BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Minangkabau merupakan salah satu diantara suku bangsa yang menempati wilayah bagian tengah pulau Sumatera. Sebaian besar orang Minagkabau menempati
wilayah provinsi Sumatera Barat. Dalam Tambo sebagai suatu sejarah tradisional Minagkabau dijelaskan bahwa alam Minangkabau secara geografis terdiri dari dua
wilayah utama, yaitu kawasan Luhak Nan tigo dan Rantau.
1
Kekuasaan antara Luhak dengan Rantau diungkapkan dalam pepatah adat yang berbunyi Luhak Bapangulu, Rantau Barajo. Dimana artinya adalah kekuasaan
di Luhak adalah penghulu-penghulu sedangkan di Rantau dikuasakan kepada raja-raja kecil, artinya Luhak terdiri dari Wali Nagari yang mewakili pemerintahan yang
berdiri sendiri. Luhak Nan Tigo terletak
di pedalaman yang merupakan tempat asal orang Minagkabau. Karena terletak di pedalaman, maka Luhak Nan Tigo disebut juga darek atau darat yang merupakan
kawasan pusat atau inti dari wilayah Minagkabau, sedangkan Rantau adalah daerah pinggiran atau daerah yang mengelilingi kawasan pusat tersebut.
Luhak Nan Tigo terdiri dari tiga bagian, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Dalam perkembangan sejarahnya, Rantau pada
mulanya merupakan daerah kolonisasi tempat orang Minagkabau merantau. Akhirnya Rantau berkembang menjadi pemukiman yang terpisah dari kawasan pusat. Tetapi
secara kultural, daerah Rantau tetap menghubungkan diri dengan kawasan pusat. Sehingga di alam Minangkabau berlaku adat yang sama yang telah disusun oleh
Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan.
1
LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Padang : Surya Citra Offset. 2002. hal.22
Universitas Sumatera Utara
Nagari merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dalam wilayah kesatuan masyarakat Minangkabau yang mempunyai batasan-batasan alam
yang jelas, dibawah pimpinan penghulu, mempunyai aturan-aturan tersendiri serta menjalankan pengurusan berdasarkan musyawarah mufakat.
2
Secara histories pemerintahan nagari merupakan sebuah pemerintahan tradisional yang diperintah oleh penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan
yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat. Nagari sebagai unit
territorial pada saat yang sama juga merupakan unit politik para penghulu di setiap nagari dengan kelembagaannya berada di bawah naungan Badan Perwakilan Anak
Nagari BPAN yang dulu dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari KAN. Pada awal adanya nagari di Minagkabau, nagari itu telah mempunyai Limbago
atau Lembaga sebagai institusi yang mengatur kehidupan masyarakat nagari dalam bidang adat, budaya, hukum, ekonomi, pertanian, sosial, pemerintahan, dan agama.
Limbago itu disebut dengan Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai.
3
Maka semenjak tanggal 1 Agustus 1983, seluruh nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat dileburkan menjadi pemerintahan desa. Jorong yang menjadi bagian
nagari waktu itu langsung dijadikan desa, sehingga nagari dengan sendirinya menjadi hilang. Pemerintahan desa yang berasal dari budaya Jawa dipimpin oleh seorang
Kepala Desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah Sistem
Pemerintahan Nagari di wilayah Minagkabau diyakini telah diterapkan jauh sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung. Tetapi semuanya itu berubah semenjak
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang pemerintahan Desa yang telah menyeragamkan sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia.
2
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
3
Peraturan Daerah Sumatera Barat. Ibid
Universitas Sumatera Utara
kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang
mengangkat melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa LMD.
4
Perubahan ini bukan hanya perubahan nama, tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan karakter dan spirit yang menyertainya. Nagari yang berjumlah 543 di
Sumatera Barat diubah menjadi 3.138 desa.
5
Dengan ketentuan demikian maka tidak ada kontrol sosial dari bawah, bahkan dari samping sekalipun, yang ada hanyalah kontrol dari atas. Dalam Pasal 10 ayat 2
Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa disebutkan bahwa “Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa,
Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Perubahan menjadi desa yang demikian
maksudnya agar memperoleh dana bantuan pembangunan desa Bangdes yang lebih banyak dari pemerintah pusat. Bila dicermati lebih lanjut, perbedaan antara
pemerintahan nagari dan pemerintahan desa dapat dilihat pertama dalam segi keanggotaan.
Penyebutan bagi LMD sebagai lembaga permusyawaratan yang didalamnya anggota yang menjadi wakil dari masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya dengan
bermusyawarah jelas hanya sebagai “obat penawar” yang sama sekali tidak menyembuhkan penyakit apapun. Sebab bersamaan dengan obat penawar itu
sekaligus tersuntikkan racun yang membinasakan aspirasi masyarakat, karena Kepala Desa adalah “penguasa” LMD itu sendiri. Sehingga praktis tidak ada kekuatan yang
mampu berperan sebagai penyeimbang Kepala Desa.
