Tabel 2. Struktur komunitas makrozoobenthos dalam kondisi perairan tertentu Wilhm, 1975
Kondisi Perairan Penjelasan
Tidak tercemar Komunitas
makrozoobenthos yang
seimbang dengan beberapa spesies intoleran
hidup dengan
diselingi populasi fakultatif, tidak ada 1 spesies
yang mendominasi. Tercemar sedang
Penghilangan sejumlah jenis intoleran dan beberapa fakultatif, serta 1 atau 2
spesies toleran mulai mendominasi. Tercemar
Komunitas makrozoobenthos dengan jumlah yang terbatas yang diikuti oleh
penghilangan dari kelompok intoleran dan fakultatif. Kelompok toleran mulai
berlimpah merupakan tanda perairan tercemar bahan organik.
Tercemar berat Penghilangan hampir seluruh hewan
makroinvertebrata, kemudian diganti oleh cacing Oligochaeta dan organisme
yang mampu bernapas ke udara.
2.5. Parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi keberadaan
makrozoobenthos di perairan
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan suatu organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa
faktor fisika, kimia dan biologi. Faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap hewan benthos dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap hewan benthos Setyobudiandi, 1997
Parameter Pengaruh
Fisika
1. Suhu 2. Kedalaman
3. Kekeruhan 4. Sedimen
Migrasi, laju metabolisme, mortalitas Jumlah
jenis, jumlah
individu, biomassa
Jumlah dan jenis Jumlah dan jenis
Kimia
1. pH 2. DO
Menurunnya daya tahan terhadap stress Jumlah dan jenis
Beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos diuraikan sebagai berikut :
2.5.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Suhu akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme tersebut Nybakken, 1988. Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan
dan aktivitas biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya. Perubahan suhu juga menghasilkan pola
sirkulasi dan stratifikasi yang berperan dalam perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Menurut Effendi 2003, aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10
o
C akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat.
Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigan terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi Effendi, 2003. Dengan kata lain, makin tinggi kenaikan suhu air, makin sedikit
oksigen yang terkandung di dalamnya. Welch 1980 dalam Retnowati 2003 menyebutkan bahwa suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos berkisar antara
35
o
C-40
o
C. Suhu di perairan Situ Rawa Besar berkisar antara 28,5
o
C-31,5
o
C Retnowati, 2003.
2.5.2. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk Effendi, 2003. Kecerahan air tergantung
pada warna dan kekeruhan. Di samping itu, nilai kecerahan juga sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi dan
ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan merupakan parameter fisika yang
penting karena berkaitan erat dengan aktivitas fotosintesis dari alga dan mikrofita.
Makrozoobenthos secara langsung maupun tidak langsung memerlukan alga dan mikrofita tersebut sebagai sumber makanannya.
2.5.3. Kedalaman
Pada umumnya beberapa jenis makrozoobenthos dapat ditemukan pada kedalaman yang berbeda Odum, 1993. Kedalaman perairan yang berbeda akan
memberi pengaruh yang berbeda pula terhadap jenis dan kelimpahan makrozoobenthos. Kebanyakan organisme benthik di danau, penyebarannya lebih
besar dari 5 berada pada kedalaman 10 cm dari permukaan substrat, pada perairan yang mempunyai arus relatif sama Bishop dalam Silalahi, 2001. Pennak
1978 menyatakan bahwa spesies dari Gastropoda lebih menyukai perairan sungai dan danau pada kedalaman kurang dari 3 m dan hal ini berhubungan
dengan kelimpahan makanan yang ada pada kedalaman tersebut.
2.5.4. Kekeruhan
Menurut Jenie dan Rahayu 1993, kekeruhan biasanya disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi bahan organik, mikroorganisme dan partikel-partikel
cemaran lain. Effendi 2003 menyatakan bahwa kekeruhan pada perairan tergenang lentik, misalnya situ lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi
yang berupa koloid dan partikel-partikel halus. Perairan yang keruh tidak disukai oleh organisme akuatik karena mengganggu perkembangan dan sistem pernapasan
sehingga menghambat pertumbuhan terutama bagi makrozoobenthos. Kekeruhan dapat menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam
air sehingga akan menurunkan nilai kecerahan perairan Nybakken, 1988. Selanjutnya Odum 1993 juga menyebutkan bahwa kekeruhan dapat berperan
sebagi indikator bagi produktivitas hayati perairan jika kekeruhan itu disebabkan oleh bahan-bahan organik dari organisme hidup. Batas maksimum kekeruhan bagi
kehidupan biota air adalah 30 NTU Pescod, 1973 dalam Retnowati, 2003. Menurut Retnowati 2003, kekeruhan Situ Rawa Besar berkisar antara 35-61
NTU.
