Optimasi dengan Simulasi pemodelan Stella®

Lampiran 1 Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah Komoditas ini ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Dengan teknik budidaya yang tepat, beberapa varietas unggul ubi jalar dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah per hektar. 1. Penggunaan bibit unggul a. Variets unggul yang telah dilepas selain produktivitasnya tinggi, juga memiliki sifat agak tahan terhadap hama boleng Cylas formicarus dan penyakit kudis Sphaceloma batatas seperti Sari, Boko, Sukuh, Jago dan Kidal b. Untuk menjaga potensi hasil, stek yang ditanam harus bebas dari hamapenyakit c. Kebutuhan bibit 35000 – 50000 stekha 2. Penyiapan lahan a. Tanah diolah, dibuat guludan selebar 40-60 cm dan tinggi 25-30 cm. Jarak antar guludan 80 cm atau 100 cm. b. Pada tanah berat berlempung untuk membuat guludan yang gembur perlu ditambah 10 ton bahan organikha 3. Penanaman a. Ubi jalar ditanam setelah padi yaitu awal hingga pertengahan musim kemarau b. Stek pucuk ditanam di guludan dengan jarak dalam baris 20 -30 cm, jarak antar gulud 100 cm, populasi tanaman sekitar 35000 – 50000 tanamanha c. Ubi jalar dapat ditanam dalam sistem tumpang sari dengan tingkat naungan tidak lebih 30 4. Pemupukan dan mulsa a. Takaran pupuk 100 -200 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl. Sangat baik bila ditambahkan pupuk kandang yang diberikan bersamaan pembuatan guludan. b. Sepertiga dari urea dan KCl serta seluruh SP36 diberikan pada saat tanam. Sedangkan sisanya, dua pertiga urea dan KCl diberikan pada saat tanaman berumur 1.5 bulan. c. Pupuk diberikan dalam larikan, kemudian ditutup dengan tanah d. Untuk pertanaman di lahan sawah setelah padi, pemanfaatan jerami padi sebagai mulsa dapat menekan biaya, karena selain meringankan penyiangan, dengan mulsa tidak perlu pembalikan batang 5. Penyiangan gulma dan pembalikan batang a. Penyiangan gulma dilakukan sebelum atau selambat-lambatnya bersamaan dengan pemupukan ke dua b. Perbaikan gulud dan pembalikan batang perlu dilakukan untuk mencegah munculnya akar dari ruas batang 6. Pengairan a. Pada musim kemarau, pengairan merupakan kunci untuk mencapai produktivitas tinggi. Pengairan yang cukup dapat menghindarkan ubi jalar dari serangan hama boleng Cylas formacarius. 7. Pengendalian hama a. Hama utama adalah hama boleng Cylas formicarius, penggerek batang Omphisa anastomasalis serta nematoda Meloidogyne sp. yang merugikan ubi jalar. b. Hama tersebut dapat dikendalikan secara terpadu dengan: - Menanam varietas yang agak tahan - Menanam stek bahan tanaman yang sehat atau mencelup stek ke dalam larutan insektisida 10 menit - Rotasi tanaman - Pembumbunan - Penangkapan serangga jantan dewasa dengan hormon feromon - Penyemprotan insektisida nabati ekstrak daun atau biji mimba, Azadirachta indica dengan konsentrasi 4. 8. Panen a. Ubi jalar dapat dipanen jika umbi sudah tua dan besar. Panen dapat serentak maupun bertahap b. Secara fisik ubi jalar siap dipanen apabila daun dan batang mulai menguning. Di dataran rendah, ubi jalar umumnya dipanen pada umur 3.5 – 5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi ubi jalar dipanen pada umur 5 – 8 bulan 9. Pascapanen Selain dikonsumsi langsung, ubi jalar dapat diolah menjadi produk antara dalam bentuk pati maupun tepung. Pati dibuat dengan mengekstrak ubi yang telah diparut. Sedangkan tepung diperoleh dengan cara mencuci ubi, mengupas, mengiris, menjemur dan menghancurkan menepungkan diayak pada ukuran 80 mesh. Pati dan tepung ubi jalar dapat digunakan untuk membuat aneka jenis kue, mie, hingga es krim. Sumber : Balitkabi 2005 Lampiran 2 Produksi ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 Provinsi Produksi ton 2005 2006 2007 2008 2009 1. Nanggroe Aceh D. 22,985 16,238 15,187 13,172 15,711 2. Sumatera Utara 115,728 102,712 117,641 114,186 142,602 3. Sumatera Barat 50,392 53,758 53,793 61,817 69,253 4. R i a u 10,848 11,123 12,814 11,330 10,219 5. J a m b i 28,370 29,261 36,363 21,825 22,800 6. Sumatera Selatan 24,465 20,747 21,515 19,621 20,657 7. Bengkulu 45,921 51,184 32,131 30,682 31,341 8. Lampung 44,602 42,586 46,772 48,191 49,835 9. Bangka Belitung 4,117 3,820 5,144 4,653 5,006 10. Riau Kepulauan 1,540 1,463 1,472 1,490 1,536 11. D.K.I. Jakarta 12. Jawa Barat 390,386 389,043 375,714 376,490 389,851 13. Jawa Tengah 144,598 123,485 143,364 117,159 119,670 14. D.I. Yogyakarta 6,522 6,236 5,496 7,656 6,499 15. Jawa Timur 150,564 150,540 149,811 136,556 144,659 16. Banten 41,276 34,373 33,694 33,793 35,841 17. B a l i 88,510 92,078 91,187 88,201 84,469 18. Nusa Tenggara Barat 19,430 19,372 13,007 10,985 17,472 19. Nusa Tenggara Timur 99,748 111,279 102,375 107,316 