhu udara musim kemarau
BMKG Malang
Studi pustaka 12. Hubungan
dengan OWA di sekitarnya
a. Sejenis
b. Tak sejenis
Observasi lapangan
Dinas pariwisata
Observasi lapangan
Studi pustaka
17 Tabel 3.1 Lanjutan jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data
No. Jenis Data
Aspek-aspek Sumber data
Teknik pengumpulan
data 13.
Sosekbud Masyarakat
sekitar kawasan
a. Tingkat ketergantungan
masyarakat dengan kawasan b.
Hubungan sosial budaya masyarakat dengan kawasan
c. Persepsi masyarakat terhadap
ekowisata di CAPS d.
Harapan masyarakat terhadap ekowisata di CAPS
e. Tingkat pendidikan
f. Mata pencaharian penduduk
g. Tanggapan masyarakat terhadap
pengembangan OWA Masyarakat
sekitar kawasan
Data kependuduk
an desa Observasi
lapangan Wawancara
14. Kebijakan Pengelolaan
Bentuk kebijakan BBKSDA Jatim tentang pengelolaan kawasan di CAPS
serta kebijakan Pemda Kab.Malang BBKSDA
Jatim Pemda Kab
Malang Wawancara
15. Kondisi umum lokasi
penelitian a.
Kondisi fisik b.
Kondisi biologi c.
Kondisi sosial, ekonomi, budaya BBKSDA
Jatim Masyarakat
sekitar kawasan
Studi pustaka Observasi
lapangan Wawancara
16. Peta
Peta kawasan CAPS BBKSDA
Jatim Studi pustaka
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan cara mentabulasikan dan kemudian dianalisis sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya.
Analisis Penilaian Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam
Analisis daerah operasi obyek daya tarik wisata alam ADO-ODTWA merupakan suatu kegiatan analisis terhadap suatu obyek wisata alam dengan
menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan untuk mendapatkan penilaian dapat atau tidaknya suatu obyek dikembangkan menjadi obyek wisata.
Analisis potensi obyek daya tarik wisata alam menggunakan sistem nilai skoring dan pembobotan berdasarkan pedoman analisis ADO-ODTWA yang ditetapkan
Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003.
Analisis Daya Dukung Kawasan
Analisis daya dukung berdasarkan kriteria yang berhubungan dengan penerapan konsep ekowisata. Indikator dan kriteria tersebut berdasarkan data dan
analisis di lapangan dengan perhitungan sebagai berikut :
18 1.
Daya Dukung Fisik physical carrying capacity adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik tercukupi oleh ruang yang disediakan pada
waktu tertentu. Untuk menghitung PCC digunakan rumus Cifuentes 1992 dimodifikasi Fandeli dan Muhammad 2009 sebagai berikut:
PCC
= A × 1B × Rf Keterangan :
A = Luas areal yang digunakan untuk wisata
B = Luas areal yang dibutuhkan oleh seorang wisatawan untuk
berwisata dengan tetap memperoleh kepuasan Rf
= Faktor rotasi 2.
Daya Dukung Riil real carrying capacity adalah jumlah pengunjung maksimum yang diperkenankan berkunjung ke obyek dengan faktor koreksi
Cf yang diambil dari karakteristik obyek diterapkan pada PCC. Faktor koreksi diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik, lingkungan,
ekologi dan manajemen. RCC dihitung dengan rumus sebagai berikut:
RCC = PCC × 100-Cf
1
100 × 100-Cf
2
100 × …..× 100-Cf
n
100 Adapun untuk menghitung faktor koreksi Cf : faktor koreksi diperoleh
dengan mempertimbangkan variabel yang diperoleh berdasarkan data lapangan yaitu : kelerengan, kepekaan tanah terhadap erosi, potensi lanskap,
koreksi iklim dan koreksi pada gangguan terhadap musim kawin satwa liar. Kemudian dihitung faktor koreksinya dengan menggunakan rumus sebagai
berikut: Cf
= M
i
M
t
× 100 Keterangan :
M
i
= Batas besaran varibel M
t
= Batas variabel total Faktor-faktor koreksi yang digunakan dalam perhitungan daya dukung riil
adalah: a.
Faktor koreksi RCC dalam bentuk gangguan terhadap musim kawin monyet ekor panjang Macaca fascicularis Santoso, 1996.
Cf = GnGt × 100
Keterangan : Gn
= Jumlah bulan terjadinya musim kawin Gt
= Jumlah bulan dalam satu tahun b.
