2.1.6. Sarana dan Prasarana
Jenis prasarana transportasi yang tersedia laut, sungai dan darat. Fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh kabupaten Sambas
dengan Lundu Serawak, untuk fasilitas sungai masih ada namun sudah tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di Kalimantan Barat berbentuk vertikal
sehingga pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km dengan rincian : 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan aspal.
Sedangkan menurut fungsinya terdapat 63 jalan kabupaten, 31 jalan propinsi, dan 6 jalan nasional.
Untuk fasilitas kelistrikan, dari 10 ibu kota kecamatan yang ada dikawasan perbatasan Kalimantan Barat, sudah hampir 100 teraliri oleh
listrik hanya operasionalnya hanya 12 jam saja. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan
Barat dengan masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya telah mendapatkan pelayanan listrik. Pada saat ini di kawasan perbatasan
Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari bendungan Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan bendungan Bakun
yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW. Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang hanya
mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan Kalimantan Barat. Sedangkan penduduk kawasan perbatasan di Serawak telah terpenuhi 100
persen fasilitas air bersih.
2.2. Permasalahan Masyarakat Kawasan Perbatasan
Sehubungan dengan gambaran umum kawasan perbatasan seperti diuraikan di atas, pada sub bab ini akan diuraikan beberapa permasalahan
yang dihadapi masyarakat perbatasan. Permasalahan tersebut sesungguhnya sudah sering diuraikan oleh berbagai pihak sesuai dengan
latar belakang dan kepentingannya masing-masing. Namun demikian harus
LAPORAN PENELITIAN II - 6
diakui bahwa langkah-langkah penyelesaiannya berjalan relatif lambat. Secara umum permasalahan kawasan perbatasan adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Perbatasan Sebagai Daerah Tertinggal
Kawasan perbatasan antar negara di Provinsi Kalimantan Barat masuk dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan ini terjadi karena
kurangnya perhatian pemerintah, dimana kebijakan pembangunan selama ini lebih mengarah kepada kawasan yang padat penduduk dan
mudah dijangkau. Sementara kawasan perbatasan cenderung difungsikan hanya sebagai sabuk keamanan security Belt.
Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar desa di sepanjang perbatasan sulit dijangkau terisolir dan secara umum menikmati
infrastruktur dasar yang sangat terbatas. Akibatnya, investor swasta tidak tertarik untuk masuk ke kawasan ini, sehingga sumberdaya alam
yang demikian potensial belum dapat dikelola secara optimal.
LAPORAN PENELITIAN II - 7
Ketertinggalan Pembangunan di Perbatasan
2. Kendala Geografis
Secara geografis kawasan perbatasan merupakan daerah yang sangat luas. Di Kalimantan Barat saja panjang garis perbatasan sekitar 966
Km. Apabila diasumsikan lebar perbatasan sejauh 20 Km dari titik batas, maka luas kawasan perbatasan di Kalimantan Barat sekitar
19.320 Km
2
atau sekitar 1,9 juta Ha. Tentu saja dengan luas yang demikian cukup menyulitkan dalam penanganan terutama ditinjau dari
aspek rentang kendali pelayanan, kebutuhan dana, dan kebutuhan aparatur. Keadaan ini semakin diperparah lagi oleh kondisi infrastruktur
jalan yang vertikal dan relatif sangat terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya. Akibatnya sebagian besar kawasan perbatasan merupakan
daerah yang tidak dapat dijangkau oleh kenderaan.
LAPORAN PENELITIAN II - 8
Perbatasan sulit dijangkau kenderaan
3. Inkonsistensi Antara Perencanaan dengan Pelaksanaan
Selama ini kawasan perbatasan belum mendapat perhatian dari pemerintah. Meskipun RPJMN 2004-2009 telah mengamanatkan arah
kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu “menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI, dengan tujuan
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan
memantapkan ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan”. Namun
LAPORAN PENELITIAN II - 9
pada tataran implementasi ternyata tidak demikian, karena terbukti selama periode 2004-2009 tidak terjadi peningkatan kegiatan
pembangunan yang berarti di kawasan perbatasan. Dalam hal ini jelas sekali terlihat adanya inkonsistensi antara arah
pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan dengan kenyataan yang terjadi pada saat pelaksanaan program pembangunan.
Pada saat ini, setelah hampir lima tahun pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu bekerja mengimplementasikan RPJM Nasional 2004-
2009, juga belum terlihat kesungguhannya untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan. Hal ini tampak terutama dari status
hukum kawasan yang masih belum jelas serta besaran alokasi anggaran yang relatif rendah baik dalam APBN maupun APBD. Tentu
saja hal ini berdampak terhadap kepercayaan dan semangat pemerintah kabupaten dan masyarakat dalam mengelola perbatasan.