4
Jurnal Analisa Politik. Volume 2 Nomor 7. Padang : Laboratorium Ilmu Politik Unand. 2004. hal.54
5
LKAAM. Op.C it.. hal. 29
Universitas Sumatera Utara
Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa LMD”.
Keanggotan LMD berbeda dengan keanggotaan BPAN. Keanggotaan BPAN dipilih dari unsur Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang
wakil dari tokoh-tokoh perempuan Minagkabau, utusan Jorong serta utusan pemuda. Keanggotaan BPAN diresmikan secara administratif dengan keputusan Bupati. BPAN
juga merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai mitra pemerintahan nagari.
Perbedaan Sistem Pemerintahan Nagari dengan Sistem pemerintahan Desa yang kedua yaitu dalam segi pelaksanaan dan kedudukan dalam pemerintahan. Dari
Peraturan Daerah sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dapat disimpulkan bahwa BPAN mempunyai kedudukan yang
penting dan berbeda dengan LMD. Pertanggungjawaban Wali Nagari dapat diminta melalui BPAN dan BPAN dapat melakukan fungsi pengawasan dalam pelaksanaan
pemerintahan nagari. Ini berbeda dengan LMD, yaitu tidak mempunyai peran yang vital dalam hal keputusan desa dan Kepala Desa hanya menyampaikan keterangan
pertanggungjawaban kepada LMD. Dengan demikian kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan
spesifiknya Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000, telah mampu menggeser peran LMD, yang hanya sebagai sebuah lembaga yang melegitimasi
keputusan desa menjadi sebuah lembaga perwakilan yang mempunyai peran pengawasan terhadap pemerintahan di tingkat lokal yaitu pemerintahan nagari.
Pengangkatan seseorang dalam struktur jabatan pemerintahan desa, diawali dengan pengajuan nama-nama kepada pejabat yang berwenang mengangkat yakni
Sekretaris Desa diangkat oleh Bupati dan Kepala Urusan diangkat oleh Camat atas
Universitas Sumatera Utara
nama Bupati, setelah mendengar pertimbangan dari ketua LMD. Pengangkatan dilakukan setelah para calon menempuh seleksi dalam bentuk penyaringan. Hal ini
dilakukan untuk menjamin kualifikasi personalia pemerintahan desa. Apabila dibandingkan dengan satuan staf yang ada dalam pemerintahan
nagari, jumlah aparat dalam satuan staf tersebut berbeda. Dalam pemerintahan nagari yang berkedudukan sebagi unsur staf pembantu Wali Nagari dan memimpin
Sekretariat Nagari adalah Sekretaris Nagari. Selain itu aparat dalam pemerintahan nagari dilengkapi dengan unsur pelaksana Wali Nagari yang di dalam pemerintahan
desa hal tersebut tidak ada. Tugas yang seharunya dijalankan oleh pelaksana teknis fungsional semasa
pemerintahan desa dijalankan oleh Kepala Dusun beserta beberapa para staf yang ditetapkan oleh Kepala Desa. Lebih lanjut mengenai pemerintahan nagari, yang dalam
struktur organisasinya memiliki Kepala Jorong. Jumlah Kepala Jorong dalam sebuah nagari disesuaikan dengan keadaan nagari yang bersangkutan.
Pemerintahan desa memang telah berjalan sejak tahun 1983 di seluruh Indonesia. Tetapi bagi kebanyakan daerah umumnya dan Sumatera Barat khususnya,
ternyata pemerintahan desa telah menimbulkan berbagai dampak terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Adapun dampak dihilangkannya Sistem Pemerintahan Nagari
di Sumatera Barat adalah :
6
1. Jati diri masyarakat Minagkabau mengalami erosi. Pemahaman dan
penghayatan falsafah adat Minagkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru
mengalami degradasi,
6
LKAAM. Ibid. hal.31
Universitas Sumatera Utara
2. Anak nagari tidak lagi mempunyai kewenangan politis. Hubungan erat yang
pernah terjalin antara pemerintah dengan anak nagari dan masyarakat adat menjadi semakin berkurang, bahkan hilang,
3. Hilangnya batas-batas nagari sehingga wilayah nagari terpecah. Pembentukan
dan pemekaran desa menyebabkan hilangnya salah satu syarat adanya wilayah suatu nagari, yaitu mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas,
4. Masyarakat kehilangan tokoh Angku Palo atau Wali Nagari. Fungsinya tidak
dapat digantikan oleh Kepala Desa atau Lurah. Wali Nagari adalah tokoh kharismatik yang sangat dihormati dan menjadi panutan bagi anak nagari.
Wali Nagari tidak hanya menguasai dan memahami seluk beluk pemerintahan nagari tetapi juga menguasai dan memahami adat istiadat serta taat beragama.
Sedangkan kebanyakan dari Kepala Desa atau Lurah merupakan orang-orang muda yang kurang memahami adat istiadat setempat. Bahkan ada diantara
mereka bukan berasal dari desa setempat, 5.
