16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Motivasi X dan Y
Salah satu faktor yang mendorong seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu adalah motivasi. Motivasi menurut Lubis 2014:84 adalah
proses yang dimulai dengan definisi fisiologis atau psikologis yang menggerakan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan intensif. Hellriegel et al.
2001 dalam Aisyah et al. 2014 menyatakan bahwa motivasi juga dapat dikatakan sebagai rencana pekerjaan itu sendiri yang membuat seseorang
termotivasi, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah elemen-elemen di luar pekerjaan yang melekat pada pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang
membuat seseorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi. Menurut Maslow dalam Wijayanti 2011 teori motivasi berasal dari
hierarki kebutuhan yang mana hal tersebut ada di dalam diri setiap manusia. Ada lima jenjang kebutuhan, yaitu:
1. Fisiologis, adalah tahap kebutuhan paling dasar dari individu dan justru jadi bagian paling besar, karena jika kebutuhan ini tidak tercapai, kebutuhan
yang diatasnya tidak akan pernah tercapai. 2. Keamanan, disini individu membutuhkan rasa aman dan mencari tempat
yang bisa menyediakan rasa aman dari bahaya yang mengancam nyawanya.
3. Sosial, pada tahap ini individu membutuhkan kasih sayang dari orang lain, butuh berhubungan dengan orang lain dan merasa diterima oleh lingkungan.
4. Penghargaan, disini individu merasa butuh meraih sesuatu, membuat suatu prestasi menjadi unsur yang kompeten di lingkungan, mendapatkan
pengakuan dan mengenal lingkungan dengan baik. 5. Aktualisasi diri, di tahap ini manusia sudah puas dengan kemampuan dalam
dirinya, merasa hidup sudah berjalan dengan sinergis, dan mengenali potensi yang ada dalam dirinya.
Menurut Gibson 1996 dalam Marietza 2010 menyatakan bahwa motivasi merupakan konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam
diri seseorang yang akan memulai atau mengarahkan perilakunya. Sedangkan menurut Chambell et al. 1970 yang dikutip oleh Gibson 1994 dalam Marietza
2010, motivasi berhubungan dengan arah perilaku, kekuatan usaha setelah seseorang memilih tindakan tertentu berperilaku menurut cara tertentu.
Ada beberapa teori motivasi yang dikembangkan sejak tahun 1950-an. Salah satunya adalah teori motivasi X dan Y yang dikemukakan oleh Douglas
McGregor Lubis, 2014. Menurutnya manusia memiliki dasar negatif yang diberi tanda sebagai teori X dan yang lain positif ditandai dengan teori Y. Setelah
memandang cara manajer menangani karyawan, McGregor menyimpulkan bahwa pandangan seorang manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada suatu
pengelompokan pengendalian-pengendalian tertentu dan manajer cenderung membentuk
perilakunya terhadap
bawahannya menurut
pengendalian- pengendalian tersebut Lubis, 2014.
Karyawan yang memiliki locus of control eksternal akan bertipe X karena mereka tidak menyukai tanggung jawab, dan harus dipaksa agar berprestasi,
mereka harus dimotivasi oleh lingkungannya. Sedangkan karyawan dengan locus of control
Internal akan bertipe Y karena mereka menyukai kerja, kreatif, berusaha bertanggung jawab, dan dapat mengarahkan diri sendiri dengan target
tertentu, sehingga individu yang bertipe X dan mempunyai dasar negatif akan cenderung memiliki komitmen yang rendah terhadap organisasi atau instansi
tempat ia bekerja karena ia menganggap organisasi bukan bagian dari dirinya Febrina, 2012. Berbeda dengan individu yang bertipe Y, individu yang bertipe Y
mempunyai dasar positif. Individu ini akan cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi atau instansi tempatnya bekerja karena ia menganggap
organisasi merupakan bagian dari dirinya dan organisasi merupakan tempat ia berkembang dan sukses dengan kemampuan yang dimilikinya.
