Change of enviromental conditions and growth of ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) seedlings due land clearance on peat swamp forest IUPHHK PT. Diamond Raya Timber, Riau Province

(1)

Kurz) AKIBAT KETERBUKAAN AREAL PADA HUTAN

RAWA GAMBUT DI IUPHHK-HA PT. DIAMOND RAYA

TIMBER, PROVINSI RIAU

IFANI RUSVADILLA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

(Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Dibimbing oleh UJANG SUWARNA.

Hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe hutan yang memiliki ekosistem spesifik dan rapuh dengan habitat lahan yang kaya akan bahan organik, sehingga diperlukan pengelolaan yang baik dan hati-hati untuk mencapai kelestarian produksi dan ekologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur luas hutan rawa gambut yang terbuka akibat kegiatan pemanenan, menganalisis faktor-faktor yang dipengaruhi oleh keterbukaan areal meliputi pertumbuhan semai ramin, sifat fisik tanah, tinggi muka air (TMA) serta suhu dan kelembaban dan menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) antara lain sifat fisik tanah, ketebalan gambut, serta suhu dan kelembaban. Keterbukaan lahan akibat pemanenan diharapkan pulih kembali dengan melakukan upaya penanaman kembali lahan tersebut.

Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif dengan melakukan pembacaan tabel dan gambar sedangkan analisis statistik dengan menggunakan Microsoft office excel 2007, software Statistical Analysis Software

(SAS) 9.1 melalui metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dan Minitab 15 dengan analisis Komponen Utama (RKU).

PT. Diamond Raya Timber telah melaksanakan pemanenan hutan yang sesuai dengan prinsip kelestarian hutan, salah satunya menerapkan teori Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) pada bagian awal tahap pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menimbulkan keterbukaan areal, dalam hal ini meliputi penebangan pohon, pembuatan jalan sarad dan jalan seling, pembuatan TPn dan pembuatan jalan angkutan kayu. Keterbukaan areal total akibat pemanenan adalah 3.728,75 m2/ha, keterbukaan di petak manual 1.712, 90 m2/ha, di petak mekanis 1.415,85 m2/ha dan jalan angkut 600 m2/ha. Luas keterbukaan areal pada petak mekanis dapat lebih tinggi jika memperhitungkan keterbukaan areal akibat manuver logfisher sebesar 1000 m2/ha atau sebesar 70,6%.

Keterbukaan areal dapat menimbulkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan dan mempengaruhi pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz). Kondisi lingkungan ini meliputi sifat fisik tanah (kadar air, bulk density, dan porositas), tinggi muka air, suhu, dan kelembaban. Analisis data menunjukkan secara keseluruhan keterbukaan areal mempengeruhi seluruh variabel tersebut.

Secara deskriptif semai ramin lebih cepat tumbuh dengan kondisi tempat tumbuh yang agak terbuka karena pada tingkat semai, ramin merupakan jenis semi toleran. Analisis hubungan pertumbuhan ramin terhadap sifat fisik tanah (kadar air, bulk density, dan porositas), ketebalan, suhu, dan kelembaban gambut menyatakan hubungan yang tidak nyata. Artinya variabel tersebut memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap pertumbuhan semai ramin.


(3)

IFANI RUSVADILLA. Change of enviromental conditions and growth of ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) seedlings due land clearance on peat swamp forest IUPHHK PT. Diamond Raya Timber, Riau Province. Supervised by UJANG SUWARNA

Peat swamp forests is one of the forest type that has a specific and fragile ecosystem with the land that is rich in organic materials, so it needed proper management to achieve production and ecological sustainability. This research was purpose to measure the area of peat swamp forest that are open due to harvesting activity, analyze the factors that influenced by the openness of the area include the growth of ramin, physical properties if soils, water table, temperature, humidity and analyze the factors that influence the growth of ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) such as physical properties of soil, peat depth, temperature and humidity. The openness of land due to harvesting is expected to recover by making efforts to replant the area.

Data analysis was carried out trough the descriptive and statistic analysis. Descriptive analysis by doing reading tables and images while statistic analysis using microsoft office excel 2007 software, Statistical Analysis Software (SAS) 9.1 trough Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) and Minitab 15 by principal component analysis (RKU).