Masyarakat perbatasan mulai apatis dan kurang bersemangat mendengar rencana pengembangan kawasan perbatasan. Ada
semacam keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di kawasan tersebut.
4. Ketidakjelasan Wewenang dan Koordinasi
Penanganan masalah di kawasan perbatasan membutuhkan landasan hukum yang tegas, komprehensif dan mampu mengikat semua pihak.
Salah satu landasan hukum yang paling mendasar adalah kejelasan wewenang dan jalur koordinasi dalam pengelolaan kawasan
perbatasan. Hingga saat ini belum ada kejelasan soal siapa yang memiliki kewenangan mengelola kawasan perbatasan, apakah
pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten. Desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah memberikan
sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Berbagai kewenangan yang selama ini dilakukan pusat telah
diserahkan ke pemerintah daerah, seiring dengan diberlakukannya
LAPORAN PENELITIAN II - 10
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan pusat dan daerah. Namun dalam pembangunan kawasan perbatasan kewenangan pelaksanaannya masih berada pada
pemerintah pusat, dengan alasan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan sosial ekonomi yang bersifat lintas administrasi wilayah
pemerintahan sehingga diperlukan koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi. Akan tetapi karena jarak yang begitu jauh dari
Jakarta ke perbatasan, maka kewenangan ini belum dapat dijalankan oleh pemerintah pusat dengan baik. Kondisi ini makin diperparah oleh
tidak adanya suatu lembaga yang secara khusus ditunjuk oleh pusat untuk mengelola keseluruhan aspek pembangunan di kawasan
perbatasan. Dalam konteks ini, tidak jarang masing-masing level pemerintahan
berebut pengaruh di perbatasan ketika ada potensi penerimaan dan sebaliknya seolah lepas tanggungjawab pada saat timbul masalah.
Akibatnya, perbatasan menjadi kawasan “remang-remang” yang dinikmati oleh segelintir oknum, berasal dari kedua negara, untuk
menumbuh-suburkan kegiatan ilegal. Sebagian dari oknum tersebut memiliki status sebagai aparatur pemerintah baik sipil maupun militer.
Mereka ini merupakan kelompok yang sebagian besar justru bukan berasal dari masyarakat perbatasan serta cenderung tidak
menginginkan adanya kejelasan kewenangan dan jalur kordinasi dalam penanganan kawasan perbatasan.
5. Kemiskinan
Kemiskinan menjadi topik yang menarik dibahas ketika diskusi tentang kawasan perbatasan karena penduduk miskin merupakan sesuatu yang
mudah dijumpai ketika berkunjung ke kawasan ini. Saat ini meskipun kawasan perbatasan kaya dengan sumberdaya alam dan letaknya
mempunyai akses ke pasar serawak, tapi terdapat sekitar 45 desa
LAPORAN PENELITIAN II - 11
miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35. Jika dibandingkan dengan penduduk Malaysia tampak adanya ketimpangan pendapatan
yang luar biasa besarnya sekitar 1:10. Akibatnya penduduk kita tidak memiliki posisi tawar yang sebanding dalam kegiatan ekonomi di
perbatasan. Bahkan besaran harga terhadap produksi hasil pertanian kita-pun ditentukan oleh penduduk Malaysia.
Akibat lain dari kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi illegal guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataan ini selain melanggar hukum dan potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat
merugikan negara. Kegiatan illegal ini umumnya terorganisir dengan baik sehingga perlu kordinasi dan kerjasama bilateral untuk
menuntaskannya.
