Latar Belakang Pengukuran Volume Saliva pada Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radioterapi merupakan metode pengobatan penyakit kanker menggunakan radiasi elektromagnetik atau partikulat berenergi tinggi untuk merusak kemampuan reproduksi sel-sel ganas. Sel yang teradiasi akan mengalami kerusakan yang parah bahkan sel dapat mengalami kematian. Prinsip dasar yang digunakan dalam radioterapi adalah kemampuan menimbulkan kerusakan pada setiap molekul yang dilewati melalui proses ionisasi dan eksitasi. 1,2 Radioterapi dengan sinar eksterna diberikan dalam dosis yang berbeda, untuk harian sebesar 2 - 2,5 Gy selama lima kali setiap minggu. Total dosis terapi yang diberikan untuk area kepala dan leher yang dibenarkan berkisar 45 - 75 Gy tergantung tujuan dan sifat radiasinya, lokasi dan jenis tumor serta teknik yang digunakan. Pengaturan dosis dimaksudkan untuk mengoptimalkan kerusakan jaringan tumor dan memperkecil efek-efek yang merugikan pada jaringan normal. 3 Radioterapi daerah kepala dan leher umumnya diberikan untuk pengobatan kanker pada daerah kepala dan leher misalnya kanker nasofaring, kanker kavum oris, kanker orofaring, kanker hipofaring, kanker laring, kanker parotis dan kanker lidah. 1,4 Tujuan pengobatan pada kanker kepala dan leher menyembuhkan penderita dengan mempertahankan fungsi orofaringeal dan restorasi kosmetik yang bisa diterima.Dosis lethal dan kemampuan reparasi mengakibatkan sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibanding sel normal, kemampuan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker. 4 Radioterapi kepala dan leher selain menghasilkan efek anti tumor, juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan normal yang berada di daerah radiasi. 3 Komplikasi radioterapi dapat berupa komplikasi dini biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi dan komplikasi lanjut biasanya terjadi setelah setelah satu tahun pemberian radioterapi. Salah satu bentuk komplikasi dini radioterapi adalah kerusakan jaringan kelenjar saliva. 4 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Saliva adalah cairan yang kompleks yang terdiri dari sekresi dan cairan sulkus gingival. Saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor, 90 dari saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva mayor yang terdiri dari kelenjar parotis, submandibular, dan sublingual, sekitar 10 dihasilkan oleh kelenjar saliva minor di mukosa mulut lingual, labial, bukal, palatinal, glossopalatinal. 5 Sekresi saliva diklasifikasikan sebagai serus terutama dari kelenjar parotis, mukus dari kelenjar saliva minor, atau campuran yaitu serus dan mukus dari kelenjar submandibular dan sublingual. Rata-rata aliran saliva bervariasi sepanjang hari, meningkat ketika makan dan rendah ketika tidur. 5-7 Produksi volume saliva normal masing-masing individu yang sehat kurang lebih 1,5 liter perhari, sedangkan volume saliva tidak distimulasi pada individu yang sehat dalam semenit berkisar antara 0,25 - 0,35 ml, dibawah 0,1 ml dalam semenit merupakan hiposalivasi, dan diantara 0,1 - 0,25 ml dalam semenit adalah rendah. Sedangkan nilai normal volume saliva distimulasi dalam semenit berkisar antara 1,0 - 3,0 ml, dibawah 0,7 ml merupakan hiposalivasi dan diantara 0,7 - 1,0 ml rendah. 5 Gambaran histologi dari respon jaringan kelenjar saliva yang mengalami inflamasi akan muncul segera setelah terapi radiasi, khususnya terjadi kerusakan pada kelenjar parotid yang lebih sensitif jika dibandingkan dengan kelenjar submandibular atau sublingual sel asinar serus pada kelenjar saliva bersifat lebih radiosensitif terhadap radiasi dibandingkan sel asinar mukus. Beberapa bulan setelah radioterapi dilakukan, inflamasi akan semakin kronik dan kelenjar menjadi fibrosis, adiposis kehilangan pembuluh darah dan seiring dengan itu jaringan parenkim akan mengalami degenerasi. Gangguan fungsi pada kelenjar saliva selama radiasi tersebut menyebabkan berkurangnya sekresi saliva atau xerostomia. sehingga konsentrasi saliva menjadi kental dan lengket. 4,6 Radioterapi pada kelenjar saliva dapat menyebabkan berkurangnya volume saliva dengan gejala saliva menjadi kental dan lengket. Beberapa pasien tidak dapat memproduksi 1 ml 15 tetes saliva dalam waktu 10 menit. Namun penurunan volume saliva ini tergantung pada respon individual. Gejala yang terjadi seperti keluhan mulut kering dengan perasaan tidak nyaman, sukar berbicara dan menelan, gangguan pengecapan, mukositis, kandidiasis trismus, mual dan muntah. Bila kelenjar parotis terkena sinar radiasi pada saat pengobatan, pengurangan saliva adalah dampaknya dan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA prognosis untuk pengobatan selanjutnya sangat buruk. Kenyataanya semakin tinggi intensitas radioterapi semakin buruk prognosis xerostomia. Derajat kerusakan kelenjar saliva bergantung pada jumlah kelenjar saliva yang terpapar radiasi dan dosisnya. Permulaan dosis radiasi berkisar 23 dan 25 Gy merupakan ambang destruksi permanen kelenjar saliva. 2,4 Produksi saliva dengan cepat menurun dan dapat berkurang 40 setelah 1 minggu tindakan radioterapi kanker daerah kepala dan leher. Pasien yang menerima radioterapi kanker daerah kepala dan leher pada minggu ke-1 sampai ke-6, volume saliva akan berkurang sehingga jumlah sekresi menjadi 40, 29, 19, 9 dan 5 berturut-turut dari rata-rata sebelum mendapat radioterapi pada daerah kepala dan leher. 2,4,6 Menurut penelitian Bruno C, Jham et al 2007 dilakukan dalam tiga tahap yaitu sebelum radioterapi melibatkan 207 pasien kanker kepala dan leher dengan 19 orang 9,1 mengalami xerostomia berkurangnya volume saliva, Kemudian penelitian kepada pasien yang sedang menjalani radioterapi, jumlah subjek telah berkurang menjadi 131 pasien dan 82 62,6 mengalami xerostomia. sedangkan setelah berakhirnya radioterapi minimal 3 bulan setelah radioterapi berakhir hanya tersisa 109 orang pasien dengan 58 orang 53,2 yang mengalami xerostomia. 8 Radioterapi pada daerah kepala dan leher memiliki efek samping terhadap kelenjar saliva sehingga menyebabkan terjadi penurunan volume xerostomia 2,3,6,9,10 Penelitian mengenai pengukuran volume saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher dengan metode spitting masih belum pernah dilakukan di Medan. Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengukuran Volume Saliva pada Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.2 Rumusan Masalah