PENERAPAN MUSIK SEBAGAI MEDIA TERAPI DI SEKOLAH KHUSUS AUTISME BINA ANGGITA YOGYAKARTA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Seni Musik

Oleh Dani Andriana NIM 09208244064

JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

jadikan penyesalan itu sebagai senjata untuk masa depan agar tidak terjadi kesalahan lagi.


(6)

vi

Skripsi ini dipersembahkan untuk Ayahanda ( Darno Sutiana ) dan Ibunda (Kurniasih ) yang tercinta.


(7)

vii

rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pendidikan di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Hanna Sri Mudjilah, M.Pd., selaku pembimbing I, yang telah memberikan

bimbingan, saran, serta motivasi, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan; 2. Dr. Ayu Niza Machfauzia, M.Pd., selaku pembimbing II, yang telah

memberikan bimbingan, kritik yang membangun, serta saran dalam penyelesaian skripsi ini;

3. M. Yasin, S.Pd., selaku pendiri Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan, kemudahan, dan ijin dalam proses penelitian;

4. Ana Nur Anis, S.Pd., selaku guru sekaligus terapis di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta yang telah memberikan informasi, memberikan arahan dalam proses penelitian;

5. Warsito, S.Sn dan Rochmad Zaelani selaku instruktur musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta, yang telah membantu pelaksanaan penelitian;

6. Keluarga besar Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta yang telah menyambut dengan ramah dan memberikan kenyamanan ketika proses penelitian berlangsung;

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan serta bantuan selama penyusunan skripsi ini.


(8)

(9)

ix

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Fokus Masalah ... 5

C.Tujuan Penelitian ... 6

D.Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI A.Media ... 8

B. Fungsi Musik ... 9

C.Terapi Musik ... 10

1. Bernyanyi ... 12

2. Bermain Musik ... 13

3. Gerak Ritmis ... 13

4. Mendengarkan Musik ... 14

D.Autisme ... 15

1. Autisme infantil atau autisme masa anak-anak ... 17


(10)

x

E. Penelitian yang Relevan... 21

F. Pertanyaan Penelitian ... 22

BAB III METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 23

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

C.Tahap Penelitian ... 24

1. Tahap Pra Lapangan ... 24

2. Tahap Pekerjaan Lapangan ... 24

3. Tahap Pasca Lapangan ... 25

a) Analisis data ... 25

b) Pengabsahan data ... 25

D.Istrumen Penelitian ... 25

E. Subjek Penelitian ... 26

1. Pendiri sekolah ... 26

2. Guru sekaligus terapis ... 26

3. Instruktur musik ... 27

F. Sumber Data Penelitian ... 27

1. Data Primer ... 27

2. Data Sekunder ... 28

G.Teknik Pengumpulan Data... 28

1. Observasi ... 28

2. Wawancara ... 29

3. Dokumentasi ... 30

H.Keabsahan Data ... 30

1. Perpanjangan Pengamatan ... 31

2. Peningkatan Ketekunan ... 32


(11)

xi

2. Data Display (Penyajian Data) ... 35

3. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan) ... 36

BAB IV PENERAPAN MUSIK SEBAGAI MEDIA TERAPI A.Jenis Musik yang digunakan dalam Proses Penggunaan Musik sebagai Media Terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta ... 37

1. Terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa ... 38

2. Terapi Karawitan ... 39

3. Terapi Bermain Alat Musik dan bernyayi ... 39

B. Cara Penerapan Musik Sebagai Media Terapi Pada Anak Penyandang Autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta ... 40

1. Terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa ... 42

2. Terapi Karawitan ... 45

3. Terapi Bermain Alat Musik ... 51

4. Terapi Bernyanyi ... 54

C.Pembahasan ... 56

1. Jenis Musik yang digunakan dalam Proses Penerapan Musik sebagai Media Terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta ... 57

2. Cara Penerapan Musik Sebagai Media Terapi ... 58

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(12)

xii

Tabel 2 : Pedoman Wawancara untuk Guru ... 69 Tabel 3 : Kisi-Kisi Wawancara ... 70


(13)

xiii

Gambar 2 : Kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” di bawah bimbingan guru ... 44 Gambar 3 : Satu set gamelan ... 47 Gambar 4 : Instruktur memberikan pengarahan kepada anak penyandang

autisme dalam kegiatan terapi karawitan ... 49 Gambar 5 : Guru memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme

dalam kegiatan terapi karawitan ... 49 Gambar 6 : Anak penyandang autisme melakuan kegiatan terapi karawitan

secara kolektif di bawah bimbingan guru dan instruktur ... 50 Gambar 7 : Instruktur memberikan bimbingan kepada anak penyandang

autisme dalam kegiatan terapi bermain alat musik ... 51 Gambar 8 : Instruktur memberikan bimbingan kepada anak penyandang

autisme dalam kegiatan terapi bermain alat musik ... 53 Gambar 9 : Guru membimbing anak penyandang autisme untuk

melakukan terapi bernyanyi ... 55 Gambar 10: Guru memperagakan gerakan dalam kegiatan Pagi Ceria

Pagi Menyapa lalu siswa menirukanya ... 79 Gambar 11: Guru memperagakan gerakan dalam kegiatan Pagi CeriaPagi

Menyapa lalu siswa menirukanya dengan bimbingan guru


(14)

xiv

dengan intruksi dari instruktur musik di depan ... 80 Gambar 14: Siswa bermain karawitan dengan membaca notasi yang

diberikan instruktur musik tanpa bimbingan guru namun tetap dalam pengawasan ... 81 Gambar 15: Siswa nembang lagu karawitan bersama dengan guru... 81 Gambar 16: Guru membimbing siswa untuk melakukan terapi bernyayi ... 82 Gambar 17: Siswa diminta bernyayi dalam kegiatan terapi bernyayi tanpa

bimbingan dari guru ... 82 Gambar 18: Kegiatan terapi bernyayi dan bermain alatmusik ... 83


(15)

xv

Lampiran 2 : Pedoman Wawancara ... 69

Lampiran 3 : Pokok-Pokok Pertanyaan ... 71

Lampiran 4 : Transkip Wawancara ... 72

Lampiran 5 : Dokumentasi Hasil Penelitian ... 79

Lampiran 6 : Glosarium ... 84


(16)

xvi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan; (1) Jenis musik apa yang digunakan sebagai media terapi; (2) Cara penerapan musik sebagai media terapi yang digunakan oleh guru sekaligus terapis dan instruktur musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Penggunaan musik sebagai media terapi di sekolah tersebut dapat memberikan dampak positif. Hal ini terbukti dari prestasi-prestasi yang telah diraih oleh peserta didik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta dalam bidang seni musik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian ini adalah guru sekaligus terapis dan instruktur musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Keabsahan data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi serta member check. Data dianalisis dengan menggunakan model interaktif yang terdiri atas Data Reduction, Data Display, dan Conclusion Drawing.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Jenis musik yang digunakan dalam kegiatan terapi musik yaitu musik anak, musik karawitan, dan musik pop; (2) Cara penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta yaitu dengan membagi kegiatan terapi musik menjadi empat diantaranya terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa, karawitan, bermain alat musik dan bernyanyi, lalu dalam penerapannya guru sekaligus terapis dan instruktur musik menggunakan metode demonstrasi, metode imitasi dan metode latihan atau drill.


(17)

1

Musik merupakan salah satu cabang seni yang menjadi kebutuhan hidup manusia yang universal. Keberadaan musik bagi manusia tentunya tidak lepas dari berbagai macam fungsi yang ada dalam musik itu sendiri, antara lain sebagai pengungkapan emosional, hiburan, sarana komunikasi, reaksi fisik, intelegensi (Merriam, 1964: 232-238). Dari berbagai macam fungsi musik tersebut, sebagian orang biasanya menikmati musik hanya sebagai media hiburan saja, tanpa memahami manfaat lain yang ditimbulkan oleh musik itu sendiri. Menurut Suryana (2012: 33) musik bukan hanya sebagai media hiburan dengan kekosongan makna, akan tetapi musik juga dapat dimanfaatkan guna kepentingan-kepentingan yang berdimensi kemanusiaan salah satunya yaitu, sebagai media terapi atau penyembuhan.

Musik telah menjadi hal yang tak asing digunakan sebagai media terapi atau penyembuhan. Hal tersebut dikarenakan bahwa, musik yang terdiri atas kombinasi ritme, irama, harmoni, dan melodi diyakini memiliki kekuatan khusus yang mampu melampaui pikiran, emosi dan kesehatan fisik manusia. Seperti halnya yang disampaikan oleh Yulianta (2011: 2), musik secara psikologis memiliki kualitas yang melekat untuk merangsang maupun mendorong pertumbuhan manusia ke dalam kesehatan pribadi melalui irama, suara dan nada.