6. Keterbatasan Infrastruktur
Di kawasan perbatasan terdapat Jenis prasarana transportasi laut, sungai dan darat. Fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh
kabupaten Sambas dengan Lundu Serawak, sedang fasilitas sungai masih ada namun sudah tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di
kawasan perbatasan Kalimantan Barat berbentuk vertikal sehingga pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km
dengan rincian: 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan aspal. Sedangkan menurut fungsinya terdapat 63 jalan kabupaten,
31 jalan propinsi, dan 6 jalan nasional. Untuk fasilitas kelistrikan, dari 10 ibu kota kecamatan yang ada
dikawasan perbatasan Kalimantan Barat, sudah hampir 100 yang mendapat pelayanan, namun tidak memcapai maksimum karena hanya
12 jam operasional. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat dengan
masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya telah mendapatkan pelayanan listrik. Pada saat ini di kawasan perbatasan
LAPORAN PENELITIAN II - 12
Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari bendungan Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan
bendungan Bakun yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW. Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang
hanya mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Sedangkan penduduk kawasan perbatasan di
Serawak 100 persen telah terpenuhi fasilitas air bersih. Keterbatasan infrastruktur turut menjadi salah satu faktor penyebabkan
rendahnya investasi ke kawasan perbatasan. Hal ini merupakan dilema tersendiri karena dana yang dimiliki pemerintah bagi penyediaan dan
peningkatan infrastruktur guna mendukung kegiatan investasi di perbatasan sangat terbatas. Akibatnya kawasan ini menjadi daerah
yang relatif tertinggal, dimana sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Jalan di Perbatasan Malaysia Jalan di Perbatasan Kalimantan Barat
7. Lemahnya Penegakan Hukum
Akibat penegakan hukum yang masih lemah, maka berbagai bentuk pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Masalah ini
memerlukan penanganan dan antisipasi yang seksama dan sungguh- sungguh. Luasnya wilayah yang harus ditangani serta minimnya
LAPORAN PENELITIAN II - 13
prasarana dan sarana telah menyebabkan aktivitas aparat keamanan dan kepolisian sejauh ini belum dapat dilakukan secara optimal.
Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana, dan sumberdaya manusia dibidang pertahanan dan keamanan, telah menyebabkan
lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan. Akibatnya adalah sering terjadi pelanggaran batas negara oleh masyarakat kedua
negara, serta berbagai bentuk pelanggaran hukum seperti aktivitas pencurian kayu illegal logging, penyelundupan barang, dan penjualan
manusia trafficking person.
Kegiatan Ilegal Loging
LAPORAN PENELITIAN II - 14
8. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Belum Optimal
Potensi sumberdaya alam yang berada di kawasan perbatasan cukup besar namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara
optimal. Potensi sumberdaya alam sementara ini yang terdeteksi adalah:
• Tambang : Emas tanah aluvial-sungai tersebar hampir di seluruh
aliran sungai di sepanjang kawasan perbatasan. •
Hutan : potensinya cukup besar dan dapat diusahakan seluas 80.000 Ha. Selain itu di kawasan ini terdapat hutan lindung berupa
taman nasional yang berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata alam.
• Perkebunan berupa : coklat, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain
yang sebagian besar hasilnya dijual ke Serawak. •
Potensi perikanan air tawar cukup besar dan memiliki spesies ikan yang relatif lengkap dan hanya terdapat di beberapa negara di
dunia.
Mengembangkan potensi sumberdaya alam perbatasan melalui pengembangan produk unggulan, dari sektor-sektor : pertanian, kehutanan,
perkebunan, perikanan, peternakan, pariwisata, pertambangan.
Namun demikian di beberapa kawasan perbatasan sudah lama terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara tidak bijaksana sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup, seperti penebangan hutan dan penambangan emas secara liar
LAPORAN PENELITIAN II - 15
dan besar-besaran. Kegiatan ini bahkan sebagian besar bersifat illegal yang cukup sulit ditangani karena keterbatasan sumberdaya aparatur
dan infrastruktur untuk pengawasan.
9. Hubungan dengan Penduduk Malaysia
Kesamaan budaya, adat, dan keturunan di kawasan perbatasan telah melahirkan kegiatan lintas batas tradisional, yang sebagian diantaranya
bersifat ilegal dan sulit dicegah. Kegiatan lintas batas tradisional ini telah berlangsung lama dan pada awalnya didorong oleh kebutuhan
dan manfaat bersama bagi penduduk kedua negara di perbatasan. Kegiatan ini bahkan telah diatur melalui perjanjian perdagangan lintas
batas Indonesia – Malaysia pada tanggal 11 Mei 1967, yang mengizinkan penduduk melakukan transaksi maksimum 600 RM per
bulan. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, kegiatan lintas batas
tradisional tersebut mulai dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dari kedua negara untuk melakukan kegiatan ilegal, yaitu berupa transaksi
dagang yang melebihi ketentuan atau bahkan berupa penyelundupan. Kegiatan ilegal ini khususnya dilakukan untuk jenis komoditi yang
memiliki selisih harga relatif tinggi diantara kedua negara. Ironisnya, pelaku kegiatan ilegal ini sebagian besar justru penduduk yang barasal
dari luar perbatasan. Kalaupun ada penduduk asli perbatasan terlibat umumnya karena kepolosan dan ketidaktahuan, dan mereka
memperoleh peran serta bagian keuntungan yang kecil.
2.3. Harapan Masyarakat Perbatasan