Metode Cell Based Modeling untuk Penentuan Kawasan Potensial Wisata Pesisir dan Bahari di Pulau Weh, Nagroe Aceh Darussalam

(1)

METODE CELL BASED MODELING

UNTUK PENENTUAN KAWASAN POTENSIAL

WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Oleh : Husnayaen C 64103023

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

METODE CELL BASED MODELING UNTUK PENENTUAN KAWASAN POTENSIAL WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Juli 2008

Husnayaen C64103023


(3)

iii

RINGKASAN

HUSNAYAEN. Metode Cell Based Modeling untuk Penentuan Kawasan Potensial Wisata Pesisir dan Bahari di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan JONSON LUMBAN GAOL.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan potensial wisata pesisir dan bahari melalui metode cell based modeling di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan lain dari penelitian ini adalah menilai tingkat kerentanan lingkungan Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi penelitian adalah di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam terletak pada 95o13'02"BT - 95o22'36"BT dan 05o45'28"LU - 05o54'28"LU. Survei lapang dan pengambilan data lapang dilaksanakan pada tanggal 30 November sampai 11 Desember 2007.

Kesesuaian kawasan pariwisata dilakukan melalui dua tahapan analisis data yaitu (a) analisis spasial (keruangan) dan (b) analisis tabular. Analisis keruangan yang digunakan dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu penyusunan matriks kesesuaian dengan metode pembobotan atau skoring untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan, dan tahap overlay untuk mendapatkan basis data secara keseluruhan. Metode overlay dilakukan pada data raster sehingga disebut raster overlay. Analisis tabular dilakukan untuk mencari suatu posisi atau luasan di lokasi penelitian dengan memasukkan kriteria-kriteria yang dibutuhkan.

Hasil analisis keruangan kawasan potensial wisata pesisir bagian darat dihasilkan empat zona kesesuaian yaitu zona sangat sesuai dengan luas 42,30 Ha, zona sesuai dengan luas 77,40 Ha, zona sesuai bersyarat dengan luas 114,75 Ha dan zona tidak sesuai dengan luas 170,10 Ha. Analisis keruangan untuk kawasan potensial wisata pesisir bagian laut yaitu zona sangat sesuai dengan luas 37,62 Ha, zona sesuai dengan luas 958,41 Ha, zona sesuai bersyarat dengan luas 638,55 Ha dan zona tidak sesuai dengan luas 328,86 Ha. Analisis keruangan untuk kawasan potensial wisata bahari yaitu zona sangat sesuai dengan luas 453,24 Ha, zona sesuai dengan luas 562,77 Ha, zona sesuai bersyarat dengan luas 549,36 Ha dan zona tidak sesuai dengan luas 398,07 Ha.

Pulau Weh memiliki zona-zona tertentu yang sangat ideal untuk pariwisata pesisir maupun pariwisata bahari yaitu Pulau Rubiah, Paya Keunekei, dan Jaboi. Zona ideal untuk pariwisata pesisir dan bahari yaitu Pantai Ujung Paneh, Pantai Iboh, Pantai Gapang, Pulau Klah, Pantai Tapak Gajah, Pantai Kasih, Pantai Sumur Tiga, dan Anoi Itam, sedangkan zona yang mempunyai potensi untuk

dikembangkan adalah Pantai Lhong Angen, Benteng, Teluk Sabang, dan Teluk Balohan.

Berdasarkan analisis kerentanan lingkungan pulau, Pulau Weh termasuk ke dalam kategori pulau yang rentan dengan nilai indeks kerentanan adalah 0,61. Analisis tingkat kerentanan pulau sangat terkait dengan analisis kesesuaian zona potensial wisata pesisir dan bahari karena pariwisata atau jumlah wisatawan merupakan salah satu indikator didalam menentukan tingkat kerentanan pulau. Sebaliknya tingkat kerentanan pulau juga akan mempengaruhi jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke pulau tersebut. Suatu daerah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi akan mempunyai peluang terjadinya bencana yang tinggi pula sehingga akan menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung.


(4)

WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH,

NANGGROE ACEH DARUSSAM

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Husnayaen C 64103023

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(5)

Judul : METODE CELL BASED MODELING UNTUK

PENETUAN KAWASN POTENSIAL WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama : Husnayaen NRP : C64103023

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si NIP. 131 784 624 NIP. 131 953 479

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP.131 578 799


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Metode Cell Based Modeling untuk Penentuan Kawasan Potensial Wisata Pesisir dan Bahari di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua Orang Tua, Bapak Hunaini dan Ibu Rabiatun Adawiyah atas doa dan kasih sayangnya, kepada Muhammad Patoni yang memberikan banyak inspirasi dan motivasi kepada penulis, serta keluarga besarku yang tidak pernah bosan memberikan doa, kasih sayang dan motivasi sampai detik ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban

Gaol, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, ilmu, dan pengarahan yang bermanfaat.

2. Bapak Ir. Agus Wibowo, M.Sc sebagai pembimbing lapang yang banyak memberikan motivasi, ilmu, pengalaman dan pengarahan kepada penulis. 3. Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc sebagai dosen penguji tamu. 4. Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si sebagai komisi pendidikan.

5. Bapak Roby dari Bappeda Sabang atas bantuan pustaka yang bermanfaat. 6. Aceh Geospatial Data Center/ AGDC provinsi NAD.

7. Flora Fauna Internasioal (FFI) yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data lapangan.

8. Bapak Yudi Herdiana dan Rian Prasetya dari Willdlife Conservation Society (WCS) atas bantuan data dan pustaka yang diberikan. 9. Rekan-rekan kelautan Universitas Unsyiah serta Ocean Diving Club

Unsyiah.

10. Rekan-rekan ITK 40, dan seluruh warga ITK-IPB atas dukungan, kenangan dan kebersamaan selama penulis menempuh masa pendidikan.

Bogor, Juli 2008


(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAPTAR LAMPIRAN... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang... 1

1.2. Tujuan penelitian... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah pesisir... 4

2.1.1. Definisi dan batasan wilayah pesisir... 4

2.2. Pariwisata... 5

2.2.1. Pariwisata pesisir ... 6

2.2.2. Pariwisata bahari... 9

2.3. Penginderaan jauh dan sistem informasi geografi... ... 12

2.3.1 Sistem penginderaan jauh ... 12

2.3.2 Satelit penginderaan jauh ... 13

2.3.3 Sistem informasi geografi ... 15

2.3.4 Model data raster dan cell based modeling... 16

2.4. Indeks kerentanan (vulnerability) ... 20

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan waktu penelitian ... 25

3.2. Alat dan bahan ... 26

3.2.1. Alat ... 26

3.2.2. Bahan ... 26

3.3. Metode penelitian... 27

3.3.1. Pengumpulan data... 27

3.3.2. Penyusunan basis data digital ... 28

3.4. Analisis citra secara digital ... 28

3.4.1. Pengolahan citra awal ... 29

3.4.1.1. Pemotongan citra (image croping)... 29

3.4.1.2. Pemulihan citra ... 29

3.4.1.3. Penajaman citra (image enhancement)... 30

3.4.1.4. Klasifikasi citra ... 31

3.5. Metode cell based modeling... 31

3.6. Analisis data lapang... 40

3.6.1. Persentase penutupan terumbu karang... 40


(8)

viii

3.6.2.1. Penentuan skor indikator (variabel) kerentanan ... 40

3.6.2.2. Analisis tingkat kerentanan... 42

4. DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Posisi geografis, luas, dan batas lokasi penelitian... 46

4.2. Kondisi fisik Pulau Weh... 47

4.2.1. Topografi... 47

4.2.2. Geologi dan tanah ... 47

4.2.3. Kondisi pasang surut... 48

4.2.4. Kondisi iklim Pulau Weh ... 48

4.3. Kondisi pariwisata ... 49

4.4. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya ... 51

4.4.1. Administrasi pemerintah ... 51

4.4.2. Kependudukan dan mata pencaharian ... 51

4.4.3. Aksebilitas... 52

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengolahan awal citra (image pre-processing)... 54

5.1.1. Substrat perairan dangkal... 54

5.1.2. Kecerahan perairan ... 57

5.2. Pemetaan batimetri ... 60

5.3. Parameter-parameter untuk penentuan zona potensial pariwisata pesisir dan pariwisata bahari... 60

5.3.1. Pariwisata pesisir ... 60

5.3.1.1. Batimetri ... 60

5.3.1.2. Substrat dasar perairan dangkal ... 62

5.3.1.3. Kecepatan arus ... 63

5.3.1.4. Kecerahan perairan... 66

5.3.1.5. Kemiringan lahan ... 67

5.3.1.6. Ketersediaan sumber air tawar... 67

5.3.1.7. Jarak dari garis pantai... 69

5.3.1.8. Penutupan lahan ... 71

5.3.1.8. Analisis kesesuaian zona potensial wisata pesisir.... 74

5.3.1.8.1. Bagian darat ... 74

5.3.1.8.2. Bagian laut ... 76

5.3.2. Pariwisata bahari... 78

5.3.2.1. Batimetri ... 78

5.3.2.2. Substrat dasar perairan ... 81

5.3.2.3. Kecerahan perairan... 84

5.3.2.4. Kecepatan arus ... 84

5.3.2.5. Tutupan terumbu karang hidup... 84

5.3.2.6. Jenis ikan karang ... 86

5.3.2.7. Jenis terumbu karang dan biota yang berasosiasi .... 87

5.3.2.8. Analisis kesesuaian zona potensial wisata bahari .... 88

5.4. Sarana dan prasarana pariwisata ... 90


(9)

ix 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... ... 95

DAFTAR PUSTAKA... 96

LAMPIRAN ... ... 99


(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik kanal Landsat 7/ETM (Arief, 2004)... 14

2. Sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata pesisir bagian darat (Halim, 1998; Haris, 2003; Rakhmawati, 2002)... 37

3. Sistem penilaian kelayakan pariwisata pesisir bagian laut (Halim, 1998; Haris, 2003; Rakhmawati, 2002)... 37

4. Sistem penilaian kelayakan pariwisata bahari (Halim, 1998; Rakhmawati, 2003) ... 38

5. Penentuan skor untuk masing-masing indikator (variabel) dalam kerangka penyusunan indeks kerentanan ... 45

6. Data iklim Pulau Weh tahun 2006 (BMG, 2006) ... 49

7. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Pulau Sabang Tahun 2000-2007 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007)... 50

