Legalitas Bentuk dan Kegiatan Usaha

1. Wajib dan bertanggung jawab mengurus perseroan 2. Wajib menjalankan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Berdasarkan pengertian Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyetakan bahwa “Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan unutk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik dalam maupun diluar pengadilan sesuai deng an ketentuan Anggaran Dasar”. Maka Direksi memiliki dua fungsi utama yaitu Fungsi Pengolahan manajemen dan Fungsi Representasi perwakilan. Fungsi pertama dan fungsi kedua pada dasarnya bersifat saling melengkapi. 67 Fungsi pertama menempatkan Direksi sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya perusahaan. Agar Direksi dapat melakukan pengelolaan perusahaan, maka pada dirinya harus dilengkapi otoritas untuk dapat melakukan tindakan –tindakan hukumdengan kata lain, ia harus dapat bertindak sebagai subjek hukum. Fungsi kedua , yaitu fungsi representasisejatinya menjadi perwujudan subjek hukum. Dengan fungsi represntasi ini, Direksi yang melakukan perbuatan hukum tidak dalam kapasitas sebagai pribadi tetapi bermetamorfose pada perseroan. Dalam fungsinya yang demikian, seringkali dikatakan bahwa 67 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, cet. 1, hal. 167 Direksi menjadi personifikasi dari Perseroan Terbatas. Hal ini untuk mempertegas bahwa perseroan sebagai subjek hukum sejatinya hanya merupakan kontruksi hukum, ia hanya dapat dipahami secara virtual melalui konstruksi berfikir yang kemudian dikukuhkan dan diakui eksistensinya secara yuridis. 68 Sifat hubungan antara direksi dan perseroan adalah hubungan yang didasarkan pada kepercayaan. Hubunganini melahirkan kewajiban fidusia bagi Direksi, yaitu untuk beritindak berdasarkan itikad baik, transparan, dan wajar. Ketiga kewajiban fisudia ini seringkali disebut sebagai duty of loyalty. 69

B. Prosedur Perizinan Perseroan Terbatas

Pada prinsipnya untuk menjalankan usaha di Indonesia diperlukan adanya izin usaha dari pemerintah. Izin untuk menjalankan usaha inilah biasanya diekanal sebagai izin usaha. Lembaga izin usaha di Indonesia bermula sejak dikeluarkannya bedrifireglementerings Ordonnantie 1934. Ordonnantie ini diterbitkan sekitar tahun 1933 –1934, yaitu pada waktu dunia pada masa itu ditimpa oleh suatu depresi, suatu zaman malaise, suatu keadaan diberbagai negara mengalami kesukaran –kesuakaran dalam kehidupan perekonomianya, termasuk Hindia Belanda. Untuk mengatasi keadaan ini, maka pemerintah Belanda merasa perlu 68 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, cet. 1, hal. 168 69 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, cet. 1, hal. 169 mengadakan pengaturan bagi yang menjalankan kegiatan usaha di wilayah Hindia Belanda. 70 Maksud diadakannya peraturan tersebut adalah sedemikian rupa agar perusahaan-perusahaan yang telah ada dapat terjamin kelangsungan hidupnya. Maka sektor –sektor untuk bidang usaha yang dianggap telah mengalami kejenuhan pemasarannya, dilarang didirikan. Bahkan untuk perusahaan di sektor yang bersangkutan sudah jenuh pemasarannya, dilarang untuk melakukan perluasan kecuali dengan izin dari pemerintah. Maksudnya tidak lain agar dapat dikurangi persaingan diantara perusahaan yang telah ada demi tidak terganggu kelangsungan hidupnya akibat persaingan yang makin tajam. 71 Pejabat yang berwenang memberika izin dimaksud adalah Menteri Perindustrian yang kemudian perkembangannya ditentukan berwenang oleh berbagai departemen sesuai dengan sektor kegiatan usaha yang bersangkutan. Demikian antara lain untuk sektor usaha perdagangan atau perekonomian termasuk yang bergerak di bidang jasa menjadi wewenang dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Untuk sektor –sektor yang berhubungan dengan pengangkutan dan telekomunikasi oleh departemen perhubungan. Untuk lembaga – lembaga keuangan oleh Menteri Keuangan. 72 Setelah dibuatnya akta pendirian oleh Notarisyang memuat hal –hal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang 70 Rudhi Prastya, Teori dan Praktek Perseroan Terbatas, cet. 1, hal. 68 –69. 71 Rudhi Prastya, Teori dan Praktek Perseroan Terbatas, cet. 1, hal. 69. 72 Rudhi Prastya, Teori dan Praktek Perseroan Terbatas, cet. 1, hal. 70.