(18)

Penggunaan musik sebagai media terapi ini telah terbukti berguna dalam proses penyembuhan, karena dapat menurunkan rasa nyeri dan dapat membuat perasaan seseorang lebih rileks (Faradisi, 2012: 2). Dalam bidang kedokteran, penggunaan musik sebagai media terapi dapat digunakan untuk meningkatkan, mempertahankan, dan mengembalikan kesehatan fisik maupun mental, serta emosional atau spiritual dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu (Swarihadiyanti, 2014: 4). Pada perkembangan penerapannya, penggunaan musik sebagai media terapi ini sempat disebut sebagai terapi alternatif, karena hanya digunakan bila penanganan medis lain dianggap sudah tidak memadai lagi, misalnya dalam kasus autisme (Djohan, 2006: 17).

Penggunaan musik sebagai media terapi saat ini telah banyak diterapkan pada anak-anak dengan gangguan autisme, hal ini dikarenakan musik dipercaya dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak tersebut. Autis sendiri merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan lambatnya perkembangan fungsi psikologis yang meliputi gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial (Yuniar, 2001: 2). Melalui musik yang digunakan sebagai media terapi, anak penyandang autisme dapat melatih auditori, menekan emosi, melatih kontak mata, serta komunikasi dan kosentrasinya, sehingga dapat memberikan sumbangan yang lebih bermanfaat terhadap perkembangan psikomotorik dan fisiomotorik anak tersebut. (Sumaja, 2014: 2).


(19)

Dari penelitian yang dilakukan oleh Applebaum, dkk yang menemukan bahwa musik dapat menjadi motivator efektif dan modalitas yang memungkinkan anak dengan gangguan autisme belajar materi non musik dan menekankan penggunaannya sebagai penguatan sensori positif dalam mengurangi stimulasi diri (Djohan, 2006: 164). Menurut Sumarno penggunaan musik sebagai media terapi pada anak penyandang autisme merupakan usaha mendidik melalui pelajaran musik untuk mempengaruhi perkembangan serta pertumbuhan psikomotorik dan fisiomotorik anak secara optimum (Danuatmaja, 2003: 125).

Dalam studi pendahuluan yang dilakukan di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta pada tanggal 22 Januari 2015 diketahui bahwa dengan menggunakan musik sebagai media terapi, anak-anak penyandang autisme di sekolah tersebut mampu mengeluarkan ekspresinya ketika mereka bernyayi, bertepuk, menari dan berimprovisasi dengan musik dari yang semula pendiam menjadi lebih aktif, ceria dan lebih bersemangat. Menurut Robbins bahwa improvisasi dengan musik ini sangat ampuh untuk anak yang tidak mampu berhubungan dengan dunianya secara baik, tidak bisa manjalin hubungan secara manusiawi atau mengalami kesulitan dalam berkomunikasi (Campbell, 2001: 287).

Penggunaan musik sebagai media terapi pada anak dengan gangguan autisme tidak lepas dari tujuan terapinya secara keseluruhan, yaitu mengembangkan dan memperbaiki kemampuan fisik, emosi, sosialisasi serta melatih kemampuan persepsi dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang


(20)

dimilikinya. Namun penggunaan musik sebagai media terapi pada anak berkebutuhan khusus dengan gangguan autisme mempunyai kesulitan tersendiri, hal ini dikarenakan anak penyandang autisme mengalami gangguan perkembangan fungsi psikologis yang meliputi gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial, oleh karena itu diperlukan metode khusus serta pendekatan yang lebih intens dalam penerapan musik sebagai media terapi pada anak penyandang autisme.

Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta merupakan salah satu lembaga pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus yang memberikan penanganan, pendidikan dan pembelajaran khusus kepada anak-anak penyandang autisme, serta mengajarkan berbagai keterampilan pada anak-anak tersebut agar dapat mengembangkan bakat yang dimilikinya. Dalam menangani gangguan pada anak penyandang autisme, Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta memberikan beberapa penanganan, salah satunya yaitu dengan menggunakan musik sebagai media terapi.

Penggunaan musik sebagai media terapi pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta dapat memberikan dampak positif, yaitu memperjelas bicara atau pelafalan kosakata, memberikan rasa percaya diri, menambah konsentrasi, mengurangi beban psikologis yang menimbulkan suasana hati lebih baik, serta merangsang diri peserta didik untuk lebih bersemangat dalam melakukan aktivitas yang lebih terarah. Selain itu, tidak sedikit dari peserta didik di sekolah tersebut yang


(21)

telah mendapatkan musik sebagai media terapinya mampu berprestasi dan berkreativitas dengan musik. Hal ini dapat dilihat dari prestasi-prestasi yang telah diraih oleh peserta didik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta, antara lain: (1) Juara 2 lomba menyanyi tingkat propinsi, tahun 2013; (2) Mendapat rekor Muri sebagai grup karawitan anak penyandang autisme pertama di Indonesia, tahun 2013; dan (3) Juara 1 lomba menyayi sampai tingkat propinsi di Festival Lomba Seni, tahun 2014.

Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta telah berhasil dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimanakah cara penerapan musik sebagai media terapi yang diberikan oleh guru dan terapis serta jenis musik apa yang digunakan dalam penerapan musik sebagai media terapi tersebut terhadap anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penelitian ini difokuskan pada:

1. Jenis musik yang digunakan oleh guru sekaligus terapis dalam penerapan musik sebagai media terapi pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.


(22)

2. Cara penerapan musik sebagai media terapi yang digunakan oleh guru sekaligus terapis pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan jenis musik apa yang digunakan oleh guru sekaligus terapis dalam penerapan musik sebagai media terapi pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan cara penerapan musik sebagai media terapi yang digunakan oleh guru sekaligus terapis pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis.

1. Secara Teoretis

Sebagai acuan dan masukan pengetahuan dalam bidang musik dan kesehatan, khususnya untuk mengetahui bagaimana penggunaan musik sebagai media terapi bagi anak penyandang autisme.


(23)

2. Secara Praktis

Penelitian ini mendeskripsikan cara dan jenis musik yang digunakan dalam proses penerapan musik sebagai media terapi pada anak-anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta tentunya yang efektif sehingga dapat dikembangkan dalam proses belajar mengajar selanjutnya.


(24)

8

Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harafiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Kata medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim menuju penerima pesan (Arsyad, 2006: 3). Sejalan dengan pengertian tersebut Putra (2009: 18) mengemukakan bahwa media adalah perantara atau pengantar yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan manusia. Sedangkan Latuheru (1988: 9) mengemukakan bahwa media adalah sarana yang digunakan untuk membantu proses komunikasi.

Gerlach & Eli dalam Arsyad (2006: 3) menyatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang dapat membangun kondisi dan membuat seseorang mampu mendapatkan pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan lingkungan merupakan media.

Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa media merupakan alat untuk menyampaikan informasi kepada penerima dan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian agar terjadi komunikasi yang efektif dan efisien. Melalui media baik dalam bentuk


(25)

buku teks, guru, maupun lingkungan, seseorang mampu mendapatkan pengetahuan ataupun keterampilan.

B. Fungsi Musik

Musik merupakan salah satu karya seni yang diciptakn oleh manusia untuk memenuhi kebutuhanya akan sebuah keindahan. Dapat diartikan bahwa musik memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Menurut Merriam (1964: 232-238) terdapat sepuluh macam fungsi musik, yaitu:

(1) Fungsi musik sebagai pengungkapan emosional (the function of emotional expression); (2) Fungsi musik sebagai penghayatan estetis (the function of easthetic enjoyment); (3) Fungsi musik sebagai hiburan (the function of entertainment); (4) Fungsi musik sebagai sarana komunikasi (the function of communication); (5) Fungsi musik sebagai simbol (the function of symbolic); (6) Fungsi musik sebagai reaksi fisik (the function of physical response); (7) Fungsi musik berkaitan dengan norma sosial (the function of enforcing conformity to social norms); (8) Fungsi musik sebagai pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan (the function of validation of social institutions and religious rituals); (9) Fungsi musik sebagai konstribusi berkelanjutan dan stabilitas budaya (the function of contributions to the continuity and stability of culture); (10) Fungsi musik sebagai intelegensi (the function of intelligence).

Adapun dari berbagai macam fungsi musik tersebut yang dikaji dalam penelitian ini adalah fungsi musik sebagai reaksi fisik, aspek sosial, pengungkapan emosional, dan intelegensi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Astati (1995: 194) bahwa, dalam penggunaan musik sebagai media terapi tidak lepas dari fungsi musik sebagai reaksi fisik, pengungkapan emosional, intelegensi, dan sosial. Keempat fungsi musik tersebut dapat mempengaruhi semua aspek yang ada pada diri setiap individu. Berikut ini


(26)

penjelasan fungsi musik sebagai reaksi fisik, aspek sosial, emosional, dan intelegensi menurut Astati (1995: 194).

1) Aspek fisik, musik dapat membuat fisik bergerak dan berkembang sebagaimana mestinya; 2) Aspek intelegensi, musik dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, sehingga dapat meningkatkan kreativitas, imajinasi, dan konsentrasi; 3) Aspek emosional, musik dapat menimbulkan rasa harga diri, rasa cinta dan optimis, rasa haru, senang dan kasih sayang, serta ekspresi. Hal-hal tersebut dapat terwujud tanpa melihat setiap individu yang mendengarkan musik baik secara aktif maupun pasif; 4) Aspek sosial, musik dapat menimbulkan aktifitas yang mendorong setiap individu untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain yang memungkinkan terjadinya hubungan sosial.