8. Kepadatan penduduk per Kecamatan sesuai dengan luas wilayah (Bappeda, 2006)... 51

9. Jumlah kepala keluarga menurut mata pencaharian (BPS, 2003) ... 52

10. Luas turunan substrat perairan dangkal di Pulau Weh... 56

11. Luas kesesuaian zona potensial wisata pesisir bagian darat... 76

12. Luas kesesuaian zona potensial wisata pesisir bagian laut ... 78

13. Luas kesesuaian zona potensial wisata bahari... 90


(11)

METODE CELL BASED MODELING

UNTUK PENENTUAN KAWASAN POTENSIAL

WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Oleh : Husnayaen C 64103023

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(12)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

METODE CELL BASED MODELING UNTUK PENENTUAN KAWASAN POTENSIAL WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH,

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Juli 2008

Husnayaen C64103023


(13)

iii

RINGKASAN

HUSNAYAEN. Metode Cell Based Modeling untuk Penentuan Kawasan Potensial Wisata Pesisir dan Bahari di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan JONSON LUMBAN GAOL.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan potensial wisata pesisir dan bahari melalui metode cell based modeling di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan lain dari penelitian ini adalah menilai tingkat kerentanan lingkungan Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi penelitian adalah di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam terletak pada 95o13'02"BT - 95o22'36"BT dan 05o45'28"LU - 05o54'28"LU. Survei lapang dan pengambilan data lapang dilaksanakan pada tanggal 30 November sampai 11 Desember 2007.

Kesesuaian kawasan pariwisata dilakukan melalui dua tahapan analisis data yaitu (a) analisis spasial (keruangan) dan (b) analisis tabular. Analisis keruangan yang digunakan dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu penyusunan matriks kesesuaian dengan metode pembobotan atau skoring untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan, dan tahap overlay untuk mendapatkan basis data secara keseluruhan. Metode overlay dilakukan pada data raster sehingga disebut raster overlay. Analisis tabular dilakukan untuk mencari suatu posisi atau luasan di lokasi penelitian dengan memasukkan kriteria-kriteria yang dibutuhkan.

Hasil analisis keruangan kawasan potensial wisata pesisir bagian darat dihasilkan empat zona kesesuaian yaitu zona sangat sesuai dengan luas 42,30 Ha, zona sesuai dengan luas 77,40 Ha, zona sesuai bersyarat dengan luas 114,75 Ha dan zona tidak sesuai dengan luas 170,10 Ha. Analisis keruangan untuk kawasan potensial wisata pesisir bagian laut yaitu zona sangat sesuai dengan luas 37,62 Ha, zona sesuai dengan luas 958,41 Ha, zona sesuai bersyarat dengan luas 638,55 Ha dan zona tidak sesuai dengan luas 328,86 Ha. Analisis keruangan untuk kawasan potensial wisata bahari yaitu zona sangat sesuai dengan luas 453,24 Ha, zona sesuai dengan luas 562,77 Ha, zona sesuai bersyarat dengan luas 549,36 Ha dan zona tidak sesuai dengan luas 398,07 Ha.

Pulau Weh memiliki zona-zona tertentu yang sangat ideal untuk pariwisata pesisir maupun pariwisata bahari yaitu Pulau Rubiah, Paya Keunekei, dan Jaboi. Zona ideal untuk pariwisata pesisir dan bahari yaitu Pantai Ujung Paneh, Pantai Iboh, Pantai Gapang, Pulau Klah, Pantai Tapak Gajah, Pantai Kasih, Pantai Sumur Tiga, dan Anoi Itam, sedangkan zona yang mempunyai potensi untuk

dikembangkan adalah Pantai Lhong Angen, Benteng, Teluk Sabang, dan Teluk Balohan.

Berdasarkan analisis kerentanan lingkungan pulau, Pulau Weh termasuk ke dalam kategori pulau yang rentan dengan nilai indeks kerentanan adalah 0,61. Analisis tingkat kerentanan pulau sangat terkait dengan analisis kesesuaian zona potensial wisata pesisir dan bahari karena pariwisata atau jumlah wisatawan merupakan salah satu indikator didalam menentukan tingkat kerentanan pulau. Sebaliknya tingkat kerentanan pulau juga akan mempengaruhi jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke pulau tersebut. Suatu daerah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi akan mempunyai peluang terjadinya bencana yang tinggi pula sehingga akan menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung.


(14)

WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH,

NANGGROE ACEH DARUSSAM

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Husnayaen C 64103023

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(15)

Judul : METODE CELL BASED MODELING UNTUK

PENETUAN KAWASN POTENSIAL WISATA PESISIR DAN BAHARI DI PULAU WEH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama : Husnayaen NRP : C64103023

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si NIP. 131 784 624 NIP. 131 953 479

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP.131 578 799


(16)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Metode Cell Based Modeling untuk Penentuan Kawasan Potensial Wisata Pesisir dan Bahari di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua Orang Tua, Bapak Hunaini dan Ibu Rabiatun Adawiyah atas doa dan kasih sayangnya, kepada Muhammad Patoni yang memberikan banyak inspirasi dan motivasi kepada penulis, serta keluarga besarku yang tidak pernah bosan memberikan doa, kasih sayang dan motivasi sampai detik ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban

Gaol, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, ilmu, dan pengarahan yang bermanfaat.

2. Bapak Ir. Agus Wibowo, M.Sc sebagai pembimbing lapang yang banyak memberikan motivasi, ilmu, pengalaman dan pengarahan kepada penulis. 3. Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc sebagai dosen penguji tamu. 4. Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si sebagai komisi pendidikan.

5. Bapak Roby dari Bappeda Sabang atas bantuan pustaka yang bermanfaat. 6. Aceh Geospatial Data Center/ AGDC provinsi NAD.

7. Flora Fauna Internasioal (FFI) yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data lapangan.

8. Bapak Yudi Herdiana dan Rian Prasetya dari Willdlife Conservation Society (WCS) atas bantuan data dan pustaka yang diberikan. 9. Rekan-rekan kelautan Universitas Unsyiah serta Ocean Diving Club

Unsyiah.

10. Rekan-rekan ITK 40, dan seluruh warga ITK-IPB atas dukungan, kenangan dan kebersamaan selama penulis menempuh masa pendidikan.

Bogor, Juli 2008


(17)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAPTAR LAMPIRAN... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang... 1

1.2. Tujuan penelitian... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah pesisir... 4

2.1.1. Definisi dan batasan wilayah pesisir... 4

2.2. Pariwisata... 5

2.2.1. Pariwisata pesisir ... 6

2.2.2. Pariwisata bahari... 9

2.3. Penginderaan jauh dan sistem informasi geografi... ... 12

2.3.1 Sistem penginderaan jauh ... 12

2.3.2 Satelit penginderaan jauh ... 13

2.3.3 Sistem informasi geografi ... 15

2.3.4 Model data raster dan cell based modeling... 16

2.4. Indeks kerentanan (vulnerability) ... 20

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan waktu penelitian ... 25

3.2. Alat dan bahan ... 26

3.2.1. Alat ... 26

3.2.2. Bahan ... 26

3.3. Metode penelitian... 27

3.3.1. Pengumpulan data... 27

3.3.2. Penyusunan basis data digital ... 28

3.4. Analisis citra secara digital ... 28

3.4.1. Pengolahan citra awal ... 29

3.4.1.1. Pemotongan citra (image croping)... 29

3.4.1.2. Pemulihan citra ... 29

3.4.1.3. Penajaman citra (image enhancement)... 30

3.4.1.4. Klasifikasi citra ... 31

3.5. Metode cell based modeling... 31

3.6. Analisis data lapang... 40

3.6.1. Persentase penutupan terumbu karang... 40


(18)

viii

3.6.2.1. Penentuan skor indikator (variabel) kerentanan ... 40

3.6.2.2. Analisis tingkat kerentanan... 42

4. DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Posisi geografis, luas, dan batas lokasi penelitian... 46

4.2. Kondisi fisik Pulau Weh... 47

4.2.1. Topografi... 47

4.2.2. Geologi dan tanah ... 47

4.2.3. Kondisi pasang surut... 48

4.2.4. Kondisi iklim Pulau Weh ... 48

4.3. Kondisi pariwisata ... 49

4.4. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya ... 51

4.4.1. Administrasi pemerintah ... 51

4.4.2. Kependudukan dan mata pencaharian ... 51

4.4.3. Aksebilitas... 52

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengolahan awal citra (image pre-processing)... 54

5.1.1. Substrat perairan dangkal... 54

5.1.2. Kecerahan perairan ... 57

5.2. Pemetaan batimetri ... 60

5.3. Parameter-parameter untuk penentuan zona potensial pariwisata pesisir dan pariwisata bahari... 60

5.3.1. Pariwisata pesisir ... 60

5.3.1.1. Batimetri ... 60

5.3.1.2. Substrat dasar perairan dangkal ... 62

5.3.1.3. Kecepatan arus ... 63

5.3.1.4. Kecerahan perairan... 66

5.3.1.5. Kemiringan lahan ... 67

5.3.1.6. Ketersediaan sumber air tawar... 67

5.3.1.7. Jarak dari garis pantai... 69

5.3.1.8. Penutupan lahan ... 71

5.3.1.8. Analisis kesesuaian zona potensial wisata pesisir.... 74

5.3.1.8.1. Bagian darat ... 74

5.3.1.8.2. Bagian laut ... 76

5.3.2. Pariwisata bahari... 78

5.3.2.1. Batimetri ... 78

5.3.2.2. Substrat dasar perairan ... 81

5.3.2.3. Kecerahan perairan... 84

5.3.2.4. Kecepatan arus ... 84

5.3.2.5. Tutupan terumbu karang hidup... 84

5.3.2.6. Jenis ikan karang ... 86

5.3.2.7. Jenis terumbu karang dan biota yang berasosiasi .... 87

5.3.2.8. Analisis kesesuaian zona potensial wisata bahari .... 88

5.4. Sarana dan prasarana pariwisata ... 90


(19)

ix 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... ... 95

DAFTAR PUSTAKA... 96

LAMPIRAN ... ... 99


(20)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik kanal Landsat 7/ETM (Arief, 2004)... 14

2. Sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata pesisir bagian darat (Halim, 1998; Haris, 2003; Rakhmawati, 2002)... 37

3. Sistem penilaian kelayakan pariwisata pesisir bagian laut (Halim, 1998; Haris, 2003; Rakhmawati, 2002)... 37

4. Sistem penilaian kelayakan pariwisata bahari (Halim, 1998; Rakhmawati, 2003) ... 38

5. Penentuan skor untuk masing-masing indikator (variabel) dalam kerangka penyusunan indeks kerentanan ... 45

6. Data iklim Pulau Weh tahun 2006 (BMG, 2006) ... 49

7. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Pulau Sabang Tahun 2000-2007 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007)... 50

8. Kepadatan penduduk per Kecamatan sesuai dengan luas wilayah (Bappeda, 2006)... 51

9. Jumlah kepala keluarga menurut mata pencaharian (BPS, 2003) ... 52

10. Luas turunan substrat perairan dangkal di Pulau Weh... 56

11. Luas kesesuaian zona potensial wisata pesisir bagian darat... 76

12. Luas kesesuaian zona potensial wisata pesisir bagian laut ... 78

13. Luas kesesuaian zona potensial wisata bahari... 90


(21)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Konfigurasi satelit Landsat 7/ETM (NASA, 2005) ... 15

2. Operasi pixel pada cell based modelling (ESRI, 2002)... 20

3. Peta lokasi penelitian di Pulau Weh... 25

4. Tahapan image processing... 28

5. Diagram alir penelitian... 34

6. Proses overlay untuk penentuan lokasi pariwisata pesisir bagian darat... 35

7. Proses overlay untuk penentuan lokasi pariwisata pesisir bagian laut... 35

8. Proses overlay untuk penentuan lokasi pariwisata bahari ... 36

9. Citra RGB 421, citra hasil transformasi Lyzenga dan histogram hasil transformasi Lyzenga ... 55

10. Histogram citra hasil penerapan algoritma kecerahan ... 57

11. Peta substrat perairan dangkal Pulau Weh, NAD ... 58

12. Peta kecerahan perairan Pulau Weh, NAD ... 59

13. Peta batimetri Pulau Weh, NAD... 61

14. Peta kesesuaian kedalaman di Pulau Weh, NAD ... 64

15. Peta kesesuaian substrat perairan dangkal di Pulau Weh, NAD ... 65

16. Peta kemiringan lahan di Pulau Weh, NAD... 68

17. Peta buffer sumber air tawar... 70

18. Peta buffer garis pantai di Pulau weh, NAD ... 72

19. Peta penutupan lahan Pulau Weh, NAD ... 73

20. Peta kesesuaian zona pariwisata pesisir bagian darat ... 79


(22)

xii

22. Peta kesesuaian kedalaman Pulau Weh, NAD ... 82

23. Peta kesesuaian substrat dasar perairan di Pulau Weh, NAD ... 83

24. Grafik jumlah total genus karang keras pada lokasi penelitian ... 87

25. Peta kesesuaian zona pariwisata bahari di Pulau Weh, NAD ... 91


(23)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Contoh perhitungan dan grafik pasang surut Pulau Weh Tahun 2006 .... 99

2. Hasil iterasi band 1 dan band 2 ... 101 3. Persentase penutupan terumbu karang dan derivatnya di Pulau Weh

pada kedalaman 3 m (WCS, 2006) ... 102

4. Persentase penutupan terumbu karang dan derivatnya di Pulau Weh

pada kedalaman 8 m (WCS, 2006) ... 102

5. Jenis karang dan biota yang berasosiasi pada ekosistem terumbu

karang (WCS, 2006) ... 103

6. Nama dan jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di lokasi


(24)

1.1 Latar belakang

Dewasa ini pemanfaatan sumberdaya pesisir mendapat perhatian besar dari

semua pihak, dengan demikian wilayah pesisir menjadi salah satu pusat kegiatan

ekonomi nasional melalui aktivitas masyarakat pesisir seperti perikanan laut,

perdagangan, budidaya perikanan, transportasi laut, dan pariwisata. Semakin

meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk di daratan akan

menyebabkan menipisnya sumberdaya daratan, sehingga wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil akan menjadi tumpuan harapan bagi perkembangan ekonomi

nasional di masa datang (Dahuri, 2000). Pulau Weh atau Pulau Sabang

merupakan salah satu pulau kecil dengan luas 153 km2. Pulau ini merupakan zona

ekonomi bebas dan menjadi daerah paling barat Indonesia.

Pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan bagi pengembangan

kawasan Sabang. Kawasan Sabang mencakup Pulau Sabang dan beberapa pulau

kecil di sekitarnya yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Sabang. Hal ini

sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana prioritas pemanfaatan

pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diantaranya adalah pariwisata.

Potensi daya tarik pariwisata yang dapat dikembangkan berupa wisata bahari dan

wisata pesisir. Potensi wisata tersebut didukung oleh posisi geografis Sabang

yang berada pada persimpangan Samudra Hindia, Teluk Benggala dan Selat

Malaka yang banyak dilalui oleh kapal-kapal pesiar serta berdekatan dengan zona

pariwisata Asia Tenggara, seperti Phuket di Thailand dan Lengkawi/Pulau Penang


(25)

2

Dalam pengembangan potensi daya tarik wisata pesisir maupun wisata bahari,

penentuan kawasan potensial sangat menentukan keberhasilan dalam memajukan

kawasan pariwisata. Penentuan kawasan potensial tersebut dilakukan dengan

melihat kondisi dari lokasi yang akan dikembangkan, baik dari segi keindahan

alam, keamanan dan kenyamanan lokasi, serta sarana dan prasarana yang

mendukung. Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan kawasan

potensial wisata adalah integrasi penginderan jauh dan Sistem Informasi Geografi

(SIG) yang memiliki kemampuan untuk membentuk dan mengembangkan basis

data spasial guna mendapatkan informasi yang tepat.

Sistem informasi geografi dapat digunakan untuk membangun suatu model

yang sederhana dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Sejalan

dengan perkembangan teknologi, kegiatan pemodelan juga berkembang sampai

pemanfaatan informasi yang bersifat spasial dan digunakan untuk berbagai bidang

kajian. Dalam penentuan kawasan potensial wisata bahari di Pulau Sabang

digunakan metode cell based modeling, yang dapat digunakan dalam penentuan kawasan optimum (suitability modeling).

Analisis spasial dengan menggunakan cell based modeling adalah suatu metode analisis spasial dimana aplikasi model diterapkan pada setiap pixel. Hal ini berbeda dengan model vektor dimana aplikasi model diterapkan pada vektor


(26)

1.2 Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan kesesuaian kawasan potensial

pariwisata pesisir dan bahari melalui metode cell based modeling di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam dengan mengintegrasikan penginderaan jauh dan

sistem informasi geografi. Tujuan lain dari penelitian ini adalah menilai tingkat


(27)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah pesisir

2.1.1 Definisi dan batasan wilayah pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana

ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun

terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin

laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup

bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat

seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun disebabkan oleh kegiatan

manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri et al., 1996). Adapun menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007,

Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Secara prinsip ekosistem pesisir

mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu :

1. Penyedia sumber daya alam.

2. Penerima limbah.

3. Penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan.

4. Penyedia jasa-jasa kenyamanan.

Dalam ekosistem wilayah pesisir, ekosistem yang sangat berpengaruh

terhadap kelestarian sumberdaya wilayah pesisir adalah ekosistem pantai,

ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun.

Ekosistem tersebut akan membentuk satu kesatuan yang saling terkait antara yang


(28)

2.2 Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu proses kepergian sementara dari seseorang atau

lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergiannya

karena berbagai kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama,

kesehatan maupun kepentingan lain seperti adanya rasa ingin tahu, menambah

pengalaman, ataupun untuk kepentingan pembelajaran (Suwantoro, 2001).

Menurut definisi World Tourist Organization (WTO), wisatawan adalah setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa memandang

kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang sama untuk

jangka waktu lebih dari 24 jam dengan tujuan perjalanannya untuk memanfaatkan

waktu luang, berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, olah raga,

bisnis, atau mengunjungi kaum keluarga (Marpaung, 2002).

Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan saling tergantung satu sama lain

seperti transportasi, konservasi, budidaya perikanan, industri kerajinan dan

sebagainya. Suwantoro (2001 ) menyebutkan daya tarik wisata dikelompokkan ke

dalam daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata

minat khusus. Daya tarik objek wisata berdasarkan pada:

1. Adanya sumber daya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman,

dan bersih.

2. Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk mengunjunginya.

3. Adanya ciri khusus atau spesifikasi yang bersifat langka.

4. Adanya sarana atau prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang


(29)

6

5. Objek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam

pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan, dan sebagainya.

6. Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai

khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang

terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau

Kegiatan pariwisata di laut secara umum dapat dibedakan menjadi pariwisata

pesisir dan pariwisata bahari. Pariwisata pesisir adalah kegiatan pariwisata yang

dilakukan di wilayah pesisir baik di bagian darat maupun di laut. Pariwisata

bahari adalah kegitan pariwisata yang dilakukan di laut termasuk di pulau kecil.

2.2.1 Pariwisata pesisir

Kegiatan pariwisata pesisir lebih dikaitkan kepada kegiatan rekreasi disekitar

pantai seperti berjemur, bermain pasir, olahraga pantai, bermain air, berenang dan

berperahu di sekitar pantai sambil menikmati keindahan alam sekitarnya. Adapun

parameter-parameter yang dibutuhkan untuk pariwisata pesisir (Bakosurtanal,

1996 in Rakhmawati, 2002) antara lain: 1. Faktor fisik perairan dangkal

a) Kedalaman perairan

Perairan yang relatif dangkal merupakan lokasi yang paling ideal untuk

rekreasi di wilayan pesisir, dimana para pengunjung dapat bermain air dan

berenang dengan aman. Kedalaman perairan 0 – 5 m merupakan syarat

yang paling sesuai untuk pariwisata pesisir, kedalaman perairan antara 5 –

10 m masih bisa diberi toleransi, sedangkan perairan dengan kedalaman

lebih dari 10 m merupakan kawasan yang kurang ideal untuk kegiatan


(30)

b) Material dasar perairan (Jenis substrat)

Material/substrat dasar perairan sangat menentukan kecerahan maupun

turbiditas perairan. Pantai yang memiliki substrat pasir merupakan lokasi

yang sangat ideal untuk kegiatan wisata ini. Pantai yang memiliki substrat

pasir berkarang atau karang berpasir dengan hancuran karang yang relatif

lebih sedikit masih dapat diberikan toleransi untuk kegiatan wisata pantai.

