Dasar Hukum Perceraian Dalam Hukum Islam

dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Hukum perceraian atau thalaq pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqih disebut makruh. Adapun asal hukum perceraian adalah makruh, karena hal itu menghilangkan kemaslahatan perkawinan dan mengakibatkan keretakan keluarga. ا ب غ ض حلا ا ِ ا ىل ّا طلا ا ق “Dari ibn Umar semoga Allah SWT meridhoi keduanya berkata: Rasulullah SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT adalah thalaq”. HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hak im, serta dikuatkan oleh Hatim” Suami tidak boleh menceraikan istrinya dalam kondisi haid. Jika ia menceraikannya dalam kondisi haid, maka ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul- Nya, melakukan sesuatu yang diharamkan dan diwajibkan atasnya ruju’ kembali lagi kepada istrinya dan menahannya hingga kondisi istrinya suci dan setelah itu dapat menceraikannya jika berkenan. 15 Sesungguhnya, Ibnu Umar telah menthalaq istrinya, sedang istrinya dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW, Umar lalu bertanya kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda: ل ي ر ج ع ث ا م ي س ك ح ا ت طت ى ر ث م ت ح ي ض تف ط ر ف ، إ ب د ل ا ه ا ي ط ل ق ف ا ط ي ل ق ق ا ب ل ا ي س ف .ا ت ل ك علا د ا ه ك ا ا م ر ّا ت ع ل ا ى 15 Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Asror fit hayati al-muthallaqot, Terjemahan: Abu Hilmi, Jakarta : Pustaka Al-Sofwa : 2005, h. 211 “Suruhlah agar merujuk istrinya itu. Kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang tetap menggaulinya istrinya sesudah itu dan jika ia mau, ia boleh menthalaqnya diwaktu suci dan belum dicampuri, yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allat SWT untuk menthalaq istri- istri.” HR. Ibnu Majah. Ayat al- Qur’an dan hadist yang telah disebutkan diatas para ulama sepakat membolehkan thalaq. Ini melihat bahwa bisa saja sebuah rumah tangga mengalami masalah yang dapat menimbulkan keretakan hubungan suami istri sehingga rumah tangga tidak akan berjalan harmonis dan melenceng dari tujuan perkawinan itu sendiri, apalagi menimbulkan rasa sakit diantara suami dan istri seperti pertengkaran yang terus menerus, dilanjutkannya pun pernikahan tersebut akan menimbulkan kemadharatan yang sangat serius. Perceraian adalah satu-satunya jalan untuk dapat menghindari dan menghilangkan hal-hal yang negatif.

2. Dasar Hukum Perceraian Dalam Hukum Positif

Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal dua 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. 16 Akad perkawinan bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, karena itu Syari’at Islam menjadikan pertalian ikatan suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. Oleh sebab itu sudah kewajiban sebagai suami istri menjaga hubungan tali perkawinan dan tidak sepantasnya pasangan suami istri berusaha merusak dan memutuskan tali perkawinan tersebut dan perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera dapat terwujud. 17 Besarnya tuntutan mencegah perceraian dalam kondisi tertentu dengan unsur kesengajaan atau ada maksud lain dari perceraian tersebut, maka perceraian merupakan perbuatan terlarang dan dosa. Misalnya, apabila dengan perceraian itu dapat merusak kehidupan agama dan kehormatan wanita. Sudah seharusnya bagi siapa saja yang melakukan perceraian terlebih dahulu harus benar-benar mempertimbangkan baik dari segi cara, waktu maupun resiko yang akan ditimbulkannya sebelum berani memutuskan untuk bercerai, agar perceraian tersebut menjadi perceraian yang baik. 18 16 Zainudin Ali, Hukum Perdata di Indonesia, h. 7 17 H. Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 11974 sampai KHI, Jakarta : Kencana, 2006, h. 206 18 Ali Husain Muhammad Makkin Al-Amili, Ath- Thalaqu khoti’atu man? Terjemahan : Mudhor Ahmad, Jakarta : Lentera 2001, h. 37 Perceraian seringkali terjadi tanpa adanya alasan yang kuat, hal inilah yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian. 19

3. Hikmah Perceraian

Kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawwadah, rahmah dan cinta kasih. Yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Jika kedua-duanya sudah tidak lagi saling mempedulikan satu dengan yang lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannnya masing-masing, kemudian keduanya berusaha memperbaiki namun tidak kunjung berhasil pula, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang didalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat yang paling akhir diminum. Seandainya islam tidak memberikan jalan menuju talak bagi suami istri dan tidak membolehkan mereka untuk bercerai pada saat yang sangat kritis, niscaya hal itu akan membahayakan bagi pasangan tersebut. Dan hal itu pasti akan berakibat buruk terhadap anak-anak dan bahkan akan mempengaruhi kehidupan mereka. Karena, jika pasangan suami istri mengalami kegoncangan, maka anak-anak mereka 19 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978, h. 36 pun pasti menderita dan menjadi korban. 20 Dari mereka itu akan lahir masyarakat yang dipenuhi dengan kedengkian, iri hati, kezhaliman, hidup berfoya-foya dan berbuat hal-hal yang negatif sebagai bentuk pelampiasan dan pelarian diri dari kenyataan hidup yang mereka alami. Bagi mereka, rumah itu tidak lain hanyalah seperti penjara yang menjengkelkan dan menyebalkan, yang menyebabkan seluruh penghuninya lari menjauh agar tidak terperangkap ke dalam kebencian, adu domba, kesengsaraan dan kesedihan. Talak merupakan satu-satunya jalan yang paling selamat ketika perkawinan sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Talak merupakan pintu rahmat yang selalu terbuka bagi setiap orang, dengan tujuan agar tiap-tiap suami istri mau berintrospeksi diri dan memperbaiki kekurangan dan kesalahan. Orang-orang yang menolak adanya talak telah menutup semua pintu bagi pasangan suami istri jika rumah tangga mereka sedang goyang dan dalam keadaan kritis. Mereka sebenarnya telah membunuh perasaan cinta, hati nurani dan kemanusiaan dalam diri mereka. Ketika semua pintu penyelamatan yang halal bagi suami istri itu di tutup, maka masing-masing akan mencari jalan yang tidak layak dan tidak pula dibolehkan sehingga mereka terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan. Hal semacam itu yang mengakibatkan mereka lupa dengan istri dan anak-anak mereka. 21 20 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, h. 205 21 Syaikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga. h.206