Study of Trophic Status and Carrying Capacity for Floating Cage Aquaculture at Saguling Reservoir, West Java

(1)

KAJIAN STATUS TROFIK DAN DAYA DUKUNG PERAIRAN BAGI KEGIATAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG DI WADUK SAGULING

JAWA BARAT

REINDI MAULANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SAGULING JAWA BARAT

REINDI MAULANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Status Trofik dan Daya Dukung Perairan Untuk Kegiatan Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Reindi Maulana NRP: P052070181


(4)

ABSTRACT

Reindi Maulana. Study of Trophic Status and Carrying Capacity for Floating Cage Aquaculture at Saguling Reservoir, West Java. Under the direction of AKHMAD ARIF AMIN and ENAN M. ADIWILAGA.

Saguling Reservoir as multipurpose reservoir have many problem, one of that is organic matter loading with two sources. Internal source of organic matter loading is floating cage aquaculture. The Purpose of this study was to estimate status trophic and carrying capacity for floating cage aquaculture in Waduk Saguling. Most of floating cage cultivated cat fish (Pangasius sp) with artifical feed which contain 1,19% of phospat. Several of water quality parameter exceed quality standar, that means there has been contamination of organic material in the Saguling reservoir. Dissolved Oxygen content can reached lower than 1 mg/l on inlet reservoir, dissolved oxygen content can not support the growth of aquatic organisms in maximal condition. Based of trophic classification using TRIX method, the productivity of the Saguling Reservoir has reached eutrophic level. Estimating water carrying capacity use phosporus budget model was found that total acceptable production to be 12.460 tons/year.

Keywords : Trophic Status, Carrying Capacity, Saguling Reservoir, Floating Cage Aquaculture

Based on interview data, fish production in Saguling is 2,76 tons / year / cage. The result is show that amount of cage which safe for water is 4514 cage units. Current Amount of active floating cage is 7209 units. This amount of present floating cage has exceed the maximum value of carrying capacity so that need to effective policy to manage floating cage activity.


(5)

RINGKASAN

REINDI MAULANA. Kajian Status Trofik Dan Daya Dukung Perairan Bagi Kegiatan Budidaya Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN dan ENAN M. ADIWILAGA

Ekosistem perairan Waduk Saguling saat ini mendapat masukan pencemar dari dalam perairan itu sendiri (Autochthonous) dan dari luar perairan (Allochthonous). Masukan Allochthonous pada Waduk Saguling bersumber dari buangan industri, domestik, dan pertanian yang berada di sekitar sungai Citarum. Masukan Autochthonous di Waduk Saguling adalah aktivitas karamba jaring apung (KJA) dan aktivitas domestik. Kegiatan Karamba Jaring Apung di Waduk Saguling Kabupaten Bandung memiliki dampak positif dan negatif, dampak positifnya ialah KJA di Waduk tersebut dapat membantu perekonomian warga sekitar. Selain dampak positif, kegiatan KJA di Waduk Saguling juga memiliki dampak negatif yaitu sebagai sumber limbah organik yang berasal dari sisa pakan ikan, ikan-ikan yang mati, dan sisa metabolisme ikan. Seiring semakin bertambahnya jumlah unit KJA dan pengelolaannya bersifat intensif di Waduk tersebut, maka limbah organik yang dihasilkan juga semakin besar sehingga akan mempengaruhi tingkat trofik atau kesuburan dan kelayakan kualitas air. Semakin besar beban pencemaran bahan organik yang masuk kedalam ekosistem Waduk Saguling akan mempengaruhi daya dukung perairan waduk bagi kegiatan perikanan yang akibatnya akan mengancam keberlangsungan fungsi-fungsi waduk Saguling itu sendiri.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui status trofik waduk, (2) Mengestimasi daya dukung perairan waduk saguling bagi kegiatan budidaya karamba jaring apung.

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa Parameter fisika, kimia, dan Biologi perairan yang diambil pada setiap stasiun pengamatan, kandungan Phospor pada pakan ikan, serta hasil wawancara terhadap pembudidaya KJA dan instansi terkait berupa data jenis pakan yang dipakai dalam kegiatan budidaya di karamba jaring apung, jenis ikan yang dibudidaya, Food Convertion Ratio (FCR), serta sistem pengelolaan karamba jaring apung. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait berupa Data fisik waduk (luas, volume air, total outflow, dan kedalaman rata-rata), dan jumlah KJA yang aktif. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, analisis data yang digunakan untuk parameter air adalah analisis statistik rancangan acak kelompok dengan tujuan melihat pengaruh kedalaman terhadap nilai yang didapat dan melihat pengaruh perbedaan stasiun terhadap nilai yang didapatkan dan uji duncan lanjut duncan; beban pencemaran bahan organik dengan analisis TRIX (Trophical Index), ; dan penentuan daya dukung perairan untuk budidaya perikanan dalam KJA menggunakan model daya dukung berdasarkan total limbah fosfor yang masuk ke dalam perairan Waduk Saguling.

Parameter fisika-kimia-biologi perairan yang diamati adalah suhu, kekeruhan, kecerahan, TSS, DO, DO saturasi, total nitrogen, total phospat, COD, dan klorofil-a yang diamati pada bulan Juli dan Agustus, dengan kisaran sebesar 26,30C – 28,50C; 2,2 – 5,03 NTU; 0,34 - 1,56 meter; 8,63 – 55,66 mg/l; 1,40 – 3,8 mg/l; 17,48 – 48,1 %; 0,3551 – 1,1257 mg/l; 0,0354 – 0,1797 mg/l; 76,97 – 207,4 mg/l; 0,167 – 0,53 µg/l. Komposisi fitoplankton terdiri dari 7 genera dari kelas Cyanophyceae yaitu Anabaena, Microcystis, Merismopedia, Oscilatoria, Phormidium, Agmenelum, dan Spirulina.


(6)

Kelas Chlorophyceae ditemukan 5 genera yaitu Cosmarium, Closterium, Scenedesmus, Pediastrum, dan Spirogyra. Kelas Bacillariophyceae ditemukan 8 genera yaitu Fragillaria, Navicula, Surirella, Synedra, Nitzschia, Cymbella, Denticula, dan Gyrosigma. Kelas Dinophyceae ditemukan 2 genera yaitu Ceratium, dan Peridinium. Penyusun utama komunitas fitoplankton adalah Microcystis, Oscilatoria dari kelas cyanophyceae yang dapat ditemukan pada setiap stasiun dan kedalaman. Kelimpahan fitoplankton bervariasi mengikuti perubahan kedalaman. Kelimpahan maksimal sebesar 173355 cel/liter.

Beban pencemaran bahan organik berdasarkan analisis TRIX memperlihatkan bahwa perairan waduk Saguling dalam kondisi eutrofik dengan kisaran TRIX sebesar 3,81 – 4,8. Kondisi eutrofik pada waduk Saguling disebabkan karena adanya masukan pencemaran dari sungai Citraum dan aktivitas KJA didalam waduk, hal ini diperlihatkan oleh tingginya nilai total nitrogen, klorofil-a, dan total fosfat pada stasiun 2,3,dan 4.

Jenis ikan yang dibudidaya dalam KJA adalah ikan patin sebanyak 64%, dan selebihnya adalah ikan nila dan mas dengan nilai FCR sebesar 1 : 1,76. Kandungan fosfor didalam pakan komersial yang dipakai pembudidaya adalah 1,19% sehingga berdasarkan perhitungan Penv

Kisaran produksi ikan para petani KJA Waduk Saguling sebesar 2760 kg / petak / tahun sehingga jika produksi aman sebesar 12.460 ton/tahun maka didapatkan hasil berupa jumlah unit maksimal yang aman bagi perairan sebesar 4514 unit KJA. Oleh karena itu, Jumlah unit KJA aktif aktual sebesar 7209 unit di Waduk Saguling telah melebihi daya dukung sehingga perlu adanya pengaturan dan tindakan dari stakeholder Waduk tersebut. Jumlah unit KJA di Waduk Saguling akan terus bertambah setiap tahunnya, dengan memperhatikan data yang didapat dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat, jumlah unit KJA di Waduk Saguling akan terus bertambah tiap tahunnya dengan estimasi rata-rata pertambahan unit KJA sebesar 0,62 % dari kondisi awal oleh karena itu dibutuhkan pembatasan, memperketat perizinan, dan pengawasan yang baik terhadap oprasional KJA di Waduk Saguling serta sosialisasi kepada pembudidaya tentang sistem pengelolaan KJA yang efisien terutama manajemen pemberian pakan.

atau beban fosfat yang lepas dari ikan budidaya kedalam perairan sebesar 17,54 kg per 1 ton produksi ikan. Hasil akhir perhitungan daya dukung perairan ini adalah besarnya produksi budidaya ikan intensif pada waduk yang dianggap aman (Total Acceptable Loading P) sebesar 12.460 ton/tahun, sedangkan produksi aktual KJA Waduk Saguling saat ini adalah 19.896 ton/tahun. Berdasarkan hasil estimasi daya dukung perairan maka produksi budidaya KJA di Waduk Saguling telah melebihi daya dukung perairan.


(7)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Udang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

KAJIAN STATUS TROFIK DAN DAYA DUKUNG PERAIRAN BAGI KEGIATAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG DI WADUK

SAGULING JAWA BARAT

REINDI MAULANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(9)

(10)

Judul Tesis : Kajian Status Trofik Dan Daya Dukung Perairan bagi Kegiatan Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Reindi Maulana Nomor Pokok (NRP) : P052070181

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. drh. Akhmad Arif Amin

Ketua Anggota

Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(11)

Judul Tesis : Kajian Status Trofik Dan Daya Dukung Perairan bagi Kegiatan Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Reindi Maulana Nomor Pokok (NRP) : P052070181

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. drh. Akhmad Arif Amin

Ketua Anggota

Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(12)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Raab yang senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih-Nya, shalawat dan salam atas Kekasih Allah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Kajian Status Trofik dan Daya Dukung bagi Kegiatan Karamba Jaring Apung di Waduk Saguling Jawa Barat. Usulan ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan yang tak hingga selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

2. Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA (almarhum) selaku ketua komisi pembimbing awal, Dr. drh. Akhmad Arif Amin sebagai ketua pembimbing komisi dan Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga sebagai anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, motivasi dan pikiran dalam penyusunan tesis ini. Semoga semuanya menjadi ibadah yang tiada putusnya dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari ALLAH SWT. Amin.

3. Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku penguji luar dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M. Sc selaku penguji Program Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, atas segala waktu, pikiran dan pengetahuan yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini.

4. Segenap staf administrasi Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan rekan-rekan mahasiswa program studi PSL yang saya banggakan khususnya ‘Angkatan 2007’ dan kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu.


(13)

5. Segenap Keluarga penulis di Bandung yang tidak pernah berhenti untuk mendukung penulis dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi dan kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, sehingga kekurangan–kekurangan yang menyertai merupakan gambaran keterbatasan manusia. Oleh karena itu, saran, kritik dan sumbangan pemikiran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap, semoga hasil ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.

.