PT. Diamond raya timber has exercised the harvesting of a forest to the principle of sustainability, one applies the theory of forest opening at the beginning stages of harvesting. The Purpose is to decrease high levels of openness to the harvesting, besides that PWH can also reduce the damage to the forest live and the reduce cost of harvesting. Harvesting activities can cause openess of the area, that means logging trees, building a skid road and seling road, and the road making TPn and manufacture of road transport of wood. The openness of the total harvesting is due to 3.728,75 m2/ha. Openness area in manual plots is 1.712, 90 m2/ha, in mechanical plots 1.415,85 m2/ha, and road transport of wood 600 m2/ha. Openess the area in mechanical plots can be higher if take into account the openess of area due to maneuver logfisher equal to 1000 m2/ha or as much as 70,6 %.

Openness of area could result in the occurrence of a change of the weather conditions and the growth of semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz). The environmental condition these involve the physical characteristics of land (soil water content, bulk density, porosity), and top of water level, temperature, and moisture. Analysis of data overall openess the influential real against all variables such.

Based on descriptive analysis, ramin grow faster to the condition as rather open area, because at that level ramin is a kind of semi tolerant. Through analysis growth ramin against the physical characteristics of land (soil water content, bulk density, porosity), the thickness of soil, the temperature, and moisture peat expresses the relation of are not real. It means variables such give impact of the very small on the growth of semai ramin.


(4)

Kurz) AKIBAT KETERBUKAAN AREAL PADA HUTAN

RAWA GAMBUT DI IUPHHK-HA PT. DIAMOND RAYA

TIMBER, PROVINSI RIAU

IFANI RUSVADILLA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan kondisi lingkungan dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang tercantum atau dikutip berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Ifani Rusvadilla NIM E14080097


(6)

Judul : Perubahan kondisi lingkungan dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau Nama Mahasiswa : Ifani Rusvadilla

NIM : E14080097

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Ujang Suwarna S.Hut, M.Sc. F.Trop NIP. 197205121997021001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. NIP 19630401 199403 1 001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 9 November 1989 di kota Batusangkar, Sumatera Barat sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Alirusman dan Ibu Zulnifatri S.Pd. SD. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sungayang kemudian penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di kota Padang.

Penulis aktif mengikuti organisasi-organisasi kemahasiswaan di Fakultas Kehutanan yaitu Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebagai anggota Komisi III dan International Forestry Students Association (IFSA LC-IPB) sebagai anggota Divisi Kesekretariatan, serta sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) pada Himpunan Profesi (Himpro) Forest Management Student Club (FMSC). Penulis pernah mengikuti kegiatan Temu Manajer 2010 sebagai anggota Komisi Disiplin (Komdis) dan mengikuti seminar publikasi program FMSC tahun 2010-2011 sebagai ketua pelaksana. Pada Tahun 2011, penulis memilih bagian keprofesian Pemanfaatan Sumber Daya Hutan.

Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Perubahan kondisi lingkungan dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau” di bawah bimbingan Ujang Suwarna S. Hut, M.Sc. F.Trop. Skripsi ini diselesaikan pada tahun 2012.


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perubahan kondisi lingkungan dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, karya tulis ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkann terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, Bapak Alirusman dan Ibu Zulnifatri, S.Pd.SD serta adik-adikku Rezky Ade Mulia dan Wahdini Rusvadilla, atas doa dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis selama ini.

2. Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc. F.Trop yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberi nasehat kepada penulis.

3. PT. Diamond Raya Timber dan segenap staf-nya atas izin dan dukungan, serta bantuannya dalam penelitian di lapangan.

4. Mas Nugroho Prasetyo Winasis selaku manajer perencanaan dan PRPL, Bang Mudri, Yusri, Syahril dan teman-teman pekerja di PT. Diamond Raya Timber yang telah membantu penulis selama di lapangan.

5. Dimas Darma Seputra, Rissa, Maria, Harry, Hapriza, Endrawati, Bayu, Mike, Anggi, Bela, Tira, Melati, Willi, Fita, Nizar dan teman-teman Manajemen Hutan angkatan 45 yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan telah banyak membantu dan memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Keluarga besar Departemen Manajemen Hutan atas kebersamaan dalam suka dan duka selama ini serta keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB angkatan 45 dengan banyak kesan yang tidak terlupakan.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, November 2012 Ifani Rusvadilla


(9)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan rasa puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perubahan kondisi lingkungan dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur mengenai keterbukaan areal akibat pemanenan serta dampaknya terhadap lingkungan di hutan rawa gambut.