C. Terapi Musik

Terapi musik terdiri atas dua kata yaitu “terapi” dan “musik”. Kata

terapi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu therapy yang berarti penyembuhan atau pengobatan jasmani. Menurut Djohan (2006: 24) terapi merupakan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang, biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah fisik maupun mental. Selanjutnya Astati (1995: 6) mengemukakan bahwa terapi merupakan usaha untuk menolong seseorang agar mencapai perkembangan fisik, intelektual dan sosial, serta emosi secara optimum,

sedangkan kata musik dalam “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan

media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi musik merupakan salah satu usaha atau bantuan dalam konteks masalah fisik maupun mental yang merupakan proses terencana dan sistematik oleh seorang terapis dalam rangka usaha pengobatan untuk mencapai perkembangan fisik,


(27)

intelektual dan sosial, serta emosi secara optimum dengan memanfaatkan musik dan aktivitas musik sebagai media dalam terapinya. Terapi musik dilakukan sebagai upaya pengobatan baik pencegahan maupun penyembuhan terhadap subjek melalui aktivitas musik, baik mendengarkan musik, memainkan alat musik, bernyanyi, maupun bergerak mengikuti irama musik.

Definisi terapi musik menurut Federasi Terapi Musik Dunia (WMFT) (dalam Djohan, 2006: 28) secara lebih menyeluruh sebagai berikut.

Terapi musik adalah penggunaan musik atau elemen musik (suara, irama, melodi dan harmoni) oleh seorang terapis musik yang telah memenuhi kualifikasi terhadap klien atau kelompok dalam proses membangun komunikasi, meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas, mengungkapkan ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi lainnya. Proses ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi, mental, sosial maupun kognitif, dalam kerangka upaya pencegahan, rehabilitasi, atau pemberian perlakuan.

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa terapi musik bertujuan untuk mengembangkan potensi atau memperbaiki fungsi individu, baik melalui penataan diri sendiri maupun dalam relasinya dengan orang lain, agar dapat mencapai keberhasilan dan kualitas hidup yang lebih baik.

Dalam kaitannya dengan penggunaan musik sebagai media terapi digunakan metode atau aktivitas musikal yang dalam konteks terapi musik menjadi bagian penting dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan. Metode atau aktifitas musik dalam terapi musik tidak terlepas dari ruang lingkup pendidikan musik, hanya terdapat penyesuaian-penyesuaian karakteristik pada penggunanya. Djohan (2009: 249) menjelaskan metode atau aktivitas musik yang digunakan dalam terapi musik, yaitu bernyanyi,


(28)

bermain musik, gerak ritmis, dan mendengarkan musik. Keempat metode atau aktivitas musik yang digunakan dalam terapi musik tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Bernyanyi

Bernyanyi merupakan sarana pengungkapan pikiran dan perasaan, sebab kegiatan bernyanyi penting bagi pendidikan anak-anak, selain itu kegiatan bernyanyi adalah kegiatan yang menyenangkan yang memberi kepuasan (Kamtini dalam Kusuma, 2012: 3). Bernyanyi dapat menumbuhkan minat dan motivasi sehingga perkembangan bahasa akan berkembang dengan sebaik-baiknya (Kusuma, 2012: 9). Djohan (2009: 249) menjelaskan bahwa bernyanyi digunakan untuk membantu orang yang mengalami gangguan perkembangan artikulasi pada kemampuan bahasa, irama dan kontrol pernafasan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bernyanyi merupakan sarana pengungkapan pikiran dan perasaan yang menyenangkan serta memberi kepuasan yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi sehingga dapat membantu orang yang mengalami gangguan perkembangan artikulasi pada kemampuan bahasa, irama, dan kontrol pernafasan. Melalui bernyanyi, seseorang bisa mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan sehingga dapat memuaskan hasrat dalam jiwa.


(29)

2. Bermain Musik

Simon, dkk (2007: 10) menjelaskan bahwa bermain musik dapat mendorong seseorang untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya, yaitu bekerja sama dengan teman-teman sebayanya dalam memproduksi musik, menyanyi, berdansa, atau memainkan alat musik. Selanjutnya Djohan (2009: 249) berpendapat bahwa bermain musik juga dapat membantu mengembangkan koordinasi kemampuan motorik, sedangkan bermain musik secara ansambel dapat membantu penderita gangguan perilaku belajar untuk mengontrol impuls syaraf yang kacau dengan bekerja dalam struktur kelompok.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bermain musik merupakan kegiatan yang dapat mengembangkan koordinasi kemampuan motorik dan mendorong anak untuk mengembangkan tingkah laku sosial. Dalam perkembangan tingkah laku sosial, misal bermain musik secara ansambel, dapat membantu penderita gangguan perilaku belajar untuk mengontrol impuls syaraf yang kacau dengan bekerja dalam struktur kelompok.

3. Gerak Ritmis

Gerakan dilakukan oleh anak karena gerakan juga dapat memperkuat fungsi ingatan, yang membantu penguasaan dan perkembangan kesadaran akan dirinya sendiri (Rusmawati dan Dewi, 2011: 7). Gerakan ritmis digunakan untuk mengembangkan jangkauan fisiologis, menggabungkan mobilitas, ketangkasan, kekuatan,


(30)

keseimbangan, koordinasi, konsistensi, pola-pola pernafasan dan relaksasi otot (Djohan, 2009: 249). Eurythmicz (dalam Sheppard, 2002: 62) mengatakan bahwa emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan, suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan ritmis pada terapi musik merupakan gerakan yang membawa ungkapan emosi yang dapat memperkuat fungsi ingatan, serta mengembangkan jangkauan fisiologis, menggabungkan mobilitas, ketangkasan, kekuatan, keseimbangan, koordinasi, konsistensi, pola-pola pernafasan dan relaksasi otot. Gerakan juga dapat digunakan sebagai sebuah pengungkapan perasaan serta ide seseorang.

4. Mendengarkan Musik

Mendengarkan musik memberikan nuansa menghibur yang menumbuhkan suasana menggembirakan, apalagi jika lagu-lagu yang diperdengarkan sesuai dengan suasananya, misalnya lagu gembira yang memberikan rangsangan aktivitas psikofisik pada seseorang (Satiadarna & Roswiyani, dalam Rusmawati dan Dewi 2011: 2). Djohan (2009: 250) menjelaskan bahwa mendengarkan musik memiliki banyak aplikasi terapi karena dapat mengembangkan ketrampilan kognisi, seperti memori dan konsentrasi. Musik juga dapat menstimuli respon relaksasi, motivasi atau menstimuli pikiran,


(31)

imajinasi, dan memori yang dapat diuji dan didiskusikan baik secara sendiri ataupun dengan kelompok pendukung.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mendengarkan musik dapat mengembangkan ketrampilan kognisi, menstimuli respon relaksasi, motivasi atau menstimuli pikiran, imajinasi, serta memberikan rangsangan aktivitas psikofisik pada seseorang. Mendengarkan musik juga menimbulkan perasaan senang, terlebih apabila mendengarkan jenis musik atau lagu gembira.

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukan bahwa terapi musik bukan hanya mendengarkan musik saja akan tetapi ada hal-hal lain yang dapat dikembangkan di dalam proses terapi tersebut di antaranya yaitu keterampilan memainkan musik atau bermain musik, menciptakan bunyi, improvisasi, dan bagaimana memvisualkan musik melalui gerak. Hal tersebut tentu saja memungkinkan bagi individu untuk berolah musik sekalipun yang bersangkutan tidak dapat mendengar dengan baik akan tetapi ia dapat menggerakkan tubuhnya sesuai dengan intruksi dari terapis dan berimprovisasi melalui alat musik sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan yang harmonis baik dari segi fisik, intelektual, emosi dan sosial.

D. Autisme

Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum, autisme berarti


(32)

preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri, dari pada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari (Chaplin, 2000: 46). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa penderita gangguan autisme merupakan orang yang hidup di dalam dunianya sendiri.

Istilah autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner seorang psikiater dari Universitas John Hopkins Amerika Serikat pada tahun 1943. Istilah autisme ini digunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dengan dunianya secara baik, mengalami kesulitan menggunakan bahasa, berperilaku berulang-ulang, serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan disekitarnya (Yatim, 2007: 9). Ditinjau dari segi perilaku, anak dengan gangguan autisme cenderung tidak percaya diri, bersikap agresif, menggerak-gerakan tubuhnya secara tidak wajar dan menanggapi secara kurang atau bahkan berlebihan terhadap suatu stimuli eksternal (Maulana, 2010: 13).

Gangguan autisme merupakan masalah perkembangan pada anak yang amat komplek dan dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi. Berikut ini beberapa klasifikasi anak dengan gangguan autisme menurut Mangunsong (2009: 169) antara lain: (1) Autisme infantil atau autisme masa anak-anak; (2) Asperger Syndrome (AS); (3) Rett Syndrome; (4) Childhood Disintegrative Disorder; dan (5) Pervasive Developmental not Otherwise Specified (PDD-NOS). Kelima hal tersebut diuraikan sebagai berikut.