2.5.5. Sedimen
Sedimen merupakan padatan yang dapat langsung mengendap jika air didiamkan dan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap
tersebut terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Sedimen yang terdapat di
dalam air biasanya terbentuk sebagai akibat dari erosi dan termasuk padatan yang umum terdapat di dalam air permukaan. Sedimen biasanya terdiri dari pasir dan
lumpur, berbeda dengan tanah liat yang tidak dapat mengendap dengan sendirinya. Debu dan liat merupakan padatan yang dapat mengendap dengan
sendirinya terutama jika airnya tidak terguncang Fardiaz, 1992.
2.5.5.1. Tekstur
Odum 1993 menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan menentukan penyebaran makrozoobenthos, dimana masing-masing tipe tekstur
menentukan komposisi jenis makrozoobenthos. Pengendapan partikel tergantung dari arus, apabila arusnya kuat maka partikel yang mengendap berukuran besar,
tetapi jika arusnya lemah maka yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Perbedaan ukuran butiran partikel grain size berkolerasi terhadap sirkulasi
air yang mengatur kelembaban dan mensuplai O
2
serta nutrien. Nybakken 1992 menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya merupakan salah satu faktor
ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi benthos. Kemampuan menjebak bahan organik dalam sedimen semakin meningkat seiring
dengan semakin halusnya substrat. Perbedaan karakteristik tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik tekstur tanah Nybakken, 1992 Tekstur Tanah
Kapasitas Penahan Nutrien
Infiltrasi Air Kapasitas Penahan
Air Aerasi
Tanah liat pekat clay
Baik Jelek
Baik Jelek
Lumpur silt Sedang
Sedang Sedang
Sedang Pasir sand
Jelek Baik
Jelek Baik
Tanah liatgemuk loam
Sedang Sedang
Sedang Sedang
2.5.5.2. Bahan organik dalam sedimen
Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan substrat. Menurut Wetzel dan Likens
1979 dalam Yurika 2003, bahan organik dalam perairan terdiri dari senyawa- senyawa organik dalam bentuk larutan berukuran 0,5 µm sampai dalam bentuk
partikel- partikel besar berukuran 0,5 µm, dari organisme hidup sampai yang
sudah mati. Wood 1987 dalam Yurika 2003 menjelaskan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme
benthik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan
bahan organik biasanya didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposit feeder dan sebaliknya suspension feeder mendominasi sedimen dasar
bertipe substrat pasir yang miskin akan bahan organik. Bahan organik di dalam ekosistem perairan dapat berasal dari dalam
perairan itu sendiri autochtonous maupun berasal dari luar allochtonous. Bahan organik yang berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang
terbawa oleh air tanah dan air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung memasukkan bahan organik ke dalam suatu perairan Le
Cren et al., 1980 dalam Suroya, 1997. Pencemaran bahan organik di perairan telah menjadi masalah di beberapa perairan di berbagai negara. Salah satu sumber
pencemar organik adalah jaring apung. Umumnya limbah organik yang berasal dari jaring apung adalah pellet
yang tidak termakan dan feses dari ikan Gowen dan Bradbury, 1987 ; Iwama, 1991 dalam Wardiatno dkk, 1997. Keduanya akan tenggelam karena memiliki
densitas yang lebih besar daripada air di sekitar jaring apung Gowen dan Bradbury, 1987 ; Johnsen et al. , 1993 dalam Wardiatno dkk, 1997. Input yang
demikian dapat menyebabkan pengaruh yang signifikan terhadap kimiawi sedimen dan ekologi organisme benthik Fenchel dan Riedl, 1970 ; Pearson dan
Rosenberg, 1978 dalam Wardiatno dkk, 1997. Menurut Hasan 1993 dalam Suroya 1997, adanya kegiatan budidaya
ikan dalam jaring apung dapat meningkatkan kandungan bahan organik secara nyata, tetapi penungkatan kepadatan jaring apung belum tentu memberikan
peningkatan kandungan bahan organik lebih lanjut secara nyata. Selanjutnya Basmi 1991 dalam Suroya 1997 menyatakan bahwa kandungan bahan organik
di sekitar kegiatan jaring apung ternyata lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan bahan organik di lokasi yang jauh dari kegiatan jaring apung.
