Desentralisasi, Otonomi dan Wewenang Dalam Negara Kesatuan

1.1.2 Tujuan Penelitian

Mengingat fokus penelitian ini mengangkat masalah kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan, maka pemahaman yang mendalam atas masalah-masalah yang lebih spesifik terkait dengan kondisi sosial dan ekonomi serta kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan menjadi sesuatu keharusan bagi kita. Masalah ini tidak hanya menyangkut persoalan berbagai keterbatasan di daerah, akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai policy yang dibuat oleh pemerintah pusat. Ada empat hal mendasar yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu: 1 Untuk mengetahui situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, 2 Untuk mengetahui berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah saat ini, dan 3 Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan telah mampu mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, dan 4 Untuk mengetahui apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama BPKPK yang ada di daerah.

1.2 Kerangka Analitik

1.2.1 Desentralisasi, Otonomi dan Wewenang Dalam Negara Kesatuan

Dalam negara kesatuan, penyelenggaraan desentralisasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan mengandung arti penetapan strategi, kebijaksanaan dan program, termasuk pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Daerah Otonom beserta penyerahan wewenangnya serta pengembangannya. Perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi, desentralisasi sering disebut pemberian otonomi. Dengan kata lain desentralisasi merupakan LAPORAN PENELITIAN I - 7 pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu merujuk pada pendapat Maryanov 1958. Menurut pakar ini, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang: Decentralization is the focus of the conflict between those who argue from the top-down in terms of government organization and the needs for leadership, and those who argue from the bottom-up in terms of popular demand and regional agitation. From the former point of view, the problem is decentralization, from the latter it is regional autonomy. Desentralisasi dapat mengandung dua pengertian. Pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh Pemerintah Pusat. Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Hal itu terefleksi juga data uraian Meddick 1966 bahwa pada hakekatnya, desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan dekonsentrasi merupakan pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya. Namun demikian, pembagian kekuasaan atau wewenang itu tidak akan terjadi sekiranya tidak didahului atau disertai pembentukan daerah otonom selaku pihak yang akan diserahi wewenang pemerintahan. Karena itu dalam desentralisasi terkait proses pembentukan daerah otonom dan proses penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom tersebut. Dengan demikian, pengertian desentralisasi yang hanya terpusat pada proses penyerahan wewenang rnerupakan pengertian yang tidak lengkap. Secara lengkap, pengertian desentralisasi harus mencakup pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh Pemerintah Pusat. LAPORAN PENELITIAN I - 8 Konsep desentralisasi dikenal berrnacam-macam jenis yang diberikan oleh para pakar dan rumusan menurut UU No.32 Tahun 2004, yaitu ada desentralisasi politik, fungsional, dan kebudayaan. Ada juga yang membagi desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua yaitu; desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial dikenal dua bentuk yaitu, otonom dan medebewind atau zelfbestuur. Sedangkan yang dimaksud otonomi daerah atau secara singkat otonomi adalah pemerintahan oleh, dari dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga- lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. Otonomi merupakan inti desentralisasi, dalam teori, terdapat tiga sistem otonomi atau rumah tangga daerah, yaitu sistem otonomi formal, materil, dan riil atau nyata. Sistem otonomi merupakan tatanan yang berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Ketiga sistem otonomi tersebut mempunyai bobot yang berbeda dalam hal pelaksanaan prinsip permusyawaratan dalam pemerintahan daerah. Para founding fathers negara kesatuan republik Indonesia sejak awal telah menentukan pilihan dan prinsip pembagian kekuasaan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Pentingnya fungsi pemerintah di daerah ini, terbuktinya dengan dicantumkannya dalam ketiga Undang- Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia. Pemerintah Daerah bukan saja sekedar untuk mencapai sistem penyelenggaraan pemerintahan secara efektif dan efisien, tetapi erat sekali dengan usaha mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis. Adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan kekuasaan terhadap Pemerintah Pusat. Adanya pembatasan itu merupakan salah satu ciri negara hukum. Suatu kekuasaan yang tidak dipencar bukanlah kekuasaan yang dapat diterima di negara demokrasi, melainkan LAPORAN PENELITIAN I - 9 merupakan model kekuasaan yang di negara-negara dengan sistem politik yang absolut atau otoriter. Desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau kewertangan dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran kekuasaan di bidang otonomi, penyeralian urusan pemerintah kepada daerah pada dasarnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Daerah yang menentukan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut segalai pembiayaan. Demikian juga perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah. Mekanisme penyerahan kewenangan kepada daerah dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1 Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya prinsip-prinsipnya maupun tentang caranya menjalankan kewajibannya pekerjaan yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah hak otonomi. 