(33)

1. Autisme infantil atau autisme masa anak-anak

Autisme infantil (autisme pada masa kanak-kanak) adalah gangguan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia (meniru/membeo), mutism (kebisuan, tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara), pembalikan kalimat dan kata (menggunakan kamu untuk saya), adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya, rasa takut akan perubahan, kontak mata yang buruk, lebih menyukai gambar dan benda mati (Kaplan dalam Ratnadewi, 2008: 1). Autisme masa anak-anak yaitu penarikan diri yang ektrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, serta tingkah laku yang terbatas dan berulang (stereotipik) yang muncul sebelum usia 3 tahun (Mangunsong, 2009: 169).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, Autisme infantil atau autisme masa anak-anak merupakan gangguan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain berupa penarikan diri dari lingkungan sosial. Autisme Infantil dapat ditandai dengan gangguan berbahasa/berkomunikasi, tingkah laku yang terbatas dan berulang (strereotipik), ingatan yang kuat, rasa takut akan perubahan, kontak mata yang buruk, lebih menyukai gambar dan benda mati, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya. Gangguan ini 3 sampai 4 kali lebih banyak pada anak lelaki dari pada anak perempuan.


(34)

2. Asperger Syndrome (AS)

Aspergers Syndrome merupakan hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat atau aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia hingga di atas rata-rata (Teresa, 2010: 3). Priyatna (2010: 2) menjelaskan bahwa Aspergeres Syndrome adalah bentuk yang lebih ringan dari gangguan perkembangan pervasif yang ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi sosial serta perilaku stereotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Lebih lanjut Mangunsong (2009: 169) mengemukakan bahwa individu dengan sindrom asperger memiliki tingkat intelegensi dan komunikasi yang lebih tinggi daripada mereka yang mengalami gangguan autisme masa anak-anak, namun mereka kesulitan dalam interaksi sosial.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Asperger Syndrome (AS) adalah hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas yang ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi sosial serta perilaku stereotip, memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata, namun tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara karena memiliki tingkat intelegensi dan komunikasi yang lebih tinggi daripada mereka yang mengalami gangguan autisme masa anak-anak. Secara umum, dapat dikatakan bahwa asperger adalah bentuk lebih ringan dari autisme.


(35)

3. Rett Syndrome

Rett Syndrome merupakan gangguan yang ditandai adanya keadaan abnormal pada fisik, sedangkan perilaku, dan kemampuan kognitifnya tetap normal (Priyatna, 2010: 2). Penderita Rett Syndrome muncul pada usia 7 sampai 24 bulan, dimana sebelumnya terlihat perkembangan yang normal, kemudian diikuti dengan kemunduran berupa hilangnya kemampuan gerakan tangan serta ketrampilan motorik yang telah terlatih (Mangunsong, 2009: 169).

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Rett Syndrome merupakan gangguan yang muncul pada usia 7 sampai 24 bulan dimana sebelumnya terlihat perkembangan yang normal, kemudian diikuti dengan kemunduran berupa hilangnya kemampuan gerakan tangan serta keterampilan motorik yang telah terlatih, sedangkan perilaku, kemampuan kognitif tetap normal. Rett Syndrome hanya dialami oleh anak perempuan.

4. Childhood Disintegrative Disorder

Childhood Disintegrative Disorder merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilan yang telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama (Priyatna, 2010: 2). Kehilangan tersebut merupakan kehilangan terhadap kemampuan yang signifikan dalam ketrampilan terlatih pada beberapa bidang perkembangan setelah beberapa bulan gangguan berlangsung (Mangunsong, 2009: 169).

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Childhood Disintegrative Disorder merupakan gangguan yang melibatkan


(36)

hilangnya keterampilan yang telah dikuasai anak berupa kehilangan terhadap kemampuan yang signifikan dalam keterampilan terlatih pada beberapa bidang perkembangan setelah beberapa bulan gangguan berlangsung setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama. Terjadi pula gangguan yang khas dari fungsi sosial, komunikasi, dan perilaku. Sebagian penderita mengalami retardasi mental yang berat.

5. Pervasive Developmental not Otherwise Specified (PDD-NOS)

Pervasive Developmental not Otherwise Specified (PDD-NOS) adalah individu yang menampilkan perilaku autis, tetapi pada tingkat yang lebih rendah atau baru muncul setelah usia tiga tahun atau lebih (Mangunsong, 2009: 169). Pervasive Developmental not Otherwise Specified (PDD-NOS) merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome) (Teresa, 2010: 3). Jadi dapat disimpulkan bahwa Pervasive Developmental not Otherwise Specified (PDD-NOS) adalah individu yang menampilkan perilaku autis, tetapi pada tingkat yang lebih rendah atau baru muncul setelah usia tiga tahun atau lebih, dan tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa anak dengan gangguan autisme merupakan anak yang kondisinya menunjukan gejala kelainan akibat kerusakan saraf, yang gejalanya tampak sebelum usia tiga tahun dengan ciri-ciri pokok kelainannya yaitu tidak mampu menggunakan


(37)

bahasa untuk menyampaikan maksud hatinya sendiri pada orang lain, bertingkah laku yang sangat menyimpang dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya, karena anak dengan gangguan autisme senang dengan dunianya sendiri dan lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri, namun mereka memiliki kecenderungan menanggapi secara kurang atau bahkan berlebihan terhadap suatu stimuli eksternal.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Khusna Julidar tahun 2012

yang berjudul “Penerapan Musik Sebagai Media Terapi Fisik Motorik Bagi

Anak Penyandang Cerebral Palsy Di Yayasan Pembinaan Anak Cacat

(YPAC) Semarang”. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yaitu

diketahuinya musik yang digunakan sebagai media terapi fisik motorik bagi anak penyandang cerebral palsy adalah musik yang sumber bunyinya berasal dari tubuh dan musik yang sumber bunyinya berasal dari alat musik. Metode yang digunakan dalam penerapan musik sebagai media terapi fisik motorik adalah metode pembelajaran kelompok atau klasikal, objektif-praktis, sistematika dan kontinuitas, repetisi atau perulangan, metode bentuk selingan, metode kegiatan aktif, demonstrasi dan ceramah. Keseluruhan metode digunakan sesuai kondisi anak cerebral palsy di YPAC Semarang.

Penelitian tersebut menjadi acuan dalam penelitian yang dilakukan tentang penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta ini, karena penelitian tersebut relevan dengan


(38)

penelitian yang akan dilaksanakan dan penelitian tersebut sama-sama mendeskripsikan tentang penerapan musik sebagai media terapi.

F. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu pertanyaan utama dan pertanyaan tambahan. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah fokus dari masalah penelitian yang dikaji, yakni tentang cara penggunaan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta, sedangkan pertanyaan tambahan meliputi jenis musik, serta metode yang digunakan di dalam proses terapi musik. Pertanyaan penelitian digunakan untuk memberikan arahan bagi peneliti agar sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini disusun beberapa pertanyaan penelitian, yaitu.

1. Bagaimanakah cara penggunaan musik sebagai media terapi pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta?

2. Jenis musik apakah yang digunakan dalam proses terapi musik pada anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta?


(39)

23

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Menurut Sukardi (2003: 163) bahwa penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Pendekatan ini digunakan untuk pemahaman dan penafsiran yang cukup agar tidak melenceng dari kenyataan yang ada di lapangan, karena dengan metode kualitatif ini akan dideskripsikan secara akurat dan detail tentang penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta berdasarkan fakta serta data-data yang telah diperoleh dan disusun dalam bentuk tulisan ilmiah.

B. Tempat dan Waktu Penelitan

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita JL. Garuda 143 Wonocatur Banguntapan Bantul Yogyakarta. Pemilihan tempat ini dengan mempertimbangkan bahwa Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta merupakan salah satu sekolah yang memanfaatkan musik sebagai media terapi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Juni 2015.


(40)

C. Tahap Penelitian

Menurut Moleong (2008: 153) penelitian kualitatif dibagi menjadi tiga tahap yaitu : (1) Tahap pra lapangan; (2) Tahap lapangan; dan (3) Tahap pasca lapangan. Berikut ini penjelasan dari tahap-tahap penelitian kualitatif tersebut.

1. Tahap Pra Lapangan

Dalam tahap ini peneliti menentukan fokus penelitian, studi kepustakaan, menyiapkan alat penelitian seperti buku catatan, handphone yang digunakan untuk merekam hasil wawancara, serta mengurus prosedur penelitian seperti mengurus izin penelitian. Pengurusan izin penelitian sangat menentukan awal dari penelitian tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Moleong (2008: 153) pengurusan izin penelitian merupakan suatu persoalan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena kegiatan tersebut melibatkan peneliti di tempat penelitian. Hal lain yang perlu diperhatikan, pada tahap ini adalah pemilihan informan. Peneliti memilih informan yang benar-benar menguasai dalam hal menerapi anak-anak penyandang Autisme. Informan yang telah dipilih yakni Ana Nur Anis, S.Pd selaku salah satu guru sekaligus terapis di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahap pekerjaan lapangan terkait dengan penelitian yang dilakukan di lapangan seperti obeservasi, wawancara kepada narasumber, serta membuat dokumentasi yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.