Begitu pula dengan turnover intention keinginan berhenti dari organisasi seseorang. Dalam hal ini, adanya keinginan dari auditor untuk berpindah Kantor
Akuntan Publik KAP. Dimana individu yang bertipe X akan memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam berbagai perilaku penyimpangan. Karena
dianggap tidak begitu peduli dengan dampak buruk dari penyimpangan perilaku terhadap penilaian kinerja dan promosi. Hal ini dikarenakan menurunnya
ketakutan diberikannya sanksi sebagai konsekuensi atas tindakan penyimpangan yang mungkin dilakukan. Sedangkan individu yang bertipe Y akan cenderung
melakukan kinerja dengan baik, menghindari perilaku menyimpang, dan sangat menghargai promosireward yang nantinya diberikan kepada dirinya. Hal ini yang
mendorongnya untuk tidak melakukan perilaku menyimpang yang mengakibatkan adanya keinginan berpindah tempat kerja.
Karyawan yang memiliki komitmen rendah terhadap organisasinya akan bertipe X karena memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam berbagai perilaku
penyimpangan. Karyawan tersebut dianggap tidak begitu peduli terhadap kepentingan instansinya dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Sedangkan
karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasinya akan bertipe Y karena cenderung menjaga nama baik instansinya, dengan menaati prosedur-
prosedur dan kode etik yang berlaku, serta menghindari perilaku disfungsional audit. Hal ini yang mendorong auditor untuk tidak melakukan perilaku
menyimpang yang dapat mengakibatkan tercorengnya nama baik instansinya. Peneliti menggunakan teori ini karena seorang auditor di dalam
menjalankan aktifitasnya terkadang dapat melakukan perilaku disfungsional. Hal ini dapat didorong karena adanya motivasi-motivasi tertentu sesuai dengan
kepribadian dasar seseorang X atau Y. Motivasi-motivasi tertentu tersebut dapat timbul karena adanya tekanan dari dalam dirinya, maupun dari luar seperti
organisasi, atau dari kliennya Inapty, 2007 dalam Aisyah, 2014. Bila auditor dalam menjalankan kegiatannya mengalami adanya suatu pertentangan atau
konflik yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan hal tersebut tidak diatur dengan baik maka akan menimbulkan adanya perilaku disfungsional
audit.
2.1.2 Auditing, Kode Etik, dan Prosedur Audit
Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah
disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan tersebut Agoes sukrisno, 2012:4. Menurut SAS 1 AU 110 dalam Arens et al., 2008, auditor bertanggung jawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh kepastian yang layak tentang apakah laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, apakah
itu disebabkan oleh kekeliruan ataupun kecurangan. Karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh kepastian yang layak, tetapi
tidak absolut, bahwa salah saji yang material dapat dideteksi. Apabila seorang auditor dalam menjalankan tanggung jawabnya tidak sesuai
dengan kode etik yang berlaku, maka hal tersebut dapat mengarah pada perilaku disfungsional audit dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
profesi ini. Karena kode etik akuntan dapat diartikan sebagai suatu sistem prinsip moral dan pelaksanaan aturan yang memberikan pedoman kepada akuntan dalam
berhubungan dengan klien, masyarakat dan rekan seprofesi dan sebagai alat untuk memberikan keyakinan pada para pengguna jasa akuntan tentang kualitas jasa
yang diberikan Wati, 2009. Menurut Brooks et al., 2012 dalam kode etik IFAC International
Federation of Accountants section 100.4 seorang akuntan profesional diharuskan
untuk memenuhi prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
1. Integritas Seorang akuntan profesional harus tegas dan jujur dalam semua
keterlibatannya dalam hubungan profesional dan bisnis. 2. Objektivitas
Seorang akuntan profesional seharusnya tidak membiarkan bias, konflik kepentingan, atau pengaruh yang berlebihan dari orang lain untuk
mengesampingkan penilaian profesional atau bisnis. 3. Kompetensi Profesional dan Kesungguhan
Seorang akuntan profesional memiliki tugas yang berkesinambungan untuk senantiasa menjaga pengetahuan dan skil profesional pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau atasan menerima jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan terkini dalam
praktik, legislasi, dan teknis. Seorang akuntan profesional harus bertindak tekun dan sesuai dengan standar teknis dan profesional yang berlaku dalam
memberikan layanan profesional. 4. Kerahasiaan
Seorang akuntan profesional harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan bisnis dan tidak boleh
mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga, tanpa otoritas yang tepat dan spesifik kecuali ada hak hukum atau profesional atau kewajiban
untuk mengungkapkan.