2 Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya asas- asasnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri. Dalam konsep otonomi daerah dikenal beberapa sistem untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Sistem-sistem itu antara lain: a. Sistem Residu Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas- tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sistem ini umumnya dianut oleh negara-negara di daratan Eropa seperti Perancis, Belgia, Belanda dan sebagainya. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, Pemerintah Daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari Pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan Daerah yang satu LAPORAN PENELITIAN I - 10 berbeda dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi Daerah yang kapasitasnya besar atau sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang kemampuannya terbatas. b. Sistem Material Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Selain dari tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini lebih banyak dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Cara ini kurang begitu fleksibel, karena setiap perubahan tugas dan wewenang Daerah baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus dilakukan melalui prosedur yang lama dan berbelit- belit. Hal ini tentunya akan menghambat kemajuan bagi Daerah yang mempunyai inisiatifprakarsa, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh Pemerintah Pusat dan tidak pula oleh Pemerintah Daerah.Sistem ini pernah diatur oleh Negara Republik Indonesia pada saat berlakunya Undang-Undang no. 22 tahun 1948 dan Staatblad Indonesia Timur no. 44 tahun 1950. c. Sistem Formal Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan Undang- Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi Daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Jadi, urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya, tidak boleh diatur dan diurus lagi oleh Daerah. Dengan perkataan lain, urusan rumah LAPORAN PENELITIAN I - 11 tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya hierarchische taakafbakening. d. Sistem Riil Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada Daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari Daerah maupun Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil didalam masyarakat maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugasurusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri, sebaliknya tugas bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada Pemerintah Pusat atau ditarik kembali dari Daerah. Sistem ini dianut oleh Negara Republik Indonesia semasa berlakunya Undang-Undang no. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden no. 6 tahun 1956 disempurnakan dan penpres no. 5 1960 disempurnakan, dan Undang-Undang no. 18 tahun 1965. Setelah mengetahui berbagai teori tentang penetapan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dapat diketahui bahwa dalam konteks UU No.32 Tahun 2004 model penetapan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menggunakan sistem formil. Di lain pihak, dengan adanya pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang didasarkan pada UUD 1945 dalam empat asas pokok sebagai patokan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu: Pertama, bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut serta secara bebas dalam penyelenggaraan pemerintaban daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan atau dasar permusyawaratan dalam sistem LAPORAN PENELITIAN I - 12 tingkat Pemerintah Daerah. Kedua, bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap punting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah. Keempat, bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah. Untuk menjalankan pola hubungan Pusat dan Daerah yang efektif diperlukan adanya penerapan asas-asas pemerintahan daerah. Asas-asas pemerintahan daerah yang, dikenal dalam UU Nomor 32 tahun 2004 adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan medebewind atau penyelenggaraan kepentingan atau urusan tersebut sebenarnya oleh Pemerintah Pusat tetapi daerah otonomi diikutsertakan. Untuk mendekati alur penyerahan kewenangan, dapat menggunakan ajaran tentang atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari pembentukan Undang-undang orisinil. Pemberi dan penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang. Pada konsep delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya penyerahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya, atau dari badan administrasi negara yang satu kepada badan administrasi negara lainnya. Penyerahan wewenang barus dilakukan dengan bentuk peraturan hukum tertentu. Pihak yang menyerahkan wewenang disebut delegans, sedangkan penerima wewenang disebut delegataris. Setelah delegans menyerahkan wewenangnya kepada delegataris, maka tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang sepenuhnya berada pada delegataris. LAPORAN PENELITIAN I - 13

1.2.2 Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara