Cara Penerapan Musik Sebagai Media Terapi Pada Anak Penyandang
Gambar 2. Kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” di bawah bimbingan guru dok. Dani, 2015
Terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” berupa kegiatan bertepuk tangan,
menepuk paha, dan menghentak-hentakkan kaki, yang secara tidak langsung mengajarkan pemahaman ritme kepada anak. Selanjutnya, guru
sekaligus terapis juga mengajarkan berhitung kepada anak untuk menghitung setiap ketukan dari kegiatan terapi gerak tubuh ini, sehingga
membentuk pola irama yang diinginkan. Selain melatih psikomotorik anak penyandang autisme, kegiatan ini juga melatih kemampuan anak dalam
menghitung. Contoh pola irama dalam kegiatan terapi gerak tubuh: XXXX OOOO
YYYY XXXX OOOO YYYY Keterangan: X simbol untuk bertepuk tangan.
O simbol untuk menepuk-nepuk paha. Y simbol untuk menghentak-hentakkan kaki.
Selanjutnya, setelah anak terbiasa dengan permainan tersebut, kegiatan-kegiatan terapi itu dilakukan bersamaan dengan kegiatan
bernyanyi. Artinya, anak penyandang autisme melakukan kegiatan gerak
tubuh, tepuk tangan, tepuk paha, dan menghentakan kaki sambil bernyanyi sesuai ritme lagu.
Permainan lain dalam terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” adalah
memperagakan suatu lagu dengan gerakan. Contoh paling sederhana dalam kegiatan ini adalah anak memperagakan lagu kepala-pundak-lutut-kaki,
ketika bernyanyi anak belajar menyentuh bagian tubuh yang dinyanyikan. Adapun lagu lain yang sering diterapkan dalam terapi ini adalah burung
kakak tua, topi saya bundar, satu-satu aku sayang ibu, yang dinyanyikan dengan memperagakan isi lirik dari lagu-lagu tersebut.
Dengan diterapkannya terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini, anak penyandang autisme yang memiliki karakteristik tidak mau mengenal
orang-orang di sekitarnya, menjadi lebih aktif untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan cara bernyanyi dan menggerakan tubuh
mereka secara bersama-sama. Kegiatan- kegiatan pada terapi “Pagi Ceria
Pagi Menyapa” ini berfungsi untuk melatih psikomotorik anak penyandang autisme, mengajarkan pemahaman ritme, melatih kemampuan berhitung
anak, melatih konsentrasi anak, melatih pelafalan kosa kata, dan membuat perasaan anak menjadi gembira. Kegitan terapi “Pagi Ceria Pagi
Menyapa” dapat dilakukan dengan berbeagai variasi sesuai pengajaran guru sekaligus terapis di sekolah tersebut.
2. Terapi Karawitan
Proses terapi musik berupa kegiatan terapi karawitan, yakni guru sekaligus terapis dan instruktur musik membimbing anak penyandang
autisme di sekolah tersebut untuk bermain karawitan. Terapi karawitan diterapkan dengan tujuan untuk mengembangkan keterampilan anak
penyandang autisme di bidang musik, menunjang anak penyandang autisme untuk bersosialisasi dan bekerja sama. Dengan bermain musik
secara kolektif, mengajarkan komunikasi dengan teman mainnya, dan mengembangkan pelafalan kosakata anak yang didapatkan dari nembang
atau bernyanyi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.
“Tujuan terapi karawitan, mengajarkan kerjasama, coba kalau nggak kerja sama, nggak bisa. Mengajarkan komunikasi, misal kalau ada
temannya main kok belum berhenti padahal lagunya sudah berenti nanti temanya akan memberi tau, berhenti-berhenti gitu. Sehingga
menimbulkan komunikasi.” Terapi karawitan merupakan kegiatan terapi yang membutuhkan
ketrampilan lebih dari anak-anak penyandang autisme di sekolah tersebut. Anak-anak yang menjalani kegiatan terapi karawitan ini biasanya anak-
anak yang memiliki nilai akademik yang baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di
sekolah tersebut, sebagai berikut. “Tiap ketukan di gamelan itu kan berbeda-beda, kalau ada anak-anak
yang memiliki kemampuan yang lebih, artinya untuk kemampuan akademiknya agak bagus, itu kami tempatkan di bonang. Kalau
saron itu anak yang bisa menghitung satu sampai tujuh, saron kan manut notnya saja.”