Bogor, Agustus 2010


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada hari Jumat, 28 September 1984 dari pasangan Thamrin Munir dan Lili Hadiana di Tembagapura, Papua. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis masuk Sekolah Dasar Pelita Kota Bekasi pada tahun 1990 dan tamat tahun 1996. Kemudian melanjutkan studi pada tahun 1996 pada jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 Bogor dan tamat pada tahun 1999. Setelah menamatkan SLTP, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Bina Bangsa Sejahtera Bogor dan tamat pada tahun 2002.

Kemudian melanjutkan studi pada tahun 2002 di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Brawijaya (Unibraw) Kota Malang Jawa Timur pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan menamatkan studi pada bulan Januari tahun 2007 dengan gelar Sarjana Perikanan (SPi). Selama kuliah di Universitas Brawijaya penulis aktif menjadi asisten laboratorium planktonologi dan limnologi. Penulis kembali melanjutkan studi Program Magister (S2) pada bulan Agustus 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ekosistem Perairan Waduk Saguling ... 5

2.2 Eutrofikasi ... 8

2.3 Bahan Organik di Perairan ... 11

2.4Karamba Jaring Apung ... 11

2.5Daya Dukung Perairan ... 14

2.6Parameter Fisika ... 15

2.6.1 Kekeruhan dan Kecerahan ... 15

2.6.2 Total Suspended Solid ... 15

2.6.3 Suhu ... 16

2.7Parameter Kimia ... 17

2.7.1 pH ... 17

2.7.2 Nitrogen ... 18

2.7.3 Total Fosfor ... 19

2.7.4 Oksigen Terlarut dan Oksigen Saturasi... 20

2.7.5 COD ... 21

2.8Parameter Biologi ... 22

2.8.1 Klorofil a ... 22


(16)

2.9Permodelan Estimasi Daya Dukung Lingkungan untuk Karamba Jaring Apung

Intensif ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 26

3.2 Jenis dan Sumber Data ……… 26

3.3 Metode Penentuan Sampel Wawancara... 27

3.4 Metode Penentuan Stasiun Pengamatan dan Titik Sampel ... 27

3.5 Metode Pengambilan Sampel Air dan Fitoplankton ... 27

3.6 Analisis dan Identifikasi Struktur Komunitas Fitoplankton ... 28

3.7 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 28

3.8 Analisis Klorofil-a... 30

3.9 Metode Estimasi Tingkat Trofik Perairan ... 30

3.10 Metode Estimasi Daya Dukung untuk Kegiatan KJA ... 31

3.10.1 Metode Estimasi Total-P dari Pakan Ikan yang Masuk ke Lingkungan 31 3.10.2 Estimasi Produksi Ikan Maksimal yang Dapat Diterima Lingkungan .. 31

3.11 Analisis Statistik Parameter Kualitas Air ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Keadaan Umum Waduk Saguling Pada Saat Penelitian ... 34

4.2 Kondisi Kualitas Perairan Waduk Saguling ... 35

4.2.1 Parameter Fisika Perairan ... 35

4.2.1.1 Suhu... 35

4.2.1.2 Kekeruhan dan Kecerahan ... 36

4.2.1.3 total Suspended Solids ... 38

4.2.2 Parameter Kimia Perairan ... 40

4.2.2.1 Oksigen Terlarut ... 40

4.2.2.2 Total Nitrogen ... 43

4.2.2.3 Total Phospat ... 45

4.2.2.4 Chemical Oxygen Demand (COD) ... 47


(17)

iii

4.2.3.1 Klorofil a ... 49

4.2.3.2 Fitoplankton ... 50

4.3 Status Trofik Perairan Waduk Saguling berdasarkan Indeks TRIX ... 55

4.4 Daya Dukung Perairan Waduk Saguling untuk Kegiatan KJA………….…… 56

4.6 Pembahasan Manajemen KJA yang Didasarkan Nilai Daya Dukung ... 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1 Kesimpulan ... 64

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Trophic state index (TSI) dan parameternya ... 9

2. Parameter fisika dan kimia Kualitas Perairan ... 29

3. Data hidrologi dan morfologi Waduk Saguling ... 34

4. Kisaran nilai suhu berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 35

5. Kisaran nilai kekeruhan berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 36

6. Kisaran nilai TSS berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 39

7. Kisaran nilai DO berdasarkan rataan dan standar deviasi... 41

8. Kisaran nilai DO saturasi berdasarkan rataan dan standar deviasi. ... 43

9. Kisaran nilai total nitrogen berdasarkan rataan dan standar deviasi... 44

10.Kisaran nilai total fosfat berdasarkan rataan dan standar deviasi ………...….. 46

11.Kisaran nilai COD berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 47

12.Kisaran nilai klorofil-a berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 49

13.Komposisi genera fitoplankton... 52

14.Nilai TRIX pada setiap stasiun………...….…….. 55

15.Hidromorfologi Waduk Saguling dan perhitungan flushing rate……..…..….. 59


(19)

v DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ... 3

2. Waduk Saguling ... 5

3. Hubungan antara status trofik dengan total phospat (TP) ... 10

4. Hubungan antara status trofik dengan kandungan chlorophyl-a ... 10

5. Karamba jaring apung di Waduk Saguling ... 12

6. Ukuran dan tipe KJA di Waduk Saguling ... 13

7. Letak stasiun penelitian ... 29

8. Grafik fluktuasi suhu rata-rata pada kedalaman berbeda ... 36

9. Grafik fluktuasi kekeruhan rata-rata pada kedalaman berbeda ... 38

10.Grafik fluktuasi TSS rata-rata pada kedalaman berbeda ... 40

11.Grafik fluktuasi DO rata-rata pada kedalaman berbeda... 42

12.Grafik fluktuasi DO saturasi rata-rata pada kedalaman berbeda... 43

13.Grafik fluktuasi total nitrogen rata-rata pada kedalaman berbeda ... 45

14.Grafik fluktuasi total fosfat rata-rata pada kedalaman berbeda... 46

15.Grafik fluktuasi COD rata-rata pada kedalaman berbeda... 48

16.Grafik fluktuasi klorofil-a rata-rata pada kedalaman berbeda ... 50

17.Komposisi genera fitoplankton pada tiap kelas ... 51


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuisioner wawancara pembudidaya KJA ... 69

2. Data dasar parameter fisika, kimia, dan biologi perairan ... 73

3. Analisis statistik suhu ... 78

4. Analisis statistik kekeruhan ... 79

5. Analisis statistik TSS ... 80

6. Analisis statistik DO ... 81

7. Analisis statistik total nitrogen ... 82

8. Analisis statistik total fosfat ... 83

9. Analisis statistik COD ... 84

10.Analisis statistik klorofil-a ... 85

11.Kelimpahan total fitoplankton pada setiap kelas di bulan Juli ... 86

12.Kelimpahan total fitoplankton pada setiap kelas di bulan Agustus ... 87


(21)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waduk Saguling adalah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan salah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Dua waduk lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata. Fungsi utama Waduk Saguling dipergunakan untuk satu tujuan (single purpose) yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Menurut International Lake Committee / ILEC, pada saat ini Waduk Saguling dimanfaatkan untuk beberapa keperluan (multipurpose), yaitu transportasi, budidaya perikanan, dan pariwisata. Berbagai masalah lingkungan muncul akibat kurangnya rencana pengelolaan waduk “multipurpose” ini, bahkan saat ini Waduk Saguling digunakan oleh penduduk sekitar untuk kegiatan domestik (ILEC, 2008). Fungsi waduk yang diperuntukan untuk beberapa keperluan dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan waduk yang dipergunakan untuk satu tujuan, akan tetapi perlu diperhitungkan daya dukung lingkungan untuk masing-masing fungsi perairan tersebut agar tidak terjadi kerusakan ekosistem. Daya dukung suatu ekosistem penting untuk dijaga, karena daya dukung dapat berkurang sejalan dengan berkembangnya aktivitas dan tehnologi yang digunakan manusia.

Masalah utama yang dialami Waduk Saguling adalah terjadinya eutrofikasi yang disebabkan oleh adanya masukan pencemar bahan organik yang berasal dari budidaya pertanian, limbah domestik, dan karamba jaring apung yang berada didalam Waduk Saguling serta limbah industri yang berada di sekitar Waduk Saguling dan aliran Sungai Citarum. Sumber-sumber pencemar bahan organik yang masuk ke Waduk Saguling akan mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada perairan yang selanjutnya akan menyebabkan turunnya daya dukung Waduk Saguling jika tidak dikelola dengan tepat. Budidaya ikan di karamba jaring apung adalah tempat pemeliharaan ikan berupa jaring-jaring yang menyebabkan air dapat keluar dan masuk secara bebas, sehingga pertukaran air dari dan ke perairan sekitarnya serta pembuangan limbah (sisa pakan) dan sisa proses metabolisme dapat terbuang dengan mudah. Sisa pakan ikan dan sisa proses metabolisme ikan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan perairan waduk yang selanjutnya akan


(22)

menyebabkan menurunnya daya dukung perairan Waduk Saguling. Jumlah karamba jaring apung aktif di Waduk Saguling pada tahun 2008 berjumlah 7209 unit. Keberadaan karamba jaring apung di Waduk Saguling dapat bermanfaat secara ekonomi bagi penduduk sekitar, akan tetapi perlu diperhatikan pengelolaannya agar keberlanjutan fungsi waduk dapat terus dimanfaatkan. Penelitian tentang daya dukung perairan untuk kegiatan karamba jaring apung perlu dilakukan sebagai faktor penting dalam manajemen perairan Waduk Saguling.

1.2 Kerangka Pemikiran

Terdapat tiga faktor utama (gambar 1) yang akan menentukan kualitas air Waduk Saguling, faktor pertama yaitu masukan internal dari aktivitas karamba jaring apung (KJA) dan domestik rumah tangga; faktor kedua adalah masukan eksternal berupa domestik rumah tangga, industri, dan pertanian; dan faktor ketiga adalah hidromorfologi waduk. Ketiga faktor tersebut akan mengalami proses dan interaksi yang akhirnya akan menentukan kualitas air Waduk Saguling itu sendiri.

Kegiatan KJA di Waduk Saguling juga memiliki dampak negatif yaitu sebagai sumber limbah organik yang berasal dari sisa pakan ikan, ikan-ikan yang mati, dan sisa metabolisme ikan sehingga akan menyebabkan perubahan kualitas fisika, kimia, dan biologi Waduk Saguling. Perubahan kualitas fisik, kimia, dan biologi perairan waduk juga disebabkan oleh pencemar allochthonous yang sebagian berasal dari masukan air dari Sungai Citarum. Peningkatan bahan organik yang berasal dari sumber pencemar tersebut akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Perubahan kualitas fisik, kimia, dan biologi juga terkait dengan hidromorfologi waduk seperti outflow dan volume waduk yang mempengaruhi tingkat pencucian (flushing rate).

