1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendekatan pengelolaan perikanan sejak tahun 1940-an menggunakan pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga
sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. Sejak Food and Agricultural Organization FAO menerbitkan “Code of Conduct for Responsible Fisheries”
CCRF pada tahun 1995 maka terjadi pergeseran paradigma tentang pendekatan pengelolaan perikanan. Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan
enam bab khusus yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan
penelitian perikanan. Dengan diterbitkannya ‘Deklarasi Reykjavik’ pada tahun
2001 yang secara eksplisit memandatkan FAO untuk membuat sebuah dokumen pedoman yang memberi pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan perikanan,
maka FAO menerbitkan pedoman teknis pengelolaan perikanan yang merupakan mandat CCRF tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan.
Menurut FAO 2005 terdapat 12 prinsip dalam pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yaitu:
1 Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat, 2 Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang terendah,
3 Pengelola harus mempertimbangan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya,
4 Dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut, dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem dalam konteks ekonomi. Pengelolaan ekosistem tersebut antara lain:
1 Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati.
2 Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif.
3 Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem. 5 Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat
ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas, 6 Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung,
7 Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal,
8 Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang, 9 Pengelola harus adaptif terhadap perubahan,
10 Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan, 11 Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah,
adat istiadat, inovasi dan pengalaman, 12 Pendekatan ekosistem harus malibatkan para pihak dan lintas ilmu.
Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem, yaitu: kelestarian ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan
kemampuan untuk mencapai tujuan. Pulau Weh dengan Ibukota Sabang, merupakan pulau yang terletak di
ujung barat laut Pulau Sumatra, termasuk wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Kotamadya Sabang memiliki empat pulau lain selain Pulau
Weh yang berpenghuni, yaitu Pulau Klah, P. Seulako, P. Rubiah, dan P. Rondo yang merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan
Kepulauan Nicobar India. Dari 18 kelurahan di Kotamadya Sabang, 16 diantaranya terletak di kawasan pesisir, dengan demikian ketergantungan dan
interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir sangat tinggi di Sabang. Secara tradisional, P. Weh saat ini terbagi ke dalam sepuluh 10 Lhok yang merupakan
suatu kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh satu orang panglima laot. Sepuluh wilayah lhok tersebut antara lain; Lhok Iboih, Lhok Pria
Laot, Lhok Krueng Raya, Lhok Pasiran, Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Balohan, Lhok Jaboi, Lhok Keuneukai, dan Lhok Paya Pasir Putih.
Jumlah total nelayan dari sepuluh lhok tersebut 1.420 nelayan BPS Sabang, 2005. Jenis-jenis alat tangkap yang tercatat antara lain pancing tangan,
tonda, panah ikan speargun, jaring insang tetap dan jaring insang hanyut jaring bendera, pukat, jaring kelambu, jaring ikan karang jaring pisang-pisang dan
pukat jepang. Jenis-jenis ikan karang hasil tangkapan nelayan Pulau Weh antara lain ikan kakap Lutjanidae, ikan kerapu Serranidae, ikan mata besar
Holocentridae, ikan barakuda Sphyraenidae, ikan ekor kuning Caesonidae, ikan kakak tua Scaridae, ikan naso Acanthuridae, dan ikan jabong Balistidae.
Saat ini pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan telah diimplemetasikan pada beberapa kawasan perikanan di dunia, seperti pengelolaan
ikan salmonid di Amerika Spence et al., 1996, kawasan Benguela Petersen et al., 2007, Laut Mediterranean General Fisheries Commission for the
Mediterranean, 2005 dan sebagainya. Namun sampai saat ini pendekatan ini belum dilakukan secara formal dalam pengelolaan perikanan suatu kawasan di
Indonesia. FAO 2005 menyebutkan bahwa meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam pengelolaan perikanan namun masih
belum banyak pembelajaran dalam pendekatan ini, untuk itu masih dirasa perlu untuk melakukan penelitian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan
ini.
1.2 Perumusan Masalah