Lebih lanjut Warsito, S.Sn selaku instruktur musik juga menjelaskan tentang kegiatan terapi karawitan ini, sebagai berikut.
“Kalau untuk karawitan itu tujuannya untuk ngasih keterampilan, sama biar bisa bersosialisasi, bermain musik bareng-bareng, gitu.
Anak autis kan susah ngajarinnya, jadi harus dibimbing secara tegas. Soalnya gini, kalau anak-anak autis di-treatment kayak anak-anak
biasa tidak bisa, tapi kalau anak yang benar-benar tidak bisa dibimbing secara tegas ya tetep nggak bisa dipaksa. Jadi
membimbing yang bisa dibimbing, yang tingkat autisnya nggak parah. Untuk anak autis yang parah, ada treatment sendiri, seperti
dibimbing kegiatan yang dasar-dasar terlebih dahulu seperti diminta diam, duduk, dan lain-lain. Tapi untuk anak yang mengikuti terapi
karawitan rata-rata adalah anak yang bisa dibimbing, bisa dikasih
intruksi, walaupun nggak sempurna, gitu.” Terapi karawitan yang dilakukan di Sekolah Khusus Autisme Bina
Anggita Yogyakarta adalah untuk membimbing anak penyandang autisme supaya lebih aktif lagi serta mengasah ketrampilan mereka. Dalam proses
terapi karawitan di sekolah tersebut, bentuk gamelan dikemas secara menarik agar anak penyandang autisme di sekolah tersebut tertarik untuk
memainkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.
“Gamelan dibuat beda untuk daya tarik mereka, anak melihat saja sudah senang dengan gamelan yang berbentuk pesawat, tank, mobil-
mobilan, apalagi memainkanya.”
Gambar 3. Satu set gamelan dok. Dani, 2015
Dalam proses kegiatan terapi karawitan yang diterapkan di sekolah tersebut terdapat tiga bentuk kegiatan, yaitu terapi karawitan sekar
penyajiannya dengan
menyanyi, terapi
karawitan gendhing
penyajiannya dengan memainkan instrumen gamelan, dan terapi karawitan sekar gendhing penyajiannya dengan unsur gabungan antara
menyanyi dan memainkan instrumen gamelan. Proses terapi karawitan tersebut dilakukan dengan bimbingan guru dan instruktur musik. Instruktur
bertugas memberikan pengarahan pada anak penyandang autisme terkait notasi-notasi yang harus dimainkan, sedangkan guru bertugas sebagai
pembimbing anak-anak itu dalam melakukan terapi karawitan tersebut. Guru menerjemahkan pengarahan instruktur kepada anak penyandang
autisme dengan cara membimbing anak-anak dalam melakukan terapi karawitan. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad
Zaelani sebagai instruktur musik di sekolah tersebut, sebagai berikut. “Karawitan dimainkan secara berkelompok, cara pengajarannya ya
dibimbing satu-satu. Jadi instrukturnya di depan, terus tiap anak didampingi gurunya masing-masing. Nah, gurunya memegang
tangan anak-anak, lalu menjelaskan intruksi dari instruktur kepada anak. Anak autis kan perhatiannya tidak seperti anak pada umumnya,
jadi fungsinya guru di situ biar anak lebih perhatian, sama menerjemahkan intruksi dari intrukstur sekaligus membimbing anak
dalam bermain gamelan.”
Gambar 4. Instruktur memberikan pengarahan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi karawitan dok. Dani, 2015
Gambar 5. Guru memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi karawitan dok. Dani, 2015
Guru dan intruktur dalam menerapkan terapi karawitan pada anak penyandang autisme menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi,
metode imitasi, dan metode drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh menyanyikan atau memainkan komposisi lagu kepada
anak penyandang autisme secara bertahap. Kemudian diterapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk
menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru sehingga dapat menyanyikan atau memainkan lagu sesuai dengan pengarahan intrukstur.
Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru untuk melakukan latihan menyanyi atau memainkan
komposisi karawitan secara berulang-ulang. Masing-masing anak dibimbing oleh gurunya dalam bernyanyi atau memainkan alat musik
gamelan, kemudian setelah bermain cukup lancar anak penyandang autisme tersebut memainkan musik karawitan secara bersama-sama
dengan anak-anak yang lain, namun tetap dalam bimbingan guru mereka masing-masing. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis S.Pd
selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut. “Awalnya kami menggunakan metode demontrasi, kami memberikan
contoh satu lagu dalam bermain gamelan, kemudian anak-anak kami suruh untuk menirukannya, tetapi tetap kami bimbing itu metode
yang kami pakai imitasi, setelah anak-anak sudah agak bisa lalu kami menggunakan metode drill dengan mengulang-ulang lagu yang
kami ajarkan sampai lancar”.
Gambar 6. Anak-anak penyandang autisme melakuan kegiatan terapi karawitan secara kolektif di bawah bimbingan guru dan instruktur
dok. Dani, 2015
3. Terapi Bermain Alat Musik
Proses terapi musik berupa kegiatan terapi bermain alat musik, yakni guru dan instruktur membimbing anak penyandang autisme di Sekolah
Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta untuk bermain alat-alat musik modern seperti, keyboard dan drum. Kegiatan terapi bermain alat musik ini
meningkatkan ketrampilan anak penyandang autisme dibidang musik. Melalui terapi bermain alat musik ini, interaksi sosial anak penyandang
autisme terhadap keadaan sekitar meningkat, dalam hal ini adalah ketertarikan anak terhadap alat-alat musik tersebut. Selain itu, terapi
bermain alat musik dapat menumbuhkan perasaan senang dan gembira, sehingga anak penyandang autisme dapat lebih bersemangat dalam
menjalani proses terapi musik.
Gambar 7. Instruktur memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi bermain alat musik
dok. Dani, 2015 Dalam kegiatan terapi bermain alat musik ini, anak penyandang
autisme dibebaskan untuk berinteraksi dengan alat-alat musik tersebut.
Anak penyandang autisme memiliki karakteristik, yaitu jika tertarik terhadap sesuatu hal, mereka cenderung mendekati dan mencoba
berinteraksi dengan benda tersebut. Tidak terkecuali dengan alat-alat musik yang menghasilkan suara-suara yang membuat mereka tertarik.
Ketika anak penyandang autisme tersebut tertarik dengan alat-alat musik yang mereka lihat, guru dan instruktur musik langsung memperkenalkan
alat-alat musik tersebut kepada mereka. Kemudian guru dan instruktur musik akan mengajarkan mereka untuk bermain alat-alat musik tersebut
secara mendalam. Terapi bermain alat musik dapat dikatakan bukan terapi utama dalam penanganan perkembangan anak penyandang autisme di
sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan kendala yang dihadapi dalam penerapan terapi ini adalah tenaga pengajar yang melakukan terapi
bermain alat musik ini terbatas. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur musik di sekolah tersebut,
sebagai berikut. “Beberapa anak autis kalau lihat alat musik yang mereka sukai, anak
itu akan megangin terus alatnya. Nah, tugas saya di sini mengarahkan anak-anak untuk bermain instrument tersebut, dengan
harapan anak-anak tersebut bisa memainkan alat musik, nanti kalau dia suka, saya beri pengarahan terus. Kalau anak tidak berminat lagi,
yasudah tidak apa-apa, kan anak itu tidak bisa dipaksain, tapi misalnya yang udah ada bakatnya sendiri, nanti aku ajarin terus,
yang sudah bisa bermain secara baik baru satu, main keyboard lumayan lancar, kalau yang lain masih dalam proses. Alasannya
karena kendala waktu, jadi waktu buat ngajarin itu kurang.”
Gambar 8. Instruktur memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi bermain alat musik
dok. Dani, 2015 Guru sekaligus terapis dan intruktur musik dalam menerapkan terapi
bermain alat musik pada anak penyandang autisme menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill. Pada
metode demonstrasi guru memberikan contoh memainkan alat-alat musik kepada anak penyandang autisme yang tertarik. Kemudian diterapkan
metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru hingga dapat
memainkan alat musik tersebut. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru dan instruktur untuk
melakukan latihan memainkan alat musik tersebut secara berulang-ulang. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai
instruktur, sebagai berikut. “Cara pengajarannya itu ya saya mendemonstrasikan apa yang akan
saya ajarkan, setelah itu anak saya suruh untuk menirukanya imitasi, lalu saya latih terus-menerus didril. Jadi, misalnya saya
ngasih akord satu, akord dua, akord tiga, ini akord C, ini akord D, ini akord G gitu, mereka niruin posisi jarinya, dan diulang-ulang terus
sampai bisa, tapi tetep secara personal, nggak ramai-
ramai.”