Kegiatan KJA pada Waduk Saguling menggunakan pakan buatan yang memiliki konsentrasi fosfor tertentu dan akan menyumbangkan fosfor kedalam perairan yang selanjutnya akan merubah kualitas fisik, kimia, dan biologi waduk. Aktivitas KJA dan pencemar lain akan menyebabkan eutrofikasi pada perairan. Tingkat eutrofikasi sangat penting diketahui dalam manajemen suatu perairan. Nilai kandungan fosfor pada pakan dan kandungan fosfor yang lepas ke perairan sangat penting diketahui untuk mengestimasi daya dukung perairan waduk bagi aktivitas budidaya karamba jaring apung


(23)

3

sehingga dapat diketahui berapa produksi total dan jumlah unit karamba yang dapat mendukung fungsi-fungsi waduk secara berkelanjutan.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui status trofik Waduk Saguling

2. Mengestimasi daya dukung perairan waduk saguling bagi kegiatan budidaya karamba jaring apung.

Ekosistem Waduk Saguling

Pencemar internal - Aktivitas KJA

- Domestik rumah tangga

Hidromorfologi waduk

Pencemar eksternal

- Domestik Rumah Tangga - Pertanian

- industri

Kandungan P pada pakan dan perairan

Kualitas fisika, kimia, dan biologi

Peningkatan Bahan Organik

Eutrofikasi

Status Trofik Waduk

Daya Dukung Kegiatan KJA


(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan formulasi perumusan kebijakan pengelolaan ekosistem Waduk Saguling bagi stakeholder terkait khususnya dalam manajemen aktivitas karamba jaring apung dan pengelolaan masukan pencemaran bahan organik.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Perairan Waduk Saguling

Waduk adalah perairan yang terbentuk karena adanya pembendungan aliran sungai, yang ditujukan untuk berbagai keperluan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), irigasi, pengendali banjir, sumberbaku air minum, perikanan dan pariwisata. Waduk Saguling adalah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut (Gambar 2).

Gambar 2. Waduk Saguling Sumber : Google Earth


(26)

Waduk Saguling adalah waduk yang terletak pada bagian hulu dari tiga Waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Setelah aliran Sungai Citarum masuk ke dalam Waduk Saguling, selanjutnya aliran Sungai Citarum masuk ke waduk Cirata dan Jatiluhur yang terletak di atas Waduk Saguling. Waduk Saguling dikelilingi oleh topografi daerah yang berbukit-bukit, dimana Sungai Citarum memiliki banyak aliran sungai sehingga Waduk Saguling memiliki karakteristik bentuk sebagai waduk dendritik.

Waduk memiliki beberapa karakteristik bentuk, seperti bentuk longitudinal dan dendritik. Karakteristik waduk dengan bentuk dendritik disebabkan karena pada wilayah waduk tersebut berbukit-bukit dan sungai yang dibendung memiliki banyak aliran sungai sehingga menyebabkan waduk berbentuk dendrtik. Menurut Cooke et al. (2005), waduk secara umum memiliki 3 karakteristik zona, yaitu:

1. Riverine Zone

Riverine zone adalah daerah inlet Waduk sehingga umumnya berbentuk lekukan

dan berukuran lebih sempit dari zona lainnya. Kecepatan arus pada zona ini tinggi dan penetrasi cahaya yang kecil karena kekeruhan perairan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi pada zona ini disebabkan tingginya kandungan padatan tersuspensi. Kekeruhan tersebut juga mempengaruhi kemampuan fitoplankton dan algamakro untuk melakukan fotosintesis. Zona Riverine biasanya memiliki kandungan nutrien yang tinggi sehingga keadaan zona ini umumnya eutrofik.

2. Transitional Zone

Transitional zone adalah zona yang terletak diantara zona riverine dan zona

lacustrine yang dicirikan dengan bentuk lebih luas dari zona riverine, umumnya memiliki kedalaman paling dalam dibandingkan zona yang lain, dan kecepatan arus yang lebih lambat dibandingkan dengan zona riverine. Kecerahan pada perairan ini lebih tinggi dibandingkan zona riverine, sehingga aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton lebih besar pada zona ini dibandingkan zona lainnya. Transitional zone

mendapat suplay nutrien yang cukup dari zona riverine sehingga dapat menyokong kehidupan fitoplankton dengan baik.


(27)

7

3. Lacustrine Zone

Lacutrine zone adalah zona yang berada setelah zona transisi yang dicirikan dengan

kedalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan transitional zone tetapi lebih dalam dari riverine zone, memiliki daerah yang paling luas, kecepatan arus sangat rendah dibandingkan dengan zona lainnya. Kecerahan perairan pada zona ini sangat tinggi yang disebabkan karena kandungan nutrien dan padatan tersuspensi sangat rendah. Rendahnya kandungan nutrien ini berpengaruh pada kelimpahan fitoplankton yang umumnya rendah pada zona ini sehingga zona ini umunya memiliki keadaan oligotrofik.

Pada awalnya, kegiatan karamba jaring apung yang telah dimulai sejak tahun 1985 memiliki tujuan untuk pemerdayaan penduduk yang terkena proyek pembangunan Waduk Saguling (resettlement). Pada saat ini, pemanfaatan Waduk Saguling antara lain sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti perikanan, dan pariwisata. Kondisi saat ini, Waduk Saguling juga digunakan untuk kebutuhan lokal domestik masyarakat setempat. Menurut International Lake Committe, tata guna lahan pada daerah tangkapan air dan sekitar Waduk Saguling banyak terdapat industri primer dan sekunder, industri primer ini diantara lain adalah berupa pertanian padi, kentang, singkong, kacang tanah dan kacang kedelai yang produksinya mencapai 194.695 gross produksi pertahun. Selain industri primer berupa pertanian, tercatat beberapa industri sekunder seperti 25 unit industri pengolahan kapur, 14 unit industri pengolahan bubuk batu kapur, 19 unit pengolahan minyak citrun (citronella oil), 24 unit industri pengolahan tanah liat, dan 65 unit industri pengolahan makanan, kerajinan tangan, tekstil, dan industri yang lainnya (ILEC, 2008). Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. Hal tersebut terjadi karena Waduk Saguling sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Waduk Saguling inilah semua kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian masuk ke perairan Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur. Penelitian yang dilakukan oleh Sukimin (2008) pada tahun 2005 menginformasikan bahwa produksi ikan budidaya KJA di Waduk Saguling sebesar 4846 ton per tahun. Dengan menggunakan model Beveridge untuk penentuan daya dukung lingkungan bagi aktivitas KJA, Sukimin (2008) mengestimasi bahwa produksi maksimal yang dianggap aman bagi


(28)

lingkungan adalah sebesar 34279 ton per tahun pada tahun 2005. Hasil tersebut menunjukkan bahwa produksi ikan pada tahun 2005 masih lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung perairan waduk dengan catatan bahwa kadar oksigen terlarut mengalami defisit sehingga disarankan budidaya KJA untuk jenis-jenis ikan tertentu saja. Hasil penelitian pada tahun 2005 perlu ditindaklanjuti pada saat ini, khususnya masukan bahan organik yang diduga menjadi penyebab utama masalah defisit oksigen dan dengan adanya perubahan jumlah KJA yang aktif di tahun 2009.

Daya dukung perairan waduk sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan perairan waduk itu sendiri. Tingkat kesuburan perairan tergenang termasuk perairan waduk dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air, fitoplankton, jenis ikan, dan produktivitas primer. Menurut Scholten et al. (2005), Berdasarkan tingkat kesuburannya, maka perairan tergenang diklasifikasikan menjadi 4 kelas sebagai berikut :

1. Oligotrofik (miskin unsur hara dan produktivitas rendah): perairan dengan produktivitas primer dan biomassa rendah. Perairan ini memilki kadar unsur hara nitrogen dan fosfor rendah, namun cendrung jenuh dengan oksigen.

2. Mesotrofik (Unsur hara dan Produktivitas sedang) : Perairan dengan produktivitas primer dan biomassa sedang. Perairan ini merupakan peralihan antara oligotrofik dan eutrofik.

3. Eutrofik (kaya unsur hara dan Produktivitas tinggi) : Perairan dengan kadar unsur hara dan tingkat produktivitas primer tinggi. Perairan ini memilki tingkat kecerahan yang rendah dan kadar oksigen pada lapisan hipolimnion dapat lebih kecil dari 1 mg/liter.

4. Hiper-eutrofik : perairan dengan kadar unsur hara dan produktivitas primer sangat tinggi. Pada perairan ini, kondisi anoksik terdapat pada lapisan hipolimnion.

2.2Eutrofikasi

Eutrofikasi adalah suatu proses yang menggambarkan peningkatan konsentrasi dari nutrient-nutrien terlarut dan sebagai dampak peningkatan nutrient-nutrien tersebut adalah terjadinya peningkatan pertumbuhan dan produktivitas fitoplankton (Pilay, 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh Pierce (2002) bahwa eutrofikasi dan hypereutrofikasi adalah penyebab utama terjadinya ledakan populasi fitoplankton, akan tetapi hypereutrofikasi


(29)

9

tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas fitoplankton, hal ini disebabkan fitoplankton membutuhkan nutrient-nutrien tertentu yang menjadi batasannya. Menurut Scholten et al. (2005), perairan yang mengalami eutrofikasi memiliki ciri meningkatnya kelimpahan cyanobakteri dan menurunnya kelimpahan organisme lainnya sehingga menyebabkan kekeruhan perairan tinggi, anoksik, timbul bau tidak sedap, dan munculnya penyakit yang disebabkan meningkatnya populasi chironomide dan culex.

Bebagai pendekatan telah banyak dilakukan untuk mengukur tingkat eutrofikasi, diantaranya adalah dengan metode Trophic state index (TSI) yang dikemukakan oleh Carlson (1977) dalam Cooke et al. (2005). Pengukuran ini menggunakan tiga parameter, yaitu kandungan phosphor pada permukaan, kandungan chlorofil-a permukaan, dan kecerahan secchi. Tabel 1 merupakan nilai-nilai parameter yang digunakan dalam TSI : Table 1. Trophic state index (TSI) dan parameternya

TSI Kecerahan secchi (m)

Fosfor permukaan (mg/m3

klorofil-a permukaan (mg/m

) 3

Stastus Trofik )

0 64 0,75 0,04

Oligotrofik

10 32 1,5 0,12

20 16 3 0,12

30 8 6 0,94

40 4 12 2,6

Mesotrofik

50 2 24 7,3

60 1 48 20

Eutrofik

70 0,5 96 56

80 0,25 192 154

90 0,12 384 427

100 0,062 768 1183

Menurut Cooke et al. (2005), metode TSI adalah metode yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat eutrofikasi suatu perairan, akan tetapi metode TSI memiliki kelemahan-kelemahan yaitu tidak dapat digunakan pada waduk yang memiliki kekeruhan yang tidak hanya disebabkan oleh fitoplankton, hal ini dikarenakan dalam metode TSI kekeruhan hanya diasumsikan dari keberadaan fitoplankton, dan metode TSI parameter


(30)

menggunakan parameter fosfor permukaan, oleh karena itu tidak dapat digunakan pada waduk yang memiliki keberadaan makrophyta yang tinggi.