5. Perilaku Profesional Seorang akuntan profesional harus patuh pada hukum dan peraturan-
peraturan terkait dan seharusnya menghindari tindakan yang bisa mendiskreditkan profesi.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebyt, seorang profesional yang bersalah bisa dikenakan lebih dari satu sanksi. Misalnya, dia mungkin menerima teguran,
denda, dan tagihan untuk biaya pengacara dan pemeriksaan. Atau mungkin juga hukuman dalam bentuk pencabutan keanggotaan sampai seperangkat program
yang disyaratkan telah selesai ditambah kompensasi kerusakan dan biaya-biaya. Jika profesional tampaknya perlu pengawasan sementara, hukumannya mungkin
termasuk juga penelaahan seluruh pekerjaan oleh rekan seprofesi Brooks dan Dunn, 2012:168.
Auditor dalam menjalankan tugasnya harus berlandaskan pada kode etik dan prosedur yag telah ditentukan. Karena Prosedur audit adalah rincian instruksi
yang menjelaskan bukti audit yang harus diperoleh selama audit Arens et al., 2008:225. Prosedur tersebut dilakukan untuk memperoleh bukti audit yang cukup
agar auditor dapat menemukan kesalahan dan kecurangan yang mungkin terjadi dalam sistem akuntansi klien Basudewa et al., 2015.
Prosedur audit yang disebutkan dalam standar tersebut meliputi inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi. Di samping auditor
memakai prosedur audit yang disebutkan dalam standar tersebut, auditor melaksanakan berbagai prosedur audit lainnya untuk mengumpulkan bukti audit
yang akan dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan
keuangan auditan. Prosedur audit lain tersebut meliputi penelusuran, pemeriksaan bukti pendukung, penghitungan, dan scanning. Dengan demikian, prosedur audit
yang bisa dilakukan oleh auditor meliputi: 1. Inspeksi.
Inspeksi merupakan pemeriksaan secara rinci terhadap dokumen atau kondisi fisik sesuatu. Dengan melakukan inspeksi terhadap sebuah
dokumen, auditor akan dapat menentukan keaslian dokumen tersebut. 2. Pengamatan Observation.
Pengamatan adalah prosedur audit untuk melihat atau menyaksikan pelaksanaan kegiatan klien sehingga auditor dapat memperoleh bukti visual
mengenai kegiatan entitas klien. 3. Permintaan keterangan Enquiry.
Prosedur ini berkaitan dengan tindakan tanya jawab dan harus berkaitan dengan jenis bukri audit yang didefiniskan sebagai tanya jawab. Bukti audit
yang dihasilkan adalah bukti lisan dan dokumenter. 4. Konfirmasi.
Konfirmasi merupakan bentuk penyelidikan yang memungkinkan auditor memperoleh informasi secara langsung dari pihak ketiga yang bebas atau
independen. 5. Penelusuran Tracing.
Instruksi yang biasanya berkaitan dengan dokumentasi atau pelaksanaan ulang. Instruksi itu harus menyatakan apa yang ditelusuri auditor dan dari
mana serta menuju ke mana penelusuran itu dilakukan. Sering kali, prosedur
audit yang melibatkan istilah penelusuran juga akan mencakup instruksi kedua, seperti membandingkan atau rekalkulasi.
