dengan sistem kontrak. Pada tahun 2009 harga tepung ditawar hanya Rp 3000.00 sehingga menyebabkan kerugian pada pabrik ini.
Gambar 21 Rantai pasokan ubi jalar dan tepung ubi jalar di daerah Kuningan
Gambar 22 Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan
4.3 Perbaikan Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar 4.3.1 Identifikasi Sifat Dasar Permintaan Tepung Ubi Jalar
Dalam perancangan sebuah rantai pasokan, supply dan demand disesuaikan untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan konsumen dan kompetisi pasar.
Tabel 12 Penggolongan ketidakpastian permintaan dalam sebuah produk Waddington 2002
Pertanyaan pembanding Unit
Ketidakpastian permintaan 1
Rendah 2
Di bawah rata-rata
3 Di atas
rata-rata 4
Tinggi Seberapa tak stabilnya kah
jadwal permintaan
konsumen? Persentase
eror prakiraan
bulanan 0-10
11-30 31-50
50
Seberapa banyak
jenis varian
produk yang
diinginkan konsumen? Jumlah
varian 1-3
4-10 11-20
21 Berapa lama delivery lead
time? Satuan waktu
1 bulan
1-4 minggu
1-7 hari 1 hari
Berapa durasi umur hidup produk?
Tahun 5
2-5 1-2
1
Analisa berdasarkan penggolongan ketidakpastian permintaan berdasarkan Tabel 12 adalah sebagai berikut: Tepung ubi jalar merupakan salah satu bahan
baku produk olahan makanan, yang dapat berfungsi mensubstitusi penggunaan tepung terigu hingga 100 . Diperkirakan tepung ubi jalar memiliki persentase
eror yang rendah per bulannya, mengingat tepung ubi jalar dapat digolongkan sebagai produk fungsional.
Terdapat dua jenis varian tepung ubi jalar yang banyak diminta oleh konsumen, yaitu tepung ubi jalar berwarna putih dan tepung ubi jalar berwarna
ungu. Jenis varian berdasarkan warna tepung ubi jalar ini sangat mempengaruhi terhadap warna produk makanan yang dihasilkan dari tepung ubi jalar tersebut.
Sebagaimana tepung terigu, tepung ubi jalar diperkirakan memiliki durasi umur hidup lebih dari lima tahun. Berdasarkan program dan promosi yang gencar
dilakukan oleh pemerintah di daerah-daerah wilayah Indonesia, tepung ubi jalar dicanangkan sebagai salah satu alternatif pemecah masalah ketahanan pangan.
Hasil analisa dengan menggunakan parameter yang disajikan Fisher 1990 dinyatakan bahwa tepung ubi jalar digolongkan sebagai produk fungsional,
dengan perkiraan siklus hidup produk lebih dari dua tahun, kontribusi margin di bawah 20 , dengan variasi produk rendah. Berdasarkan hal tersebut,
disimpulkan bahwa tepung ubi jalar merupakan produk dengan tingkat ketidak pastian yang rendah.
4.3.2 Analisa Kapabilitas Rantai Pasokan
Kapabilitas rantai pasokan dapat dilihat dari responsivitas rantai pasokan yang ada. Berdasarkan fungsi yang dilakoni, rantai pasokan dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu rantai pasokan physically efficient dan rantai pasokan market- responsive.
4.3.3 Pemetaan Ketidakpastian Permintaan dan Pencocokan Rantai Pasokan dengan Produk
achieving strategic fit
Setelah mengidentifikasi ketidakpastian permintaan produk yang dihadapi oleh agroindustri, pertanyaan selanjutnya untuk dijawab adalah bagaimana
agroindustri tersebut
dapat memenuhi
permintaan konsumen
dengan ketidakpastiannya. Menciptakan kecocokan strategi adalah tentang menciptakan
strategi rantai pasokan yang dapat memenuhi permintaan konsumen yang telah ditargetkan oleh industri. Berdasarkan matriks kecocokan Fisher Gambar 9
tepung ubi jalar sebagai produk fungsional memerlukan rantai pasok yang efisien agar terjadi kecocokan antara strategi rantai pasokan dengan strategi kompetitif
agroindustri tepung ubi jalar. Strategi rantai pasokan yang dikembangkan untuk tepung ubi jalar adalah rantai pasokan yang meminimumkan biaya, dengan fokus
optimasi pada minimisasi total biaya rantai pasokan.