Metode lainnya yang sering digunakan dalam penentuan status trofik suatu perairan yaitu TRIX / trophic index (Jorgensen et al. , 2005) model ini menggunakan 4 parameter yaitu total nitrogen (TN), total phosphor (TP), klorofil-a, dan oksigen terlarut saturasi (%). Menurut Scholten (2005), Penggunaan konsentrasi total phosphor pada permukaan perairan (TP) sering digunakan sebagai indikator status trofik karena disini diasumsikan phosphor adalah salah satu nutrient yang sangat diperlukan oleh pertumbuhan alga. Scholten et al. (2005) juga mengatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara tingkatan trofik dengan kandungan phosphor (Gambar 3) dan hubungan antara tingkatan trofik dengan kandungan chlorophyl-a (Gambar 4).

Gambar 3. Hubungan antara status trofik dengan total phospat (Scholten et al. 2005)

Gambar 4. Hubungan antara status trofik dengan kandungan chlorophyl-a (Scholten et al. 2005)

Penelitian mengenai permodelan eutrofikasi yang dilakukan Liu dan Chen (2009) menunjukkan bahwa fosfor merupakan nutrien penting dalam perubahan kondisi trofik


(31)

11

suatu perairan. Penelitian tersebut menyimpulkan dengan mereduksi fosfor sebesar 20% - 80% maka akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas perairan dari status eutrofik menjadi mesotrofik dan oligotrofik.

2.3 Bahan Organik Di Perairan

Karbon (C) yang merupakan penyusun utama bahan organik adalah elemen atau unsur yang melimpah pada semua mahluk hidup. Jenis bahan organik dalam perairan adalah senyawa-senyawa organik dalam bentuk larutan (berukuran <0.5 µ m), partikel-partikel besar (>0,5 µ m), yang berasal dari organisme hidup maupun organisme yang telah mati (Basmi, 1991).

Calf dan Eddy (1979) membedakan bahan organik berdasarkan sumbernya menjadi tiga macam yaitu:

a) Bahan organik yang berasal dari limbah domestik, sebagian besar terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan minyak.

b) Bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, minyak, lemak, dan fenol.

c) Bahan organik yang berasal dari limbah pertanian seperti pestisida

Menurut Nuryanto (2001), Bahan organik yang masuk ke perairan Waduk Saguling berasal dari ketiga sumber diatas yang sebagian besar berasal dari DAS Citarum dan anak-anak sungainya.

Kandungan bahan organik dalam perairan akan mengalami peningkatan yang disebabkan buangan dari rumah tangga, pertanian, industri, limpasan permukaan tanah, dan kegiatan perikanan. Total Fosfor dapat memberikan gambaran besaran bahan organik di perairan, karena menurut Bronmark dan Hansson (2005), sebagian besar bentuk fosfor (lebih dari 80%) didalam perairan adalah dalam bentuk organik

2.4 Karamba Jaring Apung

Permintaan akan ikan konsumsi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk. Dengan adanya peningkatan permintaan akan ikan konsusmsi, maka kegiatan budidaya perikanan termasuk kegiatan budidaya perikanan menggunakan karamba jaring apung meningkat intensitasnya. Karamba pada awalnya digunakan oleh


(32)

para nelayan untuk menyimpan ikan yang belum layak konsumsi selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali ketika sudah mencapai ukuran konsumsi. Budidaya ikan pada karamba jaring apung pertama kali digunakan oleh Masyarakat Cina pada Dinasti Han sekitar 2200 tahun yang lalu menggunakan rangkaian bambu. Di Indonesia, kegiatan karamba jaring apung dimulai sekitar tahun 1920-an di Sungai Mungdung Sulawesi dengan cara menangkap ikan pada sungai tersebut dan membesarkannya pada karamba (Beveridge, 2004). Kegiatan karamba jaring apung modern saat ini menggunakan tiga prinsip manipulasi daur hidup ikan, yaitu mengontrol reproduksi, mengontrol pertumbuhan, dan meminimalkan penyebab-penyebab kematian alami ikan.

Kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung merupakan kegiatan budidaya yang cocok diterapkan pada perairan tertutup termasuk waduk. Kegiatan KJA di Waduk Saguling (Gambar 5) pada awalnya adalah program pemerintah dalam pelaksanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan waduk (re-settlement). Awal program tersebut adalah memperkenalkan tehnologi budidaya pada karamba kepada 3000 rumah tangga dari 40000 rumah tangga yang ditempatkan disekitar Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (Pierce, 2002). Aktivitas karamba jaring apung di Waduk Saguling dilakukan dengan budidaya intensif dengan sebagian besar ikan yang dibudidaya saat ini adalah ikan patin selama 12 bulan waktu pemeliharaan.


(33)

13

Sistem budidaya intensif yaitu sistem budidaya yang mengandalkan pakan buatan berupa pellet sebagai sumber makanan utamanya. Karamba pada Waduk Saguling rata-rata menggunakan pakan sebesar 16 – 18 kg dalam satu petak perharinya. Pakan yang diberikan tidak seluruhnya dapat dikonsumsi oleh ikan-ikan yang dibudidayakan, oleh karena itu sebagian pakan yang tidak dikonsumsi akan menyumbang bahan organik ke perairan. Sisa pakan yang terkonsumsi oleh ikan akan dibuang dalam bentuk feses ikan sehingga akan menyumbang bahan organik di perairan.

Tipe KJA (Gambar 6) yang digunakan oleh petani budidaya di Waduk Saguling adalah tipe kuadrat dengan ukuran 7 x 7 m2 dengan kedalaman rata-rata 2,5 meter. Sebagian petani KJA menggunakan jaring lapis dengan membudidaya 2 jenis ikan dalam satu karamba yaitu ikan mas di lapisan atas dan ikan nila pada jaring lapisan bawah. Ikan yang dibudidayakan umumnya adalah ikan patin, nila, ikan mas, dan sebagian kecil ikan gurame. Seiring dengan waktu, karamba jaring apung di Waduk Saguling semakin banyak sehingga masukan bahan organik dari aktivitas karamba jaring apung akan dapat berdampak negatif dan dapat dikategorikan sebagai polutan perairan. Sistem pengoprasian karamba jaring apung yang kurang memperhatikan cara pemberian pakan, tata letak, dan daya dukung perairan akan menimbulkan masalah pada ekosistem perairan. Daya dukung perairan dapat menurun akibat cemaran aktivitas karamba jaring apung.

Gambar 6. Ukuran dan tipe KJA di Waduk Saguling Tipe jaring tunggal Tipe jaring lapis

7 7

2,5 Ikan


(34)

2.5 Daya Dukung Perairan

Menurut Wardhana (2004), daya dukung alam dapat diartikan sebagai kemampuan alam atau ekosistem untuk mendukung kehidupan biota di dalamnya dan kehidupan manusia sebagai pengguna ekosistem. Berkurangnya daya dukung akan berakibat pula terhadap kemampuan alam untuk mendukung kehidupan manusia. Daya dukung suatu ekosistem penting untuk dijaga, karena daya dukung dapat berkurang sejalan dengan berkembangnya aktivitas dan tehnologi yang digunakan manusia.

Beveridge (2004) mengatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan bagi kegiatan budidaya perairan lebih menekankan pada bagaimana mewujudkan kegiatan produksi budidaya perairan yang berkelanjutan dengan menetapkan beberapa kriteria pembatas. Kegiatan budidaya yang berkelanjutan adalah kegiatan budidaya yang dapat mendukung faktor lingkungan sehingga kegiatan budidaya tersebut dapat dilakukan terus menerus. Menurut FAO (1991) dalam Pillay (2004), kegiatan yang berkelanjutan adalah kegiatan yang mengelola dan meng-konservasi dalam mengekstrasi sumberdaya alam dan berorientasi pada penggunaan tehnologi tepat guna untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan generasi selanjutnya.

Dalam menentukan daya dukung lingkungan bagi kegiatan budidaya perairan digunakkan berbagai macam permodelan, permodelan-permodelan tersebut menggunakan 4 prinsip dasar pertimbangan, yaitu:

1. Bagaimana menentukan tingkat produktivitas perairan.

2. Pakan yang digunakan dalam kaitannya dengan masukan limbah pakan. 3. Bagaimana respon lingkungan dari adanya masukan limbah.

4. Sejauh mana perubahan lingkungan yang dapat dianggap aman bagi ekosistem. Daya dukung lingkungan juga sangat erat kaitanya dengan kapasitas assimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam suatu ekosistem tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi merupakan ukuran kemampuan air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air (Pillay, 2004).

Salah satu model estimasi daya dukung perairan untuk kegiatan karamba jaring apung adalah model beban limbah fosfor yg dikembangkan oleh Dillon dan Rigler dalam Beveridge (2004). Menurut Pulatsu (2002), model matematis beban limbah fosfor Dillon


(35)

15

dan Rigler (1974) dapat digunakan sebagai rencana awal pengembangan danau dan waduk berbasis daya dukung.

2.6 Parameter Fisika

2.6.1 Kekeruhan dan Kecerahan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1987) mengatakan, kekeruhan perairan yang tinggi tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Kekeruhan perairan berbanding lurus dengan padatan tersuspensi, sehingga semakin tinggi padatan tersuspensi maka kekeruhan perairan akan semakin tinggi, berbeda halnya dengan tingginya kandungan padatan terlarut tidak selalu dikut i oleh tingginya nilai kekeruhan (APHA, 1992). Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya.

Kecerahan perairan ditentukan oleh warna dan kekeruhan perairan. Semakin tinggi kecerahan maka semakin dalam penetrasi cahaya yang dapat masuk kedalam air, yang selanjutnya akan menentukan kedalaman lapisan air yang produktif. Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan piringan secchi.

2.6.2 Total Suspended Solid

Total Suspended Solid (TSS) dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman, dan hewan serta limbah industri. Erosi tanah akibat hujan lebat dapat mengakibatkan naiknya nilai TSS secara mendadak. TSS dapat memberikan pengaruh yang luas dalam ekosistem perairan. Banyak makhluk hidup memperlihatkan toleransi yang cukup tinggi terhadap kepekatan TSS (Goldman dan Horne, 1983).


(36)

Besarnya padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menurunkan penetrasi cahaya, sehingga akan dapat menurunkan aktivitas fotosintesis berbagai alga perairan, termasuk didalamnya fitoplankton. Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Subarijanti, 1990).

Padatan tersuspensi dapat menyebabkan dampak langsung dan tidak langsung pada biota perairan. Dampak langsung yang akan dirasakan oleh biota perairan adalah 1) gangguan langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi predator dan filter feeding). Dampak tidak langsung akibat tingginya padatan tersuspensi adalah meningkatnya kekeruhan perairan yang akan menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis sehingga produktivtas primer akan menurun. Menurut Newcombe dan Macdonald (1991), selain konsentrasi TSS yang tinggi, durasi konsentrasi TSS yang tinggi di dalam perairan juga berpengaruh terhadap organisme perairan. Kandungan total padatan tersuspensi pada kegiatan perikanan adalah kurang dari 80 mg/l.