6. Pemeriksaan bukti pendukung Vouching. Penggunaan dokumen untuk memverifikasi transaksi atau jumlah yang
tercatat. 7. Penghitungan Counting.
Prosedur ini merupakan penentuan aktiva yang dimiliki pada waktu tertentu. Istilah ini hanya dapat dikaitkan dengan jenis bukti audit yang didefinisikan
sebagai pemeriksaan fisik. 8.
Scanning. Scanning
merupakan pemeriksaan yang kurang terinci atas catatan atau dokumen untuk menentukan apakah terdapat hal yang tidak biasa yang
memerlukan investigasi lanjutan. 9. Pelaksanaan ulang Reperforming.
Perhitungan yang dilakukan untuk menentukan apakah perhitungan klien sudah benar.
10. Teknik audit berbantuan komputer Computer assisted audit techniques. Prosedur ini dilaksanakan bila catatan akuntansi klien disusun dalam media
elektronik, meliputi seluruh prosedur audit sebelumnya. Semua klien menggunakan komputer dalam proses akuntansinya saat ini sehingga
seorang auditor harus menguasai komputer agar dapat melakukan audit yang efektif dan efisien.
Prosedur audit tersebut sangat diperlukan bagi asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efektif dan efisien. Kualitas dari auditor
dapat diketahui dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedur-prosedur audit yang tercantum dalam program audit. Usaha memperoleh bukti audit kompeten
yang cukup, auditor sebelum melaksanakan penugasan audit harus menyusun program audit yang merupakan kumpulan dari prosedur audit yang akan
dijalankan dan dibuat secara tertulis. Kualitas kerja auditor dapat diketahui dari seberapa jauh auditor melaksanakan prosedur-prosedur audit yang tercantum
dalam program audit Malone dan Roberts, 1996 dalam Akhsan 2014. Prosedur audit yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang ditetapkan
dalam Standar Profesi Akuntan Publik SPAP yang menurut Herningsih 2002 dalam Akhsan 2014 mudah untuk dilakukan praktik perilaku disfungsional
audit. Prosedur tersebut adalah: 1. Pemahaman bisnis dan industri klien PSA No.5 2001
2. Pertimbangan pengendalian internal PSA No.69 2001 3. Review kinerja internal auditor klien PSA No.33 2001
4. Informasi asersi manajemen PSA No.07 2001 5. Prosedur analitik PSA No.22 2001
6. Proses konfirmasi PSA No.07 2001 7. Representasi manajemen PSA No.17 2001
8. Pengujian tehnik audit berbantuan komputer PSA No.59 2001 9. Sampling audit PSA No.26 2001
10. Perhitungan fisik persediaan dan kas PSA No.07 2001.
2.1.3 Perilaku Disfungsional Audit
Perilaku disfungsional audit menurut Otley dan Pierce 1996 adalah perilaku auditor dalam proses audit yang tidak sesuai dengan program audit yang
telah ditetapkan atau menyimpang dari standar yang telah ditetapkan. Perilaku ini merupakan reaksi terhadap lingkungan, misalnya controlling system .