Skripsi ini disusun sebagai respon dari kurangnya pengendalian dampak atas keterbukaan areal hutan rawa gambut akibat kegiatan pemanenan. Hal ini menyebabkan pencapaian pengelolaan hutan gambut lestari belum maksimal. Penelitian ini menjelaskan bahwa keterbukaan areal hutan rawa gambut dapat mempengaruhi berbagai faktor lingkungan pada areal tersebut. Faktor tersebut antara lain pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz), sifat fisik tanah (kadar air, porositas dan bulk density), tinggi muka air, suhu serta kelembaban gambut.

Penulis mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari titik kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, November 2012


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hasil Hutan Kayu PT. Diamond Raya Timber ... 3

2.2 Keterbukaan Areal ... 3

2.3 Hutan Rawa Gambut ... 4

2.3.1 Pengertian Hutan Rawa Gambut ... 4

2.3.2 Karakteristik Hutan Rawa Gambut. ... 5

2.3.3 Penyebaran Hutan Rawa Gambut ... 5

2.3.4 Tinggi Muka Air Gambut ... 6

2.3.5 Iklim Mikro Hutan Rawa Gambut ... 6

2.4 Tanah Gambut ... 7

2.4.1 Definisi Tanah ... 7

2.4.2 Tanah Gambut ... 8

2.4.3 Pembentukan Tanah Gambut ... 8

2.4.4 Sifat Fisik Tanah Gambut ... 10

2.5 Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) ... 12

2.5.1 Deskripsi Ramin ... 12

2.5.2 Sebaran Habitat Ramin ... 13

2.5.3 Riap Alami Ramin ... 14


(11)

BAB III METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2 Objek dan Alat Penelitian ... 16

3.3 Jenis data ... 16

3.4 Metode Penelitian ... 17

3.4.1 Batasan Masalah ... 17

3.4.2 Prosedur Penelitian ... 17

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan ... 23

4.2 Letak dan Luas Areal ... 23

4.2.1 Batas Geografis ... 23

4.2.2 Luas ... 24

4.3 Kondisi Fisik Hutan ... 24

4.3.1 Topografi ... 24

4.3.2 Hidrologi ... 25

4.3.3 Geologi ... 25

4.3.4 Tanah ... 26

4.3.5 Iklim ... 26

4.4 Keadaan Hutan ... 27

4.4.1 Tipe Hutan dan Asosiasi Vegetasi ... 27

4.4.2 Pemanfaatan Lahan di Sekitar Areal Konsesi ... 27

4.4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 28

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemanenan Hasil Hutan Kayu PT. Diamond Raya Timber ... 29

5.2 Keterbukaan Areal. ... 31

5.3 Sifat Fisik Tanah Gambut Setelah Pemanenan ... 32

5.4 Pertumbuhan Ramin. ... 34

5.5 Suhu dan Kelembaban ... 35

5.6 Tinggi Muka Air (TMA) ... 36

5.7 Analisis Hubungan Keterbukaan Areal dengan Variabel yang Dipengaruhinya ... 37


(12)

5.9 Analisis Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pertumbuhan Semai Ramin ... 39 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 41 6.2 Saran. ... 41 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Rata-rata keterbukaan areal pada masing-masing lokasi ... 31

2. Perubahan sifat fisik tanah akibat pemanenan ... 33

3. Rata-rata pertumbuhan semai ramin selama delapan minggu ... 35

4. Rata-rata suhu dan kelembaban hutan rawa gambut akibat pemanenan ... 36

5. Rata-rata pengukuran Tinggi Muka Air (TMA) ... 37

6. MANOVA (Multivariate Analysys of Variance) ... 37


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1.

Kubah gambut yang menggambarkan akumulasi bahan organik ... 9

2. Penanaman semai ramin ... 18

3.

Pengukuran ramin ... 19

4.

Pengukuran Tinggi Muka Air Gambut ... 20

5.

