Universitas Sumatera Utara
BAB II KAJIAN PUSTAKA
II.1 Paradigma Kajian
Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu.
Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur bagian dan hubunganannya atau bagaimana bagian-
bagian yang berfungsi perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu Moleong,2005:49.
Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan
lapangan empiris. Sementara itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian diperoleh secara langsung, misalnya observasi partisipan, wawancara
mendalam, dan studi dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya dari responden Iskandar,35-37.
Peneliti menggunakan pendekatan interpretif dimana berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada
perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum pendekatan interpretif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai
perilaku secara detail langsung mengobservasi Newman,1997:68. Selain itu interpretif juga melihat fakta sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai
hal yang cair tidak kaku yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan spesifik dan
9
Universitas Sumatera Utara
kontekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan
dapat memiliki makna yang banyak dan dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara. http:ernams.wordpress.com20080107pendekatan-interpretif
Ada tiga paradigma dalam kajian ilmu komunikasi. Pandangan pertama, paradigma positivisme yaitu melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar
dirinya. Ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak
perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis
dan simantik. Hal tersebut yang menjadi fokus utama, terkait dengan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama Eriyanto,2001:4. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan
positivisme cenderung memandang realitas apa adanya, tanpa memikirkan dasar dari terbentuknya realitas tersebut. Pemikiran ini verasal dari Agust Comte 1798-1857.
Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an. Paradigma ini mengutamakan objektivitas, validitas, dan reabilitas.
diakses pada tanggal 5 febuary 2014.
Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada
paradigma konstruktivisme adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma
konstrukvisme ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis yang memandang realitas dengan objektif.
Paradigma konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dengan objek komunikasi.
10
Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampaian pesan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek komunikan decoder sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Pengetahuan manusia adalah
kontruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Bahasa bukan cerminan semesta akan tetapi sebaliknya bahasa berperan membentuk
semesta. Setiap bahasa mengonstruksi aspek-aspek spesifik dari semesta dengan caranya sendiri bahasa puisi sastra, bahasa sehari-hari, bahasa ilmiah. Bahasa merupakan hasil
kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen, sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi. Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi
permasalahan pondasi atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu Ardianto,2007:153. Paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa individu
menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap
realitas tersebut. Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang
sensistif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Bahasa komunikasi tidak pahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri
si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi
didalamnya. Paradigma kritis Eriyanto, 2001:5 adalah paradigma yang memandang bahwa bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar sisi pembicara. Individu
tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dengan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada
dalam masyarakat. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat 11
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan analisi wacana, ketiga paradigma ini memiliki pandangan masing-masing. Paradigma positivisme memandang bahwa orang tidak perlu mengetahui
makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Oleh sebab itu, tata bahasa dan kebenaran sintaksis yang menjadi cara pandang tentang wacana. Analisis wacana
dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Paradigma konstruktivisme memandang wacana sebagai hasil dari kontrol subjek-subjek
yang memiliki maksud-maksud tertentu yang menciptakan makna. Jika dibandingkan dengan kedua paradigma diatas, maka paradigma kritis memandang wacana sebagai representasi
yang berperan membentuk subjek tertentu, tema-tema, dan strategi-strategi yang dikuasai oleh kelompok dominan. Maka dari yang ketiga paradigma diatas, yang digunakan oleh
peneliti adalah paradigma konstruktivisme sebagai pandangan dasar untuk melihat dan mengetahui bagaimana pasangan suami istri banyak anak dalam membentuk konsep diri
anak.
II.2 Kajian Pustaka