Peran Hormon Pada Spermatogenesis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengalami spermiogenesis menjadi: spermatid fase golgi 1-3, terdapatnya granul kromosom; fase cap 4-7, adanya head cap pada granul akrosom yang membesar dan menutupi 13 bagian nukleus; fase akrosom 8-14, nukleus dan head cap memanjang; fase maturasi 15-18 nukleusnya menjadi lebih pendek dan sitoplasma terkondensasi di sepanjang ekor yang telah mulai memanjang; hingga dihasilkan spermatozoa 19 yang dilepaskan ke lumen dengan ekor menghadap ke lumen Krinke, 2000. Pada tikus, 14 tahap siklus spermatogenesis terjadi didalam tubulus seminifeus. Tubulus memiliki pengaturan bertahap dan setiap bagian dari tubulus menunjukkan tahapan yang melibatkan empat atau lima generasi dari sel germinal yang selaras Gambar 2.6. Pada tikus, dibutuhkan waktu selama 12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang terdiri dari 14 tahapan. Sebuah spermatogonium tikus membutuhkan empat siklus untuk akhirnya membentuk spermatozoa, sehingga diperlukan waktu 48 hari untuk menyelesaikan langkah spermatogenesis secara keseluruhan Krinke, 2000.

2.5.3. Peran Hormon Pada Spermatogenesis

Dalam sistem reproduksi pria, regulasi hormonal memiliki peran yang sangat penting. Hipotalamus, hipofisis anterior, dan testis adalah suatu poros yang mengambil bagian terdepan di dalam proses regulasi tersebut. Melalui sekresi hormon-hormon seks, organ-organ tersebut mengatur proses spermatogenesis, spermiogenesis dan membentuk seks sekunder pria Pramudito, 2009. GnRH hipotalamus, yang disekresi ke dalam system portal hipofisis bekerja pada hipofisis pria untuk menstimulasi sintesis dan pelepasan gonadotropin FSH Folicle Stimulating Hormone dan LH Luteinizing Hormone. Kedua hormon ini mengatur aktivitas spermatogenik dan endokrin testis Heffner, L.J. and Schust J.D, 2005. Spermatogenesis tergantung pada testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig pada respon terhadap rangsangan oleh LH yang dilepaskan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kelenjar hipofisis. Pelepasan LH oleh sel hipofisis diatur dengan negative feedback. Kadar sintesis testosteron yang meningkat oleh sel Leydig, menekan pelepasan LH dan sebaliknya kadar rendah testosteron menyebabkan pelepasan LH meningkat Fawcett, D.W., 2002. Hormon gonadotropik lain, FSH melekat secara spesifik dengan sel tubulus seminiferus, yang diperlukan untuk inisiasi spermatogenesis. Tempat kerja utama FSH pada epitel seminiferus adalah di dalam sel sertoli. Aktivasi reseptor FSH menyebabkan terjadinya sintesis reseptor androgen intraseluler dan protein pengikat androgen androgen binding protein. Peningkatan ABP ini menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang penting bagi pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis. Fawcett, D.W., 2002; Heffner, L.J. and Schust J.D, 2005. Produksi testosteron oleh sel Leydig tergantung pada LH yang disekresi oleh hipofisis anterior. Hormon ini melekat pada reseptor spesifik pada membran plasma sel Leydig. Testosteron diperlukan dalam konsentrasi lokal untuk meneruskan spermatogenesis dalam tubulus seminiferous. Dalam darah testosteron penting untuk mempertahankan fungsi kelenjar asesoris reproduksi pria vesikula smeinalis, prostat, daan kelenjar bulbouretral juga untuk pertahanan karakteristik seks sekunder pria pola rambut pubis pria, pertumbuhan jenggot, suara bernada rendah dan pembentukan otot tubuh Fawcett, D.W., 2002. . 2.6. ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasrkan atas reaksi spesifik antara antigen dan atibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Harti, 2014. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Immunoassay melibatkan tes yang menggunakan antibodi sebagai reagen. Immunoassays enzim menggunakan enzim yang melekat pada salah satu reaktan dalam immunoassay untuk kuantifikasi melalui pengembangan warna setelah penambahan substrat kromogen yang cocok. ELISA melibatkan adisi dan reaksi reagen terhadap zat yang terikat fase padat, melalui inkubasi dan pemisahan reagen yang bebas dan terikat menggunakan langkah-langkah pencucian. Reaksi enzimatik digunakan untuk menghasilkan warna dan untuk mengukur reaksi, melalui penggunaan suatu reaktan yang berlabel enzim Walker, John M and Ralph Rapey, 2008. Prinsip dasar ELISA diantaranya Walker, John M and Ralph Rapey, 2008 : a. Perlekatan pasif protein pada fase padat plastik b. Cuci bersih dari protein yang tak terikat c. Penambahan antibodi spesifik d. Penggunaan kompetisi protein inert untuk mencegah reaksi spesifik dengan fase padat plastik e. Langkah pencucian untuk memisahkan reagen yang bereaksi terikat dari yang tidak bereaksi bebas f. Penambahan substrat spesifik yang berubah warna pada katalisis enzim atau substrat dan kromofor berwarna larutan zat warna yang berubah warna karena katalisis