34
BAB III PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN UDARA
MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
A. Tinjauan tentang penerbangan dan prinsip-prinsip penerbangan
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem pengangkutan nasional yang memiliki posisi penting dan
strategis dalam pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan. Pengangkutan juga merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian,
membuka akses ke daerah pedalaman atau terpencil, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan kedaulatan negara, serta mempengaruhi semua
aspek kehidupan masyarakat. Pentingnya pengangkutan tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang di dalam negeri
maupun ke luar negeri, serta berperan sebagai pendorong, penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah.
Peran dan fungsi pengangkutan udara bagi Indonesia mempunyai posisi strategis ditinjau dari berbagai aspek. Pengangkutan udara merupakan sarana
penting bagi pengembangan industri pariwisata di Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya dan tradisi. Peranan dan fungsi pengangkutan udara yang
sangat penting ini terutama ditinjau dari segi politik dan ekonomi,telah menyebabkan perkembangan yang sangat pesat terhadap dunia penerbangan
35
nasional. Tanpa adanya angkutan, pembangunan di Indonesiapasti akan macet dan tak akan dapat mencapai sasaran yang dituju.
37
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta
fasilitas penunjang fasilitas umum. Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara diatas daratan dan perairan Indonesia. Bandar udara adalah kawasan di
daratan danatau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar
muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas
pokok dan fasilitas penunjang lainnya. Menurut sejarahnya, penerbangan pertama di Indonesia terjadi pada
tanggal 19 Februari 1913, ketika J.W.E.R. Hilgers, orang Belanda, melakukan penerbangan di atas kota Surabaya dengan sebuah pesawat Fokker. Peristiwa
tersebut ternyata bukan hanya merupakan penerbangan pertama, tetapi juga peristiwa kecelakaan pertama yang terjadi di Indonesia, karena pada hari itu
pesawat yang ditumpangi Hilgers jatuh di Desa Baliweri, dekat Surabaya.
38
Pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap
permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Pesawat udara ada yang
37
H. Hasnil Basri Siregar, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Fakultas Hukum USU, Medan, 2002, hlm.2.
36
digolongkan pesawat udara negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan oleh Angkatan Darat, Laut, dan Udara,
serta Kepolisian Republik Indonesia dan pesawat udara instansi pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai
dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku. Pesawat udara sipil meliputi pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan pengangkutan udara niaga dan
bukan niaga.Adapun Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas : manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan; adil dan merata; keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan; kepentingan umum; keterpaduan; tegaknya hukum; kemandirian; keterbukaan dan anti monopoli; berwawasan lingkungan hidup; kedaulatan
negara; kebangsaan; dan kenusantaraan. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, kegiatan pengangkutan udara terdiri atas : pengangkutan udara niaga dan pengangkutan udara bukan niaga. Pengangkutan udara niaga yang
dimaksud terdiri atas pengangkutan udara niaga dalam negeri dan pengangkutan niaga luar negeri. Pasal 83 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 menyatakan
kegiatan pengangkutan udara dapat dilakukan secara berjadwal dantidak berjadwal oleh badan usaha pengangkutan udara niaga nasional dantidak asing
untuk mengangkut penumpang dan kargo, atau khusus mengangkut kargo. Pengangkutan udara dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha
pengangkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha pengangkutan udara niaga. Pengangkutan udara berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha pengangkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha pengangkutan udara niaga berjadwal. Badan usaha pengangkutan udara niaga
37
berjadwal tersebut dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan pengangkutan udara tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari
Menteri yang membidangi urusan penerbangan. Kegiatan pengangkutan udara tidak berjadwal yang bersifat sementara dimaksud tidak menyebabkan
terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal
lainnya.Perusahaan badan hukum tersebut boleh Badan Usaha Milik Negara BUMN seperti PT.Garuda Indonesia Airways Persero dan PT.Merpati
Nusantara Airlines Persero. Boleh juga Badan Usaha Milik Swasta BUMS, seperti PT.Lion Air, PT.Sriwijaya Air, PT.Susi Air dll. Jadi, pada pengangkutan
udara niaga adalah perusahaan pengangkutan udara yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan pesawat udara niaga dengan memungut bayaran.