(41)

Pekerjaan lapangan tersebut telah dilakukan oleh peneliti dari bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Juni 2015.

3. Tahap Pasca Lapangan a) Analisis data

Dalam tahapan ini peneliti sudah mengumpulkan data di lapangan secara penuh. Kemudian peneliti mengkaji data dengan berpedoman pada kajian teori agar didapatkan data serta bagian-bagin yang sesuai dengan topik penelitian.

b) Pengabsahan data

Agar data yang disajikan benar-benar akurat dan dapat dipercaya, maka dalam tahapan ini peneliti akan mengecek dan melihat kembali data yang ada, kemudian disajikan dengan lengkap sebagai hasil penelitian.

D. Instrumen Penelitian

Menurut Moleong (1994: 4) dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Peneliti sebagai instrumen penelitian berfungsi dalam mengambil inisiatif yang berhubungan dengan penelitian. Inisiatif ini meliputi pencarian data, pembuatan pertanyaan untuk wawancara dan pengolahan data. Dari pengertian tersebut, maka instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri.


(42)

E. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan sumber data yang dimintai informasinya sesuai dengan masalah penelitian, untuk mendapatkan data yang tepat maka perlu ditentukan informan yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan data (Suharsimi, 2002: 107). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara penerapan musik sebagai media terapi dan jenis musik apa yang digunakan dalam penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Oleh karena itu, diperlukan subjek yang memenuhi parameter yang dapat mengungkap hal tersebut sehingga data yang diperoleh akurat. Subyek yang dianggap memenuhi karakteristik dalam penelitian ini yaitu pendiri sekolah, guru sekaligus terapis dan instruktur musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. 1. Pendiri sekolah

Pendiri Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta bertugas mengawasi perkembangan anak-anak penyandang autism di sekolah tersebut.

2. Guru sekaligus terapis

Guru sekaligus terapis di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta bertugas membimbing dan memberikan pengarahan pada anak penyandang autisme untuk menjalani proses terapi musik.


(43)

3. Instruktur musik

Instruktur musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta bertugas untuk memberikan bahan ajar dan menjadi pengiring dalam proses terapi musik.

F. Sumber Data Penelitian

Menurut Lofland (dalam Moelong, 1994: 112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Menurut Moelong (1994: 112) sumber data penelitian kualitatif dibagi menjadi dua bagian yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapaun rinciannya sebagai berikut. 1. Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh dari wawancara secara langsung dan terbuka kepada narasumber. Selain dari wawancara, sumber data juga berasal dari pengamatan yang akan dilakukan. Data primer ini didapatkan dari hasil wawancara dengan informan yaitu: 1) Pendiri Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta; 2) Guru dan terapis Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta; 3) Instruktur musik Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Tahap wawancara ini untuk mengetahui cara-cara penggunaan musik sebagai media terapi, tujuan penggunaan musik sebagai media terapi, serta jenis musik yang digunakan dalam penggunaan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta.


(44)

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder ialah data yang diperoleh dari dokumen ataupun arsip yang ada di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

G. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian kualitatif deskriptif, maka data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau tulisan serta gambar. Oleh karena itu peneliti menggunakan teknik dan metode pengumpulan data sebagai berikut.

1. Observasi

Observasi merupakan kegiatan mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian. Menurut Sugiyono (2011 : 310), mengenai observasi, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan jenis observasi pasrtisipasi patif. Pada observasi partisipasi pasif, peneliti datang ke tempat kegiatan untuk melihat, dan mengamati proses penggunaan musik sebagai media terapi serta mencatat semua hal yang berkaitan langsung dengan aspek-aspek yang akan diteliti dan faktor-faktor kesukaran yang terdapat dalam proses penggunaan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Observasi dilakukan selama beberapa hari pada bulan Januari 2015.


(45)

2. Wawancara

Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewee). Interview digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data tentang variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap terhadap sesuatu (Suharsimi, 2010 : 198), sedangkan menurut Moleong (1994: 135), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Tahap wawancara ini dilakukan kepada beberapa narasumber yaitu 1) M. Yasin, S.Pd selaku pendiri Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta; 2) Ana Nur Anis, S.Pd sebagai guru sekaligus terapis di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta; dan 3) Warsito, S.Sn dan Rochmad Zaelani selaku instruktur musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Tujuan dilakukan wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta, khususnya cara penerapan


(46)

musik sebagai media terapi dan jenis musik yang digunakan dalam kegiatan terapi musik.

3. Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2012: 240) dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Pada penelitian ini, data dokumentasi yang didapatkan berupa, catatan lagu-lagu beserta notasi karawitan, dan

contoh pola irama pada kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” serta,

foto-foto dan video pelaksanaan kegiatan terapi musik di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta. Dokumentasi foto dan video digunakan sebagai pelengkap dari wawancara dan observasi untuk memperkuat hasil penelitian sehingga dapat dipercaya.

H. Keabsahan Data

Pengujian keabsahan data metode penelitian kualitatif menggunakan istilah yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif uji keabsahan data meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas), namun yang paling penting dalam penelitian kualitatif adalah uji kredibilitas. Uji kredibilitas atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, dan member check (Sugiyono, 2006: 368) yang secara rinci diuraikan sebagai berikut.


(47)

1. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan penelitian untuk melakukan pengamatan dan wawancara lagi dengan nara sumber. Dengan perpanjangan pengamatan ini berarti hubungan peneliti dengan narasumber akan semakin terbentuk, semakin akrab, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang masih disembunyikan (Sugiyono, 2006: 369).

Perpanjangan pengamatan pada penelitian yang dilakukan di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta yakni peneliti kembali ke lapangan penelitian untuk melakukan pengamatan lebih dalam tentang jenis musik yang digunakan dalam proses penggunaan musik sebagai media terapi, dan cara penerapan musik sebagai media terapi yang digunakan oleh guru sekaligus terapis dan instruktur musik di sekolah tersebut, serta peneliti melakukan wawancara jika terdapat hal yang belum diketahui oleh peneliti, dan melakukan pengecekan data observasi melalui wawancara dengan guru maupun istruktur.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa perpanjangan pengamatan penelitian bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan perubahan hasil penelitian baik yang disebabkan oleh peneliti sendiri maupun obyek yang diteliti. Dengan perpanjangan pengamatan dalam penelitian dapat membangun kepercayaan terhadap hasil penelitian tersebut.


(48)

2. Peningkatan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan adalah melakukan pengamatan penelitian secara cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. Dengan meningkatkan ketekunan, maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah dikumpulkan tersebut sudah benar atau salah. Demikian juga dengan meningkatkan ketekunan maka peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang penelitian yang sedang dilaksanakan (Sugiyono, 2006: 371).

Peningkatan ketekunan yang dilakukan peneliti dalam penelitian tentang penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta dilakukan secara berulang-ulang dari minggu ke minggu. Peneliti mengamati proses terapi musik tersebut, dan mengambil data. Data kemudian dibandingkan dari setiap minggu apakah data tersebut benar atau salah. Dengan dilakukan ketekunan pengamatan, maka urutan penerapan musik sebagai media terapi yang dilaksanakan baik dari segi proses, cara maupun penggunaan jenis musik dapat diketahui dengan pasti. 3. Triangulasi

Menurut Moleong (1994: 178) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap suatu data. Dalam teknik triangulasi, data yang diperoleh telah ditentukan


(49)

keabsahannya dengan melakukan pengecekan atau pemeriksaan. Untuk memperoleh data dengan teknik ini diharapkan data-data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Gambar 1. Triangulasi Teknik Pengumpulan Data Sumber : Sugiyono (2006: 373)

Teknik triangulasi pada gambar 1 dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan menggunakan teknik yang berbeda, misalnya data yang diperoleh dengan wawancara kemudian dilakukan pengecekan dengan observasi dan dokumentasi. Apabila dengan tiga teknik pengujian data tersebut menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan diskusi lebih lanjut kepada narasumber untuk memastikan data mana yang dianggap paling benar.

4. Member Check

Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada informan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh informan (Sugiyono, 2006: 375-376). Apabila data yang ditemukan disepakati oleh

DATA OBSERVASI

WAWANCARA PELATIH

DATA DOKUMENTASI


(50)

informan, maka dapat dikatakan data tersebut valid, sehingga semakin dapat dipercaya, tetapi jika data yang telah ditemukan peneliti tidak disepakati oleh pemberi data, maka peneliti harus mengubah temuannya dan menyesuaikan hasil penelitian tersebut dengan apa yang telah diberikan oleh pemberi data atau informan.

Jadi tujuan member check adalah agar informasi yang diperoleh dan yang akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan.