Pengukuran ketebalan gambut ... 21


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No

.

Halaman

1. Peta RKU PT DRT berbasis IHMB periode 2010-2019... 46

2. Peta PWH dan lokasi penelitian... 47

3. Data pengukuran dan pertumbuhan semai ramin ... 48

4. Data suhu dan kelembaban ... 55

5. Luas areal terbuka ... 57

6. Sifat fisik tanah gambut ... 59

7. Tinggi Muka Air (TMA) gambut... 61

8. Ketebalan gambut ... 62

9. Rata-rata pengukuran ... 63

10. Analisis Keterbukaan areal terhadap variabel yang dipengaruhinya ... 66

11. Model regresi hubungan pertumbuhan semai ramin dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya ... 71


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang tak ternilai harganya dan mempunyai fungsi atau manfaat baik secara ekonomis, ekologis, maupun estetika. Secara ekonomis hutan merupakan sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan merupakan salah satu modal pembangunan. Secara ekologis hutan sangat berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan berpengaruh terhadap iklim global seluruh permukaan bumi sehingga sering disebut sebagai paru-paru dunia. Secara estetika hutan merupakan keindahan alam yang sangat menakjubkan.

Berkurangnya luas hutan rawa gambut disebabkan berbagai faktor yang salah satunya adalah akibat pemanenan hutan rawa gambut. Perencanaan pemanenan yang tidak tepat serta sistem manajemen yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap keterbukaan lahan rawa gambut sehingga tanah dapat terganggu fungsi dan keberadaannya.

Lahan gambut merupakan ekosistem khas yang marginal dan rapuh, sehingga memerlukan perlakuan pengelolaan khusus. Perlakuan yang berlebihan tanpa memperdulikan kelestariannya akan menyebabkan sifat-sifat tanah gambut berubah atau rusak. Kerusakan lahan gambut ini dapat disebabkan oleh kondisi iklim yang sukar dikendalikan, hanya saja kerusakan pada lahan gambut tropika selama ini lebih banyak disebabkan oleh kesalahan dalam pembukaan dan pengelolaan yang mengabaikan sifat-sifat ekosistem gambut tersebut (Noor 2010).

Pengelolaan hutan rawa gambut ditujukan untuk mendayagunakan fungsi kawasan serta melestarikan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Kayu ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) merupakan salah satu kayu komersil yang dihasilkan hutan rawa gambut. Ramin tergolong kayu mewah dan langka sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, untuk itu perlu adanya upaya penyelamatan jenis ramin melalui suatu sistem kelola yang baik di hutan rawa gambut dengan mengetahui perubahan sifat fisik tanah dan kondisi lingkungan akibat keterbukaan areal.


(17)

1.1 Tujuan Penelitian

1. Mengukur luas hutan alam rawa gambut yang terbuka akibat kegiatan pemanenan.

2. Menganalisis pengaruh keterbukaan areal terhadap pertumbuhan semai ramin, sifat fisik tanah, Tinggi Muka Air (TMA) serta suhu dan kelembaban.

3. Menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai ramin

(Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) antara lain sifat fisik tanah, ketebalan gambut, serta suhu dan kelembaban.

1.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan untuk menentukan efektifitas kegiatan pemanenan kayu melalui kegiatan pembukaan wilayah hutan dan mengetahui faktor-faktor yang ditimbulkan agar nantinya dapat dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan keterbukaan lahan yang terjadi. Keterbukaan lahan akibat pemanenan diharapkan pulih kembali dengan melakukan upaya penanaman kembali lahan tersebut.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pemanenan Hasil Hutan Kayu

Conway (1978) dalam Muhdi (2002) menyebutkan pemanenan hutan dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan. Kegiatan ini dibedakan atas empat komponen utama, yaitu :

1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon dan memotong kayu sebelum kayu disarad jika dianggap perlu.

2. Penyaradan, yaitu usaha untuk memindahkan kayu dari tempat penebangan ke tepi jalan angkutan.

3. Pengangkutan, yaitu usaha mengangkut kayu dari hutan ke tempat penimbunan atau pengolahan.

4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum digunakan atau dipasarkan, dalam kegiatan ini termasuk pemotongan ujung-ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.