112,765 20. Kalimantan Barat 12,364 14,356 13,882 12,871 12,112 21. Kalimantan Tengah 9,711 9,645 8,619 12,153 10,698 22. Kalimantan Selatan 24,106 26,335 31,143 25,903 31,954 23. Kalimantan Timur 22,574 26,334 30,855 29,372 33,662 24. Sulawesi Utara 38,671 37,345 35,475 42,062 43,261 25. Sulawesi Tengah 23,768 26,886 29,079 27,689 29,392 26. Sulawesi Selatan 53,513 54,303 58,819 66,546 63,287 27. Sulawesi Tenggara 24,823 24,432 27,588 30,892 28,721 28. Gorontalo 3,309 3,557 2,974 3,947 3,854 29. Sulawesi Barat 9,475 6,194 9,304 15,895 14,381 30. Maluku 16,701 20,081 20,929 21,778 21,999 31. Maluku Utara 34,533 33,673 35,199 35,094 26,640 32. Papua Barat 19,543 21,375 18,702 15,340 12,929 33. Papua 273,876 290,424 306,804 337,096 334,235 Total produksi Indonesia 1,856,969 1,854,238 1,886,852 1,881,761 1,947,311 Sumber: BPS 2010, diolah Lampiran 3 Luas panen ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 Provinsi Luas Panen ha 2005 2006 2007 2008 2009 1. Nanggroe Aceh D. 2,330 1,661 1,542 1,325 1,556 2. Sumatera Utara 12,014 10,630 12,129 10,316 12,841 3. Sumatera Barat 4,266 4,146 3,769 4,082 4,461 4. R i a u 1,375 1,413 1,627 1,429 1,291 5. J a m b i 3,325 3,407 4,026 2,263 2,360 6. Sumatera Selatan 3,739 2,950 3,033 2,829 3,013 7. Bengkulu 4,818 5,366 3,372 3,217 3,293 8. Lampung 4,617 4,400 4,813 4,953 5,120 9. Bangka Belitung 532 481 647 578 623 10. Riau Kepulauan 217 190 191 193 199 11. D.K.I. Jakarta 12. Jawa Barat 30,794 29,805 28,096 27,252 28,617 13. Jawa Tengah 11,179 9,384 10,592 8,467 8,606 14. D.I. Yogyakarta 617 611 515 610 591 15. Jawa Timur 13,835 13,818 13,975 13,750 14,729 16. Banten 3,638 3,020 2,904 2,884 3,051 17. B a l i 7,105 7,241 7,037 6,424 6,407 18. Nusa Tenggara Barat 1,702 1,693 1,135 953 1,506 19. Nusa Tenggara Timur 12,930 14,480 12,940 13,437 14,044 20. Kalimantan Barat 1,569 1,853 1,779 1,643 1,632 21. Kalimantan Tengah 1,416 1,383 1,232 1,735 1,526 22. Kalimantan Selatan 2,432 2,603 2,691 2,417 2,918 23. Kalimantan Timur 2,393 2,859 3,217 3,114 3,623 24. Sulawesi Utara 4,457 3,755 3,617 4,277 4,396 25. Sulawesi Tengah 2,510 2,771 2,996 2,616 2,737 26. Sulawesi Selatan 4,890 5,029 5,549 6,235 5,899 27. Sulawesi Tenggara 2,993 3,058 3,357 3,587 3,458 28. Gorontalo 352 378 314 412 399 29. Sulawesi Barat 849 573 846 1,442 1,310 30. Maluku 1,942 2,355 2,448 2,546 2,559 31. Maluku Utara 3,950 3,860 4,035 4,023 3,062 32. Papua Barat 1,991 2,167 1,874 1,524 1,278 33. Papua 27,559 29,167 30,634 34,028 34,078 Total luas lahan ubi jalar di Indonesia 178,336 176,507 176,932 174,561 181,183 Sumber: BPS 2010, diolah Lampiran 4 Produktivitas ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 Provinsi Produktivitas Kuha 2005 2006 2007 2008 2009 1. Nanggroe Aceh D. 98.65 97.76 98.49 99.41 100.97 2. Sumatera Utara 96.33 96.62 96.99 110.69 111.05 3. Sumatera Barat 118.12 129.66 142.72 151.44 155.24 4. R i a u 78.89 78.72 78.76 79.29 79.16 5. J a m b i 85.32 85.88 90.32 96.44 96.61 6. Sumatera Selatan 65.43 70.33 70.94 69.36 68.56 7. Bengkulu 95.31 95.39 95.29 95.38 95.17 8. Lampung 96.60 96.79 97.18 97.30 97.33 9. Bangka Belitung 77.39 79.42 79.51 80.50 80.35 10. Riau Kepulauan 70.97 77.00 77.07 77.20 77.19 11. D.K.I. Jakarta 0.00 0.00 - 0.00 0.00 12. Jawa Barat 126.77 130.53 133.73 138.15 136.23 13. Jawa Tengah 129.35 131.59 135.35 138.37 139.05 14. D.I. Yogyakarta 105.71 102.06 106.72 125.51 109.97 15. Jawa Timur 108.83 108.94 107.20 99.31 98.21 16. Banten 113.46 113.82 116.03 117.17 117.47 17. B a l i 124.57 127.16 129.58 137.30 131.84 18. Nusa Tenggara Barat 114.16 114.42 114.60 115.27 116.02 19. Nusa Tenggara Timur 77.14 76.85 79.12 79.87 80.29 20. Kalimantan Barat 78.80 77.47 78.03 78.34 74.22 21. Kalimantan Tengah 68.58 69.74 69.96 70.05 70.10 22. Kalimantan Selatan 99.12 101.17 115.73 107.17 109.51 23. Kalimantan Timur 94.33 92.11 95.91 94.32 92.91 24. Sulawesi Utara 86.76 99.45 98.08 98.34 98.41 25. Sulawesi Tengah 94.69 97.03 97.06 105.84 107.39 26. Sulawesi Selatan 109.43 107.98 106.00 106.73 107.28 27. Sulawesi Tenggara 82.94 79.90 82.18 86.12 83.06 28. Gorontalo 94.01 94.10 94.71 95.80 96.59 29. Sulawesi Barat 111.60 108.10 109.98 110.23 109.78 30. Maluku 86.00 85.27 85.49 85.54 85.97 31. Maluku Utara 87.43 87.24 87.23 87.23 87.00 32. Papua Barat 98.16 98.64 99.80 100.66 101.17 33. Papua 99.38 99.57 100.15 99.06 98.08 Total produktivitas ubi jalar Indonesia 104.13 105.05 106.64 107.80 107.48 Sumber: BPS 2010, diolah Lampiran 5 Perkembangan luas panen dan produksi ubi jalar di berbagai daerah di Jawa Barat tahun 2003 - 2008 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Majalengka Tahun Luas Panen ha Produksi ton Produktivitas tonhatahun 2003 747 8.931 