Pantai dengan substrat lumpur maupun karang merupakan lokasi yang

tidak sesuai untuk kegiatan pariwisata pesisir.

c) Kecepatan arus

Kecepatan arus sangat berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan

para wisatawan. Pantai dengan kecepatan arus yang relatif lemah yaitu

berkisar 0 – 0,17 m/s dan gelombang kecil (arus menyusur pantai)

merupakan kawasan yang ideal untuk kegiatan wisata pesisir. Pantai yang

memiliki kecepatan arus 0,17 – 0,34 m/s masih bisa diberikan toleransi,

sedangkan pantai yang mempunyai kecepatan arus > 0,51 m/s merupakan

lokasi yang tidak sesuai untuk kegiatan wisata ini.

d) Kecerahan perairan

Kecerahan perairan merupakan salah satu daya tarik bagi para wisatawan.

Pantai yang memiliki kecerahan perairan 15 – 20 m merupakan kawasan

yang sangat cocok untuk kegiatan wisata pantai, pantai dengan kecerahan

antara 5 – 10 m masih bisa diberikan toleransi, sedangkan pantai yang

mempunyai kecerahan < 5 m merupakan lokasi yang tidak sesuai untuk


(31)

8

2. Faktor fisik pantai a) Penutupan lahan

Penutupan lahan pantai merupakan salah satu faktor sekunder yang

menentukan kesesuaian kegiatan pariwisata. Seiring dengan rencana

pengembangan suatu daerah untuk keperluan rekreasi, penutupan lahan ini

dapat diubah sesuai dengan kemauan pengelola, namun pantai dengan

penutupan lahan berupa tanaman alami pantai seperti kelapa dan cemara

laut merupakan kawasan yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata pesisir.

Pantai dengan penutupan lahan berupa semak belukar rendah masih dapat

diberi toleransi, sedangkan penutupan lahan berupa pemukiman dan

pelabuhan merupakan kawasan yang tidak sesuai untuk kegiatan wisata.

b) Ketersediaan air tawar

Ketersediaan air tanah juga merupakan faktor yang utama dalam kegiatan

pariwisata pantai. Ketersediaan air tawar dilihat dari seberapa jauh jarak

sumber air tersebut terhadap pantai. Jarak pantai dengan sumber air < 2

km merupakan kawasan yang sangat ideal untuk kegiatan wisata,

sedangkan pantai yang mempunyai sumber air berjarak > 2 km merupakan

kawasan yang kurang ideal untuk kegiatan pariwisata pesisir. Dalam

perkembangannya air tawar ini dapat dipasok dari tempat lain.

c) Kemiringan lereng

Kemiringan perlu untuk menentukan apabila suatu daerah termasuk

kategori datar, landai, agak curam, dan curam. Kelas sangat sesuai

diberikan untuk kemiringan lereng datar (0 – 10%), kelas sesuai untuk


(32)

kemiringan agak curam (15 – 20%), dan kelas tidak sesuai untuk daerah

yang mempunyai kemiringan lereng curam yaitu > 20%.

2.2.2 Pariwisata bahari

Pariwisata bahari merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan

pengamatan biota laut seperti terumbu karang dan ekosistemnya, ikan, mamalia

laut, serta pengamatan keunikan dasar laut. Berbagai kegiatan yang dapat

dilakukan wisatawan adalah diving, snorkling untuk menikmati keindahan taman laut. Minat wisatawan terhadap kawasan terumbu karang semakin tinggi karena

indonesia telah dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan dan keindahan

alam bawah laut yang sangat besar.

Dalam pengembangan sektor pariwisata, Kawasan Sabang diharapkan menjadi

pintu masuk wisata bahari nasional dengan pemanfaatan pelayanan pelabuhan

yang bertujuan untuk memasarkan daerah tujuan lain yang ada di Indonesia

khususnya. Pariwisata yang akan dikembangkan merupakan implementasi dari

kerjasama segitiga antara Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk sektor

pertumbuhan ekonomi dari segi pemanfaatan sektor pariwisata (BPKS, 2005).

Parameter atau syarat-syarat yang diperlukan untuk kegiatan wisata bahari

(Bakosurtanal, 1996 in Rakhmawati, 2002) antara lain: a) Kecerahan perairan (transparancy)

Perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam

kegiatan ini, semakin cerah suatu perairan keindahan taman laut yang

dapat dinikmati wisatawan juga semakin tinggi. Daerah dengan nilai

kecerahan 15-20 m (hasil pengukuran seichii-disk) yang tidak termasuk laut dalam merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata bahari.


(33)

10

Wilayah perairan dengan kecerahan 5-10 m masih dianggap layak untuk

kegiatan pariwisata bahari, dan wilayah dengan nilai kecerahan kurang

dari 5 m dianggap tidak sesuai untuk kegiatan wisata ini.

b) Tutupan terumbu karang hidup

Persentase penutupan terumbu karang merupakan unsur utama dalam

kegiatan pariwisata bahari karena memiliki nilai estetika taman laut yang

akan dinikmati oleh para wisatawan. Daerah dengan tutupan terumbu

karang hidup >75% merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata

bahari. Toleransi diberikan pada daerah dengan tutupan terumbu karang

25-74%, dan daerah dengan tutupan terumbu karang kurang dari 25%

dianggap tidak sesuai karena tidak lagi termasuk dalam kategori indah.

c) Jenis terumbu karang dan biota yang berasosiasi

Semakin beragam jenis hewan karang dan biota yang berasosiasi, semakin

banyak keindahan alam bawah laut yang dapat dinikmati oleh para

wisatawan. Wilayah yang mempunyai karang dan biota yang berasosiasi

lebih dari 61 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan hewan karang

yang sangat beragam, lokasi yang mempunyai hewan karang dan biota

yang berasosiasi antara 27 – 61 spesies dikategorikan ke dalam daerah

dengan jenis hewan karang beragam. Sementara itu yang mempunyai

spesies hewan karang dan biota yang berasosiasi 11 – 26 dan kurang dari

11 masing – masing dikategorikan kedalam daerah dengan jenis hewan


(34)

d) Jenis ikan karang

Keragaman ikan karang merupakan faktor utama yang dapat menunjang

keindahan alam bawah laut. Menurut Rakhmawati (2002) daerah dengan

ikan karang lebih dari 61 spesies dikategorikan ke dalam daerah dengan

jenis ikan karang sangat beragam, daerah yang mempunyai jenis ikan

karang antara 27 – 61 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan jenis

ikan karang beragam. Daerah yang mempunyai jenis ikan karang antara

11 – 26 spesies dikategorikan kedalam daerah dengan tingkat keragaman

sedang dan daerah yang mempunyai jenis ikan karang kurang dari 11

spesies dikategorikan kedalam daerah dengan jenis ikan dengan sedikit

beragam.

e) Kecepatan arus

Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan para wisatawan dalam

melakukan aktifitasnya. Menurut keterangan seorang instruktur selam,

kecepatan arus maksimal yang dapat ditolerir oleh seorang penyelam

maksimal 1 knots atau setara dengan 0,51 m/s. Daerah dengan kecepatan

arus 0-0,17 m/s merupakan lokasi yang paling sesuai. Kecepatan arus

0,17-0,34 m/s dikategorikan ke dalam lokasi sesuai, sedangkan kecepatan

arus 0,34-0,51 m/s dikategorikan ke dalam lokasi sesuai bersyarat, dan

daerah dengan kecepatan arus >0,51m/s dikategorikan ke dalam lokasi


(35)

12

f) Kedalaman perairan

Kedalaman perairan untuk wisata selam merupakan syarat pendukung atau

syarat tersier kegiatan wisata bahari. Parameter kedalaman berkaitan

dengan kemampuan seorang penyelam untuk menikmati keindahan taman

bawah laut. Daerah dengan kedalaman 3 - 15 m merupakan daerah yang

sangat sesuai untuk kegiatan diving. Toleransi diberikan pada daerah dengan kedalaman 15 - 20 m karena sesuai untuk kegiatan diving, sesuai bersyarat 20 - 25 m dan daerah dengan kedalaman >25 m dikategorikan

tidak sesuai. Hal ini juga tergantung pada kondisi biota bawah laut pada wilayah perairan yang dimaksud.

2.3 Penginderaan jauh dan sistem informasi geografi 2.3.1 Sistem penginderaan jauh

Penginderaan jauh adalah suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang suatu obyek, daerah atau fenomena dengan menganalisis data yang

diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek,

daerah atau fenomena yang dikaji. Pengamatan tanpa kontak langsung

dilaksanakan dengan memanfaatkan energi elektromagnetik yang dipancarkan

atau dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada

suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform. Platform tersebut dapat berupa pesawat terbang, balon udara atau satelit. Komponen di dalam sistem

penginderaan jauh yang saling terlibat dan perlu dipahami (Lillesand dan Kiefer,


(36)

1. Sumber energi, yang berupa energi elektromagnetik yang berasal dari alam

(matahari) dan buatan.

2. Atmosfer merupakan media lintasan dari energi elektromagnetik.

3. Interaksi antara energi dan obyek.

4. Sensor, yaitu alat yang mendeteksi energi elektromagnetik dari suatu obyek

dan merubahnya ke dalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam.

5. Perolehan data, dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi

secara visual dan dapat pula dilakukan dengan cara numerikal atau cara digital

yaitu dengan menggunakan komputer.