2.2Keterbukaan Areal

Akses keluar-masuk hutan untuk mengelola dan memelihara hutan harus tersedia dengan baik, dan hasil hutan dapat dikeluarkan dengan lancar dan mudah untuk mencapai pengelolaan hutan lestari dan pemanfaatan hasil hutan yang maksimal. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah keterbukaan areal.

Keterbukaan tanah hutan adalah hilangnya vegetasi permukaan tanah antara lain dari tajuk-tajuk pohon, semak belukar, tumbuhan bawah lainnya dan serasah yang menutupi tanah. Keterbukaan tanah dalam pengelolaan hutan alam pada umumnya terjadi karena Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) (jaringan jalan angkutan dan prasarana PWH lainnya, seperti TPk, TPn dan base camp) dan akibat pemanenan kayu (pada penebangan dan penyaradan) (Elias 2008).

Berdasarkan penyebabnya areal yang terbuka dibedakan atas areal yang terbuka karena pembuatan prasarana PWH, karena penyiapan lahan tanam, penebangan pohon, serta pembuatan jalan sarad dan penyaradan (Elias 2008).


(19)

Pada pemanenan kayu dengan sistem silvikultur tebang pilih, dampak kegiatan penebangan dan penyaradan sangat tergantung dari intensitas penebangan (jumlah batang pohon yang ditebang per hektar). Semakin tinggi intensitas penebangan, makin luas juga keterbukaan arealnya (Elias 2008).

2.3Hutan Rawa Gambut

2.3.1 Pengertian Hutan Rawa Gambut

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan.

Gambut secara harfiah diartikan sebagai onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan bahkan sampai ribuan tahun. Menurut epistemologi gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang mengalami perombakan (decomposed). Menurut konsep pedologi, gambut adalah bentuk hamparan daratan yang morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya (Noor 2010).

Kepres No. 32 tahun 1990 dan Undang-Undang No. 21 tahun 1992 tentang penataan ruang kawasan bergambut menetapkan kawasan bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang letaknya di bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut.

Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang. Keputusan Menteri PU No. 64/ PRT/1993 menyatakan lahan rawa dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut/rawa pantai dan rawa nonpasang surut/rawa pedalaman (Tim Sintesis Kebijakan 2008).

Menurut Daryono (2009) hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan ekosistem yang spesifik dan rapuh, baik dilihat dari segi


(20)

habitat lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan mulai dari kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20 m.

2.3.2 Karakteristik Hutan Rawa Gambut

Gambut terbentuk di wilayah depresi karena adanya penimbunan bahan organik tumbuhan rawa pada kondisi yang tergenang atau anaerob sehingga gambut memiliki karakteristik kerapatan volume (bulk density) yang rendah dengan kemasaman yang tinggi. Tanah mineral pada ekosistem rawa merupakan tanah aluvial yang dapat berupa endapan laut (marine sediment), endapan sungai (flufiatile sediment) atau campuran keduanya (flufiatile-marine sediment). Koloid gambut merupakan bagian yang melayang dan terintegrasi dengan larutan dan /atau air gambut. Berbeda dengan koloid mineral yang integral dengan fisiko-kimia liat. Berdasarkan ekosistem lahan rawa dicirikan oleh dua ekosistem utama ekosistem hutan dan ekosistem yang berkaitan dengan air (Barchia 2006).

Karakteristik yang umum pada lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya yang tinggi, pH yang rendah, Nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi dan nilai KB (Kejenuhan Basa) yang rendah, hal ini dapat memberikan kondisi unsur hara yang rendah (Daryono 2009).

Gambut mempunyai karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh jenis tanah yang lain. Kemampuan tanah gambut menyerap air sangat tinggi. Sebaliknya apabila dalam kondisi yang kering, gambut sangat ringan dengan berat volume yang sangat rendah dan mempunyai sifat hidrofobik (sulit) menyerap air dan akan mengambang apabila terkena air. Pada kondisi demikian gambut dapat mengalami amblesan (land subsidence) dan mudah terbakar (Sumargo et al. 2011).