119,56 2004 1.027 12.961 126,20 2005 1.429 19.583 138,90 2006 779 9.300 119,38 2007 1.111 12.305 110,76 2008 734 10.554 143,79 Trend -1,30 -0,19 Rata-rata 126,43 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Ciamis Tahun Luas Panen ha Produksi ton Produktivitas tonhatahun 2003 1.163 8.649 74,37 2004 1.143 10.465 91,56 2005 942 7.869 83,54 2006 603 5.441 90,23 2007 730 6.341 86,86 2008 867 7.517 86,70 Trend -8,89 -7,09 Rata-rata 85,54 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Tasikmalaya Tahun Luas Panen ha Produksi ton Produktivitas tonhatahun 2003 1.687 12.743 75,54 2004 1.873 16.859 90,01 2005 3.208 30.516 95,12 2006 2.461 23.636 96,04 2007 2.476 20.251 81,79 2008 2.101 17.914 85,26 Trend 4,89 5,87 Rata-rata 87,29 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar Di Kabupaten Garut Tahun Luas Panen ha Produksi ton Produktivitas tonhatahun 2003 5.538 48.413 87,42 2004 5.640 57.966 102,78 2005 4.952 51.856 104,72 2006 5.545 65.566 118,24 2007 5.679 70.764 124,61 2008 5.534 68.363 123,53 Trend 0,37 7,58 Rata-rata 110,22 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Tahun Luas Panen ha Produksi ton Produktivitas tonhatahun 2003 6.498 92.890 142,95 2004 6.287 94.256 149,92 2005 5.367 89.985 167,66 2006 5.991 100.169 167,20 2007 5.664 105.610 186,46 2008 5.936 110.428 186,03 Trend -1,86 3,82 Rata-rata 166,70 Lampiran 6 Luas panen ubi jalar rata-rata per bulan di Jawa Barat ha periode tahun 1987 - 2005 Tahun Jan Febr Maret April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des Jumlah 1987 4 544 5 438 3 752 2 831 2 906 3 401 3 158 3 383 3 465 3 838 2 606 1 911 41 233 1988 2 469 3 750 4 518 4 561 3 446 3 117 3 230 3 869 4 859 4 771 4 049 3 357 45 996 1989 5 181 4 888 5 486 4 168 3 140 3 118 3 797 3 907 4 302 4 015 3 521 3 105 48 628 1990 2 992 4 599 4 809 3 920 2 787 3 028 3 689 3 678 5 043 4 221 3 758 2 911 45 435 1991 2 802 3 383 4 823 4 891 3 250 3 243 3 398 3 972 3 444 2 283 2 666 1 255 39 410 1992 1 997 4 435 4 820 4 683 2 890 3 385 3 820 3 767 4 984 5 134 3 649 4 314 47 878 1993 4 393 4 339 4 365 4 568 3 143 2 741 3 853 3 508 4 000 3 434 3 609 2 687 44 640 1994 2 925 3 547 4 401 3 589 3 501 2 857 3 634 4 605 3 330 2 087 2 062 1 798 38 336 1995 2 221 3 182 5 127 4 348 3 313 3 513 3 464 4 649 4 791 4 593 2 892 2 750 44 843 1996 3 043 4 140 5 148 2 986 2 016 2 502 3 074 3 940 3 354 2 769 2 265 2 533 37 770 1997 3 048 4 381 3 339 2 764 3 086 2 355 3 727 3 268 3 355 1 959 1 922 1 567 34 771 1998 1 285 2 149 3 562 3 514 2 813 2 369 3 262 4 222 4 408 4 465 3 979 4 546 40 574 1999 4 690 4 397 4 330 2 527 2 143 2 701 4 099 3 480 3 230 3 200 2 747 1 705 39 249 2000 2 380 3 579 3 574 3 055 2 337 3 015 3 093 3 020 3 122 3 492 2 266 2 438 35 371 2001 1 997 2 919 2 860 2 247 1 435 2 448 2 799 2 999 2 194 2 347 2 101 2 284 28 630 2002 5 339 3 652 2 853 2 594 2 236 2 569 3 064 2 775 2 420 2 514 2 479 1 575 34 070 2003 1 114 2 053 2 908 3 230 2 591 3 017 3 233 3 272 2 395 2 197 2 181 1 760 29 951 2004 2 280 2 993 3 018 3 163 2 735 2 627 2 628 2 590 2 778 2 630 2 018 1 954 31 414 2005 1 848 2 328 3 165 2 779 2 340 2 766 2 516 2 752 2 689 3 073 2 195 2 343 30 794 Rata- Rata 2 976 3 692 4 045 3 496 2 743 2 883 3 344 3 561 3 588 3 317 2 788 2 463 38 894 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2007 Diolah Lampiran 7 Persamaan dalam simulasi dengan pemrograman Stella® persediaan_ubi_jalart = persediaan_ubi_jalart - dt + umbi_ubi_jalar - praperlakuan dt INIT persediaan_ubi_jalar = umbi_ubi_jalar INFLOWS: umbi_ubi_jalar = GRAPHpasokan_dari_petani 0.00, 0.00, 200, 250, 400, 450, 600, 660, 800, 820, 1000, 1060, 1200, 1250, 1400, 1430, 1600, 1580, 1800, 1810, 2000, 2000 OUTFLOWS: praperlakuan = konversi_praperlakuanpersediaan_ubi_jalar sawut_keringt = sawut_keringt - dt + pengeringan - penepungan dt INIT sawut_kering = pengeringan INFLOWS: pengeringan = sawut_ubi_jalarkonversi_pengeringan OUTFLOWS: penepungan = sawut_keringSusut_penepungan sawut_ubi_jalart = sawut_ubi_jalart - dt + proses_penyawutan - pengeringan dt INIT sawut_ubi_jalar = proses_penyawutan INFLOWS: proses_penyawutan = ubi_jalar_siap_olahsusut_penyawutan OUTFLOWS: pengeringan = sawut_ubi_jalarkonversi_pengeringan tepung_ubi_jalart = tepung_ubi_jalart - dt + penepungan - distribusi dt INIT tepung_ubi_jalar = penepungan INFLOWS: penepungan = sawut_keringSusut_penepungan OUTFLOWS: distribusi = tepung_ubi_jalarPermintaan_konsumen ubi_jalar_siap_olaht = ubi_jalar_siap_olaht - dt + praperlakuan - proses_penyawutan dt INIT ubi_jalar_siap_olah = praperlakuan INFLOWS: praperlakuan = konversi_praperlakuanpersediaan_ubi_jalar OUTFLOWS: proses_penyawutan = ubi_jalar_siap_olahsusut_penyawutan Biaya_Angkut = persediaan_ubi_jalar15+sawut_kering200 Biaya_distribusi_produk = distribusi200 Biaya_pembelian = umbi_ubi_jalar500 Biaya_Penyimpanan = persediaan_ubi_jalar100+sawut_kering100+sawut_ubi_jalar100+tepung _ubi_jalar100 konversi_pengeringan = 0.75 konversi_praperlakuan = 0.9 pasokan_dari_petani = 2000 Permintaan_konsumen = 0.9 Susut_penepungan = 0.985 susut_penyawutan = 0.985 Total_biaya_rantai_pasokan = Biaya_Angkut+Biaya_distribusi_produk+Biaya_pembelian+Biaya_Penyimpanan I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketahanan pangan telah menjadi isu yang sangat penting bagi hampir setiap negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang telah dikenal mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Maka ketika permintaan beras lebih besar daripada pasokannya, timbulah masalah yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal, beras bukan satu-satunya komoditas pemenuh kebutuhan gizi masyarakat. Upaya pemerintah dalam membangun diversifikasi konsumsi pangan sesungguhnya telah dilakukan sejak tahun 1960-an, saat pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan makanan pokok selain beras. Diversifikasi konsumsi pangan pada hakekatnya tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga sebagai upaya meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik dari segi kuantitas, maupun kualitasnya. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan juga meningkatkan ketahanan pangan nasional Ariani 2006. Timbulnya gagasan mengenai pengembangan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal, seperti ubi-ubian, dalam rangka upaya pendiversifikasian konsumsi pangan dinilai sebagai salah satu jawaban dan langkah yang tepat dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. Pemberdayaan komoditas lokal tersebut sesungguhnya memang tengah diupayakan di beberapa daerah di Indonesia. Tanaman ubi-ubian dikenal sebagai komoditas lokal penghasil karbohidrat yang efisien, murah, dan dapat digunakan sebagai suplementasi bahan pangan, pakan dan bahan baku industri. Salah satu tanaman ubi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ubi jalar. Indonesia sendiri menempati urutan keempat sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia setelah China, Uganda, Nigeria dengan jumlah produksi mencapai 1.89 x 10 6 MT FAO 2007. Jenis ubi ini sangat mudah ditanam di wilayah Indonesia, hampir seluruh provinsi di Indonesia memproduksi ubi jalar. Tanaman umbi ini mempunyai produktifitas yang cukup tinggi dapat mencapai 30 tonha, pemeliharaannya tidak mahal dan harga pokok produksinya cukup rendah. Berbagai hasil penelitian menunjukan 2 bahwa ubi jalar merupakan komoditas yang memiliki potensi manfaat dan pengembangan yang baik. Hampir seluruh bagian tanaman ubi jalar dapat dimanfaatkan. Ubi jalar memiliki kandungan gizi yang baik, merupakan sumber vitamin A dan vitamin C tinggi, serta karbohidratnya mengandung LGI Low Glycemix Index 54 yang rendah sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita diabetes. Pengolahan ubi jalar menjadi bentuk tepung dapat mempermudah penyimpanan dan menambah variasi dalam pemanfaatannya serta memperlama penyimpanan. Seperti tepung terigu, tepung ubi jalar dapat diolah menjadi berbagai macam makanan, seperti aneka kue kering, mie, bihun, roti dan sebagainya. Dalam bentuk tepung, ubi jalar dapat difortifikasi dengan berbagai zat gizi yang diinginkan. Proses pembuatan tepung ubi jalar pun dapat dikatakan relatif sederhana, mudah dan murah. Selain ubi jalar, beberapa komoditas yang dapat digunakan untuk tepung antara lain sorghum, jagung, singkong, kentang, sagu, talas, garut, sukun, ganyong dan talas belitung. Pemilihan komoditas untuk dikembangkan tersebut dipengaruhi pertimbangan kecocokan lahan di daerah tersebut dan kebiasaan masyarakat setempat. Tepung ubi jalar selama ini pernah diusahakan di beberapa daerah, diantaranya di kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan. Pengembangannya telah menjadi objek penelitian beberapa instansi pemerintahan dan perguruan tinggi. Pemberdayaan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal yaitu tepung ubi jalar jelas perlu ditunjang oleh perencanaan dan pelaksanaan yang baik. Kejelasan dan pengaturan tata rantai pasokan yang baik dapat menunjang keberhasilan program ini. Manajemen rantai pasok atau yang lebih dikenal dengan Supply Chain Management SCM menjadi penting untuk diterapkan agar keberlangsungan agroindustri tepung ubi jalar dapat tercapai sehingga pada akhirnya dapat turut serta berkontribusi dalam menunjang ketahanan pangan nasional. SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan sebagai upaya untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dapat