dengan kriteria tipologi kapal mini purse seine, karena selain masih menggunakan mesin outboard dengan kekuatan yang kecil juga tidak
dilengkapi dengan alat bantu, sehingga nanti akan sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan maupun efisiensi penangkapan.
5.1.2 Mini purse seine soma pajeko
Karakteristik mini purse seine soma pajeko di Kota Tidore terdiri dari 3 bagian, umumnya mempunyai spesifikasi dan bahan yang digunakan
sama hanya ukurannya saja yang berbeda. Ukuran panjang jaring berkisar antara 200 - 450 m, lebar antara 45 - 60 m, pemberat berjumlah 2.200
buah dan pelampung 1.100 buah dengan jarak antara pelampung 10 - 15 cm, jumlah cincin rata-rata terdiri dari 50 buah meiliki diameter 6,6 cm
terbuat dari bahan kuningan dengan jarak antar cincin berkisar 5 - 10 cm, bagian kantong mempunyai ukuran mata jaring 0,75 - 1 inci, badan jaring 1
inci bagian sayap 1,25 inci serta bagian jaring yang berada dipinggir badan jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci terdir dari 3 mata untuk arah ke
bawah dan panjang tali ris atas panjangnya sekitar 410 m dengan diameter sebesar 14 mm sedangkan tali ris bawah panjangnya 470 m dengan
diameter 14 mm. Berbeda dengan ukuran jaring di Aceh menurut Chaliluddin 2002
terdiri dari 5 bagian dan setiap bagian mempunyai ukuran yang berbeda, mempunyai panjang antara 600 - 1350 m, lebar 60 - 85 m, ukuran mata
jaring pada badan jaring 2 inci, bagian atas 10 mata, samping kiri dan kanan 20 mata dan bagian bawah 15 mata. Tali ring untuk menggantung
cincin pada tali ris bagian bawah panjangnya 100 m dengan diameter 15, panjang tali purse line adalah 2 kali panjang jaring, jarak antara pelampung
35 - 40 cm serta cincin yang terbuat dari besi putih atau dari kuningan dengan diameter 11,5 cm dan jara antar cincin bervariasi yaitu 10, 11, 13
dan 15 m. Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan
adalah panjang jaring, dimana berdasarkan hasil penelitian Namzah 2006, fungsi produksi untuk unit penangkapan mini purse seine soma pajeko di
perairan Kota Tidore Kepulauan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan, keadaan ini berarti bahwa setiap penambahan
atau pengurangan ukuran panjang jaring akan mengakibatkan peningkatan atau pengurangan jumlah hasil tangkapan produksi. Faktor panjang pukat
cincin dilaporkan juga signifikan untuk produksi ikan yang ditangkap dengan pukat cincin di Pekalongan Sudibyo, 1998 dan di Pengabengan
Kabupaten Jembrana Bali Sugiarta, 1992. Secara toritis semakin panjang jaring pada purse seine, maka
semakin besar pula garis tengah lingkaran dan menyebabkan semakin besar peluang gerombolan ikan tidak terusik perhatiannya, karena jarak
antara gerombolan ikan dengan dinding purse seine semakin besar sehingga ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap
Friedman and Caroother, 1986. Berdasarkan hasil penelitian Irham, 2005 hasil perhitungan
dengan uji t faktor teknis tinggi pukat cincin berbeda nyata dengan hasil tangkapan. Menurut Inoue 1961 diacu dalam Sugiarta 1992 menyatakan
bahwa perbandingan yang baik antara tinggi jaring dengan panjang jaring berada pada selang 0,14 - 0,20. Untuk tinggi pukat cincin yang
dioperasikan di Kota Tidore mempunyai perbandingan antara tinggi jaring dengan panjang jaring berada pada selang 0,10 - 0,30 dengan rata-rata
perbandingannya sebesar 0,20. Dengan demikian perbandingan tinggi jaring dengan panjang pukat cincin di daerah penelitian telah memenuhi
dari selang perbandingan yang disarankan. Dengan demikian tidak perlu lagi untuk di lakukan penambahan tinggi pukat cincin yang dioperasikan di
Maluku utara, karena penambahan tinggi pukat cincin lagi tidak akan meningkatkan hasil tangkapan namun berpengaruh pada kecepatan
penarikan jaring, maka hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan yang telah terkurung akan berpeluang untuk meloloskan diri .