39
Menurutasasnya, Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2009 mencegah terjadinya tindakan diskriminatif. Dikatakan bahwa penyelenggaraan
penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi, golongan, partai politik maupun atas dasar kebangsaan. Undang-Undang
Badan usaha pengangkutan udara wajib mengangkut orang danatau kargo atau pos setelah disepakatinya peerjanjian pengangkutan udara. Badan usaha
pengangkutan udara wajib memberikan pelayanan yang layak kepada setiap pengguna jasa pengangkutan niaga sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang
telah disapakati.
39
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm.62.
38
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga melarang adanya diskriminasi dalam hukum. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 mengatakan setiap warga negara Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum, demikian juga dalam Undang- Undang No.1 Tahun 2009 menjamin semua orang baik warga negara Indonesia
maupun asing diperlakukan sama dalam angkutan udara, tidak diperkenankan diskriminasi atas dasar agama, suku, golongan, partai politik, warna kulit maupun
bangsa. Dalam angkutan udara diskriminasi diperbolehkan atas dasar jasa yang diberikan misalnya penumpang first class akan berbeda pelayanannya dengan
commercial class dan seterusnya. Badan usaha pengangkutan udara niaga
bertanggung jawab mengangkut orang danatau kargo atau pos setelah di
sepakatinya perjanjian pengangkutan udara.
Pengangkutan udara dalam menjalankan usahanya, mungkin menimbulkan kerugian-kerugian baik sengaja atau tidak. Karena itu pengangkutan udara wajib
bertangung jawab terhadap penumpang yang mengalami kerugian karena adanya kesalahan dari pihak pengangkutan udara baik yang sengaja atau tidak. Pada
dasarnya apabila dilihat dari tata cara pembuktian, prinsip tanggung jawab perdata dalam bidang hukum pengangkutan udara ada tiga macam yaitu :
40
1. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan the based on fault, liability based
on fault principle Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan pembuktian kesalahan tergugat
harus dilakukan oleh penggungat yang dirugikan. Sebagi contoh, prinsip ini di Indonesia, dianut dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Perdata Pasal 1401
BW Belanda yang dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum
40
TotoTohir Suriaatmadja, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm.27.
39
onrechtmatigedaad dan pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, penggugat harus membuktikan
unsur kesalahan yang terkandung dalam pasal 1365 KHU Perdata. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :
“Setiap Perbuatan melawan hukum, yang oleh karena itu menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan
kerugian tersebut mengganti kerugian
Pasal 1367 KUH Perdata berbunyi : “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
dibawah pengawasannya.”
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan berdasarkan pasal
1365 KUH Perdata adalah: pertama, adanya perbuatan melawan hukum dari pihak
tergugat; kedua, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya;ketiga, adanya
kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat dari ‘kesalahan’ disini adalah dalam arti pengertian umum, baik karena kesengajaan maupun kelalaian. Jadi,
dalam hal pengangkutan umum untuk penumpang berlaku prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan based on fault liability. Akan tetapi, lain halnya dalam
pengangkutan umum untuk barang. 2.
Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga rebuttable presumption of liability principle
Prinsip atas dasar praduga yaitu bahwa tergugat dianggap selalu bersalah kecuali apabila dapat membuktikan hal-hal yang dapat membebaskan dari
kesalahan. Jadi, dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya beban pembuktian menjadi terbalik yaitu pada tergugat untuk membuktikan
bahwa tergugat tidak bersalah. Prinsip ini diatur oleh Ordonansi Pengangkutan
40
Udara Nomor 100 Tahun 1939 yaitu melalui penafsiran Pasal 24 ayat 1, 25 ayat 1, 28 dan 29 yang sama dengan pasal 17, 18 ayat 1, 19, dan 20 Konvensi
Warsawa. Pasal 25 ayat 1 Ordonansi Pengangkutan Udara menyatakan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sebagai akibat dari
kemusnahan, kehilangan atau kerusakan kargo, bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan udara. Pasal 28 Ordonansi
Pengangkutan Udara menyatakan, jika tidak ada persetjuan lain maka pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena keterlambatan dalam
pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo. Pengaturan mengenai prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah
dapat ditemukan dalam pasal 468 Kitab Undang-Undang Dagang. Pasal 468 KUH Dagang :
“Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahan”.
Pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk
menghindarkan kerugian atau bahwa ia tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut; atau pengangkut membuktikan bahwa kecelakan disebabkan kesalahan
pengemudian. Bila teori ‘kesalahan’ sepenuhnya diberlakukan, dimana pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul kecuali dapat
dibuktikan adanya unsur kesalahan dari pihak pengangkutan udara, akan sangat menyelitkan pihak korban tergugat. Hampir merupakan sesuatu hal yang
mustahil bagi orang kebanyakan untuk mejelaskan sistem yang demikian ruwet complicated dari penerbangan dan menemukan kesalahan yang tepat, misalnya
apa yang telah diperbuat oleh pilot adanya kelalaian dalam pemeliharaan pesawat
41
terutama mengenai bagian-bagian tertentu yang sangat teknis sifatnya, dan sebagainya. Suatu kecelakan pesawat udara seringkali menghancurkan segala
sesuatu yang dapat dijadikan barang bukti, dan menyebabkan orang-orang yang kemungkinan dapat dijadikan saksi meninggal dunia. Oleh karena itu, untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, Konvensi Warsawa dan Ordonansi Pengangkutan Udara telah meletakkan beban pembuktian pada pundak
pengangkut udara.
41
3. Prinsip tanggung jawab mutlak no fault liability, strict liability, absolute
liability principle. Prinsip tanggung jawab mutlak strict liabilityabsolute liability yaitu
bahwa pihak yang menimbulkan kerugian tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak melihat siapa yang bersalah. Dengan demikian
kesalahan bukan merupakan unsur yang harus dibicarakan, diperhatikan atau dibuktikan menurut prinsip tanggung jawab mutlak ini.Prinsip tanggung jawab
mutlak dalam hukum pengangkutan udara dianut, dalam Protokol Montreal 1975 Nomor 4 dengan pengecualian sebagaimana disebutkan dalam pasal IV Protokol
atau Pasal 18 ayat 3 Konvensi Warsawa-The Hague. Begitu juga dalam Konvensi Montreal 1999 yang menampung segala perkembangan dari Konvensi
Warsawa 1929 berikut protokol dan konvensi perubahannya, telah menganut prinsip tanggung jawab mutlak.Tanggung jawabmutlak secara teoritis terbagi
dalam dua macam yaitu absolute liability principle dan strict liability principle. Kedua-duanya diartikan sebagai tanggung jawab mutlak. Namun diantara
keduanya terdapat perbedaan juka dilihat melalui pendekatan ada atau tidaknya
41
E.Saefullah Wiradipradja, Op.cit,hlm.83.
42
batas ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat pihak yang bersalah kepada penggugat pihak yang mendapat kerugian.
Perbedaan antara absolute dan strict liability adalah : a.
Keduanya mengakui bahwa unsur kesalahan tidak perlu dipermasalahkan, tetapi dalam strict liability harus ada hubungan klausalitas antara kerugian
dengan perbuatan tergugat; dalam absolute liability tidak memerlukan hunungan kausalitas.
b. Keduanya mengakui harus membayar ganti kerugian, tetapi dalam strict
liablity ada batas ganti rugi ceiling pada jumlah tertentu; sedangkan pada
absolute liability tidak dikenal pembatasan ganti rugi.
c. Dalam strict liability diakui semua alasan yang membebaskan kecuali yang
mengarah pada pembebasan tanggung jawab, sedangkan absolute liability hanya mengakui alasan pembebasan yang diatur secara tegas dalam
peruandang-undangan. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
42
Hal Strict Liability
Absolute Liability Kesalahan
Tidak dipermasalahkan Tidak dipermasalahkan
Hubungan kerugian dengan perbuatan si
tergugat Perlu hubungan
kausalitas Tidak perlu hunungan
kausalitas
Ganti kerugian Ada batasanya ceiling
Tidak ada batasan Alasan pembebasan
Mengakui semua alasan pembebasan kecuali yang
mengarah pada pembebasan tanggung
jawab Hanya mengakui alasan
pembebas yang secara tegas diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
42
Toto Tohir Suriaatmadja, Op.cit, hlm.30.
43
Prinsip-prinsip tersebut dimaksudkan untuk dapat terselenggaranya tujuan penerbangan sesuai dengan Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan yang tercantum dalam Pasal 3 yaitu : Mewujudkan penyelenggraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang
wajar, dan menghindar praktik persaingan usaha yang tidak sehat;Memperlancar arus perpindahan orang danatau barang melalui udara dengan mengutamakan dan
melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;Membina jiwa kedirgantaraan;Menjunjung kedaulatan
negara;Menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional;Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian
tujuan pembangunan nasional;Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan wawasan nusantara;Meningkatkan ketahanan nasional,
dan Mempererat hubungan antar bangsa.
B. Penyelenggaran Penerbangan Menurut Undang-Undang No.1