dihasilkan dan didistribusikan 3 dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat demi memuaskan kebutuhan pelanggan Shimchi-Levi et al. 2003. Melalui pengaturan rantai pasok SCM agroindustri tepung ubi jalar yang baik, diharapkan pasokan bahan baku, bahan setengah jadi dan bahan jadi dalam agroindustri ini dapat terjamin sehingga kontinuitas produksi dapat berlangsung dan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi. Penerapan SCM pada rangkaian pasokan berbagai produk dapat memiliki strategi yang berbeda-beda demi memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumennya. Namun, secara umum, setiap SCM bertujuan untuk memaksimalkan keuntungansurplus selisih pendapatan yang diperoleh dari konsumen dengan total biaya keseluruhan rantai pasokan. Semakin besar keuntungan yang diperoleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah rantai pasokan secara keseluruhan, semakin sukses pula rantai pasokan tersebut. Sehingga diharapkan penerapan SCM pada agroindustri tepung ubi jalar ini dapat meningkatkan pendapatan para petani ubi jalar khususnya, dan juga meningkatkan pendapatan para pihak yang terkait sepanjang rantai pasokan agroindustri ini. Rantai pasokan yang ideal bagi sebuah agroindustri perlu dirancang dengan baik. Bagi rantai pasokan yang telah ada, perlu dianalisa dan dilakukan upaya perbaikan terhadap rantai pasokan tersebut. Perbaikan rantai pasokan yang ada diawali dengan kegiatan penentuan strategi rantai pasok. Pengidentifikasian pihak-pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan perlu dilakukan agar struktur rantai pasok agroindustri tepung ubi jalar dapat disusun. Dalam penelitian ini, kegiatan simulasi untuk optimasi rantai pasokan pun dilakukan untuk memperoleh rancangan rantai pasokan yang ideal optimal.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu kendala dalam pengembangan agroindustri tepung ubi jalar adalah ketidakpastian pasokan bahan baku industri, yakni umbi ubi jalar. Di beberapa daerah, masih terdapat keengganan para petani untuk menanam tanaman ini. Di tengah masyarakat sendiri, ubi jalar masih dipandang sebagai makanan yang kurang populer. Rantai tata niaga ubi jalar yang selama ini ada pun lebih menguntungkan bagi beberapa pihak yang terlibat di dalamnya, dan seringkali para petani penanam ubi jalar justru mengalami kerugian. Harga ubi jalar seringkali berfluktuasi, sehingga ketika harganya jatuh, para petani memilih untuk 4 tidak menjualnya dan membiarkan hasil panen mereka membusuk studi kasus: Kabupaten Kuningan. Di samping permasalahan pasokan bahan baku, pasar tepung ubi jalar yang belum jelas menjadi salah satu kendala pengembangan agroindustri ini. Padahal tepung ubi jalar memiliki potensi yang cukup baik sebagai bahan baku industri makanan. Berdasarkan berbagai hasil penelitian Zuraida Supriati 2001, Irfansyah 2001, Damardjati Widowati 1994 tepung ubi jalar dapat menjadi substitusi tepung terigu dan jenis tepung-tepungan lainnya dalam pengolahan makanan. Selain kurangnya sosialisasi dan promosi akan potensi dan manfaat pengunaan tepung ubi jalar kepada pihak industri pengguna tepung, ketidakjelasan pasokan tepung ubi jalar dari pemasok pun dinilai menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pemanfaatan tepung ubi jalar ini. Dalam membangun suatu agroindustri tepung berbasis komoditas lokal untuk ketahanan pangan, sangat diperlukan suatu manajemen rantai pasokan supply chain management yang baik. Perancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah pihak yang terlibat di dalamnya. Strategi pengaturan operasi dimulai dari petani penghasil bahan baku –dalam hal ini ubi jalar, hingga ke industri penghasil tepung ubi jalar ataupun industri pengguna tepung ubi jalar. Analisa terhadap rantai pasokan tepung ubi jalar yang telah ada pada ruang lingkup yang telah ditentukan menjadi perlu dilakukan agar dapat menjadi masukan saat perancangan perbaikan rantai pasokan agroindustri ini. Rantai pasokan tepung ubi jalar yang selama ini telah ada umumnya hanyalah rantai tata niaga yang tidak terorganisir dengan baik, sehingga lebih menguntungkan bagi pihak tertentu saja. Informasi mengenai karakteristik potensi tepung ubi jalar, karakteristik bahan setengah jadi maupun karakteristik umbi ubi jalar sebagai bahan baku agroindustri perlu digali sebagai salah satu dasar saat melakukan perbaikan rancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar yang optimal. Penyusunan strategi rantai pasokan perlu dilakukan berdasarkan kajian terhadap ketidakpastian supply dan demand. Dengan menerapkan manajemen rantai pasok yang baik dan tepat pada agroindustri tepung ubi jalar, diharapkan agroindustri ini dapat berkembang dan 5 beroperasi secara berkesinambungan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian dan analisa terhadap rantai pasok tepung ubi jalar yang ada saat ini sebagai masukan bagi perancangan model rantai pasokan yang tepat bagi agroindustri tepung ubi jalar.