enzim g. langkah inkubasi dilakukan untuk reaksi imunologi h. Menghentikan katalisis enzim i. Pembacaan warna dengan spektrofotometer. Teknik pengujian dengan metode ELISA dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya Walker, John M and Ralph Rapey, 2008: 1. Direct ELISA ELISA secara langsung merupakan bentuk yang paling sederhana dari ELISA. Antigen secara pasif dilekatkan pada fase padat palstik selama periode inkubasi. Contoh fase padat yang paling banyak digunakan yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sumuran plat mikrotiter. Setelah dilakukan tahapan pencucian sederhana, antigen terdeteksi oleh adanya penambahan antibodi yang mana berikatan secara kovalen pada suatu enzim. Setelah inkubasi dan pencucian, tes dilanjutkan dengan penambahan kromogen atau substrat dimana adanya aktivitas enzim akan menghasilkan perubahan warna. Semakin besar jumlah enzim maka semakin cepat terjadi perubahan warna. Perubahan warna dibaca setelah waktu yang ditetapkan atau setelah aktivitas enzim dihentikan oleh suatu zat kimia yang berarti pada waktu yang ditetapkan juga. Intensitas warna dibaca dengan menggunakan spektrofotometer. Gambar 2.7. Prinsip ELISA secara langsung Sumber : Walker, John M and Ralph Rapey, 2008 2. Indirect ELISA Pada metode ini menunjukan bahwa warna yang ditimbulkan tidak langsung disebabkan oleh antigen dan antibodi yang bereaksi. Dibutuhkan suatu antibodi antispesies yang dilabel dengan enzim. Antigen secara pasif Antigen melekat pada sumuran dengan adsorbsi pasif dan diinkubasi Sumuran dicuci untuk menghilangkan antigen yang bebas Antibodi yang terkonjugasi dengan enzim ditambahkan dan diinkubasi dengan antigen Sumuran dicuci untuk menghilangkan konjugat yang tak terikat Substrat atau kromofor ditambahkan dan terjadi perubahan warna Reaksi dihentikan dan intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melekat pada sumuran selama inkubasi. Setelah pencucian, antibodi spesifik untuk antigen diinkubasi dengan antigen. Sumuran dicuci dan beberapa antibodi yang berikatan terdeteksi dengan adanya penambahan antibodi antispesies yang berikatan secara kovalen pada enzim. Beberapa antibodi spesifik untuk spesies tertentu. Setelah inkubasi dan pencucian, tes dilanjutkan dengan perubahan warna dan pembacaan intensitas waran dengan spektrofotometer. Gambar 2.8. Prinsip ELISA secara tidak langsung Sumber : Walker, John M and Ralph Rapey, 2008 3. Sandwich ELISA Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada Sumuran dilapisi dengan antigen dan diinkubasi Sumuran dicuci untuk menghilangkan antigen yang bebas Tambahkan antibody yang melawan antigen dan diinkubasi Pencucian antibody yang tak berekasi Tambahkan konjugat anti spesies dan diinkubasi Sumuran dicuci Tambahkan substrat atau kromofor Reaksi dihentikan dan intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dasarnya prinsip kerja dari sandwich ELISA mirip dengan direct ELISA. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik ELISA ini cenderung dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenik sisi interaksi dengan antibodi sehingga setidaknya populasi antibody dapat berikatan atau antigen yang bersifat multivalen seperti polisakarida atau protein. 27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Februari 2014 sampai Mei 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Hewan Animal House, Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan dalam penellitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang sehat berumur 7 – 8 bulan dengan berat 300 –400 g dan fertil yang diperoleh dari Home Industri Animal Alamiah Bogor.

3.2.2. Bahan Uji

Bahan uji yang akan digunakan adalah ekstrak etanol 96 daun sambiloto Andrographis paniculata Nees.. Daun sambiloto diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITRO Bogor. Sebelum dilakukan penelitian, tanaman di determinasi terlebih dahulu di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI Bogor.

3.2.3. Bahan Kimia

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tween 80, aquadest, etanol 96, Na CMC, eter, HCl 2N, NaOH 10, Na 2 SO 4 anhidrat, pereaksi tembaga asetat, kloroform, n-heksana, FeCl 3 , larutan garam gelatin, pereaksi H 2 SO 4 P, CH 3 COOH anhidrat, etil asetat, etanol 95, HCl P, anhidrat asetat, pereaksi Bouchardat P, Pereaksi Mayer P, Pereaksi Dragendorff P, larutan NaCl 0,9, metanol, larutan George, larutan Eosin-Y 1, dan larutan formalin 10.

Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

4 25 111

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Antifertilitas ekstrak N-Heksana biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara IN VIVO

2 15 116

Uji Antifertilitas Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 4 121

Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

0 23 107

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116