Faktor koreksi RCC dalam bentuk indeks kelerengan Untuk mengetahui faktor kelerengan Indeks tingkat kelerengan,
klasifikasi kelerengan dinilai berdasarkan kelas lereng sebagaimana pada Tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.2 Klasifikasi dan nilai skor faktor kelerengan kawasan
Kelas lereng Kelerengan
Keterangan Nilai
1 0 - 8
Datar 20
2 8 - 15
Landai 40
3 15 - 25
Agak curam 60
4 25 - 45
Curam 80
5 45
Sangat curam 100
Sumber : SK. Menteri Pertanian No.837KPTSUM111980
19 c.
Faktor koreksi RCC dalam bentuk potensi lanskap Untuk mengetahui faktor koreksi pada potensi lanskap didasarkan pada
kriteria unsur lanskap yaitu : bentuk, vegetasi, air, warna dan pemandangan Fandeli dan Muhammad, 2009 sebagaimana Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Indeks penilaian terhadap potensi lanskap
Unsur Lanskap. Kriteria
Skor Bentuk lahan
Bukit rendah dan berombak; bukit di kaki gunung atau dasar lembah yang datar atau bahkan bukan
ciri-ciri lanskap yang menarik. 1
Ngarailereng yang curam; kerucut gunung api atau pola-pola erosiabrasi oleh angin yang menarik;
atau variasi ukuran dan bentuk lahan atau ciri-ciri detail yang dominan.
3
Relief vertikal yang tinggi yang ditunjukkan adanya puncak
mencolok; puncak
seperti menara;
singkapan batuan raksasa atau variasi permukaan yang menakjubkan; formasi-formasi yang mudah
tererosi atau ciri dominan dan sangat mencolok. 5
Vegetasi Sedikit atau tidak ada perbedaan vegetasi.
1 Beberapa jenis vegetasi tetapi hanya 1,2 atau 3 jenis
yang dominan 3
Banyak tipe dan vegetasi yang menarik, yang ditunjukkan dalam pola, tekstur dan bentuk
5 Air
Tidak terdapat air atau terdapat tetapi tidak kelihatan dengan jelas.
1 Mengalir dengan tenang tetapi bukan hal yang
dominan dalam suatu lanskap. 3
Jernih, bersih, mengalir, beriak atau komponen apa saja dari air yang dominan.
5 Warna
Variasi warna yang halus dan kontras, umumnya bersifat mati.
1 Terdapat jenis-jenis warna, ada pertentangan dari
tanah, batu dan vegetasi tetapi bukan pemandangan yang dominan.
3 Kombinasi warna yang beragam jenis atau
pertentangan yang indah dan warna tanah, batu, vegetasi air dan lain-lain.
5 Pemandangan
Pemandangan di
dekatnya sedikittidak
berpengaruh terhadap kualitas pemandangan. 1
Pemandangan di dekatnya sangat banyak yang menarik
3 Sumber : Fandeli dan Muhammad, 2009
d. Faktor koreksi RCC dalam bentuk indeks kepekaan tanah terhadap erosi
Untuk mengetahui faktor kepekaan tanah terhadap erosi indeks tingkat erosi, kepekaan tanah terhadap tingkat erosi dinilai berdasarkan jenis
tanah sebagaimana Tabel 3.4.
20 Tabel 3.4 Indeks kepekaan tanah terhadap erosi di CAPS
Kelas tanah Jenis tanah
Keterangan Nilai skor
1 Alluvial, Tanah Glei Olanosol
Hidromorf Kelabu, Literita Air Tanah
Tidak peka 15
2 Latosol
Agak peka 30
3 Brown Forest Soil, Non Calcis
Brown, Mediteran Kurang peka
45 4
Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, Podsolik
Peka 60
5 Regosol, Litosol, Organosol,
Renzina Sangat peka
75 Sumber : SK. Menteri Pertanian No.837KPTSUM111980
e. Faktor koreksi RCC dalam bentuk indeks iklim
Untuk mengetahui faktor koreksi iklim menggunakan rasioindeks nilai Q bulan keringbulan basah selama 10 tahun terakhir :
Keterangan : -
Bulan kering : bulan dengan curah hujan 60 mm -
Bulan lembab: bulan dengan curah hujan 60 – 100 mm -
Bulan basah : bulan dengan curah hujan 100 mm Lakitan, 1997. 3.
Daya Dukung Efektif effective carrying capacity adalah jumlah kunjungan maksimum dimana obyek tetap lestari pada tingkat manajemen yang tersedia.
