Mitra Kerja LSM Rifka Annisa
60 dalam kegiatan pelaksanaan pendampingan adalah adanya prinsip yang
sejalan dengan konteks kekerasan yang terjadi. Berikut ini prinsip yang akan menjadi pedoman bagi para konselor untuk melakukan
pendampingan terhadap korban dan pelaku KDRT, antara lain : a.
Prinsip pertama dalam melakukan pendampingan adalah Non Judgemental yaitu tidak melakukan penilaian negatif terhadap
korban kekerasan sehingga korban tidak menjadi korban untuk kedua kalinya.
b. Prinsip kedua, Egaliter atau kesetaraan antara konselor dan
korban. Sering kali konselor ditempatkan sebagai orang yang dianggap ahli dalam memberikan penyelesaian masalah.
Namun dalam proses pendampingan berperspektif gender ini korban akan ditempatkan sebagai orang yang memiliki
kemampuan dalam menyelesaikan persoalannya sendiri. Dalam hal ini fungsi dari pendamping akan cenderung sebagai pihak
yang memfasilitasi korban dalam menemukan jalan keluar yang paling baik menurutnya.
c. Prinsip ketiga yang merupakan pemberdayaan korban KDRT,
dalam hal ini pemberdayaan bagi korban berisi informasi tentang hak-hak kemerdekaan seseorang, hak-hak hukum,
proses hukum yang akan dilakui dan proses non litigasi yang dapat ditempuh termasuk tentang bagaimana memberikan
dukungan psikologis bagi korban.
61 d.
Prinsip keempat, self determination atau pengambilan keputusan pada korban sendiri dengan adanya prinsip
pemberdayaan, korban mendapat banyak informasi untuk menentukan hidupnya sendiri berdasarkan berbagai informasi
dan pertimbangan yang telah diperolehnya. Prinsip-prinsip diatas sesuai dengan apa yang diterapkan dalam pendampingan
korban KDRT. Seperti yang diungkapkan oleh ibu “In” selaku pendamping psikologi di LSM Rifka Annisa, bahwa:
“Pendampingan di Rifka Annisa tidak bersifat menggurui klien tapi disini kita memberikan informasi-informasi untuk si korban dapat
memilih jalan hidupnya sendiri. Dengan kita membangun suasana nyaman sehingga klien bisa terbuka dengan permasalahannya dan
tidak menutup-
nutupi..” e.
Prinsip kelima merupakan kerahasiaan yang tujuannya tetap menjaga kerahasiaan masalah yang dihadapi oleh korban untuk
memberikan rasa aman dan nyaman sehingga dapat memperlancar proses penanganan kasus. Dan prinsip terakhir
yang keenam adalah intervensi crisis, yakni intervensi terhadap situasi darurat korban karena tidak sedikit korban yang datang
dalam kondisi terluka secara fisik atau dalam kondisi kecemasan yang berlebihan. Ketika hal tersebut terjadi, Rifka
Annisa memanfaatkan jaringan layanan medis yang terdapat di wilayah Yogyakarta. Diperkuat dari ungkapan “In” saat di
wawancarai: “...memunculkan kerjasama berjejaring karena Rifka Annisa tidak
melakukan pendampingan sendiri, ada beberapa hal yang misalnya