Hukum Islam bertujuan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta seperti yang dikemukakan oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi dan Muhammad Abu Zahrah,
dan kehormatan.
28
Kaitan tubuh dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya ruh, jiwa, akal, dan kalbu adalah bertujuan untuk memelihara agama. Agama Islam
sebagai agama terakhir dan agama yang diridhoi Allah yang berintikan akidah, syari’ah, dan akhlak, menuntun, membimbing, mengarahkan, dan mengatur hidup
dan kehidupan manusia, baik dalam peraturan yang qat’i maupun zanni, demi kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat kelak.
Agama Islam yang didalamnya terdapat hukum Islam, baik dalam pengertian syari’ah maupun fiqh, mengatur hubungan kita dengan Tuhan, juga mengatur
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun internasional, serta mengatur hubungan
manusia dengan alam sekitarnya.
29
Islam pun mengatur mengenai batasan-batasan aurat perempuan dan laki-laki menurut hukum Islam. Ulama sepakat bahwasannya aurat laki-laki ialah anggota
tubuh yang terdapat diantara pusar dan lutut, dan oleh karena itu dibolehkan melihat seluruh badannya kecuali antara pusar dan lutut.
30
Bila demikian itu tidak
28
Muhammad Maslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islma, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 129
29
Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, Bogor : Kencana, 2003, h. 90-91
30
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta : LKIS, 2001, h. 53
menimbulkan fitnah. Mengenai batas aurat wanita ada beberapa pendapat para ulama, yaitu:
a Menurut jumhur ulama seperti al-Thabari, al-Qurthubi, dan lainnya, bahwa
aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sehingga kaki merupakan aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada selain
muhrimnya. b
Al-Malikiyah dalam kitab “Al-Shagir”, susunan Al-Dairiri ditulis bahwa batas aurat wanita merdeka dengan laki-laki yang bukan mahram adalah
seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. c
Namun sebagian ulama al-Hanafiyah dan khususnya imam Abu Hanifah mengatakan bahwa yang termasuk bukan aurat adalah wajah, telapak
tangan, dan kaki. Kaki yang dimaksud bukan dari pangkal paha tapi yang dalam bahasa arab disebut qodam. Yaitu dari tumit kebawah.
Apabila aurat itu sengaja atau tidak sengaja ditampilkan, akan mengakibatkan birahi dan memancing lawan jenis untuk berhubungan intim. Bagi wanita, nyaris
seluruh tubuh dan bergeraknya mengandung muatan seks. Sementara bagi laki-laki justru hanya sebagian kecil tubuhnya dan gerakan tubuhnya yang biasa dikatagorikan
aurat. Allah SWT memerintahan kepada istri-istri kaum mukminin untuk menutupi
diri mereka dengan jilbab yang longgar dan menutupinya saat mereka diluar rumah.
Dengan jilbab semacam itu mereka akan mudah dibedakan dari perempuan- perempuan kafir dan nakal.
31
Konsiderans perintah itu sangat jelas, yaitu kekhawatiran akan gangguan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh orang-orang fasik dan laki-laki yang
iseng, bukan khawatir atau tidak percaya kepada mereka sendiri, sebagaimana dipahami sebagian orang.
32
3. Pornografi Sebagai Alasan Perceraian Menurut Hukum Positif
Masalah pornografi di Indonesia telah melampaui ambang toleransi dan merusak akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap masalah pornografi belum
sesuai dengan yang diharapkan. Kesulitan dalam menghadapi tindak pidana pornografi antara lain disebabkan oleh adanya pengertian dan penafsiran yang
berbeda terhadap pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah pornografi. Ada beberapa macam pornografi yang dilakukan oleh orang dewasa seperti,
pembuatan majalah sebagai model foto bugil, foto dengan mainan seks, atau untuk meluncurkan produk tertentu yang mengharuskan seorang model harus bergaya
porno. Ada empat kriteria untuk menilai porno atau tidaknya, yaitu : 1.
Isolasi seks, yakni seksualitas personal diciutkan pada alat genital tertentu. 2.
Perangsangan nafsu birahi. 3.
Tiadanya hormat terhadap lingkungan intim.
31
Yusuf Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, Terjemahan : Wahid Ahmadi, Solo : Era Intermedia, 2000, h. 232
32
Yusuf Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, h. 233
4. Membangkitkan dunia khayal
33
Apabila ukuran perbuatan erotis atau gerak tubuh maupun gambar, tulisan, karya seni berupa patung, alat ganti kelamin, suara dalam nyanyian-nyanyian maupun
suara yang mendesah, humor, dan lain-lain yang terdapat dalam media komunikasi, baik cetak maupun elektronik, hanya diukur dengan perbuatan yang membangkitkan
birahi seksual semata, maka sangat sulit memberikan batasan pornografi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
Karena itu jenis pelanggaran kesusilaan pornografi seharusnya tidak hanya diukur oleh bangkitnya birahi seseorang, tetapi juga harus diukur dengan pornografi
yang menimbulkan rasa yang memuakkan, menjijikan atau memalukan bagi orang yang melihatnya, menyentuhnya, dan mendengarnya.
34
Pornografi dianggap merendahkan nilai seksualitas perkawinan. ia tidak menghargai cinta penuh perasaan dalam hubungan dua insan dengan lebih ingin
menekankan serta membangkitkan afirmasi hasrat seksual. Sejalan dengan menyebarnya nilai hedonis, pornografi cenderung mengedepankan kenikmatan dan
pengakuan akan kebiasaan seksual dari kecenderungan yang wajar.
35
Faktor yang menyebabkan seseorang yang sudah berumah tangga tetapi tetap melakukan pornografi salah satunya adalah, lemahnya tingkat keimanan seseorang
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, keimanan adalah landasan
33
Marzuki Umar, Seks dan Kita, Jakarta : Gema Insani Press, 1997. h. 77-78
34
Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, Bogor : Kencana, 2003, h.129
35
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Yogyakarta : Kanisius, 2007, h. 96
seseorang dalam menjalani kehidupan ini. Tiap-tiap agama mempunyai aturan sendiri-sendiri mengenai perintah dan larangan Tuhan Y.M.E. Tidak ada satu pun
agama yang memperbolehkan pelacuran terjadi.
36
Subyek hukum dan obyek hukum tindak pidana pornografi dan tindak pidana pornoaksi, terdiri dari orang, baik yang berlawanan jenis kelamin dengan pelaku
pornografi dan atau pornoaksi, atau sejenis kelamin dengan pelaku pornografi atau pornoaksi. Selain orang, yang dapat menjadi subyek hukum pornografi dan pornoaksi
juga dapat berupa badan hukum rechtspersoon, baik badan hukum publik maupun badan hukum privat.
37
Orang yang dapat dijadikan obyek hukum, selain orang yang masih hidup juga orang yang telah meninggal dunia, atau binatang, atau benda-benda buatan
manusia yang digunakan untuk melakukan tindak pidana pornografi atau pornoaksi misalnya, alat kelamin buatan.
38
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi meliputi 1 pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi; 2 perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan 3
36
Moh. Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung : Citra Bakti, 1994, h. 47
37
Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, Bogor : Kencana, 2003, h. 142
38
Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi, h. 142
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
39
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap
perbuatan pidana yang melibatkan anak. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi diatur secara
komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini
negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan
39
Lembaga Bantuan Hukum, Undang-Undang Pornografi Nomor 44 tahun 2008