Parameter fisika-kimia perairan HASIL DAN PEMBAHASAN

Neis 1993 dalam Supriyanto dan Muladi 1999 menyatakan bahwa akar eceng gondok yang bercabang-cabang halus berfungsi sebagai sistem filtrasi biologis, dimana mampu menghilangkan nutrien mineral, maka pada kasus ini diduga unsur C yang terkandung dalam bahan organik sebagian besar telah diserap oleh akar eceng gondok, sehingga pada akhirnya lumpur yang mengendap di dasar perairan tidak kaya lagi akan kandungan C-organik yang tinggi Winarno, 1993 dalam Supriyanto dan Muladi, 1999. Dari Gambar 5 juga dapat dilihat ukuran butiran rata-rata sedimen di Situ Rawa Besar didominasi oleh lumpur debu+liat, dimana berperan sebagai penyedia nutrien yang cenderung mengakumulasi bahan organik.

4.4. Parameter fisika-kimia perairan

Kondisi lingkungan yang mencakup parameter fisika-kimia perairan dapat mempengaruhi kehidupan suatu organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan tersebut dapat berupa faktor fisika, kimia dan biologi. Adapun hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia perairan yang dilakukan selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan selama pengamatan. Parameter Satuan Stasiun Baku Mutu I II III IV V VI VII Substasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Fisika Suhu o C 31 32 31 30 30 31 30 30 30 28 28 29 29 29 29 29 29 29 30 30 29 Fluktuasi min 3 Kecerahan cm 35 30 30 30 40 30 40 50 50 40 40 40 50 50 40 40 50 40 20 40 50 - Kedalaman Air m 0.6 1 0.9 2.3 2.2 1.4 2.2 2.1 1.3 2.2 2.2 1.8 2.5 2.2 2.1 2.1 2.1 2.1 1.8 2.3 1.8 - Kedalaman Sedimen cm 1 1 1 33 36 38 33 45 80 41 38 48 15 40 59 47 45 57 33 12 50 - Kimia Kekeruhan NTU 6.6 9 6.8 8.5 6 5.7 5.9 6.2 7.3 5.2 5 7.5 5.6 8.3 8.5 7 6.7 7 13 6.9 6.3 - pH 5 6.5 6 5.5 5.5 6 6 6.5 6 6 6.5 5 6 6 6 5.5 6 6 6 6 6 6-9 DO mgO 2 l 12.3 12.1 12.3 7.3 9 12.3 10.6 7.4 6.9 1.6 3.3 4.1 4.9 6.5 5.7 9 6.5 6.5 7.4 8.2 5.7 3 mgO 2 l min COD mgl 19.9 23.9 19.9 23.9 8 23.9 15.9 19.9 1992 8 15.9 12 19.9 23.9 15.9 19.9 27.9 15.9 23.9 19.9 15.9 20mgl PP. RI. No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas III yaitu air yang diperuntukkan bagi kegiatan perikanan . Effendi, 2003 Pengenceran 20x, setelah diberi perlakuan AgNO 3 dan dilakukan penyaringan Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 12, menunjukkan bahwa nilai suhu tertinggi berada pada substasiun 1, 2, 3, dan 6 yaitu melebihi 30 o C. Nilai rata-rata suhu terendah berada pada substasiun 10 dan 11 yaitu 28 o C. Selain itu, dapat dilihat pula kisaran suhu yang seragam pada beberapa substasiun pengamatan. Nilai suhu yang tinggi pada pengamatan, diduga karena pengukuran dilakukan lebih siang. Effendi 2003 menyatakan bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas sehingga mempengaruhi suhu. Tingginya nilai suhu juga diduga akibat tidak adanya tanaman air ataupun pepohonan yang dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Dengan demikian, perairan menerima panas lebih banyak dan penguapan pun jauh lebih besar. Selain itu, kedalaman pada substasiun 1, 2, dan 3 yang lebih dangkal dibandingkan substasiun lainnya juga mempengaruhi suhu di perairan. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air akan semakin berkurang dengan semakin bertambahnya kedalaman. Stasiun 4 memiliki nilai suhu yang rendah diduga akibat adanya hamparan tanaman air di lokasi pengamatan. Adanya tanaman air dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan dan menghalangi absorbsi panas dari cahaya matahari ke dalam perairan sehingga suhu perairan pun akan berkurang. Kisaran suhu di perairan Situ Rawa Besar selama pengamatan masih tergolong baik bagi kepentingan perikanan, yaitu memiliki fluktuasi di bawah 3 o C Peraturan Pemerintah No. 82, 2001. Menurut Welch 1992, suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos adalah suhu yang berkisar antara 35-40 o C. Kecerahan tertinggi yang mencapai nilai 50 NTU, diduga akibat dari cuaca yang cerah pada saat pengukuran substasiun-substasiun tersebut. Asmawi 1983 dalam Retnowati 2003 menyatakan bahwa perairan dengan nilai kecerahan 45 cm kurang baik bagi perikanan karena dapat mengurangi batas pandangan ikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perairan Situ Rawa Besar berdasarkan nilai kecerahan selama pengamatan kurang baik bagi perikanan. Kedalaman air paling tinggi berada pada substasiun 13, yaitu 2,5 m, sedangkan kedalaman sedimen tertinggi berada pada substasiun 15, yaitu 59 cm, dimana kedua substasiun tersebut merupakan stasiun yang sama mewakili daerah yang dekat dengan pembuangan limbah dari pabrik tahu. Buangan limbah dari pabrik tahu berupa ampas dan bahan-bahan buangan lain diduga menumpuk di dasar perairan. Berdasarkan hasil pengamatan, kedalaman