I. Teknik Analisis Data

Analisis data telah dilakukan peneliti sebelum memasuki lapangan, analisis yang dilakukan berupa analisis data hasil studi pendahaluan dan data sekunder guna memperoleh masalah yang lebih fokus. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan model analisis interaktif. Menurut Miles dan Huberman (1992: 19), model analisis interaktif ini terdiri dari tiga komponen, yaitu data reduction (reduksi data), Data Display (penyajian data), dan conclusion drawing (penarikan kesimpulan) yang dilakukan dalam bentuk interaktif, pengumpulan data sebagai siklus. Ketiga komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya (Sugiyono, 2011 :247). Dengan demikian data yang telah direduksi akan


(51)

memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa jenis musik yang digunakan sebagai media terapi dan cara penerapan musik sebagai media terapi. Dari seluruh data yang diperoleh selama kegiatan penelitian di lapangan ada beberapa data yang dirasa oleh peneliti kurang relevan dengan tujuan penelitian, data tersebut antara lain beberapa foto-foto kondisi alat musik serta ruangan tempat terapi dan beberapa point jawaban pendiri sekolah, guru sekaligus terapis dan instruktur musik tentang pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

2. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya (Sugiyono, 2011:249). Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Data disajikan dalam bentuk naratif deskriptif yang merupakan penyederhanaan informasi yang sudah direduksi kemudian dikelompokan kedalam sub penyajian, yaitu data tentang jenis musik yang digunakan sebagai media terapi dan cara penerapan musik sebagai media terapi.


(52)

3. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan)

Setelah melakukan reduksi data dan display data maka langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada, temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas (Sugiyono, 2011:253). Penyimpulan data diperoleh setelah peneliti melakukan reduksi data dan display data. Kesimpulan yang diambil ditangani secara longgar dan tetap terbuka sehingga kesimpulan yang semula belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar kokoh. Kesimpulan ini juga diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan maksud untuk menguji kebenaran, kekokohan dan kecocokan yakni yang merupakan validitasnya.


(53)

37

Media Terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta Penerapan musik sebagai media terapi di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta terdiri dari beberapa kegiatan terapi, yaitu terapi bernyanyi dan menggerakan tubuh sesuai dengan lagu yang dinyayikan secara bersama-sama yang dinamakan dengan “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, karawitan, bermain alat musik, dan bernyanyi. Kegiatan-kegiatan terapi musik tersebut dilaksanakan pada, setiap hari pukul 07.00-08.00 dilaksanakan

kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, hari selasa pukul 09.00-10.30 dilaksanakan terapi Karawitan; dan hari kamis pukul 09.00-10.30 dilaksanakan kegiatan terapi bermain alat musik dan terapi bernyayi.

Kegiatan-kegiatan terapi musik tersebut bertutujuan untuk memperbaiki kemampuan fisik, melatih kemampuan persepsi, serta mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak-anak penyandang autisme. Hal ini seperti yang disampaikan oleh M. Yasin, S.Pd selaku pendiri Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta, sebagai berikut.

“Ya tujuan dari terapi-terapi musik di sini itu agar siswa-siswanya dapat mempersepsikan lirik ataupun lagu agar dapat memperlancar kemampuan verbalnya maupun psikomotornya. Kalaupun ada siswa yang mempunyai bakat di bidang musik maka sekolah kami pasti memberi bimbingan yang lebih, supaya bakatnya bisa tersalurkan”. Dalam kegiatan-kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, karawitan, bermain alat musik, dan bernyanyi ini, jenis musik yang digunakan berbeda-beda. Adapun penjelasan jenis musik yang digunakan dalam proses


(54)

penerapan musik sebagai media terapi di sekolah tersebut yaitu sebagai berikut.

1. Terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa

Jenis musik yang digunakan dalam proses terapi musik “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini adalah jenis musik anak yang bertemakan alam,

makhluk hidup, dan kehidupan sehari-hari yang cenderung memberikan semangat, keceriaan, dan pemahaman terhadap anak penyandang autisme. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Kenapa dalam terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa ini kami menggunakan musik anak, karena musik anak itukan mempunyai karakter musik yang ceria, selain itu lirik dari musiknya juga dapat diperagakan dan memberikan pemahaman terhadap anak bagaimana bentuknya, geraknya, benda ataupun mahluk hidup yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti pesawat, burung, kupu-kupu, katak dan lain-lain.”

Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa, penggunaan

musik anak dalam terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” sangat berperan dalam membentuk mood anak menjadi lebih baik sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Dengan menggunakan musik anak yang mempunyai karakter musik yang ceria, keceriaan anak dapat terbentuk sejak pagi hari. Selain itu, lirik-lirik lagu sederhana yang terdapat pada musik anak dapat diperagakan melalui gerak tubuh yang mana dapat membantu perkembangan motorik anak.


(55)

2. Terapi Karawitan

Jenis musik yang diterapkan dalam terapi musik karawitan adalah jenis musik karawitan dengan lagu-lagu daerah, seperti Gangsaran, Mayar Sewu, Projo Tamansari, Gugur Gunung, dan Caping Gunung. Hal ini seperti yang diungkapkan Warsito, S.Sn selaku instruktur musik juga menjelaskan tentang kegiatan terapi karawitan ini, sebagai berikut.

“Jenis musik yang digunakan dalam terapi karawitan ya musik-musik karawitan dengan lagu-lagu daerah, selain untuk melestrarikan kesenian tradisional, musik karawitan juga dapat mengajarkan kerjasama, komunikasi antar pemain dan menambah pelafalan

kosakata siswa melalui nembang”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa, dalam terapi Karawitan ini menggunakan lagu-lagu daerah yang dalam pengaplikasiannya memainkan alat musik gamelan dan bernyanyi atau nembang. Hal ini dilakukan dengan tujuan selain melestarikan kesenian tradisional, juga mengajarkan kerjasama, komunikasi, serta mengajarkan pelafalan kosakata anak.

3. Terapi Bermain Alat Musik dan Bernyanyi

Jenis musik yang digunakan pada proses terapi bermain alat musik dan bernyanyi adalah jenis musik pop dan musik anak yang cenderung bersifat komunikatif. Jenis musik pop yang diterapkan bukan hanya meliputi lagu-lagu populer terbaru, namun juga lagu-lagu lawas, atau lagu nasional sesuai keinginan atau kesukaan anak penyandang autisme. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur, sebagai berikut.


(56)

“Dalam terapi bermain alat musik dan bernyanyi, jenis musiknya adalah jenis musik pop, lagunya seperti lagu untuk mama, lagu-lagunya Ada Band, Noah, ada juga yang suka lagu kenangan, masalahnya kan tiap siswa ada yang suka lagu Ada Band, Noah, tembang kenangan, dan lain-lain, disesuaikan dengan kesuakaan siswanya, kayak gitu. Kadang juga ada yang memainkan lagu

nasional”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa, dalam terapi bermain alat musik dan bernyayi, jenis musik yang digunakan adalah jenis musik pop dan musik anak. Lagu-lagu yang sering dimainkan oleh siswa adalah lagu-lagu yang sedang populer pada saat ini, seperti lagu-lagu dari grup band Noah, Ada Band, dan lain-lain. Selain itu, lagu-lagu yang juga sering dimainkan selain lagu popular pada era sekarang adalah lagu kenangan dan lagu nasional. Dalam pengaplikasian terapi bermain alat musik dan bernyayi ini lagu-lagu yang dimainkan dalam proses terapi cenderung disesuaikan dengan kesukaan tiap siswa.

B. Cara Penerapan Musik Sebagai Media Terapi Pada Anak Penyandang Autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta

Dalam melakukan kegiatan penerapan musik sebagai media terapi, Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta membagi kegiatan terapi

musik terlebih dahulu yaitu terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, terapi

karawitan, terapi bermain alat musik, dan terapi bernyanyi. Dalam proses kegiatan terapi tersebut, guru sekaligus terapis dan instruktur musik di sekolah tersebut menggunakan metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill. Ketiga metode ini saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang keberhasilan tercapainya terapi musik di sekolah tersebut. Hal ini


(57)

dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Jadi dalam melakukan kegiatan terapi musik di sini pertama kali kami membagi kegiatan terapinya terlebih dahulu lalu dalam penerapanya kami menggunakan metode demonstrasi, guru sekaligus terapis dan instruktur musik memberikan contoh, lalu anak-anak menirukannya (imitasi). Tapi anak-anak tetep dibimbing agar mau mengikuti proses terapi musik. Setelah itu baru digunakan metode drill, anak-anak dilatih terus-menerus, tetapi tetap anak-anak didampingi gurunya masing-masing, secara personal.”

Dari hasil wawancara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, metode demonstrasi dilakukan oleh guru sekaligus terapis dan instruktur musik dalam

kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, karawitan, bermain alat musik,

dan bernyayi. Setelah menggunakan metode demontrasi selanjutnya guru sekaligus terapis dan instruktur musik di sekolah tersebut menggunakan metode imitasi, metode ini dapat mempermudah anak penyandang autisme dalam melakukan kegiatan terapi musik yang diterapkan oleh guru sekaligus terapis dan instruktur musik, karena guru sekaligus terapis dan instruktur musik memberikan contoh terlebih dahulu lalu anak-anak menirukanya. Metode imitasi ini dirasa tepat diterapkan dalam kegiatan terapi musik mengingat karakteristik anak penyandang autisme yang tidak bisa diberikan pengarahan secara verbal.