Penginderaan jauh (Inderaja) sudah banyak diaplikasikan dalam bidang

kelautan. Beberapa aplikasi atau penerapan inderaja untuk kelautan adalah

aplikasi untuk oseanografi fisika, aplikasi untuk sumberdaya alam laut, dan

aplikasi untuk pengamatan dan perlindungan wilayah pesisir. Pengamatan

perubahan garis pantai, dinamika pantai, monitoring pencemaran pantai, kondisi

mangrove dan ekosistem pantai lainnya juga menjadi perhatian inderaja kelautan.

Dengan demikian inderaja kelautan tidak hanya mendeteksi parameter-parameter

yang ada di air laut tetapi juga mencakup parameter-parameter daratan yang ada

di wilayah pesisir (Susilo, 2006).

2.3.2 Satelit penginderaan jauh

Landsat 7/ETM adalah satelit remote sensing yang dioperasikan oleh USGS (United States Geological Survei), diluncurkan pada tanggal 15April 1999 berorbit polar pada ketinggian orbit 705km, dengan membawa sensor ETM+

yang dapatmenghasilkan citra multispektral danpankromatik yang


(37)

14

menyajikan data inderaja berkualitastinggi dan tepat waktu dari kanal tampak

(visible)dan infra merah yang meliput seluruh daratandan kawasan di sekitar pantai di permukaan bumidan secara berkesinambungan memperbaharuidata

base yang ada (NASA, 2005).

Landsat ETM+ (Enchanced Thematic Mapper Plus) merupakan

pengembangan dari satelit Landsat 5 dan Landsat 6 dengan adanya beberapa

penambahan kemampuan seperti penambahan kanal pankromatik dengan resolusi

spasial 15 m pada Landsat 6/ETM dan perubahan resolusi spasial kanal 6 dari 120

m menjadi 60 m pada Landsat 7/ETM (NASA, 2005). Karakteristik kanal

Landsat 7/ETM dapat dilihat pada Tabel 1 dan konfigurasi satelit Landsat 7/ETM

dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Karakteristik kanal Landsat 7/ETM

Instrumen (sensor) Enhanced Thematics Mapper

(ETM+)

Lebar Cakupan (swath width) 185 km

Pengamatan Balik (revisit time) 16 hari

Orbit Ketinggian Orbit

Hampir polar, sinkron dengan matahari

705 km

Melintasi Ekuator (local time) 10.00 ±15 min

KANAL/SPEKTRUM Kisaran

spektral (µ)

Resolusi spasial ( m )

1 Sinar tampak violet-Biru 0,450 - 0,515 30

2 Sinar tampak Hijau 0,525 - 0,605 30

3 Sinar tampak Merah 0,630 - 0,690 30

4 Infra merah dekat (NIR) 0,750 - 0,900 30

5 Gelombang infra merah pendek (SWIR) 1,550 - 1,750 30 6 Gelombang infra merah Thermal (TIR) 10,40 - 12,50 30 7 Short Wave IR 2.090 - 2,350 30

8 Modus Mono (Pankromatik) 0,520 - 0,900 15

Tanggal diluncurkan 15 April 1999

Waktu operasional 5 tahun


(38)

Sumber: NASA, 2005

Gambar 1. Konfigurasi satelit Landsat 7/ETM

2.3.3 Sistem informasi geografi (SIG)

Menurut Aronoff (1993) in Prahasta (2001), sistem informasi geografi adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang dilengkapi kemampuan untuk menangani

data yang bereferensi geografi yang mencakup : input (pemasukan), manajemen

data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis, output

(produk/keluaran). Sistem informasi geografis adalah kumpulan yang terorganisir

dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis dan personil yang

dirancang untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,

menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi

geografis (Prahasta, 2001).

Peranan SIG tergantung pada keberadaan data. Dalam hal ini SIG

menggunakan dua jenis data, yaitu :

1) Data spasial

Data spasial adalah data yang mengacu pada ruangan suatau wilayah geografis


(39)

16

bentuk penyajiannya berupa peta (Kardono,1996). Setiap data spasial dalam SIG

mengacu ke bentuk lapisan data atau bidang data. Dalam tiap lapisan akan terdiri

dari 3 tipe segmen data (entity) antara lain : titik (point), garis (line) dan ruang

(polygon).

2) Data non-spasial

Data non-spasial atau lebih dikenal dengan data atribut adalah data yang

melengkapi keterangan dari data spasialnya baik dalam bentuk statistik maupun

deskriptif. Data atribut ini dibedakan menjadi dua: data kualitatif (nama, jenis,

tipe) dan data kuantitatif (angka, bagian/besar jumlah, tingkatan, klas interval)

yang mempunyai hubungan satu-satu dengan data spasialnya.

Dalam pemantauan kesesuaian lahan untuk pariwisata, penggunaan teknologi

penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan

dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke lapangan)

yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan

menggunakan penginderaan jauh dan SIG, pengamatan objek (lahan pesisir) di

permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang

luas.

2.3.4 Model data raster dan cell based modeling

Dataraster atau disebut juga grid cell adalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai

struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Pada data raster, resolusi tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi pixel

menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap


(40)

oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya (Puntodewo et al., 2003). Data raster tersusun dari sel yang membentuk baris dan kolom yang analog dengan matriks

kartesius (baris sel mewakili absis x dan kolom sel mewakili ordinat y).

Masing-masing sel memiliki koordinat serta sebuah nilai sebagai identitas untuk

menggambarkan sebuah kelas, kategori atau grup.

Analisis spasial dengan menggunakan cell based modeling saat ini banyak dilakukan untuk memodelkan keadaan di alam (ESRI, 2002). Secara umum, suatu

model dapat merepresentasikan kekompleksitasan dan interaksi di alam dengan

suatu penyederhanaan. Pemodelan tersebut akan menolong kita untuk mengerti,

menggambarkan dan memprediksi banyak hal di alam. Ada dua model yang

dikenal dalam analisis spasial, yaitu model yang merepresentasikan

objek/kenampakan di alam (representation models) dan model yang mensimulasikan proses di alam (process models).

Representation models akan menggambarkan kenampakan di bumi seperti bangunan, taman atau hutan. SIG dapat menampilkan objek tersebut melalui

layer-layer, dimana untuk analisis spasial, layer tersebut dapat berupa raster.

Layer raster akan menampilkan objek tersebut dalam bidang bujursangkar yang

saling bertautan atau disebut grid. Setiap lokasi di dalam layer raster akan berupa

grid cell-grid cell yang memiliki nilai tertentu (ESRI, 2002).

Process models menggambarkan interaksi dari objek di bumi yang terdapat di dalam representation models. Process models dapat menggambarkan suatu proses di alam, tetapi lebih sering digunakan untuk memprediksi apa yang akan

terjadi pada suatu lokasi tertentu. Salah satu dasar dari analisis spasial dalam


(41)

18

kemudian dapat diterapkan untuk berbagai macam operasi aljabar pada lebih dari

dua data raster (ESRI, 2002).

Beberapa tipe dari process models yang umum digunakan adalah (ESRI, 2002):

1. Suitability modeling, hampir semua analisis spasial bertujuan untuk menentukan lokasi yang paling optimum, seperti menemukan lokasi yang

paling sesuai untuk mendirikan sekolah baru atau tempat wisata.

2. Distance modeling, analisis ini bertujuan untuk menentukan jarak yang paling efisien dari suatu lokasi ke lokasi yang lain.

3. Hidrologic modeling, salah satu aplikasi analisis ini adalah untuk menentukan arah aliran air di suatu lokasi.

4. Surface modeling, salah satu aplikasi analisis ini adalah untuk mengkaji tingkat penyebaran polusi di suatu lokasi.

Sebagai suatu model data, maka data raster juga mempunyai sifat atau

karakteristik yang dapat menunjukkan bahwa data tersebut adalah data raster.

Karakteristik-karakteristik model data raster adalah sebagai berikut:

a) Resolusi; resolusi spasial dapat diartikan sebagai suatu dimensi linear

minimum dari satuan jarak geografi terkecil yang dapat direkam oleh data.

Satuan terkecil dalam data raster pada umumnya ditunjukan oleh panjang

sisi suatu bidang bujursangkar pixel.

b) Orientasi; orientasi dalam model data raster dibuat untuk

mempresentasikan arah utara grid. Secara umum, untuk mendapatkan orientasi model data raster dilakukan penghimpitan arah utara grid dengan


(42)

arah utara sebenarnya pada titik asal dari dataset, yang biasanya adalah

titik di bagian kiri atas.

c) Lokasi; lokasi dalam model data raster dapat diidentifikasi dengan nilai

koordinatnya dalam sumbu x,y. Nilai x dan y ini dapat menunjukkan

koordinat bumi dan sangat bergantung pada jenis proyeksi yang digunakan

dalam peta.

d) Zone; setiap zone pada model data raster adalah sekumpulan lokasi-lokasi yang memperhatikan nilai/ID yang sama.

e) Nilai-nilai; nilai adalah informasi (atribut) yang disimpan dalam sebuah

layer untuk setiap pixel, sehingga pada ID yang sama pada beberapa pixel

dapat mempunyai nilai yang berbeda.

Sumber data raster yang digunakan dalam pendekatan cell based modeling

dapat diturunkan dari citra satelit. Menurut ESRI (2002), keseluruhan model

tersebut akan lebih efisien bila dilakukan pada data raster, selanjutnya analisis

spasial pada data raster disebut cell based modeling karena cara kerja metode ini berdasarkan sel atau pixel. Beberapa operasi pixel pada cell based modeling

adalah sebagai berikut:

a) Local function adalah operasi pixel yang hanya melibatkan satu sel. Nilai satu pixel output ditentukan oleh satu pixel input.

b) Focal function adalah operasi pixel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.

c) Zonal function adalah operasi pixel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.