2.3.3 Penyebaran Hutan Rawa Gambut

Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia cukup beragam dan belum dibakukan, karenanya data luasan yang dapat digunakan masih dalam kisaran 13,5 - 26,5 juta. FWI (Forest Watch Indonesia) melakukan digitasi dan pengelompokan ulang dengan mengabaikan data kedalaman gambut untuk


(21)

menghasilkan data spasial lahan gambut. Sebaran lahan gambut di Indonesia yang teridentifikasi berada di Sumatera, Kalimantan dan Papua seluas 20,80 juta ha. Sampai dengan tahun 2009, lahan gambut yang memiliki tutupan hutan adalah 10,77 juta ha atau 51% dari luas lahan gambut di Indonesia. Papua merupakan wilayah yang memiliki tutupan hutan di lahan gambut terbesar di Indonesia yakni seluas 6,15 juta ha atau setara 57,13%, diikuti Kalimantan seluas 2,78 juta ha atau setara 25,85% dan Sumatera seluas 1,83 juta ha atau setara 17,02% (Sumargo et al. 2011).

Lahan rawa gambut di daerah tropis mencakup areal seluas 38 juta ha dari total seluas 200 juta ha yang terdapat di seluruh dunia. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan terdapat antara 13,5 - 26,5 juta ha (Daryono 2009). Tim Sintesis Kebijakan (2008) menyatakan lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, dan Papua 30% .

2.3.4 Tinggi Muka Air Gambut

Tinggi Muka Air (TMA) adalah ukuran jarak antara permukaan air terhadap permukaan tanah. Ketinggian air tanah di lahan gambut dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan air di lahan gambut dapat mencapai 0,5 m di atas permukaan tanah, tetapi pada musim kemarau dapat turun mencapai 1,5 m di bawah permukaan tanah (Hidayah 2004).

Terjadinya hujan yang dipengaruhi waktu dapat mempengaruhi jumlah air pada tanah gambut melalui tinggi muka airnya. Besarnya pola perilaku TMA dapat dilihat dari gradien perubahannya. Gradien perubahan TMA gambut menunjukkan kecepatan kenaikan dan penurunan tinggi muka air (Hidayah 2004).

2.3.5 Iklim Mikro Hutan Rawa Gambut

Kegiatan pengusahaan hutan dapat mempengaruhi iklim mikro di bawah dan di dalam tegakan yang secara tidak lansung akan berpengaruh terhadap proses dekomposisi bahan organik dan kehidupan makro dan mikroflora serta fauna di lantai hutan.


(22)

Perubahan iklim dalam areal HPH berbentuk iklim mikro. Faktor-faktor iklim yang dapat berubah adalah suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam. Perubahan iklim mikro ini akan cukup besar terjadi pada areal hutan yang terbuka untuk tempat pengumpulan kayu (TPn), pengakutan kayu melalui jalan rel, jalan sarad, tempat penumpukan kayu (log pond), dan lokasi pemukiman (base camp). Areal ini akan mengalami perubahan iklim mikro secara terus menerus selama masih digunakan.

Hasil penelitian Enrico (1997) menunjukkan bahwa perubahan iklim mikro pada setiap rumpang yang terbentuk untuk setiap penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) menciptakan suhu diatas permukaan tanah berkisar antara 28oC - 29oC dan kelembaban 85,9% - 91,6%. Kondisi lingkungan mikro seperti ini masih sesuai untuk perkembangan mikroba tanah dan proses dekomposisi bahan organik. Namun jika terjadi penebangan secara terus menerus kondisi tapak akan semakin terbuka sehingga terjadi peubahan iklim mikro berupa kenaikan suhu di atas permukaan tanah karena intensitas cahaya matahari yang tinggi.

2.4Tanah Gambut 2.4.1. Definisi Tanah

Tanah merupakan bagian alam yang tersusun dari air, udara dan bagian padat yang terdiri atas bahan-bahan mineral dan organik serta jasad hidup yang tercampur dalam tanah sehingga sulit dipisahkan satu sama lainnya. Tanah dibentuk oleh beberapa faktor yaitu iklim, bahan induk, topografi (relief dan hidrologi), jasad hidup (tumbuhan, binatang dan manusia) serta waktu.