4.4 Pemodelan dan Simulasi 4.4.1 Pemodelan Lokasi Fasilitas
Penentuan lokasi fasilitas merupakan salah satu kegiatan dalam tahapan desainperancangan sebuah rantai pasokan. Penentuan lokasi fasilitas yang berupa
pabrik pengolah ubi jalar menjadi tepung ubi jalar memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan keefektifan atau keefisienan sebuah jaringan rantai
pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Terdapat beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan saat menentukan lokasi agroindustri tepung ubi jalar, yaitu
1. Letak sumber bahan baku ubi jalar 2. Letak industri pengguna tepung sebagai konsumen langsung dari tepung ubi
jalar
4.4.1.1 Penentuan Alternatif Lokasi Agroindustri Penghasil Tepung dengan Metode CPI
Sesuai dengan fokus penelitian yang mengkaji perancangan model rantai pasokan tepung ubi jalar yang mengambil daerah Jawa Barat sebagai contoh
pengembangan, data mengenai sumber bahan baku agroindustri tersaji pada Tabel 9 Tabel Jumlah Produksi Ubi Jalar. Konsumen langsung tepung ubi jalar
merupakan industri pengolah tepung. Jumlah pabrik pengolahan tepung di daerah Jawa Barat disajikan pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13 Jumlah industri tepung dan industri roti dan kue pada setiap kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat
No. Wilayah
Industri Tepung
Industri roti kue
1 Kab. Ciamis
47 50
2 Kab. Kuningan
15 17
3 Kota Bogor
13 13
4 Kab. Cirebon
12 15
5 Kab. Sumedang
11 18
6 Kab. Tasikmalaya
11 19
7 Kab. Sukabumi
6 20
9 Kota Banjar
6 7
10 Kab. Bekasi
3 5
11 Kab. Bogor
3 19
12 Kota Tasikmalaya
3 54
13 Kab. Bandung
2 7
14 Kab. Cianjur
1 11
15 Kab. Majalengka
1 16
Kab. Karawang 1
3 17
Kab. Purwakarta 1
2 18
Kota Bekasi 1
6 19
Kab. Garut 27
20 Kab. Indramayu
7 21
Kota Bandung 24
22 Kota Cirebon
19 23
Kota Depok 10
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2007
Dari 16 daerah penghasil ubi jalar Tabel 14, selanjutnya dipilih lima daerah yang menjadi fokus dalam penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung
ubi jalar. Fokus dalam penentuan lokasi agroindustri tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kedekatan agroindustri dengan sumber bahan baku, dan jarak
agroindustri dengan konsumennya, dengan tujuan agar agroindustri dapat
memenuhi permintaan konsumen potensialnya secara optimal. Pemilihan tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria produksi ubi jalar, banyaknya industri
tepung dan banyaknya industri kue dan roti yang menggunakan bahan baku tepung. Bobot yang digunakan adalah 40 untuk produksi ubi jalar, 30 untuk
banyaknya industri tepung, serta 30 untuk industri roti dan kue. Pembobotan yang lebih tinggi pada kriteria produksi ubi jalar dilakukan dengan pertimbangan
pentingnya kedekatan sumber bahan baku dengan industri pengolah ubi jalar menjadi tepung ubi jalar. Penanganan pasca panen ubi jalar yang tepat serta
minimasi jarak antara agroindustri dengan ubi jalar sebagai bahan bakunya diharapkan dapat mengurangi susut kualitas bahan baku. Pemilihan selanjutnya
dilakukan dengan
menggunakan teknik
Perbandingan Indeks