2.6.3 Suhu

Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen dalam air. Menurut Canter dan Hill (1979), suhu mempunyai pengaruh yang utama dalam proses alami dalam suatu perairan, yaitu menentukan fungsi fisiologis suatu organisme dan mempengaruhi perubahan kualitas perairan. Menurut Mason (1981), bahwa fluktuasi suhu dalam air akan berpengaruh terhadap kehidupan didalamnya. Peningkatan dan penurunan suhu dalam air dipengaruhi oleh derajat ketinggian tempat, komposisi substrat, kekeruhan, curah hujan, angin, suhu masukan (limbah), dan reaksi kimia yang terjadi. Setiap organisme akuatik mempunyai kisaran tersendiri terhadap suhu.

Cahaya matahari yang masuk kedalam perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas, sehingga suhu pada lapisan atas perairan tidak sama


(37)

17

dengan lapisan dibawahnya. Akibat dari perbedaan suhu pada berbagai ke dalam waduk, menyebabkan terjadinya stratifikasi suhu pada perairan. Stratifikasi suhu pada waduk secara umum dikategorikan menjadi dua strata, yaitu lapisan epilimnion (hangat, oksigen terlarut tinggi, dan memiliki keanekaragaman alga yang tinggi), dan hipolimnion (dingin, oksigen terlarut rendah dan cendrung anoxik, dan biasanya banyak mengandung Fe3+, Mn3+, H2S) (UNESCO, 1996).

Fluktuasi suhu di perairan akan mempengaruhi berbagai macam parameter perairan yang lain. Suhu perairan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya reaksi kimia perairan dan menurunkan kelarutan gas-gas di dalam air (Scholten et al, 2005). Lebih lanjut dikatakan oleh Welch dan Jacoby (2004), meningkatnya suhu di perairan akan menyebabkan metabolisme organisme perairan meningkat diikuti dengan meningkatnya konsumsi oksigen dan meningkatnya dekomposisi bahan-bahan organik.

2.7 Parameter Kimia 2.7.1 pH

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen (Barus, 2002). pH air dipengaruhi oleh bentuk dari karbondioksida dalam perairan, pada pH air yang rendah (pH=4) karbondioksida terdapat dalam bentuk terlarut, pada pH antara 7 sampai 10 semuanya membentuk ion HCO3-, sementara pada pH sekitar 11 umumnya dijumpai ion CO3

-Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya antara 7 sampai 8,5. Kondisi pH yang sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan

.

Kondisi perairan yang bersifat sangat basa maupun sangat asam akan menyebabkan kelangsungan hidup suatu organisme terganggu. Nilai pH yang sangat rendah dapat menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion alumunium yang bersifat toksik. Apabila pH sangat tinggi akan merusak keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air (Barus, 2002). Selanjutnya, Odum (1971) menyatakan bahwa kisaran pH 6,0-9,0 tergolong perairan dengan kesuburan yang tinggi dan produktif karena dapat mendorong proses bahan organik yang ada dalam perairan menjadi mineral-mineral yang dapat dipergunakan oleh fitoplankton.


(38)

hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2002).

2.7.2 Nitrogen

Nitrogen adalah unsur yang esensial bagi organisme untuk pembentukan protein dan material genetik. Tumbuhan dan mikroorganisme perairan berperan dalam merubah bentuk anorganik nitrogen (nitrat-NO3-, nitrit-NO2-, ion ammonium NH4+) menjadi bentuk organik seperti amino acids (UNESCO, 1996). Total nitrogen adalah gambaran nitrogen dalam bentuk anorganik yang berupa N-NO3, N-NO2, dan N-NH3 yang bersifat larut dan nitrogen organik yang berupa partikulat yang tidak larut dalam air (Abel, 1989). Ammonia (NH3)

Sumber ammonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam air dan tanah yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik lain yang telah mati) oleh mikroba dan jamur, feses biota perairan, reduksi gas nitrogen yang berasal dari difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik (Effendi, 2003). Lebih lanjut dikatakan oleh Welch dan Jacoby (2004), ammonia didalam perairan terdapat dalam 2 bentuk yaitu ammonia (NH3) dan ion ammonium (NH4-) yang keduanya disebut sebagai total ammonia. Konsentrasi ammonia (NH3) yang tinggi dapat menyebabkan kondisi toksik bagi organisme perairan. Perairan alami biasanya memiliki konsentrasi total ammonia kurang dari 0,1 mg/l N dan dapat mencapai lebih dari 2 mg/l N pada perairan yang terindikasi adanya masukan polutan organik, limbah industri, dan run-off. Ammonia dapat dijadikan indikator polusi organik (UNESCO, 1996).

Nitrat (NO3

-) dan Nitrit (NO2

-)

Sumber nitrat dalam perairan berasal dari proses nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter (Subarijanti, 1990). Nitrat adalah bentuk nitrogen yang umum ditemukan pada perairan alami dan unsur yang sangat diperlukan oleh tumbuhan perairan. Nitrat dapat tereduksi menjadi bentuk nitrit yang bersifat toksik bagi organisme perairan melalui proses denitrifkasi pada keadaan perairan yang anaerobik (Subarijanti, 2002).


(39)

19

Pada perairan dengan kondisi alami, konsentrasi nitrat tidak melebihi 0,1 mg/l NO3-N. Pada kondisi perairan yang mengalami masukan dari limbah industri dan

leachate dari sanitary landfill mengandung konsentrasi nitrat lebih dari 0,1 mg/l NO3-N

(UNESCO, 1996). Lebih lanjut dikatakan oleh Effendi (2003), perairan yang memiliki konsentrasi nitrat sebesar 5 mg/l NO3-N biasanya perairan tersebut telah terindikasi tercemar oleh aktivitas manusia dan tinja hewan.

2.7.3 Total Fosfor

Fosfor adalah nutrien yang sangat penting bagi organisme yang digunakan dalam proses dasar pembentukan dan transpor informasi genetik (DNA / deoxyribonucleic acid

dan RNA / ribonucleid acid), metabolisme sel, dan dalam proses pembentukan energi didalam sel (adenosine triphospate / ATP). Sebagian besar bentuk fosfor (lebih dari 80%) didalam perairan adalah dalam bentuk organik, oleh karena itu analisa fosfor didalam perairan dapat menggambarkan besaran bahan organik didalam perairan (Bronmark dan Hansoon, 2004). Total fosfor adalah suatu nilai yang menunjukkan besaran fosfor baik dalam bentuk organik maupun dalam bentuk anorganik, oleh karena itu total fosfor sering digunakan dalam menentukan kesuburan suatu perairan (Welch, 1980).

Fosfor adalah unsur yang esensial bagi pertumbuhan organisme khususnya bagi alga perairan. Fosfor juga dikatakan sebagai nutrien pembatas bagi pertumbuhan alga dan dapat dikatakan sebagai nutrien yang dapat mengontrol produktivitas primer perairan. Sumber fosfor di perairan berasal dari pelapukan batuan dan hasil dari proses dekomposisi bahan organik (UNESCO, 1996). Fosfor pada perairan ditemukan dalam beberapa bentuk, yaitu Orthophospat, SRP (soluble reactive P), dan DIP (dissolved inorganik P / inorganik P terlarut). Orthophospat adalah bentuk fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh alga dan dalam analisanya, orthophospat adalah fosfor yang dapat lolos dari kertas saring 0,45 µ m. Soluble reaktive P (SRP) dan inorganik P terlarut (DIP) adalah bentuk fosfor yang ketika analisa tersaring pada kertas saring 0,45 µ m. Gabungan dari ketiga bentuk fosfor tersebut disebut dengan total fosfor (TP) (Welch dan Jacoby, 2004). Fosfor sangat jarang ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi, pada sebagian besar perairan alami mengandung 0,005-0,020 mg/l PO4--P. Pada perairan yang mengalami eutrofikasi, konsentrasi fosfor dalam bentuk orthophospat jarang melebihi 0,1 mg/l PO4--P (Boyd, 1990).


(40)

Total Fosfor menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik. Menurut Bronmark dan Hansson (2005), kesuburan perairan tawar dapat dikategorikan menurut nilai total fosfor, yaitu oligotrophic jika perairan tersebut memiliki kisaran total fosfor 0.005 – 0.01 mg/l, mesotrophic jika perairan tersebut memiliki kisaran fosfor 0.01 – 0.03 mg/l, eutrophic jika perairan tersebut memiliki kisaran total fosfor 0.03 – 0.1 mg/l, dan hypereutrophik jika perairan tersebut memiliki kisaran total fosfor lebih besar dari 0.1 mg/l. Metode estimasi menggunakan beban limbah fosfor menggunakan asumsi bahwa partikulat fosfor akan tenggelam kedalam sedimen dan fosfor terlarut akan lebih lama di permukaan dan badan perairan (Lung et al. 1976).

2.7.4 Oksigen Terlarut dan Oksigen Saturasi

Oksigen terlarut sangat penting keberadaannya bagi organisme perairan sehingga sering digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan perairan. Fluktuasi suhu di perairan akan mempengaruhi berbagai macam parameter perairan yang lain. Suhu perairan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya reaksi kimia perairan dan menurunkan kelarutan gas-gas di dalam air (Scholten et al. 2005). Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan terestrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak menggunakan oksigen pada waktu penguraian bahan organik tersebut berlangsung. Barus (2002) menjelaskan bahwa perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat berpengaruh langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri.

Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen terlarut di suatu perairan, yaitu:

1. Tipe orthograde : terjadi pada perairan yang memiliki unsur hara rendah atau oligotrofik. Pada tipe ini konsentrasi oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman.


(41)

21

2. Tipe clinograde : terjadi pada perairan yang memilki unsur hara tinggi. Pada tipe ini oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau bahkan habis sebelum mencapai dasar perairan.

3. Tipe heterograde : Tipe ini fotosintesis terjadi dominan di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.

Presentase kadar oksigen saturasi adalah presentase yang didapatkan dari perbandingan antara kadar oksigen terlarut yang terukur di perairan dengan kadar oksigen terlarut secara teoritis. Oksigen saturasi dapat dibagi dua yaitu kadar oksigen jenuh dan kadar oksigen tidak jenuh. Kadar oksigen saturasi jenuh terjadi jika kadar oksigen terlarut di perairan sama dengan kadar oksigen terlarut secara teoritis. Kadar oksigen tidak jenuh terjadi jika kadar oksigen terlarut di perairan lebih kecil daripada kadar oksigen secara teoritis (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).

Konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan bervariasi tergantung dari suhu, salinitas, aktivitas fotosintesis oleh alga dan tumbuhan air, dan tekanan atmospher. Sebagai contoh, kelarutan oksigen akan menurun ketika suhu meningkat dan salinitas meningkat. Menurut Holmer et al. (2008), Kegiatan budidaya perairan termasuk karamba jaring apung akan memiliki dampak yaitu pakan yang terbuang dan feses ikan yang akan mengendap di sedimen sebagai bahan organik, sehingga jika aktivitas budidaya tersebut tidak terkontrol maka akan terjadi peningkatan proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri yang memerlukan oksigen dalam prosesnya. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut. Pada perairan tawar, konsentrasi oksigen terlarut dibawah < 4 mg/l akan menyebabkan ketidaknormalan pertumbuhan organisme perairan dan konsentrasi oksigen terlarut dibaawah 2 mg/l akan menyebabkan kematian sebagian besar organisme perairan (UNESCO, 1996).