Beberapa perilaku disfungsional audit yang membahayakan kualitas audit secara langsung yaitu alteringreplacement of audit procedure dan premature sign
off , sedangkan underreporting of time mempengaruhi hasil audit secara tidak
langsung. Pemerolehan bukti yang kurang, pemrosesan kurang akurat, dan kesalahan dari tahapan-tahapan audit juga merupakan dampak dari perilaku
disfungsional audit. Tindakan yang mereduksi kualitas audit secara langsung atau sering disebut
dengan perilaku reduksi audit RKA dilakukan dengan tidak melakukan prosedur audit yang seharusnya sesuai dengan program audit. Perilaku ini dilakukan
melalui tindakan seperti premature sign off menghentikan prosedur audit secara dini, review yang dangkal terhadap dokumen klien, bias dalam pemilihan sampel,
tidak memperluas scope pengujian ketika terdeteksi ketidakberesan, dan tidak meneliti kesesuaian perlakuan akuntansi yang diterapkan klien Otley dan Pierce
1996. Tindakan-tindakan yang telah disebutkan di atas secara langsung dapat mereduksi kualitas audit karena auditor memilih untuk tidak melaksanakan
seluruh tahapan program audit secara cermat dan seksama Silaban, 2011. Perilaku underreporting of time URT adalah tindakan yang dilakukan
auditor dengan memanipulasi atau tidak melaporkan waktu audit yang
sesungguhnya mereka gunakan untuk pelaksanaan program audit Otley dan Pierce, 1996. Tindakan seperti ini juga berpengaruh tidak langsung pada mutu
audit Harini et al., 2010 dan Donnelly et al., 2003. Underreporting of time URT terjadi ketika auditor melakukan tugas audit tanpa melaporkan waktu yang
sebenarnya. Selain itu, perilaku URT dapat mengakibatkan KAP mengambil keputusan internal yang salah seperti penetapan anggaran waktu audit untuk tahun
berikutnya yang tidak realistis, evaluasi kinerja staf yang tidak tepat dan selanjutnya dapat mendorong perilaku RKA untuk penugasan berikutnya Otley
dan Pierce, 1996 dalam Silaban, 2011. Selanjutnya perilaku URT juga berdampak terhadap penilaian yang telah dilakukan KAP atas kinerja personal
auditor. Ketika auditor bertindak dengan cara URT, maka penilaian yang dilakukan KAP atas kinerja auditor menjadi tidak tepat dan kurang efisien. Time
budget yang disebabkan oleh underreporting of time URT tahun sebelumnya
dapat menyebabkan auditor gagal untuk mengumpulkan cukup bukti, penemuan yang signifikan, dan prosedur dokumen yang tidak mereka lakukan Donnelly et
al ., 2003.
Perilaku RKA dan URT selain digolongkan sebagai perilaku disfungsional audit dapat juga digolongkan sebagai perilaku tidak etis. Kedua perilaku tersebut
dikategorikan sebagai perilaku tidak etis karena auditor memanipulasi laporan kinerja tugas yang dibebankan KAP pada mereka yaitu dengan mengurangi
pekerjaan yang seharusnya dilaksanakan atau dengan tidak melaporkan waktu audit yang sesungguhnya digunakan, dimana hal tersebut merupakan pelanggaran
terhadap standar audit profesional dan kebijakan KAP Otley dan Pierce, 1996.
2.1.4 Locus of Control Eksternal
Salah satu variabel kepribadian yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah locus of control atau pusat kendali. Locus of control merupakan
sebuah konsep yang dikembangkan oleh Rotter Donelly et al., 2003. Konsep ini telah banyak digunakan dalam penelitian keperilakuan untuk menjelaskan
perilaku manusia dalam organisasi. Locus of control
adalah persepsi akan kendali mereka terhadap nasib, kepercayaan diri dan kepercayaan mereka atas keberhasilan dirinya. Locus of
control memainkan peranan penting dalam berbagai kasus, seperti perilaku
disfungsional audit, job satisfaction, kinerja, komitmen organisasi, dan turnover intention
Donnelly et al., 2003; Maryanti, 2005; Harini et al., 2010. Teori locus of control
menggolongkan individu apakah termasuk dalam locus of control internal atau eksternal. Rotter et al., 1990 dalam Pujaningrum, 2012
mendefinisikan locus of control sebagai berikut: “Internal control maupun external control adalah tingkatan dimana seorang
individu berharap bahwa reinforcement atau hasil dari perilaku mereka bergantung pada perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka
atau tingkat dimana seseorang berharap bahwa reinforcement atau hasil adalah fungsi dari kesempatan, keberuntungan atau takdir dibawah kendali
yang lain atau tidak bisa diprediksi”. Individu dengan locus of control eksternal akan memandang dunia sebagai
sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuannya. Sehingga perilaku dari individu tersebut tidak akan mempunyai peran di
dalamnya. Locus of control eksternal diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk pada orang lain, dan hidup mereka cenderung
dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar diri mereka sendiri seperti
keberuntungan, serta lebih banyak mencari dan memilik kondisi yang menguntungkan.