Lapisan tanah bagian atas pada umunya mengandung bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan tanah bagian bawahnya. Karena terdapat akumulasi bahan organik maka lapisan tanah atas berwarna gelap yang menandakan tanah tersebut subur sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Berbeda dengan lapisan tanah di bawahnya yang berwarna lebih terang, hal ini menandakan kandungan bahan organiknya lebih sedikit dibandingkan bahan-bahan mineral penyusunnya (Hardjowigeno 2007).


(23)

2.4.2. Tanah Gambut

Tanah-tanah daerah rawa yang terdiri atas tanah histosol (tanah gambut), sifatnya bermacam-macam tergantung dari jenis vegetasi yang menjadi tanah tersebut. Tanah-tanah gambut yang terlalu tebal (lebih dari dua meter) umumnya tidak subur karena vegetasi yang terdekomposisi menjadi tanah gambut tersebut terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara. Pada umumnya tanah gambut yang subur tebalnya 40 – 100 meter. Tanah gambut mempunyai sifat dapat menyusut (subsidance) kalau perbaikan drainase dilakukan sehingga permukaan tanah ini semakin lama semakin menurun. Tanah gambut tidak boleh terlalu kering karena dapat menjadi kering irreversible (kering tak balik), yaitu sulit menyerap air kembali dan mudah terbakar. Kekurangan unsur mikro banyak terjadi pada tanah gambut (Hardjowigeno 2007).

Tim Sintesis Kebijakan (2008) menyebutkan bahwa tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air, tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Berdasarkan sistem klasifikasi taksonomi tanah, tanah gambut disebut histosols (histos, tissue: jaringan) atau sebelumnya bernama organosols (tanah tersusun dari bahan organik).

Secara ringkas, tanah gambut adalah tanah-tanah yang tersusun dari bahan tanah organik yang jenuh air dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Dikaitkan dengan ketebalan bahan organik, maka tanah mineral yang mempunyai lapisan gambut di permukaan 20 – 50 cm disebut sebagai tanah mineral bergambut (peaty soil). Dikatakan sebagai tanah mineral murni apabila lapisan gambut dipermukaan kurang dari 20 cm (Daryono 2009).

2.4.3. Pembentukan Tanah Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus ditambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan /atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan terhambatnya perkembangan biota pengurai . Pembentukkan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan


(24)

basah. Tanaman yang mati akan lapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga lapisan tersebut menjadi penuh (Nugroho 2009).

Gambar 1 Kubah gambut yang menggambarkan akumulasi bahan organik (Suwanto et al 2010).

Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal disebut dengan topogen karena pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Bagian ini relatif subur dan dapat ditumbuhi tanaman tertentu. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) yaitu gambut yang permukaannya cembung. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen disebut gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Bagian ini lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral (Nugroho 2009).

Tanah gambut selalu terbentuk pada tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, seperti pada cekungan-cekungan daerah pelembahan, rawa bekas danau, atau daerah depresi/ basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan bahan organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan tumbuhan alami


(25)

yang telah beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Penumpukan bahan organik secara terus-menerus menyebabkan lahan gambut membentuk kubah (peat dome) (Tim Sintesis Kebijakan 2008).

2.4.4. Sifat Fisik Tanah Gambut

Tanah gambut yang terbentuk dari vegetasi hutan rawa tropika relatif heterogen. Batang pohon, ranting dan akar kasar yang masih menunjukkan banyak ciri tanaman aslinya. Sifat-sifat fisik tanah gambut merupakan produk dari banyak perubah yang berinteraksi, yang menghasilkan bahan-bahan yang beragam dalam derajat dekomposisinya.

1. Tingkat Kematangan Gambut

Nilai tingkat kematangan tanah merupakan petunjuk untuk mengetahui kemampuan tanah menyangga beban fisik dan mengetahui besarnya penyusutan (subsidence) bila tanah menjadi kering (Hardjowigeno 2007). Tingkat dekomposisi atau pelapukan/ perombakan bahan organik gambut, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik (awal), hemik (tengah) dan saprik (lanjut). Fibrik adalah gambut dengan tingkat dekomposisi awal yaitu kandungan serat tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih dari tiga perempat bagian dari volumenya. Sedang hemik adalah gambut dengan tingkat dekomposisi tengahan, yaitu kandungan serat 17% - 75% atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian volumenya. Saprik adalah gambut dengan tingkat dekomposisinya yang lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 17% atau tinggal kurang dari 1/6 bagian dari volumenya. Gambut saprik biasanya berwarna kelabu sangat gelap hitam. Sifat-sifatnya (sifat fisik maupun kimianya) relatif sudah stabil (Daryono 2009).