Menurut Gieseking 1975 dalam Simamora 1992, jenis dan tipe kesuburan tanah antara lain dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik, terutama
oleh kandungan C organik dan N organik. Selanjutnya Reddy dalam Overcash dan Davidson 1981 dalam Yurika 2003 menyatakan bahwa rasio CN bahan
organik dalam sedimen dan menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh diantaranya suhu, kelembaban dan pH sedimen dalam suatu model matematika.
Dalam model tersebut ditemukan bahwa karbon organik adalah faktor penentu pertumbuhan dalam substrat. Komunitas makrozoobenthos yang hidup dalam
substrat tersebut akan merombak karbon organik menjadi bahan makanan yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup survival rate dan
pertumbuhannya. Di samping itu, Wood 1987 dalam Yurika 2003 juga menyatakan bahwa jumlah dan laju pertambahan kandungan bahan organik
memiliki pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar.
2.5.6. pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan
dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme Pescod, 1973 dalam
Retnowati, 2003. Menurut Wardhana 1994, air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air limbah dan
bahan buangan dari berbagai kegiatan manusia yang dibuang ke suatu badan perairan akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan
organisme di dalamnya.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 Effendi, 2003. Menurut Retnowati 2003, pH di perairan
Situ Rawa Besar berkisar antara 7,4-9,3. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Effendi, 2003
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0-6,5 Keanekaragaman benthos sedikit menurun.
5,5-6,0 Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak.
5,0-5,5 Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos
besar. 4,5-5,0
Penurunan keanekaragaman dan komposisi benthos semakin besar yang diikuti dengan penurunan kelimpahan total dan
biomassa benthos.
2.5.7. Oksigen terlarut DO
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Menurut APHA 1989 dalam Retnowati 2003, oksigen
terlarut di dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Konsentrasi O
2
yang terlarut di dalam air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di dalam air maupun oleh jumlah
larutan limbah yang terlarut di dalam air. Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan
oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol anaerob. Peningkatan
suhu sebesar 1
o
C akan meningkatkan konsumsi O
2
sekitar 10 Brown, 1987 dalam Effendi, 2003.
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernapasan hewan benthos dan organisme-organisme akuatik lainnya Odum, 1993. Retnowati 2003
menyatakan bahwa keberadaan O
2
terlarut di dalam substrat sangat berkurang. Tingginya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen
menyebabkan besarnya kebutuhan akan O
2
terlarut. Kadar O
2
terlarutpada
perairan alami biasanya kurang dari 10 mgl Effendi, 2003. Menurut Retnowati 2003, O
2
terlarut di Situ Rawa Besar berkisar 7,7-10,9 mgl.
2.5.8. Kebutuhan oksigen kimia COD
Kebutuhan Oksigen Kimia COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang
dapat didegradasi secara biologis biodegradable maupun yang sukar didegradasi secara biologis non biodegradable menjadi CO
2
dan H
2
O Effendi, 2003. Selanjutnya Jenie 1993 menyatakan bahwa COD pada umumnya memberikan
perkiraan kebutuhan O
2
total dari pemecahan atau teroksidasinya limbah secara relatif. Nilai COD dipengaruhi oleh banyak faktor seperti bahan kimia yang tahan
terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia selulosa, tanin, lignin, fenol, polisakarida dan benzena dimana bahan-bahan kimia tersebut dapat
dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia. Menurut Effendi 2003, pengukuran COD didasarkan pada kenyataan
bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat dalam suasana asam. Keberadaan bahan
organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20mgl.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Situ Rawa Besar yang terletak di Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat.
Pengambilan contoh makroozoobenthos, sampel air dasar dan sedimen dilakukan selama 2 periode yaitu pada tanggal 19 April 2008 dan 20 April 2008. Pada
tanggal 19 April 2008 dilakukan pengambilan contoh makrozoobenthos, sampel air dasar, dan sedimen di stasiun I, stasiun II dan stasiun III bagian utara,
sedangkan pengambilan contoh makroozoobenthos, sampel air dasar dan sedimen di stasiun IV, stasiun V, stasiun VI, dan stasiun VII bagian selatan dilakukan
pada tanggal 20 April 2008. Peta lokasi dan stasiun pengambilan contoh di Perairan Situ Rawa Besar dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta lokasi dan stasiun pengambilan contoh di perairan Situ Rawa Besar Jakprom, 2004