Kinerja Comparative Performance IndexCPI. Data yang digunakan dalam pemilihan
daerah ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Modifikasi data dilakukan dengan mengganti data jumlah industri tepung dan kue yang nilainya 0 menjadi 1, agar
dapat diolah selanjutnya dengan teknik CPI. Tabel 14 Data yang digunakan dalam pemilihan daerah sebagai lokasi industri
penghasil tepung
Kabupaten i Jumlah Produksi
Jumlah Industri Jumlah Industri
Ubi Jalar ribu ton
Tepung unit industri
Kue unit industri
1 Bogor
61 753 16
32 2
Sukabumi 22 712
6 20
3 Cianjur
20 943 1
11 4
Bandung 34 329
2 31
5 Garut
65 566 1
27 6
Tasikmalaya 24 316
14 73
7 Ciamis
5 854 47
50 8
Kuningan 10 0169
15 17
9 Cirebon
2 038 12
34 10 Majalengka
9 300 1
1 11 Sumedang
20 410 11
18 12 Indramayu
85 1
7 13 Subang
2 521 1
1 14 Purwakarta
17 775 1
2 15 Karawang
453 1
3 16 Bekasi
819 4
11
Minimum 85
1 1
Jumlah Produksi Jumlah Industri Jumlah Industri Ubi Jalar
ribu ton Tepung
unit industri Kue
unit industri
1 Bogor
72 650.58 1 600.00
3 200.00 30 500.00
3 2
Sukabumi 26 720.00
600.00 2 000.00
11 468.00 3
Cianjur 24 638.82
100.00 1 100.00
10 216.00 4
Bandung 40 387.05
200.00 3 100.00
17 145.00 4
5 Garut
77 136.47 100.00
2 700.00 31 695.00
2 6
Tasikmalaya 28 607.05
1 400.00 7 300.00
14 053.00 5
7 Ciamis
6 887.05 4 700.00
5 000.00 5 665.00
8 Kuningan
11 7845.88 1 500.00
1 700.00 48 098.00
1 9
Cirebon 2 397.64
1 200.00 3 400.00
2 339.00 10
Majalengka 10 941.17
100.00 100.00
4 436.00 11
Sumedang 24 011.76
1 100.00 1 800.00
10 475.00 12
Indramayu 100.00
100.00 700.00
280.00 13
Subang 2 965.88
100.00 100.00
1 246.00 14
Purwakarta 20 911.76
100.00 200.00
8 455.00 15
Karawang 532.94
100.00 300.00
333.00 16
Bekasi 963.52
400.00 1 100.00
835.00
100 100
100 0.4
0.3 0.3
Kabupaten i Nilai
Peringkat
Minimum
Bobot Kriteria
Pengolahan selanjutnya, adalah mengkonversi nilai minimum pada setiap kriteria dengan angka 100 dan nilai-nilai yang lain dikonversi dengan cara
membagi nilai awal dengan nilai minimum pada setiap kriteria dan dikalikan dengan 100. Nilai minimum untuk jumlah produksi ubi jalar adalah 85 ribu ton
untuk daerah Indramayu. Pengolahan selanjutnya, adalah mengalikan nilai-nilai setiap kriteria untuk
masing-masing daerah dengan bobot kriteria yang sudah disebutkan sebelumnya. Hasilnya dijumlahkan untuk masing-masing daerah dan diurutkan dari yang
tertinggi sampai dengan yang terendah. Peringkat daerah dengan menggunakan teknik CPI dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Pengolahan data dan pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil tepung menggunakan teknik CPI
Berdasarkan Metode CPI, beberapa lokasi yang dipilih sebagai alternatif penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung menurut peringkatnya adalah
Kabupaten Kuningan, Garut, Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya, dengan pembobotan 40 untuk produksi ubi jalar, 30 untuk banyaknya industri
tepung, dan 30 untuk industri roti dan kue. Pendirian agroindustri tepung ubi jalar pada kelima alternatif lokasi tersebut dapat mengoptimalkan usaha dinilai
dari kedekatan dengan bahan baku, dan kedekatan dengan pasar.