Kapasitas manajemen merupakan penjumlahan dari semua kondisi pada kawasan perlindungan yang dapat difungsikan secara obyektif dan sesuai
dengan tujuan dari pengelolaan kawasan, Wiratno 2000 dalam Fandeli 2000. Kapasitas manajemen dibatasi oleh kriteria : sistem pengelolaan,
jumlah staf pengelola dengan perhitungan sebagai berikut :
ECC = RCC x faktor koreksi mc MC Management Capacity adalah jumlah petugas pengelola kawasan
MC Keterangan :
Rn adalah sumber daya yang aktif di lokasi Rt adalah jumlah sumber daya tetap pengelola
Analisis Stakeholders
Dilakukan dengan observasi dan wawancara terhadap stakeholders yang berpengaruh dalam pengelolaan kawasan CAPS dengan adanya ekowisata.
Menurut Reed et al. 2009 analisis stakeholders dilakukan dengan cara 1 Melakukan identifikasi stakeholders; 2 Mengelompokkan dan mengkatagorikan
stakeholders dan 3 Menyelidiki hubungan antar stakeholders. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peranan dan kepentingan masing-
21 masing stakeholders dalam pengelolaan kawasan dengan adanya kegiatan
ekowisata di kawasan CAPS, disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Analisis stakeholders adanya ekowisata di CAPS
Stakeholders Peranan
Tuntutan Kepentingan
BBKSDA Jatim Pemda Kab. Malang
Masyarakat jasa pemandupenyebrangan
Masyarakat lokal Pihak swasta
Pengunjung
Analisis Potensi Pengunjung
Data pengunjung hasil wawancara dan data sekunder pengunjung dianalisis dengan mentabulasikan, menghitung frekwensi dan menguraikan secara deskriptif
Wiratno, 2000. Analisis ini akan berhubungan dengan daya dukung obyek dan analisis kecenderungan trend analyisis. Analisis potensi pengunjung yang
digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, asal pengunjung, lama kunjungan, motivasi, pendapat mengenai
kawasan CAPS dan tujuan kunjungan pendidikan, penelitian, rekreasi.
Analisis Strategi Pengelolaan
Arahan strategi pengelolaan dan pengembangan ekowisata di kawasan CAPS dirumuskan dengan menggunakan analisis SWOT. Menurut Rangkuti
2000 bahwa analisis SWOT mengidentifikasikan berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Tahapan yang dilakukan dalam
analisis SWOT sebagai berikut :
1. Identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal.
Tabel 3.6 Matrik identifikasi dan pemberian bobot faktor internal dan eksternal adanya kegiatan ekowisata di kawasan CAPS.
No. Faktor Nilai ADO-ODTWA
Bobot I.
Internal a.
Kekuatan Nilai unsur ADO-ODTWA
Nilai unsur ODTWA b.
Kelemahan dibagi total nilai
Keseluruhan unsur II.
Eksternal a.
Peluang Nilai unsur ADO-ODTWA
Nilai unsur ODTWA b.
Ancaman dibagi total nilai
Keseluruhan unsur
22
2. Analisis faktor internal dan eksternal
Berdasarkan matriks internal dan eksternal yang dibuat, maka bobot dan rating dapat diberikan terhadap masing-masing parameter yang telah ditentukan
untuk memperoleh nilai tertimbang. Nilai tersebut kemudian akan memberikan arahan tentang pengelolaan ekowisata di kawasan CAPS guna memperoleh
rumusan rencana pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan potensi dan status sebagai kawasan cagar alam disajikan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Matrik internal dan eksternal SWOT pengelolaan ekowisata di kawasan CAPS
No. Faktor
Bobot Rating
Nilai tertimbang 1.
Strategi Internal 0 - 1
1 - 4 Bobot x Rating
a. Kekuatan
b. Kelemahan
2. Strategi Eksternal
0 - 1 1 - 4
Bobot x Rating a.
Peluang b.
Ancaman
Unsur-unsur tersebut kemudian dihubungkan keterkaitanya satu sama lainya dalam bentuk matriks untuk memperoleh beberapa alternatif strategi. Matriks ini
akan menghasilkan empat kemungkinan strategi pengelolaan kawasan yang sesuai dengan potensi dan status sebagai kawasan cagar alam Tabel 3.8. Perumusan
alternatif strategi pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan potensi dan status sebagai kawasan cagar alam kemudian dilanjutkan dengan pembuatan matrik
grand strategi untuk menentukan strategi pengelolaan kawasan yang sesuai dengan potensi dan status sebagai kawasan cagar alam Gambar 3.2.