(43)

20

d) Global function adalah operasi pixel yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut.

e) Application function adalah gabungan dari keempat ilustrasi di atas. Ilustrasi operasi pixel pada cell based modeling dapat dilihat pada Gambar 2.

a) Local Function b) Focal Function

c) Zonal Function d) Global Function

Gambar 2. Operasi pixel pada cell based modeling (ESRI, 2002)

2.4 Indeks kerentanan (vulnerability)

Pulau Sabang berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 27 Tahun

2007 termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil mengingat luasnya hanya 153

km2. Pulau-pulau kecil di Indonesia, tidak terkecuali Pulau Weh (Sabang),

menghadapi resiko bencana alam dan bencana akibat tekanan manusia yang

semakin besar mengingat sumber bencana alam yang beraneka ragam dan


(44)

diantaranya adalah gempa bumi, tsunami, badai, tanah longsor, kenaikan

permukaan air laut. Bencana alam yang mengancam lingkungan pulau-pulau

kecil sebenarnya juga terjadi di seluruh dunia. Oleh karena itu badan dunia yang

menangani lingkungan hidup yaitu UNEP (United Nations Environment Programme) telah membuat suatu indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (Environmental Vulnerability Index/EVI) (SOPAC, 2004).

Indeks kerentanan merupakan indeks yang menggambarkan kecenderungan

menuju kearah kerusakan (Gowrie, 2003). Indeks kerentanan sebenarnya

didasarkan pada penilaian terhadap berbagai aspek diantaranya dari aspek

ekologis, antropogenis, meteorologis, biologis, geologis dari suatu lingkungan

pulau. Indeks ini biasanya mencakup indikator-indikator yang masuk dalam

kategori resiko lingkungan/environmental risk (ERI), daya tahan

lingkungan/intrinsic resilience (IRI), dan kerusakan lingkungan/environmental degradation (EDI).

Indikator yang tercakup di dalam menyusun indeks kerentanan sebenarnya

sangat banyak (SOPAC, 2004). Namun demikian dalam penelitian ini hanya

beberapa indikator saja yang digunakan untuk membuat indeks kerentanan di

Pulau Weh yaitu indeks pantai/coastal index (IRI), indeks resiko permukaan laut/tenggelam (IRI), indeks isolasi pulau (IRI), ancaman bencana (ERI),

kekayaan ekosistem (IRI), keunikan lingkungan (IRI), human threat (ERI), pertumbuhan penduduk (ERI), kepadatan penduduk (ERI), luas pulau (IRI),

indeks pariwisata (ERI).

Indeks pantai/coastal index mencerminkan tingkat fragmentasi ekosistem dari suatu lahan pulau. Suatu pulau yang terfragmentasi sangat besar, misalnya


(45)

22

mempunyai banyak tanjung atau tanah genting kemungkinan besar mempunyai

pengaruh perbatasan (transboundary effects) yang besar. Ekosistem ini mungkin juga lebih terbuka terhadap bahaya kerusakan dari bencana alam dan dampak

manusia karena keberadaan daerah ungsian dan tipe ekosistem yang dapat

membentuk benteng pertahanan kemungkinan besar juga terbatas. Semakin tinggi

nilai indeks ini maka semakin rentan pulau tersebut.

Indikator resiko permukaan laut menekankan pada adanya dataran yang sangat

rendah yang mencerminkan daerah yang sangat mendapat dampak terkait dengan

polusi, gangguan ekosistem, banjir, dan kerentanan pesisir. Daerah sangat rendah

ini akan cenderung menjadi yang pertama kebanjiran, cenderung mengakumulasi

polusi yang dibawa oleh limpahan air hujan (run-off), dan di daerah pesisir menjadi daerah yang paling terkena dampak oleh badai, tsunami atau kenaikan

permukaan air laut. Daerah ini juga cenderung merupakan daerah yang

mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan/atau merupakan habitat yang

kritis (SOPAC, 2004). Makin besar indikator ini berarti suatu pulau secara

keseluruhan makin rentan.

Indikator isolasi pulau mencerminkan terisolasinya pulau dari pulau-pulau

yang lain dan/atau benua. Pulau yang terisolasi mungkin mempunyai resiko yang

lebih besar untuk kehilangan tipe ekosistem dan spesies selama periode stress jika

pulau tersebut jauh dari tempat ungsian (refuges) dan tempat sumber rekolonisasi. Pulau yang terisolasi kemungkinan besar hanya dapat mendukung jumlah spesies

yang lebih sedikit dibandingkan pulau yang dekat dengan pulau lain dan/atau


(46)

pertukaran genetis (genetic interchange). Makin besar nilai indeks ini maka makin rentan pulau tersebut (SOPAC, 2004).

Indikator ancaman bencana mencerminkan kemungkinan terjadinya kerusakan

ekosistem dari berbagai kejadian bencana alam tersebut di atas. Makin tinggi nilai

indeks ini maka daerah tersebut mempunyai resiko kerusakan yang lebih tinggi

sehingga semakin rentan.

Indeks kekayaan ekosistem (Ecosystem Richness/ER) yaitu mengukur jumlah ekosistem yang ada di pulau. Makin besar nilai indeks ini maka makin tidak

rentan dan sebaliknya semakin kecil nilai indeks ini berarti lingkungan tersebut

semakin rentan.

Indeks keunikan lingkungan adalah mengukur adanya keunikan lingkungan

dan bentuk pulau yang menarik untuk tujuan konservasi maupun pariwisata.

Semakin banyak keunikan yang ada pada suatu pulau maka semakin tinggi resiko

yang akan dialami oleh daerah ini jika terjadi bencana alam. Oleh karena itu

semakin tinggi nilai indeks ini akan semakin rentan (SOPAC, 2004).

Ancaman manusia (Human Threat/HT) yaitu mengukur tekanan populasi manusia terhadap lingkungan dan SDA di pulau. Semakin tinggi nilai indeks ini

maka semakin rentan.

Indeks pertumbuhan penduduk menekankan potensi kerusakan yang terkait

dengan perkembangan populasi manusia, diantaranya adalah eksploitasi SDA,

pembuangan limbah yang pada akhirnya memerlukan kemampuan asimilasi dari

lingkungan. Semakin besar nilai indeks ini maka semakin rentan suatu pulau


(47)

24

Indeks kepadatan penduduk (jumlah orang per km2) mengukur tekanan

terhadap lingkungan yang merupakan pengaruh dari jumlah penduduk yang dapat

didukung per unit lahan. Semakin tinggi nilai indeks ini maka makin besar pula

tekanan terhadap lingkungan, eksploitasi SDA dan gangguan fisik lingkungan.

Dengan demikian semakin besar nilai indeks semakin besar pula kerentanan

lingkungan (SOPAC, 2004).

Indeks luas pulau (km2) mencerminkan kekayaan tipe habitat dan

keanekaragaman hayati, ketersediaan daerah ungsian (refuges) jika kerusakan terjadi secara berlanjut. Pada umumnya makin besar suatu pulau akan

mempunyai pilihan yang lebih banyak dari hal-hal di atas dan memungkinkan

pemulihan kembali berlangsung lebih cepat terhadap daerah yang telah rusak.

Semakin tinggi nilai indeks ini maka pulau tersebut semakin tahan (resilience) terhadap gangguan alam (SOPAC, 2004).

Indeks pariwisata mengukur tambahan beban dampak manusia yang tidak

tercatat pada data statistik kependudukan. Pariwisata menambah tekanan pada

lingkungan melalui peningkatan permintaan atas sumber daya lokal dan melalui

penambahan polusi serta gangguan fisik terhadap lingkungan. Semakin besar


(48)

3.1 Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian terletak di Pulau Sabang atau Pulau Weh, Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Sabang secara geografis terletak antara

95o13'02"BT - 95o22'36"BT dan 05o45'28"LU - 05o54'28"LU. Survei lapang dan

pengambilan data lapang dilaksanakan pada tanggal 30 November 2007 sampai

11 Desember 2007. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Pulau Weh

Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu a). pengumpulan

informasi tentang kondisi kawasan melalui laporan penelitian, artikel, maupun

studi-studi yang terkait, b). persiapan dan pemrosesan citra satelit di Laboratorium

Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,

95o

12’ 46” 95o 23’ 36”

5

o4

7

0

6

5

o

5

2

3

4


(49)

26

Institut Pertanian Bogor, c). pengolahan data sekunder (data terumbu karang dan

ikan karang), pengolahan data citra lanjutan dan penyusunan skripsi.

3.2. Alat dan bahan 3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1.Perangkat lunak ER Mapper 6.4

2.Perangkat lunak Arc View 3.3 dan perangkat lunak ArcGis 9.2 3.GPS (Global Positioning System)

4.Floating droudge untuk mengukur kecepatan arus 5.Seichi disc untuk mengukur kecerahan perairan

6.Peralatan SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus).

3.2.2 Bahan

Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.Data citra Landsat 7/ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) path/row: 131/056 6 Mei 2006 dari Biotrop Training and Information Center (BTIC)

Biology Tropical (BIOTROP).

2.Peta digital Pulau Weh dari Pusat Pengkajian dan Penerapan

Teknologi-Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3 TISDA) Badan Penerapan dan

Pengkajian Teknologi (BPPT) dan Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah (BAPPEDA) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

3.Data terumbu karang dan ikan karang dari Wildlife Conservation Society

(WCS) tahun 2006.


(50)

3.3 Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah integrasi

Inderaja dan SIG. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu pengolahan citra,

survei lapangan dan pengumpulan data pendukung, pengolahan dan analisis data.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cell based modeling

dengan sistem pembobotan dan skoring.

3.3.1. Pengumpulan data

Pada penelitian ini data yang digunakan terdiri dari dua, yaitu data primer dan

data sekunder.

1) Data primer

Data primer untuk analisis spasial dengan melakukan pengamatan langsung di

lapangan dan pengolahan data citra Landsat 7/ETM+. Pengamatan langsung di

lapangan dilakukan terhadap posisi sebaran ekosistem wilayah pesisir, seperti

mangrove, lamun, dan terumbu karang, serta posisi pengukuran kualitas perairan

menggunakan GPS (Global Positioning System) seperti kecepatan arus (m/s), dan kecerahan perairan (m) sebagaimana terlihat pada Gambar 3.

2) Data sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai laporan yang berasal dari

instansi/institusi terkait seperti data statistik cuaca Sabang dari Badan Meteorologi

dan Geofisika (BMG), data biofisik yang berhubungan dengan biota dan sifat fisik

lokasi studi, sosial ekonomi dan budaya yang berhubungan dengan kondisi sosial

budaya masyarakat lokal dan wisatawan, data spasial (berhubungan dengan peta)


(51)

28

3.3.2 Penyusunan basis data digital

Basis data digital yang disusun terdiri dari basis data spasial dan non-spasial.