air yang tinggi tidak selalu diiringi dengan kedalaman sedimen yang tinggi pula, karena pada kenyataannya tingginya kedalaman sedimen dipengaruhi oleh adanya aktifitas di sekitar lokasi tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran kekeruhan menunjukkan bahwa nilai kekeruhan yang tinggi berada pada substasiun 20, yaitu 13 NTU, sedangkan nilai terendahnya berada pada substasiun 11, yaitu 5 NTU. Kekeruhan yang tinggi pada substasiun 20, diduga berhubungan dengan inlet yang berasal dari mata air. Aliran mata air dapat memberi pergerakan pada dasar perairan dan pergerakan tersebut dapat menyebabkan pengadukan substrat di dasar. Tingginya nilai kekeruhan diduga juga akibat dari akumulasi partikel cemaran berbagai aktifitas di sekitar lokasi seperti adanya tumpukan sampah. Rendahnya nilai kekeruhan pada substasiun 11, diduga akibat dari adanya hamparan tanaman air eceng gondok yang menutupi sebagian besar permukaan perairan. Kemampuan eceng gondong dalam membantu menghilangkan polutan diduga menurunkan konsentrasi bahan terlarut dan tersuspensi yang berasal dari masukan limbah, sehingga dapat mengurangi nilai kekeruhan. Kekeruhan yang tinggi tidak disukai oleh organisme akuatik terutama makrozoobenthos karena mengganggu daya lihat dan sistem pernapasan sehingga menghambat pertumbuhan. Batas maksimum kekeruhan bagi kehidupan biota air adalah 30 NTU Pescod, 1973 dalam Retnowati, 2003. Oleh karena itu, dapat dikatakan kekeruhan di perairan Situ Rawa Besar selama pengamatan masih cukup baik untuk kehidupan biota akuatik. Pada Tabel 12 juga dapat dilihat, kisaran nilai pH yang tidak berfluktuasi. Nilai pH hingga mencapai 5 diduga akibat pengaruh dari kegiatan keramba jaring apung dan kegiatan pemancingan yang sebagian besar dilakukan di lokasi tersebut, pakan buatan yang dijadikan umpan yang tidak dimakan oleh ikan diduga menumpuk di dasar perairan sehingga banyak mikroorganisme yang melakukan proses penguraian anaerob dan akhirnya pH di perairan pun menurun. Semakin menurunnya nilai pH didukung oleh semakin meningkatnya masukan senyawa-senyawa yang berasal dari aktifitas penduduk. Aktifitas penduduk umumnya membawa limbah bahan organik. Bahan organik di dalam air akan diuraikan oleh dekomposer dan penguraian umumnya menghasilkan CO 2 yang dapat mempengaruhi pH perairan. pH perairan yang baik bagi perikanan adalah berkisar antara 6-9 Peraturan Pemerintah No. 82, 2001. Akan tetapi, berdasarkan hasil pengukuran pH selama pengamatan, perairan Situ Rawa Besar kurang baik bagi kehidupan organisme akuatik. Berdasarkan hasil pengukuran selama pengamatan juga menunjukkan bahwa nilai oksigen terlarut tertinggi berada pada stasiun I, yaitu melebihi 12 mgO 2 l. Tingginya kandungan oksigen terlarut pada stasiun I, diduga berhubungan dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi. Menurut LIPI 2001, kelimpahan fitoplankton di daerah dekat outlet stasiun I berkisar 265605-344427 indl, sedangkan pada stasiun lain kisarannya hanya mencapai puluhan. Selain itu, disebabkan karena pengukurannya yang dilakukan siang hari dengan kedalaman air di stasiun tersebut relatif dangkal. Kandungan oksigen terlarut yang rendah pada stasiun IV diduga karena pada stasiun terdapat hamparan tanaman air yang memanfaatkan O 2 terlarut di perairan untuk respirasi dan pada saat itu pengukuran DO dilaksanakan pada pagi hari. Oleh karena itu, kandungan DO di perairan secara nyata mengalami penurunan yang cukup drastis. Menurut PP No. 82 Tahun 2001, batas kandungan DO yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan adalah ≤ 3 mgO 2 l. Dengan demikian, kandungan DO Situ Rawa Besar selama pengamatan masih cukup baik bagi kegiatan perikanan. Dari hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa COD tertinggi pada substasiun 9 yang signifikan terlihat berbeda dibandingkan dengan substasiun- substasiun lain diduga karena sampel air yang diambil pada substasiun tersebut mengandung senyawa minyak dan bahan-bahan lainnya yang sukar didegradasi secara biologis. Hal ini didukung dengan pemberian AgNO 3 yang mengindikasikan adanya bahan-bahan non biodegradable tersebut. Terjadinya peningkatan konsentrasi keberadaan bahan organik, baik yang dapat didegradasi secara biologis biodegradable maupun yang sukar didegradasi secara biologis non biodegradable yang dapat meningkatkan nilai COD. Nilai COD yang terukur cukup normal di substasiun lainnya diduga akibat pengaruh masukan bahan-bahan organik ke perairan yang lebih bersifat biodegradable. Berdasarkan Effendi 2003, batas kandungan COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mgl. Dengan demikian, kandungan COD Situ Rawa Besar selama pengamatan tidak baik bagi kegiatan perikanan.

4.5. Analisis