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah: 1. Mengkaji potensi dan karakteristik ubi jalar dan tepung ubi jalar. 2. Mengkaji kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar dan sistem rantai pasok tepung ubi jalar saat ini di beberapa kota di Jawa Barat. 3. Merancang perbaikan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dan memperoleh hasil simulasi terhadap model rantai pasokan yang dibangun dengan melihat pengaruhnya terhadap biaya total rantai pasokan dalam agroindustri tepung ubi jalar.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Analisa kondisi rantai pasokan produk agroindustri dilakukan terhadap produk tepung ubi jalar. Kondisi rantai pasok yang ada saat ini diidentifikasi dan dideskripsikan melalui studi pustaka dan pengamatan secara langsung pada sentra produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar. Rantai pasok yang menjadi fokus kajian dibatasi sampai pada industri pengguna tepung ubi jalar. Ruang lingkup perancangan rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga industri penghasil tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa Barat.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya agroindustri tepung umbi-umbian berbasis komoditas lokal, khususnya ubi jalar, untuk menunjang ketahanan pangan. Pengkajian terhadap karakteristik, potensi dan kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar serta perbaikan model rantai pasokannya yang efektif diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan menjadi pendukung bagi pihak-pihak yang yang terlibat, baik dalam perencanaan maupun pengembangan agroindustri tepung ubi jalar. II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rantai Pasokan Agroindustri

Supply Chain Management SCM atau rantai pengadaan adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggan. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yang sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang Indrajit Djokopranoto 2002. Sebuah rantai pasokan terdiri dari seluruh pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen. Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner Shimchi-Levi et al. 2003. Kajian dan penelitian dalam pengembangan dan pengoptimasian SCM untuk produk hasil pertanian agroindustri banyak dilakukan seiring dengan penelitian yang dilakukan pada ranah SCM untuk produk manufaktur. Produk agroindustri meliputi produk dari perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan tersebut mencakup transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi Brown 1994. Istilah rantai pasokan agroindustri agri-food supply chain sendiri digunakan untuk menggambarkan aktivitas mulai dari proses produksi hingga ke proses distribusi yang membawa produk hortikultur atau produk pertanian dari tanah pertanian ke atas meja konsumen Ahumada Villalobos 2009. Rantai pasokan agroindustri dibentuk oleh serangkaian organisasi yang melakukan proses produksi oleh petani, proses distribusi, proses pengolahannya, dan pemasaran produk hasil pertanian ke konsumen. Perbedaan karakteristik yang jelas antara produk manufaktur dengan produk agroindustri juga menimbulkan perbedaan dalam rantai pasokan keduanya. Menurut Aramyan et al. 2006, yang membuat rantai pasok agroindustri berbeda dengan rantai pasok produk lainnya adalah: 1. Sifat produksinya, yang sebagian berbasis pada proses biologis, sehingga meningkatkan keanekaragaman dan resiko. 2. Sifat produknya, yang memiliki beberapa karakterisitik khusus, seperti mudah rusak perishablelity dan kamba bulky, sehingga membutuhkan rantai pasok tipe tertentu, dan 3. Perilaku sosial dan konsumen terhadap isu-isu keamanan pangan, keselamatan binatang, dan tekanan lingkungan. Tujuan dari sebuah rantai pasokan adalah untuk memaksimalkan keseluruhan nilai yang dihasilkan, yang merupakan selisih antara nilai sebuah produk akhir bagi konsumen dengan biaya rantai pasokan yang ditimbulkan dalam memenuhi permintaan konsumen tersebut. Bagi hampir semua rantai pasokan, nilai sangat berkorelasi dengan keuntungan rantai pasokan supply chain profitabilitysupply chain surplus, yaitu selisih antara pendapatan yang didapatkan dari konsumen dengan keseluruhan biaya rantai pasokan. Keuntungan rantai pasokan merupakan keuntungan total yang terbagi di seluruh tahap rantai pasokan. Semakin tinggi keuntungan sebuah rantai pasokan, semakin berhasil rantai pasokan tersebut. Keberhasilan sebuah