2.7.5 COD

Chemical Oxygen Demand (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegredable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis (non biodegredable). Pengukuran COD dianggap lebih baik dibandingkan dengan pengukuran BOD karena dapat mengukur kebutuhan oksigen untuk mendegradasi


(42)

bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, seperti selulosa, tanin, lignin, polisakarida, benzena, dan yang lainnya.

Perairan yang memiliki nilai COD kurang dari 20 mg/l digolongkan pada perairan yang tidak tercemar, sedangkan pada perairan yang tercemar biasanya memiliki nilai COD lebih dari 200 mg/l dan pada perairan yang menerima masukan limbah industri biasanya memiliki nilai COD 60.000 mg/l (UNESCO, 1996).

2.8 Parameter Biologi 2.8.1 Klorofil a

Klorofil secara umum merupakan suatu bentuk molekul yang sangat komplek yang tersusun dari empat cincin karbon yang mengelilingi satu atom magnesium. Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis utama yang terdapat pada semua jenis alga dan memiliki rumus kimia C55H72O5N4

Jumlah klorofil a pada setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh karena itu komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap klorofil a di perairan. Tinggi rendahnya konsentrasi klorofil fitoplankton dapat dijadikan petunjuk kelimpahan sel fitoplankton dan potensi bahan organik di suatu perairan (Arinardi, 1996). Pigmen klorofil-a dapat diukur dengan cara ekstrasi dan menggunakan spektrofotometer. Sampel klorofil yang akan diukur di laboratorium sebaiknya menggunakan botol polyethylen yang ditutup dengan kertas gelap untuk mencegah

Mg. Klorofil (dalam bentuk klorofil a, b, dan c) atau zat hijau yang terdapat pada fitoplankton adalah zat yang berperan penting dalam proses fotesintesis fitoplankton tersebut. Klorofil-a sering digunakan untuk mengestimasi biomasa alga secara tidak langsung dalam menentukan status trofik suatu perairan. Pengukuran pigmen klorofil a memiliki kelebihan dibanding metode estimasi biomassa yang lain yaitu klorofil (khususnya klorofil a) di dalam perairan terdapat pada hampir semua jenis fitoplankton (Cooke et al. 2005). Selanjutnya dikatakan oleh Cowx (2002), pertumbuhan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan ketersediaan nutrien-nutrien (pada dasarnya nitrat dan phospat), suhu, dan cahaya. Oleh karena itu konsentrasi klorofil dapat berfluktuasi mengikuti musim ataupun harian. Perairan dengan kandungan nutrien rendah (oligotrofik) biasanya memiliki kandungan klorofil-a kurang dari 2,5 µg/l dan perairan yang memiliki kandungan nutrien tinggi (eutrofik) biasnya memiliki kandungan klorofil-a antara 5-140 µg/l.


(43)

23

masuknya cahaya kedalam botol sehingga dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton pada sampel, dan menggunakan magnesium karbonat sebagai zat pengawet, Sampel klorofil ini hanya dapat bertahan selama 8 jam (UNESCO, 1996)

2.8.2 Fitoplankton

Plankton merupakan organisme hidup yang melayang dalam air laut, payau dan tawar yang pergerakanya secara pasif tergantung pada arus dan angin (Herawati, 2005). Fitoplankton adalah plankton yang bersifat nabati / tumbuhan. Fitoplankton sebagian besar merupakan organisme autotropik dan menjadi produsen primer, dengan demikian fitoplankton bersifat sebagai dasar atau base line dari jaring-jaring makanan pada lingkungan perairan.

Fitoplankton sebagai organisme primer mikro yang sangat penting keberadaannya di dalam ekosistem perairan akan terkena dampak oleh kerusakan perairan akibat aktivitas karamba jaring apung baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh karena itu fitoplankton dapat menentukan seberapa besar kesuburan suatu perairan. Peranan organisme mikro sebagai produsen primer sangat penting dalam suatu perairan karena produsen berarti “pembuat”, dalam hal ini membuat bahan organik dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis sehingga keseimbangan antara bahan organik dan anorganik di dalam perairan dapat berlangsung baik. Keberadaan fitoplankton sebagai organisme primer di dalam suatu ekosistem perairan sangat penting karena akan mempengaruhi tingkat organisme yang lebih tinggi dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia yang mengambil manfaat dari keberadaan ekosistem perairan tersebut.

Menurut UNESCO (1996), komunitas plankton sering digunakan sebagai parameter biologi pada jenis perairan tergenang seperti danau dan Waduk, hal ini disebabkan sifat plankton yang pergerakannya pasif yang menyebabkan komunitas plankton tidak dapat menghindari polutan yang masuk ke perairan ataupun bermigrasi ke habitat yang lain. Kehidupan komunitas fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi, yang mempengaruhinya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sehingga perubahan kondisi lingkungan perairan sedikit banyak akan mempengaruhi organisme air terutama jenis organisme yang hidup menetap seperti fitoplankton. Menurut Suthers dan Rissik (2009), beberapa spesies fitoplankton dapat menggambarkan jenis pencemar yang masuk dalam perairan, seperti fitoplankton


(44)

dari jenis Cladophora glomerata dapat menggambarkan bahwa suatu perairan telah terkontaminasi polutan organik jika spesies tersebut ditemukan dalam jumlah tertentu dan relatif mendominasi perairan. Contoh lain adalah dari jenis Microsystis sp biasanya ditemukan pada perairan yang terkena dampak dari pembuangan bahan organik.

2.9 Permodelan Estimasi Daya Dukung Lingkungan Untuk Karamba Jaring Apung Intensif

Metode Estimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan KJA berbeda tergantung dari tipe KJA. Hal tersebut disebabkan perbedaan dalam produktifitas perairan pada KJA extensif, semi-intensif, dan intensif. Pada KJA extensif lebih mengandalkan pada produktiftas perairan secara alami dalam konsumsi ikan tanpa ada pemberian pakan tambahan, pada KJA semi-intensif memanfaatkan produktifitas alami perairan dan sedikit pakan tambahan, pada KJA intensif menggunakan pakan secara intensif dan dapat menyebabkan produktifitas primer perairan akan berlebih.

Model estimasi daya dukung ini berasumsi bahwa fosfor adalah nutrien utama sebagai pembatas kehidupan fitoplankton, hal ini didasarkan atas penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada perairan danau dan waduk. Menurut Guo dan Li (2003), fosfor merupakan nutrien yang dihasilkan dari wilayah budidaya karamba jaring apung yang akan mempengaruhi daya dukung perairan. Model estimasi daya dukung lingkungan harus mencakup 4 hal, yaitu:

1. Penentuan produktivitas lingkungan

2. Macam pakan yang digunakan kaitannya dengan masukan limbah pakan 3. Bagaimana lingkungan me-respon adanya masukan limbah

4. Berapa jauh masukan dan perubahan yang dapat diterima lingkungan

Model yang digunakan adalah model Dillon dan Rigler (1974) yang dimodifikasi dari model Vollenweider dalam Beveridge (2004). Model Dillon dan Rigler dilakukan dalam 4 langkah, yaitu:

•Langkah 1 :

Menentukan terlebih dahulu konsentrasi total fosfor awal pada badan perairan. Untuk perairan Waduk dapat dihitung dari konsentrasi total fosfor pada permukaan perairan rata-rata pada saat penelitian.


(45)

25

•Langkah 2 :

Fosfor (P) dapat digunakan dalam analisa produktifitas, oleh karena itu P memiliki hubungan dengan biomassa alga. Biomassa alga dapat dihitung menggunakan pendekatan kandungan klorofil-a. Pada langkah 2 ini akan ditentukan berapa total P maksimum yang dapat diterima lingkungan dengan menggunakan pendekatan korelasi antara P dengan klorofil-a.

•Langkah 3 :

Menentukan berapa besar total P yang dihasilkan oleh karamba.

•Langkah 4 :

Pada langkah 4 dilakukan 2 perhitungan, yaitu : 1). Menentukan total P yang dihasilkan karamba di seluruh luasan waduk tetapi masih dalam batasan aman bagi kelestarian lingkungan, dan 2). Mengestimasi produksi total ikan karamba dalam satu tahun yang masih dapat mendukung kelestarian lingkungan.

Model estimasi daya dukung menggunakan beban limbah P ini berkaitan erat dengan flushing rate sebagai mekanisme asimilasi perairan. Penelitian yang dilakukan oleh Dillon (1975) dalam pengembangan model ini memberikan kesimpulan bahwa danau yang memiliki konsentrasi total fosfat tinggi (1,70 dan 2,21 g/m2/tahun) tidak menunjukan kondisi yang eutrofik. Hal tersebut disebabkan oleh flushing rate yang tinggi.

Model estimasi daya dukung menggunakan beban limbah P ini telah dilakukan oleh Pulatsu (2002) mengatakan bahwa model beban limbah P ini dapat digunakan sebagai rencana awal pengembangan danau dan waduk berbasis daya dukung.


(46)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dari Juli hingga Agustus 2009 di perairan Waduk Saguling, Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan dengan dua lingkup kegiatan, yaitu pengambilan sampel sebanyak 3 kali pengambilan yang dilakukan pada bulan Juli dan Agustus serta analisis laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian bogor.

Jenis dan Sumber Data

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

 Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lapangan melalui pengambilan sampel yang selanjutnya dianalisa di laboratorium. Data primer juga didapatkan melalui wawancara dengan petani tambak jaring apung yang dipandu dengan pengisian kuisioner. Adapun data primer yang diambil pada penelitian ini sebagai berikut:

• Parameter fisika, kimia, dan biologi perairan yang diambil pada setiap stasiun pengamatan

• Komunitas fitoplankton yang diambil pada setiap titik stasiun pengamatan

• Kandungan Phospor pada pakan ikan.

• Data jenis pakan yang dipakai dalam kegiatan budidaya di karamba jaring apung, jenis ikan yang dibudidaya, food convertion ratio (FCR), serta strategi pengelolaan karamba jaring apung yang digunakan saat ini yang didapatkan melalui wawancara.

 Data sekunder merupakan data yang telah didokumentasikan yang berhubungan dengan penelitian diperoleh dari instansi terkait. Data sekunder pada penelitian ini adalah:

• Data fisik waduk (luas, volume air, total outflow, dan kedalaman rata-rata)

• Jumlah KJA aktif

• Fluktuasi fisik dan kimia perairan


(47)

27

Metode Penentuan Sampel Wawancara

Data jenis pakan yang digunakan dalam budidaya, jenis ikan budidaya, food

convertion ratio (FCR), jumlah karamba jaring apung yang aktif, serta strategi

pengelolaan karamba jaring apung yang digunakan oleh petani KJA saat ini diperoleh dengan metode survey dengan wawancara yang dipandu dengan pengisian kuisioner (lampiran 1) oleh petani tambak KJA sekitar Waduk Saguling dengan jumlah responden sebanyak 34 responden.