4.4.1.2 Penentuan Lokasi Agroindustri Penghasil Tepung Ubi jalar dengan Metode Non Linier Programming metode gravitasi
Pada tahap ini, dilakukan penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung ubi jalar yang dapat melayani konsumen industri pengolah tepung dengan
meminimumkan jarak antara industri penghasil tepung dengan konsumennya. Gambar peta lokasi provinsi Jawa Barat beserta alternatif kota lokasi agroindustri
penghasil tepung ubi jalar ditandai dengan gambar bintang tersaji sebagai berikut Gambar 23.
Gambar 23 Peta lokasi penghasil tepung ubi jalar
Persamaan jarak antara lokasi industri yang diusulkan dengan lokasi konsumen adalah sebagai berikut:
d
i
= [x
i
- x
2
+ y
i
- y
2
] dimana
x,y = koordinat lokasi industri yang diusulkan x
i
,y
i
= koordinat industri konsumen i Fungsi tujuan dari model lokasi industri adalah sebagai berikut:
Minimumkan total perjalanan d = d
i
t
i
d
i
= jarak ke kota i t
i
= jumlah perjalanan dalam satu tahun ke kota i diasumsikan nilai t
i
adalah sama dengan jumlah produksi bahan baku per tahun pada masing-masing daerah i.
Koordinat masing-masing alternatif kota adalah:
Kota KOORDINAT
ASUMSI X
Y Frekuensi
Perjalanan Bogor
2.625 5.37
61753 Garut
8.75 2.25
65566 Tasik
10.4 1.9
24316 Bandung
7.25 3.75
34329 Kuningan
11.6 3.6
110169
Hasil olahan nonlinier programming dengan menggunakan Solver adalah sebagai berikut:
Kota KOORDINAT
ASUMSI X
Y Frekuensi
perjalanan Jarak tempuh
km Bogor
2.625 5.37
61753 6.990852859 Garut
8.75 2.25
65566 0.715938421 Tasik
10.4 1.9
24316 1.572518261 Bandung
7.25 3.75
34329 2.098860455 Kuningan
11.6 3.6
110169 2.568007706
Dengan koordinat lokasi industri penghasil tepung yang optimum sebagai berikut
x = 9.144796
y = 2.847247
Koordinat tersebut terletak pada sebelah timur laut kota Garut.
Dan total jarak tempuh antara industri penghasil tepung dengan konsumen dalam satu tahun adalah 871 851,3 km.
4.4.2 Optimasi dengan Simulasi pemodelan Stella®
Simulasi dengan menggunakan pemodelan Stella® dilakukan guna mencari total biaya rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Rantai pasokan yang
diperhitungkan ke dalam pemodelan dimulai dari pasokan umbi ubi jalar dari para petani dan berakhir di konsumen yang meruapakan industri makanan pengguna
tepung ubi jalar. Beberapa asumsi yang dipakai dalam pemodelan adalah sebagai berikut:
Harga ubi jalar per kilogram Rp 500.00 Pasokan bahan baku ubi jalar 2000 kghari
Konversi praperlakuan dari persediaan umbi ubi jalar menjadi ubi jalar siap olah yang merupakan proses pencucian dan pencucian adalah 90 , yaitu terjadi
susut berat bahan sebesar 10 dari persediaan bahan awal. Susut bahan yang terjadi pada saat proses penyawutan diasumsikan sebesar 15 . Susut berat akibat
adanya proses penjemuran pengeringan adalah 25 dari berat bahan sebelum pengeringan, dan susut berat bahan yang terjadi selama proses penepungan adalah
15 . Beberapa komponen biaya yang mempengaruhi biaya total rantai pasokan tepung ubi jalar adalah biaya persediaan, biaya pembelian umbi ubi jalar, biaya
angkut, biaya penyimpanan dan biaya distribusi tepung ubi jalar. Secara lengkap pemodelan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar
disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan hasil running terhadap model tersebut, maka diperoleh total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar sebesar Rp 2 752
534.53 per hari. Dengan simulasi pemodelan ini, harga bahan baku umbi ubi jalar dapat disimulasikan antara Rp 400.00 sampai Rp 600.00 kg yang akan
mempengaruhi biaya total rantai pasokannya.