Sistem Sentralistik yang diterapkan selama pemerintahan orde baru sangat mengurangi nilai-nilai luhur yang diwarisi sejak lama seperti gotong-royong
dan sistem demokrasi, 6.
Aspirasi anak nagari dalam pembangunan kehilangan wadah aslinya yaitu nagari,
7. Generasi muda Minang sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami
tentang nagari, terutama mereka yang tinggal di kota, 8.
Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin terpinggirkan dan kehilangan fungsinya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaannya Sistem Pemerintahan Desa belum memberi gambaran yang jelas terhadap hal-hal yang bersifat umum terutama untuk pelaksanaan fungsi-
fungsi sosial dalam masyarakat belum tersentuh termasuk dalam hal pembinaan adat dan budaya yang hanya dikelola secara umum, dimana Kepala Desa berfungsi sebagai
Pembina Adat. Kondisi ini telah mematikan fungsi-fungsi sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk fungsi adat yang kurang berpengaruh dalam pelaksanaan
pemerintahan. Dalam pelaksanaan pemerintahan yang menonjol justru sistem pemerintahannya, dan sistem kontrol sosial masyarakat tidak ada sama sekali.
Seiring dengan bergulirnya zaman Reformasi yang menuntut diberlakukan Otonomi Daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah yang kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 60 Tahun 1999. Maka di Provinsi Sumatera Barat disikapi dengan merespon
keinginan masyarakat terutama dari pemuka adat untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari. Berbagai tantangan telah dihadapi dalam pelaksanaannya
karena sudah tiga puluh dua tahun masyarakat Sumatera Barat kehilangan jati diri nagari sebagai pusat pemerintahan terendah.
Pemberlakuan Undang-Undang ini mendapat sambutan positif dari mayoritas masyarakat di daerah, sebab secara otomatis daerah diberikan kesempatan yang luas
untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya. Bahkan daerah juga diberikan wewenang untuk membentuk dan menentukan sendiri
sistem pemerintahan terendah di daerahnya sesuai dengan karakter daerah masing- masing.
Khusus di daerah Minangkabau yang menempati wilayah Sumatera Barat, respon atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diwujudkan dengan
penerapan kembali Sistem Pemerintahan Nagari dengan semangat “Babaliak ka
Universitas Sumatera Utara
Nagari” sebagai unit pemerintahan terendah yang diatur dengan Peraturan Daerah PERDA Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok
Pemerintahan Nagari. Untuk mewujudkan hal di atas maka ditetapkanlah Pemerintahan Nagari
sebagai unit pemerintahan terendah di seluruh Kota atau Kabupaten di Sumatera Barat kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai. Khusus di wilayah Kabupaten Lima Puluh
Kota untuk mengganti Pemerintahan Desa menjadi Pemerintahan Nagari maka dituangkanlah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun
2001 tentang Pemerintahan Nagari, dimana Nagari Guguak VIII Koto tergabung di dalamnya.
Setelah resmi dilaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari ini, maka secara bertahap dan
pasti seluruh bentuk Sistem Pemerintahan Desa yang diterapkan selama masa Orde Baru telah berubah menjadi Pemerintahan Nagari. Dalam pelaksanaannya, Sistem
Pemerintahan Nagari dilaksanakan oleh Wali Nagari sebagai pimpinan Eksekutif yang dibantu oleh Badan Perwakilan Anak Nagari BPAN sebagai lembaga Legislatif.
Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari ini merupakan bentuk pelaksanaan otonomi dalam skala kecil, dimana nagari berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Terlihat bahwa nagari telah mengalami bongkar pasang yang sedemikian rupa. Beragamnya kebijakan serta berganti-gantinya peraturan dan ketentuan menyangkut
nagari dari waktu ke waktu ternyata tidak membawa dinamika nagari kearah yang lebih baik. Justru secara mendasar semua peraturan tersebut telah menyebabkan
memudarnya nilai-nilai lokal adat Minangkabau dalam masyarakat nagari yang pada dasarnya demokratis.
Universitas Sumatera Utara
Bedasarkan uraian di atas peneliti ingin mempelajari dan meneliti dalam sebuah diskripsi mengenai Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau, terutama
mengenai bagaimanakah pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di Minagkabau dari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sampai setelah
belakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan studi kasus pada Nagari Guguak VIII Koto yang tergabung dalam Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera
Barat. Sebagai sebuah sistem yang diciptakan oleh manusia, tentu Sistem
Pemerintahan Nagari memiliki kendala dan memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, terutama menyangkut aspek-aspek teknis, masalah kualitas sumber daya manusia
SDM aparat Pemerintahan Nagari. Bagaimana Sistem Pemerintahan Nagari menjawab masalah tersebut? Masalah-masalah tersebut diangkat dalam tulisan ini
sebagai usaha untuk membuka wacana menuju pembangunan masyarakat, dengan
judul Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau : Studi Kasus pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat
.
1.2 RUMUSAN MASALAH