4. Terapi Bernyanyi
Proses terapi musik berupa kegiatan terapi bernyanyi, yakni guru sekaligus terapis dan instruktur musik membimbing anak penyandang
autisme di sekolah tersebut untuk bernyanyi dengan tujuan agar anak menjadi lebih aktif untuk berinteraksi dengan sosial dengan cara
bernyanyi. Selain itu, anak penyandang autisme yang tadinya kesulitan untuk mengungkapkan isi hatinya melalui bahasa verbal, menjadi lancar
untuk pelafalan kata dan berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan bahasa verbal. Bernyanyi juga dapat menimbulkan perasaan
senang bagi anak penyandang autisme, serta membuat mereka lebih bersemangat. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Ana Nur Anis, S.Pd
selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut. “Pada dasarnya terapi bernyanyi itu untuk membantu pelafalan kosa
kata. Musik di sini hanya sebagai media atau perantaranya saja, perantara biar anak lebih komunikatif. Kalau udah mau nyanyi
biasanya ngomomngnya juga akan lebih jelas.” Proses terapi bernyanyi ini dilakukan dengan arahan guru sekaligus
terapis dan instruktur musik secara bertahap dan perlahan-lahan dari kata per kata, hingga anak penyandang autisme dapat bernyanyi satu lagu utuh,
seperti yang dikatakan oleh Ana Nur Anis, S.Pd yakni. “Jadi gini ngajarinnya, kita bernyanyi lalu ditirukan oleh siswa.
Misalnya kita menyayikan huruf vokal A lalu mereka menirukan apa yang kita nyanyikan, jadi sedikit demi sedikit kata-katanya akan
membentuk sebuah kalimat dalam lagu.”
Masing-masing anak penyandang autisme dalam proses terapi dibimbing oleh satu guru, sehingga perhatian anak-anak tersebut lebih
terpusat untuk melakukan terapi. Dengan diiringi musik yang dimainkan oleh instruktur, mereka bernyanyi dengan penuh semangat. Biasanya
beberapa anak penyandang autisme sudah diajarkan bernyanyi oleh orangtua mereka masing-masing di rumah, sehingga ketika di sekolah guru
dan instruktur hanya mengulang atau menambah dengan lagu-lagu baru. Namun untuk anak penyandang autisme yang belum pernah diajari
bernyanyi oleh orangtuanya, maka akan diajari secara personal oleh guru mereka masing-masing, seperti yang dijelaskan oleh, oleh Ana Nur Anis,
S.Pd sebagai berikut. “Soal diajari lagu dulu atau dengerin lagu dulu, tergantung.
Tergantung background-nya kan masing-masing anak ada yang dari rumah itu sudah diajarkan bernyanyi, ada yang belum. Nanti kan ada
orangtua yang ngomong, ini di rumah diajari lagu ini, yasudah kita nerusin saja. Tapi kalau memang dari rumah bener-bener belum
diajari nyanyi ya diajarin dulu oleh kami.”
Gambar 9. Guru membimbing anak penyandang autisme untuk melakukan terapi bernyanyi dok. Dani, 2015.
Guru dan intruktur dalam menerapkan terapi bernyanyi pada anak penyandang autisme menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi,
metode imitasi, dan metode drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh menyanyikan lagu kepada anak penyandang autisme
secara bertahap dari kata perkata. Kemudian diterapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk menirukan apa
yang sudah dicontohkan oleh guru hingga dapat menyanyikan lagu secara utuh. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme
dibimbing oleh guru untuk melakukan latihan bernyanyi secara berulang- ulang. Proses terapi bernyanyi dilakukan oleh guru terhadap anak
penyandang autisme secara personal, kemudian setelah lancar bernyanyi anak penyandang autisme dapat bernyanyi bersama anak-anak yang lain,
namun tetap dalam bimbingan guru mereka masing-masing.