3.4 Metode Penentuan Stasiun pengamatan dan Titik Sampel

Metode penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan metode purposive

sampling, yaitu penentuan stasiun pengamatan yang dilakukan dengan memperhatikan

berbagai pertimbangan kondisi serta keadaan daerah penelitian. Pertimbangan kondisi dan daerah penelitian (Gambar 7) ini lebih dititik beratkan pada stasiun 1 pada area dam (intensitas KJA rendah), stasiun 2 pada daerah budidaya karamba jaring apung di Daerah Bongas (intensitas KJA tinggi), stasiun 3 pada zona transisi di Daerah Maroko (intensitas KJA tinggi), dan stasiun 4 pada daerah inlet Waduk Saguling di Daerah Cihampelas (intensitas KJA rendah).

3.5 Metode Pengambilan Sampel Air dan Fitoplankton

Pengambilan sample air dan organisme primer mikro dilakukan pada setiap stasiun pengamatan dan pada setiap titik sample sebanyak 3 kali pengambilan sampel pada waktu yang berbeda. Sample air diambil secara horizontal pada 6 kedalaman berbeda, yaitu 0 m (permukaan), 1 meter, 2 meter, 3 meter, 4 meter, dan 5 meter menggunakan Van Dorn Water Sampler yang selanjutnya dimasukkan dalam botol polyethylen, khusus untuk sampel klorofil-a menggunakan botol yang telah dilapisi kertas alumunium foil dengan tujuan meminimalkan cahaya yang masuk dalam sampel. Botol-botol sampel tersebut kemudian dimasukan dalam cool box yang telah berisi es untuk dibawa menuju laboratorium.

Sampel fitoplankton diambil menggunakan plankton net standar yaitu no.25 dengan meshsize 0,08 µ m pada setiap titik sample dan pada setiap kedalaman yang sudah ditentukan dengan menggunakan botol penampung berupa botol film bekas. Volume air yang disaring menggunakan planktonnet adalah 100 liter dengan menggunakan ember


(48)

untuk perairan permukaan dan water sampler untuk kedalaman tertentu. kemudian sample plankton yang sudah terkumpul di botol penampung diawetkan dengan larutan lugol dan diberi label (nomor stasiun, posisi titik sample, cuaca, tanggal dan waktu pengambilan). Setelah sample tersebut diawetkan, sample tersebut diletakkan pada wadah tahan es dan diangkut menuju laboratorium untuk diidentifikasi dan dianalisis menggunakan mikroskop.

3.6 Analisis dan identifikasi struktur komunitas fitoplankton

Setelah sample tiba di laboratorium, dari 25 ml sample berisi plankton yang telah diberi pengawet, diambil larutan sample dengan pipet dan diteteskan kedalam sedwick

rafter counting cell berkapasitas 1 ml untuk diamati dibawah mikroskop. Pengamatan

dilakukan pada keseluruhan luasan sedwick rafter counting cell dan Selanjutnya di identifikasi dengan mikroskop pada berbagai perbesaran.

Kelimpahan fitoplankton dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah sel/liter. Kelimpahan plankton dihitung berdasarkan rumus:

N = n x (Vr/Vo) x (1/Vs) Dengan:

N= Jumlah sel per liter

n= Jumlah sel yang diamati

Vr=Volume air pada botol sample (ml) Vo= Volume air yang diamati (ml) Vs= Volume air yang disaring (liter)

3.7 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Pengukuran fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapang / insitu

maupun analisis di laboratorium dengan penggunaan pengawet. Analisis fisika dan kimia perairan menggunakan metode yang tercantum dalam APHA (American Public Helath


(49)

29

Tabel 2. Parameter fisika dan kimia kualitas perairan

parameter satuan alat/metode Kedalaman Lokasi (0,1,2,3,4,5 meter) parameter

fisika

suhu C termometer semua kedalaman insitu

kekeruhan NTU turbidimeter semua kedalaman laboratorium kecerahan m secchi disk

permukaan (0

meter) insitu

TSS mg/l gravimetri semua kedalaman laboratorium parameter

Kimia

Total P mg/l Spektrofotometri semua kedalaman laboratorium Total N mg/l Spektrofotometri semua kedalaman laboratorium pH pH meter semua kedalaman laboratorium DO mg/l DO meter semua kedalaman insitu

DO saturasi % Do meter semua kedalaman insitu

COD mg/l Titrimetri semua kedalaman laboratorium Paramete

r Biologi

Klorofil-a mg/l Spektrofotometr i

semua kedalaman laboratorium Fitoplankton cel/l Mikroskop semua kedalaman laboratorium

Sumber: Sukimin, 2009


(50)

3.8 Analisis Klorofil-a

Analisis klorofil-a dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri (APHA,1992), dengan rumus:

Ca = Konsentrasi Klorofil-a (mg/l)

OD664 = Nilai absorbansi pada panjang gelombang 664 nm OD647 = Nilai absorbansi pada panjang gelombang 647 nm OD630

Setelah diketahui Ca, selanjutnya menentukan konsentrasi klorofil-a per unit volume dengan rumus:

Ve = Volume aseton yang digunakan pada proses ekstrasi (ml) Vt = Volume air yang disaring (ml)

3.9 Metode Estimasi Tingkat Trofik Perairan

Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat trofik adalah menggunakan trofik index / TRIX yang mengacu pada 4 variabel yang erat hubungannya dengan proses eutrofikasi, variabel tersebut adalah total nitrogen, total fosfor, klorofil-a, dan oksigen saturasi (Jorgenson, 2005).

Trofik index / TRIX digunakan untuk menentukan seberapa jauh eutrofikasi yang terjadi secara kuantitatif dengan menggunakan 4 variabel, dengan perhitungan:

= Nilai absorbansi pada panjang gelombang 630 nm

Keterangan:

k : Skala yang digunakan 0-10 (k=10)

n : Jumlah variabel yang digunakan (4)

Mi : Nilai variabel i

Li : Nilai terendah variabel i Ui : Nilai tertinggi Variabel i

TRIX = k n ∑ (Mi-Li) / (Ui-Li)

Ca = 11,851 (OD664) – 1,54 (OD647) – 0,08 (OD630)

Ca x Ve Klorofil-a =


(51)

31

3.10 Metode Estimasi Daya Dukung untuk Kegiatan KJA

3.10.1 Metode Estimasi Total-P dari Pakan Ikan yang Masuk ke Lingkungan

Keterangan :

Penv : fosfor yang lepas ke lingkungan dari aktivitas KJA Pfood : Fosfor yang terkandung pada pakan ikan

Pfish : Fosfor yang terkandung pada tubuh ikan

Besarnya Pfish pada metode ini ditentukan oleh jenis ikan yang dibudidaya. Pfood

•Langkah 1 :

ditentukan dari besarnya fosfor yang terkandung pada pakan dikalikan dengan perbandingan FCR (food convertion ratio). FCR adalah perbandingan dari pemakaian pakan dalam jumlah tertentu yang akan menghasilkan produksi ikan dalam jumlah tertentu (Beveridge, 2004)

3.10.2 Estimasi Produksi Ikan Maksimal yang Dapat Diterima Lingkungan

Metode yang digunakan adalah model Vollenweider yang telah dimodifikasi oleh Dillon dan Rigler (1974) dalam Beveridge (2004). Dalam model analisis daya dukung lingkungan Dillon dan Rigler, terdapat 4 langkah proses, yaitu:

Pengukuran steady state konsentrasi fosfat [P]i

•Langkah 2 :

. Dapat ditentukan melalui konsentrasi rata-rata total fosfor pada badan perairan yang diperoleh dari sejumlah sampel total fosfat pada penelitian.

Menentukan [P] maksimum yang dapat diterima oleh badan air [P]f akibat adanya budidaya KJA intensif. P maksimum yang diperbolehkan di perairan tergenang untuk daerah tropis sistem budidaya intensif adalah 250 mg/m3

•Langkah 3 :

(Beveridge, 2004)

Tentukan kapasitas dari badan perairan bagi kegiatan karamba jaring apung intensif dalam menerima fosfor ( [P] ), dengan rumus :

Penv = Pfood - Pfish


(52)

Selanjutnya adalah menentukan total P yang dihasilkan oleh karamba (Likan

Menentukan R untuk waduk

), dengan

perhitungan :

R = 1

( 1 + 0,747 x p0,507

Menentukan R

)

ikan (asumsi x=0,5)

Rikan = X + [ ( 1 – X ) R ]

Menentukan L

Keterangan: L

fish

ikan

[P] : Kapasitas badan perairan bagi kegiatan karamba jaring apung dalam menerima masukan fosfor

z : Kedalaman rata-rata Waduk Saguling

p : flushing rate (tingkat pencucian) = Q : Total fosfor yang dihasilkan karamba

o/V

Qo : Outflow atau rata-rata volume air yang mengalir keluar waduk V : Volume waduk

Rikan : Besarnya bagian dari total fosfat yang berasal dari ikan dalam KJA yang dapat ditahan oleh sedimen.

Likan

R : Proporsi dari total fosfat terlarut yang akan ditahan oleh sedimen, nilai ini dapat dihitung dengan rumus hasil penelitian Larsen dan Mercier (1976) dalam Beveridge (2004)

: Total P yang dihasilkan dari budidaya ikan dalam KJA

x : Besarnya bagian dari total fosfat yang ditahan selamanya oleh sedimen. Biasanya nilai x berkisar antara 0,45 – 0,55 (dalam perhitungan

menggunakan 0,5)

Likan

=

[P] z p


(53)

33

•Langkah 4

Tentukan total fosfor yang berasal dari karamba yang dapat diterima lingkungan pertahun, dengan perhitungan:

Total P yang dapat diterima waduk = Likan

Setelah diketahui kapasitas penerimaan perairan dalam menerima masukan fosfor, maka dapat diestimasi produksi ikan (ton) yang aman bagi kelestarian lingkungan, dengan perhitungan :

3.11 Analisis Statistik Parameter Kualitas Air

Analisis stastistik parameter kualitas air menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua kelompok berbeda yaitu kelompok kedalaman dan kelompok stasiun. Rancangan acak kelompok dilakukan dengan tujuan melihat pengaruh kedalaman terhadap nilai yang didapat dan melihat pengaruh perbedaan stasiun terhadap nilai yang didapatkan. Analisis rancangan acak kelompok ini menggunakan software SAS dalam perhitungannya.

x A A adalah luas waduk.