Basis data spasial dari citra Landsat 7 ETM+ diolah menggunakan ER Mapper 6.4 dan pembuatan peta-peta tematik menggunakan software (perangkat lunak) Arc View 3.3 dan Arc Gis 9.2. Basis data non-spasial (atribut) dibuat dengan menggunakan softwareexcel dan Arc View 3.3.

3.4. Analisis citra secara digital

Analisis citra secara digital bertujuan untuk mengekstrak informasi dari hasil

rekaman citra satelit. Proses pengolahan citra diartikan sebagai beragam

operasional proses komputer yang dilakukan pada data citra satelit sehingga

dihasilkan data tertentu. Proses pengolahan citra secara digital disebut image processing. Tahapan-tahapan image processing terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahapan image processing

Pemulihan Citra (Koreksi Radiometrik dan

Geometrik) Citra Satelit

Penajaman Citra

Klasifikasi

Peta tematik substrat dasar perairan dangkal dan kecerahan perairan


(52)

3.4.1 Pengolahan citra awal

3.4.1.1 Pemotongan citra (image croping)

Pengolahan data citra satelit diawali dengan pemotongan data citra yang

bertujuan untuk membatasi daerah sesuai dengan lokasi penelitian. Perekaman

daerah oleh sensor satelit mencakup daerah rekaman yang sesuai dengan luasan

sapuan sensor, oleh karena itu perlu adanya pembatasan daerah pada citra

(cropping) sesuai kebutuhan penggunanya.

3.4.1.2 Pemulihan citra (Koreksi radiometrik)

Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang

menurunkan kualitas citra, yaitu faktor gangguan atmosfer, sudut elevasi

matahari, dan kesalahan respon detektor pada saat penyiaman. Koreksi

radiometrik ini dilakukan dengan teknik histogram adjusment. Teknik ini

didasarkan pada pengurangan nilai digital sebesar bias dari masing-masing band.

Nilai bias adalah nilai digital terendah pada setiap band, nilai bias diasumsikan

sama dengan besarnya pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya. Pada

metode ini ditetapkan bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya

adalah nol. Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan pengaturan

histogram dapat dilihat pada persamaan berikut:

DNi,j,k(output terkoreksi) = DNi,j,k(input asli) – bias

dimana: DN = Nilai Digital Number

i = Baris

j = Kolom

k = Input nilai


(53)

30

3.4.1.3 Penajaman citra (image enhancement)

Penajaman citra secara digital merupakan proses penggabungan informasi dari

dua citra secara spektral melalui band rasioning (menghitung perbandingan nilai digital pixel setiap band). Penajaman citra dilakukan untuk meningkatkan

informasi pada citra sehingga dapat membedakan objek yang ada dalam citra yang

menjadi parameter kesesuaian lahan. Pada penelitian ini penajaman citra

menggunakan metode FCC (false color composite) dan menggunakan algoritma-algoritma yang sesuai untuk kebutuhan analisis. Penajaman citra pada substrat

perairan dangkal dan kecerahan perairan sebagai berikut:

1). Penajaman citra untuk substrat perairan dangkal

Pada penelitian ini penajaman citra terumbu karang menggunakan algoritma

Lyzenga sebagaimana yang pernah digunakan oleh Siregar (1996) untuk pemetaan

terumbu karang di Kepulauan Seribu. Algoritma yang digunakan merupakan

hasil turunan “Standart Exponential Attenuation Model”dengan bentuk perumusan sebagai berikut :

Y = ln (TM1) + ki/kj ln (TM2) ...(1)

Y = Citra hasil ekstraksi dasar perairan

TM1 = Kanal pertama sinar tampak dari LANDSAT 7 - ETM TM2 = Kanal kedua sinar tampak dari LANDSAT 7 - ETM

ki/kj = Koefisien Atenuasi Perairan

Pada ekstraksi terumbu karang FCC (false color composit) yang digunakan adalah kombinasi kanal dari kanal 4, kanal 2, dan kanal 1. Kanal 4 berfungsi

untuk membedakan antara daratan dan lautan. Kanal 2 dan kanal 1 mampu

menembus kolom perairan sehingga dapat mendeteksi terumbu karang yang


(54)

mendapatkan visualisasi yang diinginkan sehingga memudahkan dalam klasifikasi

citra. Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan nilai Varian dan Covarian dari kanal 1 dan kanal 2 untuk mendapatkan nilai a dan nilai ki/kj. Bentuk perumusan

nilai a dan nilai ki/kj sebagai berikut:

ki/kj = a + (2a+1)... (2) a =

2 1

2 1

var *

2 Co TMTM

VarTM VarTM

a = Konstanta

2). Penajaman citra untuk ekstraksi kecerahan

Kecerahan perairan dapat diturunkan melalui citra Landsat 7/ETM+,

menggunakan nilai digital number dari band 1 untuk menentukan distribusi kecerahan. Algoritma kecerahan yang digunakan adalah (LAPAN, 2004):

Kecerahan (m) = 17,51427-0,10925 * b1 ... (3)

b1 = Digital number pada band 1 (Landsat 7/ETM+)

3.4.1.4 Klasifikasi citra

Metode yang digunakan dalam pengklasifikasian citra adalah klasifikasi

terbimbing (supervised classification). Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma-algoritma kemudian diklasifikasi. Tujuan dari klasifikasi citra adalah

untuk mengubah data citra menjadi kelas tertentu yang khas dan dapat

memberikan suatu informasi.

3.5 Metode cell based modeling

Analisis kesesuaian kawasan pariwisata dilakukan dua tahapan analisis data,

yaitu (a) analisis spasial (keruangan), dan (b) analisis tabular. Analisis spasial


(55)

32

metode cell based modeling dengan sistem pembobotan atau skoring yang pada akhirnya digunakan dalam pengambilan keputusan untuk penentuan kawasan

potensial pariwisata pesisir maupun bahari. Diagram alir penelitian dapat dilihat

pada Gambar 5.

Analisis keruangan yang digunakan dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu

penyusunan matriks kesesuaian untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan yang

sesuai untuk pariwisata pesisir dan bahari, kemudian tahap selanjutnya adalah

proses overlay untuk mendapatkan basis data secara keseluruhan. Metode overlay

dilakukan pada data raster sehingga disebut raster overlay. Analisis tabular dilakukan untuk mencari suatu posisi atau luasan tertentu di muka bumi dengan

memasukan kriteria-kriteria yang dibutuhkan. Adapun proses overlay untuk pariwisata pesisir bagian darat dan bagian laut dapat dilihat pada Gambar 6 dan

Gambar 7, overlay pariwisata bahari dapat dilihat pada Gambar 8.

Seluruh parameter yang dilibatkan memiliki format data grid, yang terdiri atas

sekumpulan sel yang memiliki nilai tertentu. Pengelompokan sel dalam data

raster secara garis besar mengikuti operasi zonal functions, karena setiap sel akan dikodekan berdasarkan kriteria yang membentuk suatu zona. Zona yang

dimaksud dalam hal ini adalah zona sangat sesuai dengan kode 4, zona sesuai

dengan kode 3, zona sesuai bersyarat dengan kode 2 dan zona tidak sesuai dengan

kode 1. Seluruh parameter penentu kawasan potensial pariwisata pesisir dan

bahari dilakukan proses overlay dengan metode weighted overlay. Zona-zona kesesuaian pada matriks tersebut menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu


(56)

Pembuatan matriks kesesuaian ini dimulai dengan menentukan parameter apa

saja yang berpengaruh terhadap kawasan potensial pariwisata pesisir dan bahari.

Penyusunan matriks selanjutnya hanya memperhatikan faktor-faktor yang

bervariasi yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan Perairan Sabang.

Pembobotan setiap parameter berdasarkan dominannya pengaruh parameter

tersebut dalam penentuan kawasan potensial pariwisata pesisir dan bahari.

Pemberian skoring dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap

parameter.

Pemberian bobot untuk setiap parameter dalam kajian ini adalah 10 – 35% dan

pemberian nilai dalam kisaran 1 – 4. Sistem penilaian kelayakan pariwisata

pesisir bagian darat dan laut disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3, untuk pariwisata

bahari disajikan pada Tabel 4.

Bobot dan skor pada keseluruhan kriteria pariwisata pesisir dan bahari

diproses menggunakan sofware dan akan dihasilkan zona potensial pariwisata

pesisir dan bahari berdasarkan tingkat kesesuaian faktor-faktor pariwisata. Nilai

tiap kelas didapatkan berdasarkan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

X =

BixSi... (4) X = Total bobot nilai

Bi = Bobot pada tiap kriteria Si = Skor pada tiap kriteria

Selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap

bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimum yang kemudian dibagi

menjadi empat, yang dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

Lebar selang kelas =

(

)

(

)

4

min max

BixSi

BixSi


(57)

34

3

4

Gambar 5. Diagram alir penelitian

Digitasi, Editing,

dan Labeling

Data Infrastruktur Kecepatan Arus Jarak dari garis pantai Ketersediaan Air Tawar Tutupan Terumbu Karang Jenis Terumbu Karang Jenis Ikan Karang

Jenis terumbu karang dan biota yang berasosiasi

Basis Data Spasial Pembatasan Penentuan Parameter

Pemodelan Spasial Berbasis Sel (Cell

Based Modeling)

Kawasan Potensial Pariwisata Pesisir dan

Bahari

Studi Literatur Penyusunan Matriks

Kesesuaian

Data Sekunder

Survei Lapang dan PengambilanData

Pendukung

Penggabungan Band

Substrat Dasar Perairan Y = ln (TM1) + Ki/Kj ln (TM2) Kecerahan Perairan

(m) = 17.51427-0.10925 * b1 Koreksi Radiometrik dan

Geometrik Citra Penutupan Lahan RGB 542 Penajaman Citra Komposit Citra Koreksi Geometrik Elevation Koreksi Geometrik Parameter Fisik Daratan

Peta Batimetri Pulau Weh Skala 1: 100.000 Data Topografi

Citra Satelit LANDSAT 7 ETM Path Row: 131/056,


(58)