5.2
Modus Operasi Mini Purse Seine Soma Pajeko
Kegiatan operasi mini purse seine soma pajeko di Kota Tidore Kepulauan adalah one day trip. Modus operasi penangkapan mini purse seine soma
pajeko pada lokasi penelitian Desa Maitara berbeda dengan lokasi penelitian Desa Mafututu dan Tomalou. Untuk Desa Maitara biasanya mempunyai daerah
fishing base di sekitar daerah penangkapan ikan di bagian timur pulau Bacan, mereka akan akan menetap sementara untuk beberapa hari sekitar 1 - 2
minggu Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya transportasi karena jarak tempuh dari Desa Maitara ke daerah fishing ground sangat jauh.
Umumnya armada mini purse seine soma pajeko dari Desa Maitara biasanya juga mempunyai kapal penampung untuk menampung hasil tangkapan
yang selanjutnya di bawa ke Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Ternate, dan bagi yang tidak mempunyai kapal penampung, hasil tangkapan mereka bisa
di tampung pada kapal penampung milik nelayan lain, dengan pembagian yang telah di sepakati oleh mereka. Biasanya nelayan kapal penampung mendapat 15
dari total hasil tangkapan jika menampung hasil tangkapannya pada kapal penampung, sedangkan nelayan Desa Mafututu dan Tomalou biasanya langsung
dari fishing base menuju ke fishing ground karena jarak tempuh sekitar 1 - 2 jam.
5.3
Hasil Tangkapan Mini Purse Seine Soma Pajeko
Hasil tangkapan mini purse seine soma pajeko pada ketiga daerah penelitian Mafututu, Tomalou dan Maitara, yang dominan adalah ikan layang
Decapterus russelli, hal yang sama juga di peroleh pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Irham, 2005, dimana karena pada bulan Agustus -
September merupakan musim puncak dari ikan layang. Selain itu kondisi oseanografi diduga memberikan pengaruh tehadap kelimpahan ikan tertentu
yang berada pada suatu perairan. Lebih lanjut Laevastu dan Hayes 1981 menyatakan bahwa pengaruh faktor oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis
dari berbagai daerah penangkapan menunjukan bahwa salah satu parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan pelagis adalah suhu dan arus.
Berdasarkan data dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan salinitas perairan sekitar pulau Tidore berkisar 27 - 29°C dan 31 - 34 ‰
selat Maitara. Pada pantai Timur Pulau Tidore diperoleh nilai sebesar 27,3 - 29,1°C dan 32 - 34‰ Goto, dari beberapa data yang terkumpul diperoleh
bahwa kecepatan arus dekat pantai di sekitar Selat Maitara berkisar 0,22 - 0,43 ms sekitar pada bagian timur pulau Tidore berkisar antara 0,11 - 0,33 ms.
Perairan di sekitar pulau Mare menunjukkan kecepatan sesaat data minim sebesar 0,16 ms sedangkan kecepatan arus antara pulau Moti dan Pulau
Halmahera sebesar 0,19 ms. Pengukuran kecepatan arus di sekitar pulau Woda diperoleh nilai kecepatan arus sesaat sebesar 0,09 - 0,13 ms. DKP Kota Tidore
Kepulauan, 2007. Berdasarkan hasil tangkapan perlokasi daerah penangkapan, nelayan desa
Maitara yang melakukan penangkapan pada daerah sekitar perairan Pulau Bacan memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak, yaitu 96.652 ekor di
bandingkan dengan nelayan dari desa Tomalou dan Maitara, hal ini bukan 61
karena adanya penambahan armada penangkapan, tetapi lebih karena adanya perpindahan aktivitas penangkapan atau perluasan daerah penangkapan fishing
ground ke sekitar perairan Bacan Kabupaten Halmahera Selatan disamping itu perairan ini diduga merupakan alur migrasi ikan pelagis.