Tabel 3.8 Analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengelolaan ekowisata di kawasan CAPS
Internal Ekternal
Kekuatan Strengths Kelemahan Weakness
Peluang Opportunities SO, Strategi kekuatan-
peluang yaitu menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang WO, Strategi kelemahan-
peluang yaitu menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan
peluang
Ancaman Threats ST, Strategi kekuatan-
ancaman yaitu menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
WT, Strategi kelemahan- ancaman yaitu menciptakan
strategi untuk meminimalkan
kelemahandan menghindari ancaman
23 Penentuan posisi strategi pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan potensi
dan status sebagai kawasan cagar alam untuk tujuan alih fungsi meliputi analisis Matrik Space dan analisis grand strategy disajikan pada Gambar 3.2 sebagai
berikut.
Sel 3 Sel 1
Sel 4 Sel 2
Gambar 3.2 Model matriks grand strategy Berbagai Peluang
Kelemahan Internal Kekuatan Internal
Berbagai Ancaman
24
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik
Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu CAPS terletak di Samudra Indonesia, di sebelah selatan pantai Sendang Biru,
pada koordinat 112º40’45’’– 112º42’45’’ Bujur Timur dan 8º27’24’’– 8º24’54’’ Lintang Selatan. Secara administratif
masuk dalam wilayah dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Dalam
pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Batas-batas kawasan CAPS di sebelah barat, timur dan selatan adalah lautan Samudra
Indonesia, sedangkan sebelah utara adalah teluk Sendang Biru dan Desa Tambakrejo.
Pulau Sempu ditetapkan sebagai Cagar Alam sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 46 Stbld No. 69 pada
tanggal 15 Maret 1928 dengan luas 877 ha. Penetapan kawasan tersebut didasarkan pada faktor botanis, estetis dan topografis. Potensi flora, fauna dan
ekosistem mempunyai nilai tinggi yang dapat mewakili kondisi hutan dan ekosistem daratan Pulau Jawa.
Topografi
Topografi kawasan CAPS adalah berbukit dengan kelerengan sedang sampai curam dengan ketinggian 50
– 100 mdpl. Akses masuk dalam kawasan paling mudah adalah dari sisi sebelah utara yaitu dari teluk Sendang Biru yang
menghubungkan dengan Pulau Jawa. Kondisi topografi yang berbukit kemudian membentuk lembah atau telaga yang berfungsi menampung air tawar. Lokasi
tersebut antara lain
Telaga Lele dengan luas ± 1,8 ha, Telaga Panjang dengan luas ± 2 ha dan Telaga Sat dengan luas 2,5 ha. Pada sisi sebelah barat terdapat telaga
dengan luas ± 4 ha yang dinamakan danau Segara Anakan. Sumber air danau Segara Anakan adalah hasil intrusi air laut dari lubang pada tebing selebar ± 50 m²
yang dinamakan Karang Bolong. Air laut akan masuk ke dalam danau Segara Anakan pada saat ombak tinggi. Hal ini merupakan salah satu keunikan kawasan
CAPS yang banyak dijadikan tujuan kunjungan wisatawan.
Geologi
Berdasarkan peta tanah tinjau Propinsi Jawa Timur skala 1:250.000, jenis tanah di kawasan CAPS adalah Kompleks litosol dan mediteran merah kecoklat-
coklatan dengan bahan induk pembentuk batu kapur dan fisiografis karst. Warna tanah merah kecoklat-coklatan dengan struktur pasir sampai lempung berdebu.
Jenis tanah ini secara fisik dapat dilihat sebagai lapisan humus yang tipis atau dangkal, terutama di tebing-tebing pantai yang curam di sebelah selatan.
Sedangkan struktur geologi kawasan CAPS berdasarkan jawatan pertambangan bagian geologi dalam ikhtisar geologi Jawa Timur 1951 skala 1 :
25 500.000 dan berdasarkan sumber Geologi Bandung 1965 skala 1 : 250.000,
memiliki struktur geologi meosine fasies batu gamping batuan meosine feosies gamping.
Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan CAPS termasuk dalam tipe iklim C dengan nilai Q = 45,94, dengan rata-rata curah
hujan pertahun adalah 2.271,1 mm dengan jumlah rata-rata hari hujan pertahun sebanyak 144 hari. Temperatur harian berkisar antara 24
– 29,5 °C. Hari hujan curah hujan 100 mmbulan umumnya terjadi pada bulan September
– April. Sedangkan musim kemarau curah hujan 60 mmbulan umumnya terjadi pada
bulan Mei – Agustus BBKSDA Jatim, 2011.
Aksesibilitas
Kawasan CAPS berjarak ± 68 km dari kota Malang ke arah selatan. Untuk mencapainya dapat menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi
baik roda dua maupun roda empat. Untuk mencapai lokasi kawasan CAPS menggunakan kendaraan umum, rute yang umum digunakan adalah kota Malang
terminal Arjosari, terminal Gadang dan Stasiun kota selanjutnya dapat ditempuh melalui dua rute sebagai berikut :
1. Malang Kepanjen Gondanglegi Turen Sumbermanjing Wetan
Sendang Biru Pulau Sempu.
2. Malang Bululawang Turen Sumbermanjing Wetan Sendang Biru
Pulau Sempu. Angkutan umum yang terbatas keberadaannya adalah pada rute dari Kec.
Turen sampai Sendang Biru yang hanya tersedia pada pagi hingga siang hari. Akses jalan berupa aspal permanen yang cukup baik, berupa jalan Provinsi
maupun jalan Kabupaten dan banyak terdapat medan berbukit dan berkelok. Selepas dari Kec. Turen, pemukiman penduduk seringkali terpisah oleh hutan
maupun kebun penduduk dengan jarak antara 1-5 km. Setelah sampai pantai Sendang Biru, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal nelayan sewaan
hingga ke pantai Waru-waru di sebelah utara, pantai Air tawar atau pantai teluk Semut yang merupakan akses masuk menuju danau Segara Anakan di kawasan
Pulau Sempu.
Potensi Flora dan Fauna Flora
Menurut Kramadibrata et al. 2010 dalam kajian ekosistem daratan rendah CAPS tahun 2010. Kawasan CAPS terdapat 70 jenis tumbuhan yang tergolong
dalam 63 marga dan 31 suku yang sudah teridentifikasi sebagaimana Tabel 4.1 berikut.
26 Tabel 4.1 Jenis tumbuhan yang teridentifikasi di kawasan CAPS
No. Suku
Jenis 1.
Amaryllidaceae Crinum asiaticum L.
2. Anacardiaceae
Semecarpus sp. 3.
Anacardiaceae Spondias acida Bl.
4. Anacardiaceae
Mangifera 5.
Anacardiaceae Buchanania arborescens Bl.
6. Annonaceae
Diospyros cauliflora 7.
Annonaceae Annona
8. Annonaceae
Oropehea hexandra 9.
Apocynaceae Cerbera manghas L.
10. Asclepiadaceae
Hoya diversifolia 11.
Aspleniaceae Asplenium nidus L.
12. Asteraceae
Wedelia biflora DC. 13.
Avicenniaceae Avicennia officinalis L.
14. Bignoniaceae
Dolichandrone spathacea K.Schum. 15.
Burseraceae Canarium
16. Clusiaceae
Calophyllum inophyllum L 17.
Clusiaceae Garcinia dioica Bl.
18. Clusiaceae
Garcinia celebica L. 19.
Clusiaceae Garcinia
20. Combretaceae
Terminalia catappa L. 21.
Ebenaceae Diospyros cauliflora Bl.
22. Ebenaceae
Diospyros sp. 23.
Euphorbiaceae Baccaurea javanica Blume. Mull.Arg
24. Euphorbiaceae
Excoecaria agallocha L. 25.
Euphorbiaceae Mallotus sp.
26. Euphorbiaceae
Aglaia argentea Bl. 27.
Euphorbiaceae Croton argyratus Bl.
28. Euphorbiaceae
Antidesma bunius L. Spreng 29.
Euphorbiaceae Mallotus floribundus Blume. Mull.Arg
30. Fabaceae
Caesalpinia bonduc L. Roxb 31.
Fabaceae Derris trifoliata Lour.
32. Fabaceae
Pangamian pinnata L. Pierre 33.
Fabaceae Sophora tomentosa L.
34. Fabaceae
Pelthoporum inerme Roxb. L Lanos. 35.
Flacourtiaceae Flacourtia rukam Zoll et Mor.
36. Flagellariaceae
Flagellaria indica L. 37.
Lauraceae Cinnamomum iners Bl.
38. Lecythidaceae
Barringtonia asiatica L. Kurz 39.