3

5

Parameter Pembobotan Raster overlay

X 0,3

X 0,25

X 0,25

X 0,2

Gambar 6. Proses overlay untuk penentuan lokasi pariwisata pesisir bagian darat

Parameter Pembobotan Raster overlay

X 0,35

X 0,25

X 0,25

X 0,2

Gambar 7. Proses overlay untuk penentuan lokasi pariwisata pesisir bagian laut Kedalaman perairan

Kecepatan arus

Kecerahan perairan

Peta kesesuaian wisata pesisir bagian laut Substrat pantai

Kemiringan lahan

Penutupan lahan

Ketersediaan air tawar

Jarak dari garis pantai

Peta kesesuaian wisata pesisir bagian darat


(59)

36

3

6

Parameter Pembobotan Raster overlay

X 0,2

X 0,1

X 0,1

X 0,15

X 0,15

X 0,15

X 0,15

Gambar 8. Proses overlay untuk penentuan lokasi pariwisata bahari Kecerahan perairan

Tutupan terumbu karang hidup Material dasar perairan

Kecepatan arus

Jenis ikan karang Kedalaman perairan

Peta kesesuaian wisata bahari

Jenis terumbu karang dan biota yang erasosiasi


(60)

3

7

Tabel 2. Sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata pesisir bagain darat

No Parameter *Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Kemiringan lahan (%) 30 S1≤ 10 4 10<S2≤15 3 15≤S3≤20 2 N>20 1

2 Penutupan lahan 25 Lahan

terbuka kelapa

4 Semak belukar rendah, savana

3 Belukar

tinggi

2 Hutan bakau, pemukiman,

pelabuhan

1

3 Jarak sumber air tawar (km) 25 S1≤0,5 4 0,5<S2≤1 3 1<S3≤1,5 2 N>1,5 1

4 Jarak dari garis pantai (km) 20 S1≤0,1 4 0,1<S2≤0,2 3 0,2<S3≤0,3 2 N>0,3 1

Jumlah= Bobot X Skor 100 4 3 2 1

Sumber: (Halim, 1998; Haris, 2003; Rakhmawati, 2002; *modifikasi)

Tabel 3. Sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata pesisir bagian laut

No Parameter *Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Kedalaman perairan (m) 20 S1≤5 4 5<S2≤10 3 10<S3≤15 2 N>15 1

2 Substrat dasar perairan 30 Pasir 4 Karang mati 3 - 2 Lumpur atau

Karang hidup 1

3 Kecepatan arus (m/s) 25 S1≤0,17 4 0,17<S2≤0,34 3 0,34<S3≤0,51 2 N>0,51 1

4 Kecerahan perairan (m) 25 S1≥15 4 15>S2≥10 3 10>S3≥5 2 N<5 1

Jumlah = Bobot X Skor 100 4 3 2 1


(1)

1

1

6

Amblyglyphidodon leucogaster 1 1

Amphiprion clarkii 1 1 1

Amphiprion ephippium 1 1

Amphiprion ocellaris 1 1

Amphiprion sandaracinos 1 1 1 1 1

Apolemichthys trimaculatus 1 1 2

Centropyge eibli 1 1 2 1 2 2 1 1 2

Centropyge multispinis 1 1 1 1 2 1 1

Chromis alpha 1 1 1

Chromis amboinensis

Chromis atripectoralis 1 1 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2

Chromis caudalis 1 1

Chromis dimidiata 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 1

Chromis ternatensis 2 1 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 2

Chromis viridis 1

Chromis weberi 2 1 1 1

Chrysiptera cyanea 2 1 1

Chrysiptera unimaculata 1 1 1

Dascyllus aruanus 1 1 1 1 1 1

Dascyllus carneus 1 1

Dascyllus reticulatus

Dascyllus trimaculatus 2 2 1 1 1 1 1

Dischistodus chrysopoecilus 1 1

Dischistodus perspicillatus 1 1

Hemiglyphidodon plagiometapon 2 1 1

Lepidozygus tapeinosoma 2 2 1

Neoglyphidodon melas 1 1 1


(2)

1

1

7

Neoglyphidodon oxyodon 2 1

Neopomacentrus azysron 1 1 1 2 1 2 1

Neopomacentrus cyanomus 2 1

Neopomacentrus violascens 1

Paraglyphidodon melas 1 1

Plectroglyphidodon dickii 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1

Plectroglyphidodon lacrymatus 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1

Pomacanthus imperator 1 1 1 1 1 1 1 1

Pomacanthus navarchus 1

Pomacanthus semicirculatus 1

Pomacanthus xanthometopon 1

Pomacentrus adelus 2 1

Pomacentrus amboinensis 1 1

Pomacentrus auriventris 2 2 1

Pomacentrus bankanensis 1 2 1 1 2 2 1 2 2 1

Pomacentrus brachialis 2 1 1 1 1

Pomacentrus burroughi 1 1

Pomacentrus chrysurus 2 1 2 2 1 2 1 1 1

Pomacentrus imitator 1

Pomacentrus lacrymatus 1 1

Pomacentrus lepidogenys 1

Pomacentrus littoralis 1 1 2

Pomacentrus molluccensis 2 1 2 2 2 1 1 1 2 2 1 1 1

Pomacentrus pavo 1 1

Pomacentrus philippinus 2

Pomacentrus simsiang 1

Pygoplites diacanthus 1


(3)

1

1

8

Stegastes obreptus 2 1

PRIACANTHIADAE Priacanthus hamrur 1

MICRODESMIDAE Nemateleotris magnifica 1 1

SCARIDAE Cetoscarus bicolor 1

Chlorurus bleekeri 1 1 1 1 1

Chlorurus perspicillatus 1 1

Chlorurus sordidus 1 2 2 1 1 2 2 2 1 1 2 2 1 1

Chlorurus troschelli 1 1 1 1 1 1 2 1

Hipposcarus longiceps 1 1

Scarus dimidiatus 1 1 1

Scarus forsteni 1

Scarus fraenatus 1

Scarus ghobban 1 2 1

Scarus globiceps 2 1 2 1 1 2 2 1 2 1

Scarus niger 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 1

Scarus oviceps 1 1

Scarus prasiognathus 1 1 1

Scarus psittacus 1 2 1

Scarus quoyii 1

Scarus rivulatus 1

Scarus rubroviolaceus 2 1

Scarus schleigeli 1 1

Scarus tricolor 1

Scarus viridifucatus 2

Scarus xanthopleura 1 2

SCORPAENIDAE Pterois antennata 1 1 1

Pterois volitans 1 1 1


(4)

1

1

9

Anyperodon leucogrammicus 1 1

Cephalopholis argus 1 1 1 1

Cephalopholis boenak 1 1 1

Cephalopholis cyanostigma 1

Cephalopholis leopardus 1

Cephalopholis miniata 1 1 1

Cephalopholis sonnerati 1

Cephalopholis urodeta 1

Diplorion bifasciatum 1

Epinephelus fasciatus 1 1

Epinephelus fasciatus 1

Epinephelus fuscoguttatus 1 1

Epinephelus hexagonatus 1 1 1

Epinephelus longispinis 1

Epinephelus merra 2 1

Epinephelus ongus 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Epinephelus quoyanus 1 1

Epinephelus tauvina 1 1 1

Plectropomus oligacanthus 1

Pseudanthias evansi 1 1 1

Pseudanthias squamipinnis 1 1

Variola louti 1

SIGANIDAE Siganus argenteus 2

Siganus guttatus 1 1

Siganus punctatissimus 2 1

Siganus stellatus 1 1 1

SPHYRAENIDAE Sphyraena barracuda 1 1 1


(5)

1

2

0

SYNODONTHIDAE Saurida gracilis 1

Synodus dermatogenys 1 1

Synodus sp 1

Synodus variegatus 1 1

TETRAODONTIDAE Arothron nigropunctatus 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1

Arothron stellatus 1 1 1 1

Canthigaster compressa 1 1

Canthigaster ocellicincta 1

Canthigaster valentini 1 1

ZANCLIDAE Zanclus cornutus 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 2 2 2 1 1

Jumlah 82 58 94 87 54 85 81 94 66 33 64 66 76 100 81 87 92 80 63 46 27 39 17

Ket: St.1 (Anoi Hitam), St.2 (Ba Kopra), St.3 (Batee Meuronon), St.4 (Benteng), St.5 (Beurawang), St.6 (Gapang), St.7 (Jaboi), St.8 (Lhok Weng), St.9 (Lhong Angin 1),

St.10 (Lhong Angin 2), St.11 (Lhong Angin 3), St.12 (Pulau Klah), St.13 (Rubiah Channel), St.14 (Rubiah Sea Garden), St.15 (Sumur Tiga), St.16 (Ujung Kareung),

St.17 (Ujung Seuke), St.18 (Ujung Seurawan), St.19 (Pulau Seulako), St.20 (Pulau Iboh), St.21 (Lhok Iboh), St.22 (Pantai Kasih), St.23 (Batee dong)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Selong tanggal 15 Februari 1985,

dari pasangan Bapak Hunaini dan Ibu Rabiatun Adawiyah.

Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan dasar penulis tempuh di SDN 1 Selong

tahun 1991-1997. Tahun 1997-2000 penulis

menyelesaikan pendidikan di SLTP N 3 Selong. Tahun

2003 penulis lulus dari SMU N 1 Selong. Pada tahun yang sama penulis diterima

di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di

Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama perkuliahan penulis Aktif dalam Organisasi Himpunan Mahasiswa

Lombok Timur (HIMALOTIM) dan Forum Komunikasi Mahasiswa Lombok

(FKML) serta Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA)

IPB sebagai Sekretaris Bidang Kewirausahaan periode 2006-2007. Penulis juga

pernah mengikuti seminar kelautan nasional Januari 2006 dan Advanced in

Remote Sensing Aplication di SEAMEO-BIOTROP Juni 2007 serta pernah

menjadi asisten dalam pelatihan pengembangan SDM bidang penginderaan jauh

dan SIG tingkat lanjut MCRMP November 2007.

penulis menyelesaikan studi di IPB dengan melaksanakan penelitian berjudul

“Metode Cell Based Modeling untuk Penentuan Kawasan Potensial Wisata