Menurut Silaban 2009 dalam literatur psikologi ditunjukkan beberapa perbedaan perilaku individual yang diakibatkan oleh locus of control individu.
Pertama, individu yang memiliki locus of control internal lebih bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan yang mereka perbuat dibandingkan dengan
individu dengan locus of control eksternal Davis dan Davis, 1972. Kedua, individu dengan locus of control internal memandang kejadian atau pengalaman
adalah saling berkaitan dan mereka belajar dari pengalaman yang berulang, pada pihak lain individu yang memiliki locus of control eksternal cenderung
memandang suatu kejadian atau pengalaman tidak berhubungan dengan kejadian berikutnya dan mereka tidak belajar dari pengalaman Lefcourt, 1982.
Ketiga, individu yang memiliki locus of control internal cenderung memandang suatu keadaan atau kondisi sebagai peluang atau kondisi yang tidak
menimbulkan tekanan stres, pada pihak lain individu yang memiliki locus of control
eksternal cenderung memandang suatu kondisi atau keadaan sebagai ancaman atau menimbulkan tekanan stres Chan, 1977. Terakhir, dalam
menanggulangi hambatan atau kendala individu yang memiliki locus of control internal cenderung menggunakan strategi berfokus-masalah yaitu dengan
mengelola atau merubah tekanan, pada pihak lain individu dengan locus of control
eksternal cenderung menggunakan strategi berfokus-emosi yaitu dengan menyerah atau menghindari masalah Ress dan Cooper,1992; Schill dan
Beyler,1982.
Penelitian ini menggunakan locus of control eksternal sebagai variabel eksogen. Penggunaan variabel locus of control eksternal mengacu pada berbagai
penelitian sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Irawati et al., 2005, Harini et al., 2010, Paino dan ismail 2012, dan Basudewa et al., 2015
menyatakan bahwa locus of control eksternal berpengaruh positif terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit, sehingga secara umum seseorang yang
memiliki locus of control eksternal akan cenderung melakukan perilaku disfungsional audit untuk dapat mengendalikan hasil yang ingin mereka capai
supaya dapat bertahan dalam lingkungannya. Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control
merupakan satu kesatuan yang utuh antara locus of control internal dengan locus of control
eksternal dan merupakan cara pandang seseorang dalam melihat sejauh mana mereka mampu mengontrol keadaan yang terjadi pada dirinya. Karena pada
dasarnya, apabila seseorang yang memiliki locus of control internal lebih tinggi maka secara otomatis individu tersebut dapat dikatakan tingkat kepercayaan akan
kemampuan dalam dirinya tinggi. Sedangkan individu dengan locus of control ekternal lebih percaya bahwa suatu peristiwa yang terjadi dalam dirinya
disebabkan oleh faktor nasib, peluang dan keberuntungan bukan karena kemampuan mereka sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa auditor yang
memiliki locus of control eksternal lebih dapat terlibat dalam perilaku disfungsional audit dari pada auditor dengan locus of control internal.
2.1.5 Turnover Intention
Turnover Intention keinginan berhenti dari organisasi bermakna suatu
kesadaran dan kesengajaan untuk meninggalkan organisasi Setiawan dan Ghozali, 2006. Dalam hal ini, adanya keinginan dari auditor untuk berpindah
Kantor Akuntan Publik KAP. Pengunduran diri karyawan dalam bentuk turnover
telah menjadi bahan penelitian yang menarik dalam berbagai masalah, seperti masalah personalia SDM, keperilakuan, dan praktisi manajemen
Febrina, 2012. Turnover intention juga dipengaruhi oleh skill dan ability, dimana kurangnya kemampuan auditor dalam mengurangi keinginan untuk
meninggalkan organisasi sehingga tetap bertahan di KAP mereka bekerja walaupun adanya keinginan untuk berpindah kerja.