Setelah dilakukan metode demonstrasi dan imitasi, guru dan instruktur menerapkan metode drill dalam kegiatan terapi musik. Metode drill memiliki peranan penting dalam proses terapi musik karena drill merupakan bentuk latihan yang bertujuan untuk memperdalam ketrampilan anak penyandang autisme dalam melakukan kegiatan-kegiatan terapi musik. Metode ini berupa


(58)

latihan-latihan bernyanyi, bermain karawitan, bermain alat musik, serta

kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” yang diulang-ulang hingga kemampuan anak penyandang autisme dalam kegiatan-kegiatan terapi tersebut meningkat. Dengan metode drill ini, anak penyandang autisme dapat memperdalam keterampilan dalam kegiatan terapi musik, sehingga menunjang tujuan dilakukannya terapi musik tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, yakni.

“Metode drill sangat penting digunakan, karena anak penyandang autis itu harus diajari dengan cara berulang-ulang biar makin lancar. Misal, kayak pas terapi bernyanyi, anak-anak dilatih terus-menerus, supaya anak-anak makin lancar nyanyinya. Karena kalau lancar nyanyinya juga bisa lancar bicaranya. Metode drill juga diterapkan di terapi-terapi lainnya. Tujuanya ya sama saja, biar lebih lancar dan

terampil.”

Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa tiga metode yang digunakan dalam proses terapi musik yang diterapkan di sekolah tersebut saling berkaitan satu sama lain. Metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill sangat memberikan peranan penting dalam penerapan terapi musik yang meliputi terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa”, karawitan, bermain alat musik, dan bernyayi. Adapun penjelasan cara penerapan kegiatan terapi musik tersebut sebagai berikut.

1. Terapi Pagi Ceria Pagi Menyapa

Cara penerapan terapi musik berupa “Pagi Ceria Pagi Menyapa”,

yakni guru sekaligus terapis membimbing anak penyandang autisme di sekolah tersebut untuk melakukan kegiatan bernyanyi sambil


(59)

menggerakkan aggota tubuh mereka. Terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini dilaksanakan setiap hari sebelum berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dengan tujuan agar anak-anak penyandang autisme memperoleh keceriaan, pikiran mereka segar, dan semangat mereka meningkat, supaya dapat menjalankan kegiatan belajar mengajar dalam kondisi baik.

Kegiatan dalam terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini berupa kegiatan

bernyanyi sambil bertepuk tangan, menepuk-nepuk paha, dan menghentak-hentakkan kaki secara bersamaan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Pagi ceria pagi menyapa, gunanya untuk mempersiapkan anak-anak agar dapat mengikuti pelajaran dengan ceria. Kadang-kadang kan ada anak yang dari rumah dalam keadaan bad mood, disini dibikin ceria dulu dengan bernyanyi dan menggerakan tubuh mereka secara bersama-sama. Itu kebiasaan kita, dari pertama datang ke sekolah itu

harus senang dulu supaya dapat mengikuti pelajaran dengan baik.”

Pada penerapan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” pada anak penyandang autisme, guru sekaligus terapis menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi, imitasi, dan drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh pada kegiatan terapinya. Kemudian guru menerapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru sekaligus terapis. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru untuk melakukan latihan menggerak-gerakkan anggota tubuh sesuai ritme secara berulang-ulang.


(60)

Gambar 2. Kegiatan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” di bawah bimbingan guru (dok. Dani, 2015)

Terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” berupa kegiatan bertepuk tangan, menepuk paha, dan menghentak-hentakkan kaki, yang secara tidak langsung mengajarkan pemahaman ritme kepada anak. Selanjutnya, guru sekaligus terapis juga mengajarkan berhitung kepada anak untuk menghitung setiap ketukan dari kegiatan terapi gerak tubuh ini, sehingga membentuk pola irama yang diinginkan. Selain melatih psikomotorik anak penyandang autisme, kegiatan ini juga melatih kemampuan anak dalam menghitung.

Contoh pola irama dalam kegiatan terapi gerak tubuh: XXXX OOOO YYYY XXXX OOOO YYYY

Keterangan: X simbol untuk bertepuk tangan. O simbol untuk menepuk-nepuk paha. Y simbol untuk menghentak-hentakkan kaki.

Selanjutnya, setelah anak terbiasa dengan permainan tersebut, kegiatan-kegiatan terapi itu dilakukan bersamaan dengan kegiatan bernyanyi. Artinya, anak penyandang autisme melakukan kegiatan gerak


(61)

tubuh, tepuk tangan, tepuk paha, dan menghentakan kaki sambil bernyanyi sesuai ritme lagu.

Permainan lain dalam terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” adalah memperagakan suatu lagu dengan gerakan. Contoh paling sederhana dalam kegiatan ini adalah anak memperagakan lagu kepala-pundak-lutut-kaki, ketika bernyanyi anak belajar menyentuh bagian tubuh yang dinyanyikan. Adapun lagu lain yang sering diterapkan dalam terapi ini adalah burung kakak tua, topi saya bundar, satu-satu aku sayang ibu, yang dinyanyikan dengan memperagakan isi lirik dari lagu-lagu tersebut.

Dengan diterapkannya terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” ini, anak

penyandang autisme yang memiliki karakteristik tidak mau mengenal orang-orang di sekitarnya, menjadi lebih aktif untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan cara bernyanyi dan menggerakan tubuh mereka secara bersama-sama. Kegiatan-kegiatan pada terapi “Pagi Ceria

Pagi Menyapa” ini berfungsi untuk melatih psikomotorik anak penyandang autisme, mengajarkan pemahaman ritme, melatih kemampuan berhitung anak, melatih konsentrasi anak, melatih pelafalan kosa kata, dan membuat

perasaan anak menjadi gembira. Kegitan terapi “Pagi Ceria Pagi Menyapa” dapat dilakukan dengan berbeagai variasi sesuai pengajaran guru sekaligus terapis di sekolah tersebut.

2. Terapi Karawitan

Proses terapi musik berupa kegiatan terapi karawitan, yakni guru sekaligus terapis dan instruktur musik membimbing anak penyandang


(62)

autisme di sekolah tersebut untuk bermain karawitan. Terapi karawitan diterapkan dengan tujuan untuk mengembangkan keterampilan anak penyandang autisme di bidang musik, menunjang anak penyandang autisme untuk bersosialisasi dan bekerja sama. Dengan bermain musik secara kolektif, mengajarkan komunikasi dengan teman mainnya, dan mengembangkan pelafalan kosakata anak yang didapatkan dari nembang atau bernyanyi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Tujuan terapi karawitan, mengajarkan kerjasama, coba kalau nggak kerja sama, nggak bisa. Mengajarkan komunikasi, misal kalau ada temannya main kok belum berhenti padahal lagunya sudah berenti nanti temanya akan memberi tau, berhenti-berhenti gitu. Sehingga

menimbulkan komunikasi.”

Terapi karawitan merupakan kegiatan terapi yang membutuhkan ketrampilan lebih dari anak-anak penyandang autisme di sekolah tersebut. Anak-anak yang menjalani kegiatan terapi karawitan ini biasanya anak-anak yang memiliki nilai akademik yang baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Tiap ketukan di gamelan itu kan berbeda-beda, kalau ada anak-anak yang memiliki kemampuan yang lebih, artinya untuk kemampuan akademiknya agak bagus, itu kami tempatkan di bonang. Kalau saron itu anak yang bisa menghitung satu sampai tujuh, saron kan

manut notnya saja.”

Lebih lanjut Warsito, S.Sn selaku instruktur musik juga menjelaskan tentang kegiatan terapi karawitan ini, sebagai berikut.

“Kalau untuk karawitan itu tujuannya untuk ngasih keterampilan, sama biar bisa bersosialisasi, bermain musik bareng-bareng, gitu.


(63)

Anak autis kan susah ngajarinnya, jadi harus dibimbing secara tegas. Soalnya gini, kalau anak-anak autis di-treatment kayak anak-anak biasa tidak bisa, tapi kalau anak yang benar-benar tidak bisa dibimbing secara tegas ya tetep nggak bisa dipaksa. Jadi membimbing yang bisa dibimbing, yang tingkat autisnya nggak parah. Untuk anak autis yang parah, ada treatment sendiri, seperti dibimbing kegiatan yang dasar-dasar terlebih dahulu seperti diminta diam, duduk, dan lain-lain. Tapi untuk anak yang mengikuti terapi karawitan rata-rata adalah anak yang bisa dibimbing, bisa dikasih

intruksi, walaupun nggak sempurna, gitu.”

Terapi karawitan yang dilakukan di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta adalah untuk membimbing anak penyandang autisme supaya lebih aktif lagi serta mengasah ketrampilan mereka. Dalam proses terapi karawitan di sekolah tersebut, bentuk gamelan dikemas secara menarik agar anak penyandang autisme di sekolah tersebut tertarik untuk memainkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis, S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Gamelan dibuat beda untuk daya tarik mereka, anak melihat saja sudah senang dengan gamelan yang berbentuk pesawat, tank,

mobil-mobilan, apalagi memainkanya.”