Untuk Desa Tomalou dan Maitara yang memperoleh hasil tangkapan sedikit, hal ini karena pada perairan sekitar pulau Tidore sudah mengalami
overfishing berdasarkan penelitian Namzah, 2006, Terjadinya penurunan hasil tangkapan pada kedua desa tersebut diduga karena terjadinya penurunan
kelimpahan atau semakin berkurangnya stok yang berada pada perairan tersebut serta metode penangkapan ikan yang masih sederhana baik untuk alat maupun
armada penangkapannya, sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas dan kemampuan nelayan dalam produktivitas penangkapan ikan. Karena umumnya
nelayan hanya menangkap didaerah penangkapan yang sudah ada dan bahkan dilakukan berulang kali dalam jangka waktu yang singkat untuk satu daerah
penangkapan. Kondisi ini sama seperti yang terjadi di Lampulo menurut Nikijuluw, 2002 bahwa penurunan produktivitas alat tangkap pukat cincin di
Lampulo Aceh diduga karena para nelayan tidak meluaskan daerah penangkapan dan hanya menangkap didaerah penangkapan yang sudah ada,
sebagaimana diketahui bahwa secara keseluruhan Selat Malaka tingkat pemanfaatannya sudah mencapai status tangkap penuh full exploitation atau
bahkan tangkap lebih over exploitation. Sebenarnya alternatif perluasan penangkapan terdapat diwilayah sebelah
barat Halmahera dan bahkan ke selatan sampai ke utara Halmahera yang perairannya berhubungan dan berbatasan langsung dengan Laut Pasifik, Laut
Sulawesi dan Laut Maluku serta perairan Arafura, yang mana tingkat pemanfaatanya masih rendah, disamping itu hal lain yang ikut mempengaruhi
penurunan hasil tangkapan adalah maraknya penangkapan ilegal yang dilakukan oleh nelayan asing terutama nelayan Filipina dengan tingkat produksi yang besar
karena didukung oleh alat tangkap yang modern dan berteknologi tinggi dibandingkan dengan nelayan lokal. Selain itu jumlah produksi penangkapan
ikan di Kota Tidore Kepulauan juga dipengaruh musim, apabila musim puncak nelayan akan melakukan eksploitasi secara besar-besaran yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan produksi akan tetapi disertai dengan penurunan harga ikan.
Hasil tangkapan mini purse seine untuk setiap trip operasi penangkapan 62
cenderung mengalami penurunan dimana untuk trip operasi penangkapan ke - 1 memperoleh hasil tangkapan lebih banyak dari pada trip operasi penangkapan
ke - 2 dan ke - 3, hal ini disebabkan nelayan mini purse seine di Kota Tidore Kepulauan umumnya melakukan operasi penangkapan pada rumpon yang sama
dan selang waktu untuk trip penangkapan berikutnya sangat singkat sekitar 2 – 3 hari sehingga mempengaruhi hasil tangkapan nelayan, disamping itu akan
mengakibatkan degradasi sumberdaya perikanan pada perairan tersebut. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang.
Berdasarkan penelitian Namzah 2006 telah terjadi over capacity di sekitar perairan Tidore. Yulistyo et al. 2006 mengatakan umumnya nelayan pole and
line dan mini purse seine di Maluku Utara melakukakan aktivitas penangkapannya di sekitar perairan pantai yang masih potensial, sehingga jarak
tempuh dari fishing base ke fishing ground tidak terlalu jauh sehingga terjadi penumpukan armada pada suatu area fishing ground, hal ini juga sangat
mempengaruhi keberadaan sumberdaya yang ada di perairan tersebut. Nikijuluw et al. 2007 telah menguraikan beberapa indikator bila mana
suatu perairan telah mengalami over fishing yaitu : 1 menurunnya produksi atau produktivitas secara nyata; 2 ukuran ikan target yang tertangkap semakin kecil;
3 munculnya spesies non target dalam jumlah banyak dan; 4 trend data produksi bersifat fluktuatif
Kondisi perikanan bebas tangkap open access fishery adalah kondisi di mana setiap orang dapat melaksanakan kegiatan penangkapan ikan di suatu
wilayah perairan tanpa adanya pembatasan. Pada kondisi tersebut terdapat kecenderungan para nelayan untuk menangkapa ikan sebanyak mungkin
sebelum didahului oleh nelayan lainnya. Kecenderungan ini menyebabkan tingkat upaya tangkap ikan meningkat hingga tercapainya dimana tidak lagi
diperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Gordon 1954 diacu dalam Wiyono, 2001.
Menurut Clark 1985 untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu wilayah perairan, maka konsep yang harus di kembangkan adalah
konsep kepemilikan tunggal single owner concept yang menaganggap stok sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan sebagai modal asset oleh
pihak pemilik tunggal yaitu Pemerintah Daerah, yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dan pemanfaatan sumberdaya ikan pada jangka
panjang. 63
5.4 Ukuran Ikan Hasil Tangkapan