Sebelum turnover terjadi, selalu ada perilaku yang mendahuluinya, yaitu adanya niat atau intensitas turnover. Ada dua pendorong intensitas, yaitu
intensitas untuk mencari dan intensitas untuk keluar Febrina, 2012. Prediktor utama dan terbaik dari turnover adalah intensitas untuk keluar. Intensitas dan
perilaku untuk mencari secara umum didahului dengan intensitas untuk keluar turnover. Faktor utama intensitas adalah kepuasan, ketertarikan yang diharapkan
terhadap pekerjaan saat ini dan ketertarikan yang diharapkan dari atau pada alternatif pekerjaan atau peluang lain.
Menurut Mobley 1977 dalam Permadi 2015 mengungkapkan bahwa turnover intentions
dapat terjadi secara sukarela voluntary turnover maupun secara tidak sukarela involuntary turnover. Voluntary turnover atau quit
merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela
yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sementara itu involuntary turnover atau
pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja employer untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang
mengalaminya. Menurut Setiawan dan Ghozali 2006, keinginan keluar dari organisasi
bersifat fungsional jika pegawai yang meninggalkan organisasi merupakan pegawai yang dianggap layak untuk keluar. Kondisi ini membuka kesempatan
untuk: 1 orang yang bermotivasi atau berkemampuan lebih tinggi; 2 Promosi; dan 3 ide-ide baru dan segar bagi organisasi. Sedangkan keinginan keluar dari
organisasi bersifat disfungsional jika pegawai yang meninggalkan perusahaan merupakan pegawai yang memiliki kemampuan tinggi.
Pada umumnya seseorang yang memiliki turnover intentions yang kuat cenderung bekerja tanpa rasa takut akan hadirnya konsekuensi atas tindakannya.
Seseorang yang memiliki turnover intentions memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam berbagai perilaku penyimpangan. Malone dan Roberts 1996
dalam Irawati dan Mukhlasin 2005 mengatakan auditor yang memiliki keinginan untuk meninggalkan perusahaan lebih dapat terlibat dalam
penyimpangan perilaku karena menurunnya ketakutan akan kemungkinan jatuhnya sanksi apabila perilaku tersebut terdeteksi. Individu yang berniat
meninggalkan perusahaan dapat dianggap tidak begitu peduli dengan dampak buruk dari penyimpangan perilaku terhadap penilaian kinerja dan promosi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pemaparan di atas adalah turnover intentions
merupakan keinginan atau kesadaran seseorang untuk meninggalkan maupun berhenti dari pekerjaan yang dimilikinya sekarang untuk mencari
alternatif pekerjaan di tempat lain. Keinginan untuk berhenti dari perusahaan dapat terjadi secara sukarela voluntary turnover maupun secara tidak sukarela
involuntary turnover. Seseorang yang memiliki turnover intention yang kuat cenderung lebih menerima perilaku penyimpangan. Hal ini dikarenakan
menurunnya ketakutan diberikannya sanksi sebagai konsekuensi atas tindakan penyimpangan yang mungkin dilakukan.