(64)

Dalam proses kegiatan terapi karawitan yang diterapkan di sekolah tersebut terdapat tiga bentuk kegiatan, yaitu terapi karawitan sekar (penyajiannya dengan menyanyi), terapi karawitan gendhing (penyajiannya dengan memainkan instrumen gamelan), dan terapi karawitan sekar gendhing (penyajiannya dengan unsur gabungan antara menyanyi dan memainkan instrumen gamelan). Proses terapi karawitan tersebut dilakukan dengan bimbingan guru dan instruktur musik. Instruktur bertugas memberikan pengarahan pada anak penyandang autisme terkait notasi-notasi yang harus dimainkan, sedangkan guru bertugas sebagai pembimbing anak-anak itu dalam melakukan terapi karawitan tersebut. Guru menerjemahkan pengarahan instruktur kepada anak penyandang autisme dengan cara membimbing anak-anak dalam melakukan terapi karawitan. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur musik di sekolah tersebut, sebagai berikut. “Karawitan dimainkan secara berkelompok, cara pengajarannya ya

dibimbing satu-satu. Jadi instrukturnya di depan, terus tiap anak didampingi gurunya masing-masing. Nah, gurunya memegang tangan anak-anak, lalu menjelaskan intruksi dari instruktur kepada anak. Anak autis kan perhatiannya tidak seperti anak pada umumnya, jadi fungsinya guru di situ biar anak lebih perhatian, sama menerjemahkan intruksi dari intrukstur sekaligus membimbing anak


(65)

Gambar 4. Instruktur memberikan pengarahan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi karawitan (dok. Dani, 2015)

Gambar 5. Guru memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi karawitan (dok. Dani, 2015)

Guru dan intruktur dalam menerapkan terapi karawitan pada anak penyandang autisme menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh menyanyikan atau memainkan komposisi lagu kepada anak penyandang autisme secara bertahap. Kemudian diterapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk


(66)

menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru sehingga dapat menyanyikan atau memainkan lagu sesuai dengan pengarahan intrukstur. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru untuk melakukan latihan menyanyi atau memainkan komposisi karawitan secara berulang-ulang. Masing-masing anak dibimbing oleh gurunya dalam bernyanyi atau memainkan alat musik gamelan, kemudian setelah bermain cukup lancar anak penyandang autisme tersebut memainkan musik karawitan secara bersama-sama dengan anak-anak yang lain, namun tetap dalam bimbingan guru mereka masing-masing. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ana Nur Anis S.Pd selaku guru sekaligus terapis di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Awalnya kami menggunakan metode demontrasi, kami memberikan contoh satu lagu dalam bermain gamelan, kemudian anak-anak kami suruh untuk menirukannya, tetapi tetap kami bimbing itu metode yang kami pakai imitasi, setelah anak-anak sudah agak bisa lalu kami menggunakan metode drill dengan mengulang-ulang lagu yang

kami ajarkan sampai lancar”.

Gambar 6. Anak-anak penyandang autisme melakuan kegiatan terapi karawitan secara kolektif di bawah bimbingan guru dan instruktur


(67)

3. Terapi Bermain Alat Musik

Proses terapi musik berupa kegiatan terapi bermain alat musik, yakni guru dan instruktur membimbing anak penyandang autisme di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Yogyakarta untuk bermain alat-alat musik modern seperti, keyboard dan drum. Kegiatan terapi bermain alat musik ini meningkatkan ketrampilan anak penyandang autisme dibidang musik. Melalui terapi bermain alat musik ini, interaksi sosial anak penyandang autisme terhadap keadaan sekitar meningkat, dalam hal ini adalah ketertarikan anak terhadap alat-alat musik tersebut. Selain itu, terapi bermain alat musik dapat menumbuhkan perasaan senang dan gembira, sehingga anak penyandang autisme dapat lebih bersemangat dalam menjalani proses terapi musik.

Gambar 7. Instruktur memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi bermain alat musik

(dok. Dani, 2015)

Dalam kegiatan terapi bermain alat musik ini, anak penyandang autisme dibebaskan untuk berinteraksi dengan alat-alat musik tersebut.


(68)

Anak penyandang autisme memiliki karakteristik, yaitu jika tertarik terhadap sesuatu hal, mereka cenderung mendekati dan mencoba berinteraksi dengan benda tersebut. Tidak terkecuali dengan alat-alat musik yang menghasilkan suara-suara yang membuat mereka tertarik. Ketika anak penyandang autisme tersebut tertarik dengan alat-alat musik yang mereka lihat, guru dan instruktur musik langsung memperkenalkan alat-alat musik tersebut kepada mereka. Kemudian guru dan instruktur musik akan mengajarkan mereka untuk bermain alat-alat musik tersebut secara mendalam. Terapi bermain alat musik dapat dikatakan bukan terapi utama dalam penanganan perkembangan anak penyandang autisme di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan kendala yang dihadapi dalam penerapan terapi ini adalah tenaga pengajar yang melakukan terapi bermain alat musik ini terbatas. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur musik di sekolah tersebut, sebagai berikut.

“Beberapa anak autis kalau lihat alat musik yang mereka sukai, anak itu akan megangin terus alatnya. Nah, tugas saya di sini mengarahkan anak-anak untuk bermain instrument tersebut, dengan harapan anak-anak tersebut bisa memainkan alat musik, nanti kalau dia suka, saya beri pengarahan terus. Kalau anak tidak berminat lagi, yasudah tidak apa-apa, kan anak itu tidak bisa dipaksain, tapi misalnya yang udah ada bakatnya sendiri, nanti aku ajarin terus, yang sudah bisa bermain secara baik baru satu, main keyboard lumayan lancar, kalau yang lain masih dalam proses. Alasannya


(69)

Gambar 8. Instruktur memberikan bimbingan kepada anak penyandang autisme dalam kegiatan terapi bermain alat musik

(dok. Dani, 2015)

Guru sekaligus terapis dan intruktur musik dalam menerapkan terapi bermain alat musik pada anak penyandang autisme menggunakan tiga metode, yaitu metode demonstrasi, metode imitasi, dan metode drill. Pada metode demonstrasi guru memberikan contoh memainkan alat-alat musik kepada anak penyandang autisme yang tertarik. Kemudian diterapkan metode imitasi, yaitu anak penyandang autisme tersebut dibimbing untuk menirukan apa yang sudah dicontohkan oleh guru hingga dapat memainkan alat musik tersebut. Setelah itu diterapkan metode drill, yaitu anak penyandang autisme dibimbing oleh guru dan instruktur untuk melakukan latihan memainkan alat musik tersebut secara berulang-ulang. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh saudara Rochmad Zaelani sebagai instruktur, sebagai berikut.

“Cara pengajarannya itu ya saya mendemonstrasikan apa yang akan saya ajarkan, setelah itu anak saya suruh untuk menirukanya (imitasi), lalu saya latih terus-menerus (didril). Jadi, misalnya saya ngasih akord satu, akord dua, akord tiga, ini akord C, ini akord D, ini akord G gitu, mereka niruin posisi jarinya, dan diulang-ulang terus sampai bisa, tapi tetep secara personal, nggak ramai-ramai.”


(1)

83

Gambar 18. Kegiatan terapi bernyayi dan bermain alat musik (dok. Dani, 2015)


(2)

84

LAMPIRAN 6 GLOSARIUM

Autisme adalah gangguan perkembangan syaraf yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam interaksi social, komunikasi dan prilaku terbatas.

Down syndrome merupakan kelainan genetik yang terjadi pada kromosom.

Intelegensi adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari.

Interaksi adalah suatu jenis tindakan yang terjadi ketika dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain.

Infantil sebenarnya adalah sebuah istilah dalam psikologi yang artinya bersifat kekanak-kanakan.

Improvisasi adalah melakukan sesuatu tanpa persiapan. Biasanya terjadi

secara serta merta karena di dukung oleh kondisi dan keadaan.

Kromosom (bahasa Yunani: chroma, warna; dan soma, badan) merupakan struktur di dalam sel berupa deret panjang molekul yang terdiri dari satu molekul DNA.

Pervasive adalah kelompok gangguan serius yang berasal dari masa kecil yang melibatkan beberapa area termasuk perkembangan fisik, perilaku, kognitif, sosial, dan bahasa.

Psikomotorik merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.


(3)

85

Psikofisik adalah teori yang menyatakan bahwa budi dan tubuh tidak memengaruhi satu sama lain.

Preokupasi adalah gangguan isi pikiran dimana pikirannya dalam waktu lama terpusat atau terfokus dalam satu fokus tertentu.

Stereotipik adalah gangguan motorik dimana terjadi gerakan motorik yang berulang-ulang dan tidak ada tujuannya.

Stimulus adalah hal – hal yang merangsang terjadinya kegiatan belajar,

seperti pikiran, perasaan dan lain – lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.

Syndrome dalam ilmu kedokteran dan psikologi, adalah kumpulan dari

beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan.


(4)

(5)

(6)