persediaan ubi jalar ubi jalar siap olah
sawut ubi jalar sawut kering
umbi ubi jalar ~
praperlakuan proses peny awutan
pengeringan
pasokan dari petani susut peny awutan
Biay a pembelian Biay a Angkut
Biay a Peny impanan Biay a distribusi produk
Total biay a rantai pasokan tepung ubi jalar
penepungan konv ersi pengeringan
konv ersi praperlakuan Permintaan konsumen
distribusi Susut penepungan
2,222.2 persediaan ubi jalar
2,752,534.53 Total biay …tai pasokan
1,000,000.0 Biay a pembelian
439,277.9 Biay a Angkut
913,769.7 Biay a Peny impanan
399,487.0 Biay a distribusi produk
Rancangan pemodelan dengan menggunakan pemrograman Stella adalah sebagai berikut:
Gambar 24 Pemodelan rantai pasokan tepung ubi jalar dengan program Stella®
VI KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil kajian terhadap potensi dan karakteristik sifat fisik dan kimia ubi jalar serta karakteristik tepung ubi jalar, potensi pengembangan tepung
ubi jalar terbuka luas. Pengolahan ubi jalar ke dalam bentuk tepung memudahkan penggunaan dan pengolahannya menjadi bahan makanan. Industri olahan
makanan rata-rata membutuhkan bahan baku berupa tepung. Diharapkan tepung ubi jalar dapat menjadi salah satu pemenuh kebutuhan tersebut. Salah satu jenis
ubi jalar yang cocok diolah sebagai tepung ubi jalar adalah jenis ubi jalar putih sukuh yang dapat menghasilkan rendemen tepung di atas 30.
Berdasarkan hasil analisa terhadap rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar yang saat ini telah ada dengan menggunakan studi kasus di wilayah Jawa
Barat, dapat dilihat bahwa pada umumnya industri tepung ubi jalar didirikan tidak jauh dari sumber bahan baku petani penghasil umbi ubi jalar. Agroindustri
tepung ubi jalar di Desa Cikarawang Bogor melakukan proses konversi umbi ubi jalar menjadi bahan setengah jadi berbentuk chips maupun sawut pada lokasi
yang sama dengan lokasi penepungannya, sedangkan agroindustri tepung ubi jalar di daerah kab. Kuningan melakukannya pada lokasi yang terpisah. Titik kritis
proses pengolahan terletak pada proses penyawutanpembuatan bahan setengah jadi.
Berdasarkan pengkajian terhadap lokasi fasilitas yang cocok sebagai industri penghasil tepung ubi jalar terletak di timur laut kota Garut, dengan
pertimbangan kedekatan dengan sumber permintaan dan sumber pasokan ubi jalarnya. Peran pemerintah baik pusat maupun lokal tak dapat dipungkiri sangat
penting bagi pengembangan agroindustri ini. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebagai upaya perbaikan
terhadap rancangan rantai pasokan yang telah ada, strategi rantai pasokan untuk tepung ubi jalar yang dianjurkan adalah strategi efisiensi rantai pasokan dengan
optimasi minimisasi total biaya rantai pasokan. Dengan bahan baku 2 ton ubi jalar per hari, maka diperoleh besaran total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar
sebesar Rp 2 752 534.00.
Rantai pasokan terdiri dari petani penghasil ubi jalar, industri pembuat sawut kering yang berlokasi berdekatan. Selanjutnya, sawut kering dikirimkan ke
industri penepung yang terletak di daerah timur laut kota Garut untuk menjangkau dan secara maksimal memenuhi kebutuhan konsumen.
S aran untuk penelitian selanjutnya adalah perlunya dilakukan identifikasi
secara lebih detail mengenai lokasi pabrik penepung ubi jalar, dengan mempertimbangkan lokasi real.