rantai pasokan hendaknya diukur dari segi keuntungan sebuah rantai pasokan secara keseluruhan dan bukan dari keuntungan masing-masing pelaku. Untuk rantai pasokan manapun, terdapat satu sumber pendapatan, yaitu konsumen. Sedangkan seluruh aliran informasi, produk dan dana menghasilkan biaya cost bagi rantai pasokan. Karenanya, pengaturan yang baik dari aliran tersebut merupakan kunci dari keberhasilan rantai pasokan. Manajemen rantai pasokan yang efektif melibatkan manajemen aset rantai pasokan dan produk, informasi, dan dana yang mengalir untuk memaksimumkan keuntungan rantai pasokan Chopra Meindl 2007. Sebagaimana rantai pasokan untuk produk lainnya, rantai pasokan agroindustri juga merupakan sebuah jaringan dari berbagai organisasi yang bekerja bersama dalam aktivitas dan proses yang berbeda-beda dalam rangka memuaskan permintaan konsumen. Istilah supply chain atau rantai pasokan mengandung arti bahwa hanya ada satu pemain yang terlibat pada setiap tahap rantai pasok. Pada kenyataanya, sebuah pabrik dapat menerima bahan baku dari beberapa pemasok dan kemudian memasok produk jadinya ke beberapa distributor. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya kebanyakan supply chain rantai pasokan merupakan network atau jaringan Chopra Meindl 2007. Pada umumnya rantai pasokan melibatkan beberapa pelaku Gambar 1, yang meliputi: 1. Konsumen 2. Retailerspengecer 3. Wholesalersdistributor 4. Manufakturerpabrik 5. Supplierpemasok bahan bakukomponen Gambar 1 Para pelaku dalam rantai pasokan Chopra Meindl 2007 Jaringan rantai pasok terdiri dari pemasok, gudang, pusat distribusi, dan outlet retail, termasuk bahan baku, persediaan Work in process inventory, dan produk jadi yang mengalir melalui fasilitas tersebut Shimchi-Levi et al. 2003. Konfigurasi jaringan dapat melibatkan beberapa isu terkait dengan lokasi pabrik, gudang, dan lokasi retailer. Permasalahan konfigurasi jaringan biasanya melibatkan banyak data, termasuk informasi lokasi pelanggan, lokasi retail, lokasi gudang yang ada, dan pusat distribusi, fasilitas pabrik dan supplier; informasi produk, termasuk volume, cara transportasi; permintaan tahunan menurut lokasi supplier supplier supplier manufacturer distributor retailer customer manufacturer manufacturer distributor distributor retailer retailer customer customer pelanggan, biaya pabrik, termasuk biaya tenaga kerja, biaya inventory, dan biaya operasi tetap; ukuran dan frekuensi pengiriman produk ke pelanggan; biaya pemesanan; serta persayaratan dan tujuan pelayanan pelanggan. Menurut Aramyan et al. 2006, terdapat dua tipe rantai pasok agroindustri, yaitu: 1. Rantai pasok untuk produk segar, seperti sayuran, bunga dan buah-buahan 2. Rantai pasok untuk produk pertanian hasil pemrosesan Gambar 2 Diagram skematik rantai pasokan dilihat dari perspektif prosesor dalam rantai pasokan produk makanan hasil pertanian Vorst 2000 Gambar 2 memperlihatkan rantai pasokan hasil pertanian secara umum. Masing-masing pelaku ditempatkan pada lapisan jaringan dan tergolong dalam setidaknya satu rantai pasokan: sebagai contoh, biasanya suatu rantai pasokan memiliki banyak pemasok supplier dan konsumen dalam suatu waktu. Pelaku lainnya dalam jaringan mempengaruhi performa dari rantai. Desain atau rancangan sebuah rantai pasokan yang cocok sangat tergantung dari kebutuhan konsumen dan peran masing-masing tahap yang terlibat Chopra Meindl 2007. Terdapat hubungan yang erat antara rancang bangun dan manajemen aliran rantai pasokan produk, informasi dan dana dan kesuksesan sebuah rantai pasokan. Keputusan mengenai rancang bangun rantai pasokan, perencanaan dan pelaksanaannya memainkan peran yang penting dalam kesuksesan atau kegagalan sebuah usaha. Rancang bangun atau strategi rantai pasok merupakan fase atau kategori pertama dalam pembuatan keputusan mengenai rantai pasok. Dua fase lainnya adalah perencanaan rantai pasok dan pelaksanaannya. Rancang bangun rantai pasokan yang cocok tergantung pada kebutuhan konsumen dan peranan yang berlaku pada setiap tahap yang terlibat dalam sebuah rantai pasokan Chopra Meindl 2007. Proses yang terjadi dalam sebuah rantai pasokan dibagi menjadi dua kategori, tergantung dari pertimbangan apakah proses tersebut dilakukan sebagai respon atas pesanan konsumen pull processes atau sebagai antisipasi terhadap pesanan konsumen push processes. Tinjauan pushpull processes dalam sebuah rantai pasokan dapat mempengaruhi pertimbangan keputusan stategis pada saat pembangunan desain rantai pasokan Chopra Meindl 2007. Faktor lain yang mempengaruhi rancangan rantai pasokan adalah sifat dari permintaan terhadap produk nature of the demand, apakah termasuk produk fungsional atau produk inovatif.