2.1.6 Komitmen Organisasi
Komitmen Organisasi merupakan tingkat sampai sejauh apa seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta
berniat mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut Lubis, 2014. Komitmen organisasi juga merupakan nilai personal, yang terkadang mengacu
pada sikap loyal pada perusahaan atau komitmen pada perusahaan. Selain itu komitmen terhadap organisasi lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena
meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Menurut Lubis 2014 komitmen organisasi terbangun apabila setiap individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi
atau profesi, yaitu identifikasi identification, keterlibatan involvement, dan loyalitas loyality. Identifikasi diartikan sebagai pemahaman atau penghayatan
terhadap tujuan organisasi. Keterlibatan diartikan sebagai perasaan terlibat dalam
suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaan tersebut adalah menyenangkan. Sedangkan, loyalitas diartikan sebagai perasaan bahwa organisasi adalah
tempatnya bekerja dan tinggal. Komitmen organisasi juga dipengaruhi kuat oleh faktor situasional di lingkungan kerja Maryanti, 2005. Misalnya, indivudu yang
lebih puas dengan supervisor mereka, dengan penghargaan kinerja yang adil fairness, dan seseorang yang merasa bahwa organisasi mereka peduli tentang
kesejahteraan mereka, maka akan mempunyai komitmen organisasi yang tinggi. Ada tiga komponen utama mengenai komitmen organisasi, yaitu komitmen
efektif affective commitment, komitmen kontinu continuance commitment, dan komitmen normatif normative commitment Lubis, 2014. Komitmen afektif
terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena ikatan emosional emotional attachment atau psikologis terhadap organisasi. Komitmen
kontinu muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena karyawan
tersebut tidak menemukan pekerjaan lain, dengan kata lain karyawan tersebut tinggal di organisasi tersebut karena dia membutuhkan organisasi tersebut.
Sedangkan komitmen normatif timbul dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran bahwa
komitmen terhadap organisasi tersebut merupakan hal yang memang harus dilakukan. Jadi, karyawan tinggal di organisasi itu karena karyawan tersebut
merasa berkewajiban untuk itu. Komitmen afektif mempunyai hubungan signifikan dengan hasil suatu
pekerjaan dibandingkan dengan tipe komitmen organisasional lain sehingga
merupakan jenis komitmen yang paling diinginkan oleh perusahaan Allen dan Mayer, 1990 dalam Febrina, 2012. Lubis 2014 menyebutkan bahwa karyawan
yang memiliki loyalitas, yaitu karyawan yang mempunyai komitmen afektif akan cenderung tetap bertahan bekerja dalam perusahaan. Mereka akan
merekomendasikan kepada orang lain bahwa tempat kerjanya merupakan tempat yang bagus. Mereka akan sukarela melakukan pekerjaan tambahan untuk
perusahaan dan memberikan saran-saran bagi perbaikan serta kemajuan organisasi.
Komitmen organisasi adalah hasil kerja yang penting pada tingkat individu yang dihubungkan dengan hasil kerja lain seperti absensi pegawai, turnover,
usaha kerja effort, dan kinerja Donelly et al., 2003. Mowday et al., 1982 dalam Pujaningrum, 2012 berpendapat bahwa pemahaman atas proses yang
dihubungkan dengan komitmen organisasi mempunyai implikasi pada individu dan organisasi. Dari sudut pandang individu, komitmen seseorang terhadap
organisasi membuat seseorang lebih dapat memilih dalam penerimaan reward ekstrinsik seperti bonus dan award dan juga reward intrinsik seperti kepuasan
kerja dan hubungan yang lebih baik dengan rekan kerja. Dari perspektif organisasi, komitmen pegawai akan mengurangi keterlambatan, tingkat
ketidakhadiran, dan turnover yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan.
Choo 1986 dalam Aisyah 2014 mencatat bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan menunjukkan kegigihan saat bekerja bahkan dalam kondisi sangat
stres. Selain itu, studi menunnjukkan bahwa seorang yang memiliki komitmen
akan bekerja lebih baik dibanding yang kurang berkomitmen Ferris dan Larcker, 1983; Ferris, 1981 dalam Aisyah, 2014. Auditor dengan komitmen organisasi
rendah akan cenderung menerima perilaku disfungsional audit dibanding auditor dengan komitmen organisasi yang tinggi Malone dan Robert, 1996 dalam
Aisyah, 2014.
2.2 Penelitian Terdahulu