Lecythidaceae Barringtoniaracemosa L. Spreng
40. Leeaceae
Leea indica 41.
Malvaceae Hibiscus tiliaceus L
42. Meliaceae
Xylocarpus granatum K.D.Koenig 43.
Meliaceae Xylocarpus rumphii kostel. Mabb
44. Meliaceae
Aglaia odoratissima Bl. 45.
Meliaceae Sandoricum koetjape Burm.f. Merr
46. Moraceae
Artocarpus elasticus Bl. 47.
Moraceae Ficus sp. 1
48. Moraceae
Ficus sp. 2 49.
Moraceae Streblus asper lour.
50. Myristicaceae
Myristica teysmannii Miq. 51.
Myrisinaceae Aegiceras corniculatum L. Blanco
52. Myrisinaceae
Ardisia
27 Tabel 4.1 Lanjutan jenis tumbuhan yang teridentifikasi di CAPS
No. Suku
Jenis 53.
Myrtaceae Syzygium littorale
54. Orchidaceae
Grosourdya appendiculata 55.
Orchidaceae Dendrobium subulatum
56. Orchidaceae
Taeniophyllum sp. 57.
Pandanaceae Pandanus tectorius Parkinson
58. Rhizophoraceae
Bruguiera gymnorrhiza L. Lamk. 59.
Rhizophoraceae Bruguiera sexangula Lour. Poir.
60. Rhizophoraceae
Ceriops decandra Griff. Ding Hou 61.
Rhizophoraceae Ceriops tagal Perr. C.B.Robinson
62. Rhizophoraceae
Rhizophora apiculata Blume 63.
Rhizophoraceae Bruguiera parviflora Wight Arn.ex
64. Rubiaceae
Ixora sp. 65.
Rubiaceae Guettarda speciosa L.
66. Sterculiaceae
Heritiera liioralis Alt. 67.
Sterculiaceae Pheterospermum javanicum jungh.
68. Sterculiaceae
Sterculia coccinea Jack. var.coccinea 69.
Sterculiaceae Pterospermum diversifolium Bl.
70. Verbenaceae
Vitex pinnata L.
Sumber : Kramadibrata et al. 2010
Fauna
Keragaman jenis satwaliar di dalam kawasan CAPS ada 72 jenis yang terdiri dari 47 jenis Aves, 16 jenis Mamalia, 9 jenis Reptil. Beberapa jenis fauna yang
banyak ditemukan antara lain jenis mamalia dan aves, baik dijumpai secara langsung maupun melalui jejak dan kotoran yang ditinggalkan. Peta potensi
tutupan vegetasi dan sebaran satwaliar di kawasan CAPS ditunjukkan pada Lampiran 7 BBKSDA Jatim, 2011.
a. Mamalia
Jenis mamalia yang dapat dijumpai dan ditemukan di kawasan CAPS berdasarkan hasil inventarisasi BKSDA Jatim II tahun 1999 disajikan pada Tabel
4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2 Jenis mamalia yang ditemukan di kawasan CAPS
No. Nama Lokal
Nama Ilmiah Status Satwa
PP 7 Tahun 1999 1.
Macan kumbang Panthera pardus
Dilindungi 2.
Kijang Muntiacus muntjak
Dilindungi 3.
Lutung jawa Trachypithecus auratus
Dilindungi 4.
Kucing hutan Felis bengalensis
Dilindungi 5.
Jelarang Ratufa bicolor
Dilindungi 6.
Trenggiling Manis javanica
Dilindungi 7.
Landak Hystrix brachyura
Dilindungi 8.
Kancil Tragulus javanicus
Dilindungi 9.
Walang kopo Cynocephalus variegatus
Dilindungi 10.
Kukang Nictycebous javanicus
Dilindungi 11.
Monyet ekor panjang Macaca fascicularis
Belum dilindungi
28 Tabel 4.2 Lanjutan jenis mamalia yang ditemukan di kawasan CAPS
No. Nama Lokal
Nama Ilmiah Status Satwa
PP 7 Tahun 1999 12.
Kalong besar Pteropus vampyrus
Belum dilindungi 13.
Babi hutan Sus scrofa
Belum dilindungi 14.
Bajing Callosciurus notatus
Belum dilindungi 15
Musang cangkok Prionodon linsang
Belum dilindungi 16.
Lumba-lumba Tursiops truncatus
Belum dilindungi
Sumber : BKSDA Jatim II, 1999
b. Reptil