Distribusi dan Frekuensi PPOK Determinan PPOK

2.6. Epidemiologi

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi PPOK

Penelitian oleh American Lung Association Epidemiologi and Statistic Unit Research and Program Services 2002 menunjukkan bahwa umur responden penderita PPOK lebih dari 65 tahun mempunyai prevalen rate 124 per 10.000 penduduk sedangkan umur 45-65 tahun mempunyai prevalen rate 30 per 10.000 penduduk. Populasi responden lebih dari 65 tahun lebih tinggi 4 kali dari umur 45-65 tahun. 21 Proporsi penderita bronkhitis kronis yang dirawat di Sub Unit Pulmonologi, UPFLaboratorium Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPADRS Hasan Sadikin tahun 1978-1982 adalah 6,21 dari keseluruhan penyakit paru dan merupakan peringkat ke-6 terbanyak setelah penyakit tuberkulosis paru. Penelitian Nawas dkk di Poliklinik Paru RS Persahabatan Jakarta 1989, diperoleh proporsi penderita PPOK adalah 26, kedua terbanyak setelah TB Paru 65. Dari penelitian Edo dkk di Kalimantan Tengah tahun 1990, prevalen bronkhitis kronis adalah 6,1. 19 Berdasarkan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit SP2RS tahun 1999, bronkhitis dan emfisema merupakan penyebab kematian ke-1 semua umur, terdapat 106 per 1.000 penderita rawat inap RSU di Indonesia dan menempati peringkat ke-10 penyakit terbanyak penderita rawat inap RSU di Indonesia. Jumlah kunjungan penderita PPOK di Unit Rawat Jalan RS Persahabatan tahun 2002 mencapai lebih dari 3.000 kunjungantahun. Di unit gawat darurat kunjungan PPOK mencapai lebih dari 2.000 kunjungan dan pada rawat inap lebih dari 200 penderita per tahun. 9 Universitas Sumatera Utara Menurut penelitian Knaus dan Seneff 1995 yang dikutip oleh Katharina bahwa angka kematian PPOK selama menjalani perawatan ICU karena eksaserbasi kekambuhan penyakitnya adalah 13-24. Menurut penelitian Seneff 1995 bahwa CFR kematian 1 tahun pasca perawatan ICU penderita PPOK berusia lebih atau sama dengan 65 tahun adalah 59. Penderita PPOK yang dirawat di ICU mudah terkena infeksi sekunder karena produksi mukus meningkat sehingga kuman mudah berkembang. 22

2.6.2. Determinan PPOK

a. Usia Dalam perjalanan penyakit PPOK dapat mengubah karakternya, misalnya pada masa bayi timbul asma bronkhial, pada usia 30-40 tahun timbul bronkhitis kronis dan pada usia lanjut timbul emfisema. 7 Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. 20 Umumnya penderita PPOK kebanyakan berusia lanjut 55 tahun, karena terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistem pernapasan dan menurunnya aktifitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas pada penderita PPOK akan meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progresif, makin lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan stamina fisiknya. 13 Pada usia muda 18-21 tahun kekhawatiran terhadap PPOK belum perlu dirisaukan, karena pada usia muda pertumbuhan paru sedang mencapai tingkat yang sangat baik, sebaliknya pada usia yang lebih tua 51-60 tahun merupakan umur yang rawan terhadap terjadinya PPOK. Menurut penelitian Mukono 2003 bahwa wanita Universitas Sumatera Utara memiliki Odds Ratio 2,1 yang berarti bahwa risiko untuk mendapatkan PPOK pada wanita berumur 41-60 tahun adalah 2,1 kali yang berumur 18-21 tahun. 23 b. Jenis Kelamin Pada laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita. 18 Prevalensi PPOK pada laki-laki dewasa di Belanda adalah 10-15 dan pada wanita 1-5 dengan sex ratio 3-10:1. 24 c. Pekerjaan Faktor pekerjaan berhubungan erat dengan unsur alergi dan hiperreaktivitas bronkus. Dan umumnya pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK. 7 d. Status Sosial Ekonomi Pada status ekonomi rendah kemungkinan untuk mendapatkan PPOK lebih tinggi. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang kurang memenuhi persyaratan. 20 e. Tempat Tinggal Orang yang tinggal di kota kemungkinan untuk terkena PPOK lebih tinggi daripada orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi tempat yang berbeda antar kota dan desa. Di kota tingkat polusi udara lebih tinggi dibandingkan di desa. 17,18 Insiden PPOK di daerah perkotaan 1,5 kali lebih banyak daripada di daerah pedesaan. 24 f. Faktor Genetik Alfa – 1 Antitripsin adalah senyawa protein atau polipeptida yang dapat diperoleh dari darah atau cairan bronkus. Defisiensi Alfa – 1 Antitripsin AAT pertama sekali ditemukan oleh Erickson pada tahun 1965 dimana ditemukan satu Universitas Sumatera Utara keluarga yang menderita emfisema yang munculnya terlalu dini dan pada kelompok keluarga ini ditemukan defisiensi Alfa – 1 Antitripsin AAT. Defisiensi AAT adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. 7 g. Gangguan Fungsi Paru Gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A IgAHypogammaglobulin atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK. 25 h. Kebiasaan Merokok Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok dan merupakan penyebab dari 85- 90 kasus PPOK. Kurang lebih 15-20 perokok akan mengalami PPOK. 21 Asap rokok dapat mengganggu aktivitas bulu getar saluran pernapasan, fungsi makrofag dan mengakibatkan hipertrofi kelenjar mukosa. Menurut penelitian Brashear 1978 bahwa penderita PPOK yang merokok mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi 6,9-25 kali dibandingkan dengan bukan perokok. 7 Universitas Sumatera Utara Kematian akibat PPOK terkait dengan jumlah batang rokok yang dihisap, umur mulai merokok, lama merokok dan status merokok yang terkait saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. 10 orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif juga beresiko menderita PPOK. 25 i. Polusi Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab PPOK, tetapi bila ditambah merokok, resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan PPOK adalah zat-zat pereduksi seperti O 2, zat-zat pengoksidasi seperti N 2 O, hidrokarbon, aldehid, Ozon. 20 j. Debu Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 µm atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 µm akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 µm biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi. 7 Debu yang masuk ke saluran pernapasan dapat berakibat terjadinya kerusakan jaringan setempat dari yang ringan sampai kerusakan yang parah dan menetap. Derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh debu dipengaruhi oleh faktor asal dan sifat alamiah debu, jumlah debu yang masuk dan lamanya paparan, reaksi imunologis subjek yang terkena paparan. Sesuai dengan penelitian Amin 1996 di Surabaya dengan desain kohort retrospektif bahwa debu memiliki Resiko Relatif RR 44,86 Universitas Sumatera Utara artinya orang yang terpapar dengan debu untuk terkena bronkhitis kronis 44,86 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar dengan debu. 7

2.7. Komplikasi