Total P yang aman diterima Waduk Penv

=

Estimasi produksi ikan pertahun yang aman bagi kelestarian lingkungan


(1)

Lampiran 11. Kelimpahan Fitoplankton Bulan Juli 2009

0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Jumlah 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Jumlah 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Jumlah 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Jumlah

Cyanophyceae

Anabaena 270 570 120 720 330 570 2580 6810 5700 8580 5460 5490 5940 37980 6600 6990 3690 7620 6540 3390 34830 7560 9390 6660 4740 6390 11220 45960 Agmenelum 90 180 90 60 60 60 540 120 150 240 210 90 90 900 300 360 90 180 150 90 1170 240 180 390 60 120 180 1170 Microcystis 6030 3330 2670 6090 8910 3120 3015012360 12810 10620 9090 9330 5130 59340 13080 11490 9240 8010 9090 4080 54990 9000 14550 10440 10320 6180 6480 56970 Merismopedia 1230 1800 2370 2130 1530 180 9240 5670 6090 1410 4110 2430 3930 23640 6750 6480 3900 2670 4770 2430 27000 3510 2130 5910 2610 4320 2550 21030 Oscilatoria 4020 3000 4740 5790 3720 3870 25140 6720 8280 9000 7890 5820 5670 43380 8880 7200 5340 7470 5760 3750 38400 7830 10320 4170 8970 7830 5610 44730 Phormidium 0 0 450 510 60 150 1170 0 330 660 720 60 0 1770 240 60 90 570 660 90 1710 390 90 630 630 150 300 2190 Spirulina 90 240 180 150 180 30 870 300 330 180 180 60 120 1170 420 300 270 210 210 210 1620 330 240 210 120 150 150 1200

Jumlah 11730 9120 #### #### #### 7980 6969031980 33690 30690 27660 23280 20880168180 36270 32880 22620 26730 27180 14040 159720 28860 36900 28410 27450 25140 26490 173250

Chlorophyceae

Cosmarium 120 90 30 120 240 0 600 210 330 360 60 60 240 1260 60 270 450 330 30 180 1320 210 120 120 240 210 270 1170 Closterium 60 30 30 30 30 60 240 60 90 30 30 0 60 270 90 60 0 60 30 0 240 60 90 30 0 0 60 240 Scenedesmus 90 60 120 30 30 90 420 150 90 90 60 330 150 870 30 300 270 210 180 60 1050 120 150 240 210 90 60 870

Pediastrum 30 0 0 0 0 0 30 0 60 30 0 0 0 90 90 30 60 0 0 0 180 0 30 30 60 60 0 180

Spirogyra 60 60 30 30 30 0 210 120 30 0 180 90 30 450 0 120 30 30 30 30 240 0 0 60 90 0 0 150

Jumlah 360 240 210 210 330 150 1500 540 600 510 330 480 480 2940 270 780 810 630 270 270 3030 390 390 480 600 360 390 2610

Bacillariophyceae 0

Fragillaria 330 720 630 300 630 540 3150 480 330 600 300 330 180 2220 600 450 180 90 480 330 2130 360 480 780 690 750 450 3510 Navicula 30 0 60 60 0 0 150 30 30 60 30 0 0 150 60 60 60 60 0 0 240 30 60 180 60 30 30 390 Nitzschia 180 210 510 90 270 240 1500 870 810 300 750 480 510 3720 720 750 690 840 300 360 3660 900 1080 1170 930 630 510 5220 Surirella 120 270 270 150 90 240 1140 120 780 810 600 420 390 3120 240 540 660 210 150 240 2040 480 540 390 780 300 420 2910 Synedra 2010 1560 2160 1890 1770 540 9930 2280 5760 5250 5880 1380 2460 23010 5400 7140 4980 5340 4140 3960 30960 3900 2910 3240 2280 2100 2250 16680 Cymbella 300 120 180 270 60 30 960 180 360 540 210 30 120 1440 150 120 300 180 390 180 1320 360 240 180 90 210 180 1260 Denticula 0 0 0 0 0 30 30 30 60 60 0 0 30 180 0 30 30 90 0 30 180 0 30 30 90 0 0 150 Gyrosigma 120 60 120 180 90 90 660 180 240 210 180 240 90 1140 420 330 270 180 240 150 1590 240 450 450 300 180 120 1740

Jumlah 3090 2940 3930 2940 2910 1710 17520 4170 8370 7830 7950 2880 3780 34980 7590 9420 7170 6990 5700 5250 42120 6270 5790 6420 5220 4200 3960 31860

Dinophyceae

Ceratium 30 0 0 0 0 0 30 30 120 90 30 0 0 270 0 0 60 0 0 30 90 60 30 120 120 30 0 360 Peridinium 60 120 0 150 60 30 420 270 390 390 210 270 420 1950 540 390 330 480 510 600 2850 300 600 300 120 360 240 1920

Jumlah 90 120 0 150 60 30 450 300 510 480 240 270 420 2220 540 390 390 480 510 630 2940 360 630 420 240 390 240 2280

stasiun 3 stasiun 4


(2)

Cyanophyceae

Anabaena 180 360 420 270 330 60 1620 4890 4020 5220 3210 4560 4890 26790 2910 2880 4290 8190 3600 3360 25230 7890 7590 5790 4710 5850 2820 34650 Agmenelum 0 0 0 0 30 0 30 0 120 0 30 30 0 180 150 90 30 0 30 0 300 90 30 60 0 0 0 180 Microcystis 5220 3690 3960 4890 3750 2880 24390 10860 14910 11130 8940 7350 11730 64920 9690 13530 10560 5250 8280 5310 52620 6960 10560 8910 8010 5310 4260 44010 Merismopedia 480 630 270 330 210 180 2100 5280 3780 3960 2280 2490 3930 21720 5010 4020 3930 2880 3720 2880 22440 2550 2220 2850 3090 2850 1860 15420 Oscilatoria 2520 1410 1590 1260 930 780 8490 5460 3960 3420 3480 3300 2880 22500 5250 4380 6480 5250 3480 3630 28470 5250 4020 3780 4890 4290 2850 25080 Phormidium 120 60 0 150 90 30 450 210 150 300 540 120 0 1320 120 510 150 180 0 90 1050 420 180 330 270 300 120 1620 Spirulina 0 0 150 60 90 0 300 0 120 60 30 150 90 450 150 90 210 210 0 120 780 0 0 0 60 0 30 90

Jumlah 8520 6150 6390 6960 5430 3930 37380 26700 27060 24090 18510 18000 23520137880 23280 25500 25650 21960 19110 19110 13089019110 19110 19110 #### 19110 19110 121050

Chlorophyceae

Cosmarium 90 60 0 30 90 30 300 0 150 60 0 120 60 390 90 0 240 90 120 30 570 60 90 30 30 0 0 210 Closterium 30 90 30 30 0 0 180 0 90 30 150 30 60 360 150 120 30 30 0 60 390 0 0 30 30 30 0 90 Scenedesmus 90 60 150 60 30 120 510 180 150 180 90 270 300 1170 150 120 210 240 120 60 900 300 210 330 210 120 180 1350 Pediastrum 30 0 0 30 0 0 60 30 0 30 60 30 0 150 0 120 30 30 30 0 210 0 60 0 30 30 30 150 Spirogyra 30 60 30 0 0 0 120 30 90 30 60 0 0 210 30 60 0 0 0 0 90 30 30 0 30 0 0 90

Jumlah 270 270 210 150 120 150 1170 240 480 330 360 450 420 2280 420 420 510 390 270 270 2160 270 270 270 270 270 270 1890

Bacillariophyceae

Fragillaria 360 360 270 330 210 150 1680 690 450 450 300 300 330 2520 720 390 330 270 420 0 2130 390 420 330 300 210 360 2010 Navicula 30 60 30 60 90 30 300 0 60 30 30 60 90 270 0 60 60 30 30 60 240 30 30 90 120 60 0 330 Nitzschia 330 180 480 210 90 120 1410 750 780 720 540 420 690 3900 720 870 1140 780 510 360 4380 960 810 720 630 600 690 4410 Surirella 270 90 240 210 90 120 1020 390 480 690 480 330 630 3000 1050 780 450 870 270 120 3540 720 870 480 780 270 420 3540 Synedra 420 510 300 270 330 240 2070 5010 6600 6480 4680 2850 3780 29400 8550 3360 3960 5790 5190 4560 31410 7890 4590 5220 7530 2850 1260 29340 Cymbella 150 150 120 30 60 90 600 270 180 420 270 90 60 1290 0 120 60 120 150 60 510 330 270 360 210 120 90 1380 Denticula 30 0 60 30 0 0 120 0 0 60 30 90 0 180 30 30 0 30 30 30 150 30 30 30 60 60 30 240 Gyrosigma 0 30 60 180 60 0 330 180 90 120 60 0 150 600 270 120 180 210 60 0 840 360 330 270 330 240 0 1530

Jumlah 1590 1380 1560 1320 930 750 7530 7290 8640 8970 6390 4140 5730 41160 11340 5730 6180 8100 6660 6660 43200 6660 6660 6660 6660 6660 6660 42780

Dinophyceae

Ceratium 60 60 30 60 30 0 240 90 60 120 150 60 90 570 270 210 240 180 60 120 1080 180 60 120 180 180 90 810 Peridinium 90 0 60 30 90 30 300 150 330 300 210 240 90 1320 390 360 450 360 270 120 1950 150 480 330 120 150 90 1320


(3)

85

Lampiran 12. Perhitungan Daya Dukung Perairan Waduk Saguling Bagi Kegiatan

KJA Intensif

Perhitungan Total Loading P (P

env

)

P yang terkandung didalam pakan

: 1,19%

1 ton pakan mengandung P sebesar : 11,9 kg

Dengan FCR 1,76 :1

: P

food

= 20,94 kg

P didalam tubuh ikan

: 0,34% (Beveridge, 2004)

P

fish

(P didalam 1 ton ikan)

: 3,4 kg/ton

Maka didapatkan hasil

: P

env

= P

food

– P

fish

P

env

= 20,94 – 3,4

P

env

= 17,54 kg

Perhitungan Daya Dukung :

Tahap 1. mengukur konsentrasi fosfor (Steady State) [P]i dari konsentrasi P total yang

ditentukan berdasarkan rata-rata konsentrasi total fosfor dalam badan air selama

penelitian.

[P]I = 0,0815 mg/l

Tahap 2. Maximum Acceptable Loading Fosfor untuk ikan Carp dan Tilapia (Beveridge,

2004)

[P]f = 250 mg/m

R

=

1

(1 + 0,747 .

p

3

Tahap 3. Penentuan Kapasitas badan air untuk budidaya secara intensif

∆[P]

= [P]f – [P]i

= 250 – 0,0815 = 249,918

Tahap 4. Hitung Retention Coefficient

0.507

R

= 1

(1 + 0,747 . 0,1177

)

0,507

)

R

= 0,7984


(4)

Nilai X yang digunakan adalah 0,5

R

fish

= X + [ ( 1 – X ) R]

R

fish

= 0,5 + [ (1 – 0,5) 0,7984]

R

fish

= 0,8992

Tahap 6. Hitung total fosfor yang berasal dari aktivitas karamba (L

fish

)

Satuan diubah menjadi g/tahun/m

L

2

fish

=

∆[P] x Z x

p

( 1 - R

fish

)

L

fish

( 1 – 0,8992 )

L

= 249,918 x 17,5 x 0,1177

fish

= 5106,8313 g/tahun/m

3

Tahap 7. Hitung total beban P yang dapat diterima lingkungan (Total Acceptable Loading

/ TAL)

TAL = Lfish x Luas Waduk

TAL = 5106,8313 x 4869.10

4

g/tahun

TAL = 2,4865 x 10

11

g/tahun

Tahap 8. Daya Dukung Waduk Saguling pada bulan Juli:

Daya dukung

= TAL / 17,54

= 2,4865 x 10

11

/ 17,54 kg

= 2,4865 x 10

11

/ 17540 g


(5)

86


(6)