2.2 Pemodelan dan Optimasi

Sebuah model dirancang sebagai representasi dari sebuah sistem. Law dan Kelton 2000 mengkategorikan sistem ke dalam dua tipe, yaitu sistem diskrit dan kontinyu. Sistem diskrit adalah sebuah sistem di mana peubahnya berubah secara instan pada titik waktu yang terpisah. Pada sistem kontinyu, peubahnya berubah secara kontinyu seiring dengan perubahan waktu. Beberapa cara untuk mempelajari sebuah sistem disajikan pada Gambar 3. Model fisik atau yang disebut juga dengan model ikonik salah contohnya adalah miniatur. Model matematis merepresentasikan sistem secara logis dan berupa hubungan kuantitatif yang kemudian dimanipulasi dan dirubah untuk kemudian dilihat bagaimana model tersebut bereaksi dan lalu bagaimana sistem itu bereaksi, -jika model tersebut valid. Ketika sebuah model matematis dibangun, model tersebut kemudian harus diperiksa untuk melihat apakah model tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Gambar 3 Cara mempelajari sistem Law Kelton 2000 Jika sebuah hubungan yang membentuk sebuah model cukup sederhana, maka dapat digunakan metode matematis untuk memperoleh informasi pasti terhadap pertanyaan yang diajukan; proses ini disebut juga dengan penyelesaian analitis. Namun, permasalahan di dunia nyata seringkali terlalu kompleks sehingga model realistik yang ada menjadi sulit diselesaikan secara analitik, dan karenanya dibutuhkan penyelesaian dengan menggunakan simulasi. Pada proses simulasi, komputer digunakan untuk mengevaluasi sebuah model secara numerik, dan data dikumpulkan untuk mengestimasi karakteristik nyata yang diinginkan pada sebuah model Law Kelton 2000. Cakupan dalam sebuah rantai pasokan sangat luas sehingga tidak ada satu model pun yang dapat menjangkau seluruh aspek dalam proses rantai pasokan. Min dan Zhou 2002 mengusulkan beberapa panduan dalam menentukan cakupan permasalahan dalam pemodelan sebuah rantai pasokan yang dapat meminimalisir dilema antara kompleksitas model dengan realitas. Salah satu usulan tersebut adalah panduan yang diajukan oleh Chopra dan Meindl 2007, yang didasari tiga level hirarki keputusan berdasarkan frekuensi dan jangka waktu masing masing keputusan, yaitu: Sistem Percobaan dengan sistem aktual Percobaan dengan model sistem Model fisik Model matematis Penyelesaian analitis Simulasi 1. Desain atau strategi rantai pasokan competitive strategy Pada level ini, perusahaan menentukan bagaimana struktur rantai pasokan untuk beberapa tahun ke depan. Konfigurasi rantai pasokan ditentukan meliputi bagaimana alokasi sumber daya, dan proses apa saja yang terjadi dalam masing-masing tahap. Beberapa keputusan strategis yang dibuat perusahaan meliputi apakah perusahaan akan melakukan fungsi rantai pasokannya secara in-house atau dengan outsource, lokasi dan kapasitas produksi dan fasilitias penyimpanan, produk yang akan dibuat atau disimpan dalam berbagai tempat, moda transportasi, dan tipe sistem informasi yang akan digunakan. Sebuah perusahaan harus memastikan konfigurasi rantai pasokannya mendukung tujuan strategisnya, dan meningkatkan surplus rantai pasoknya selama fase ini. Keputusan mengenai strategi rantai pasokan dibuat untuk jangka panjang tahunan dan sangat mahal untuk dirubah dalam jangka pendek. Ketidakpastian pada kondisi pasar harus turut diperhitungan dalam fase ini. 2. Perencanaan rantai pasokan tactical plans Jangka waktu pada tahap ini adalah 3 bulan sampai satu tahun. Konfigurasi rantai pasok yang ditentukan pada tahap sebelumnya sudah dibuat. Konfigurasi ini menciptakan kendala di mana perencanaan mesti dibuat. Perusahaan memulai fase ini dengan dengan peramalan untuk tahun yang akan datang atau jangka waktu tertentu dari permintaan pada pasar yang berbeda. Perencanaan meliputi pengambilan keputusan sehubungan dengan pasar mana yang akan di-supply dari lokasi mana, subkontrak proses manufaktur, peraturan penyimpanan, waktu dan ukuran pemasaran dan promosi harga. Pada tahap ini, perusahaan harus mengikutsertakan ketidakpastian permintaan, nilai tukar, dan kompetisi dalam keputusannya. 3. Operasi rantai pasokan operational routines Jangka waktu pelaksanaan fase ini adalah mingguan atau harian, dan selama fase ini perusahaan melakukan keputusan mengenai pesanan individu dari pelanggan. Tujuan dari operasi rantai pasokan pada tahap ini adalah untuk menangani pesanan yang masuk sebaik mungkin. Karena keputusan operasional dilakukan pada jangka waktu yang pendek, ketidakpastian yang terjadi pun sangat sedikit. Min dan Zhou 2002 mengembangkan sebuah taksonomi pemodelan rantai pasok berdasarkan berbagai sumber Gambar 4. Model rantai pasokan diklasifikasikan ke dalam empat kategori: 1. Deterministic non-probabilistik. Pada model ini diasumsikan semua parameter model diketahui secara pasti 2. Stokastik probabilistik. Pada model ini, ketidakpastian dan parameter acak ikut dipertimbangkan. 3. Hibrid. Model ini mengandung elemen deterministik dan stokastik. 4. IT-Driven. Model ini melibatkan informasi dan teknologi untuk memperbaiki efisiensi rantai pasokan. Gambar 4 Taksonomi model rantai pasok Min Zhou 2002 Dalam merancang rantai pasokan terdapat proses optimasi terhadap efektifitas rantai pasokan. Penentuan strategi rantai pasokan yang baik dan perancangan rantai pasokan yang tepat akan meningkatkan surplus rantai pasokan, yaitu margin antara pendapatan yang diperoleh dari konsumen dengan keseluruhan biaya yang timbul dalam rantai pasokan. Menurut Chopra dan Meindl 2007, desain rantai pasokan tergantung pada kebutuhan konsumen dan peran Pemodelan rantai pasokan Model deterministik Model stokastik Model hibrid Model IT-driven Single objective Multiple objective Optimal Control Theory Dynamic programming Inventory Theoritic Simulation WMS ERP GIS