2. Kadar Air

Kadar air gambut merupakan jumlah air yang terkandung pada tanah gambut dalam volume sampel tertentu. Informasi mengenai kadar air tanah organik sangat diperlukan untuk merancang tata letak drainase yang efisien (Andriesse 1988).

Kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang (retaining) air dari gambut tergantung tingkat kematangannya. Kemampuan maksimum memegang


(26)

air pada gambut fibrik lebih besar daripada gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari pada gambut saprik. Kemampuan maksimum memegang air fibrik 1.057%, hemik 374% dan saprik 289% (Noor 2001).

Air terdapat di dalam tanah karena ditahan/ diserap oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Air dapat meresap atau ditahan oleh tanah kerena adanya gaya-gaya adhesi, kohesi dan gravitasi. Banyaknya kandungan air dalam tanah behubungan erat dengan besarnya tegangan air (moisture tension) dalam tanah tersebut. Tegangan air menunjukkan besarnya tenaga yang diperlukan untuk menahan air di dalam tanah. Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi oleh tekstur tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada Tanah-tanah bertekstur halus (Hardjowigeno 2007).

3. Kerapatan Limbak (Bulk Density)

Bulk density menunjukkan nilai kepadatan tanah. Semakin padat tanah semakin tinggi nilai bulk density-nya, yang berarti semakin sulit tanah meneruskan air atau semakin sulit penetrasi akar dalam tanah. Bulk density

menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk pori-pori tanah. Bulk density dapat diketahui melalui rumus :

BD =

Bera er e ( ra )

V e a a (c 3)

(Hardjowigeno 2007) Kerapatan limbak tergantung dari tingkat pemandatan, komposisi botanis bahan, derajat dekomposisi, serta kandungan mineral dan air pada saat pengambilan sampel. Kerapatan limbak suatu tanah yang biasanya dinyatakan dengan dasar berat kering dalam gram per cm3. Nilai-nilainya berkisar dari 0,05 g/cm3 pada bahan tak terdekomposisi yang sangat fibrik sampai kurang dari 0,5 g/cm3 pada bahan yang terdekomposisi dengan baik (Andriesse 1988).

4. Porositas

Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah, akan tetapi terisi oleh udara dan air. Porositas dipengaruhi oleh kandungan bahan


(27)

organik, struktur tanah dan tekstur tanah. Semakin tinggi jumlah bahan organik maka porositas akan semakin tinggi. Tanah yang mempunyai tekstur granular atau remah, mempunyai porositas lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan struktur

massive (pejal) (Hardjowigeno 2007).

Menurut Barchia (2006) semakin menurun bulk density tanah gambut akan diikuti secara linear oleh peningkatan porositas tanah dan kandungan air tanah kapasitas jenuh. Pori-pori tanah dalam keadaan tergenang akan diisi oleh air, sehingga semakin tinggi porositas tanah maka akan semakin tinggi air yang akan di tambat pada tanah gambut.

2.5Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) 2.5.1 Deskripsi Ramin

Ramin adalah nama (perdagangan) yang diberikan pada beberapa jenis pohon dari genus Gonystylus, famili Thymelaeaceae, sub-famili Gonystyloideae. Pohon ramin tidak berbanir, tinggi pohon dapat mencapai 45 meter, diameter 100 cm, batang sangat lurus, tajuk kecil, bulat dan tipis. Kulit luar berwarna cokelat pirang, pecah-pecah kecil seperti sisik dan bermiang sangat halus dan dapat menyebabkan gatal. Pohon ramin sering diserang kumbang penggerek (Ambrosia beatle) dan jamur upas (Corticum salamonica) (Hadisuparto 2009).

Ramin berdaun tunggal, duduk daun tersebar, daun agak tebal, tulang daun lembut, daun bagian atas berwarna hijau dan mengkilat, berbintik-bintik halus dan tidak berbau. Daun bagian bawah berwarna hijau lebih muda dari pada bagian atasnya. Bunga ramin berkelamin dua dan berwarna kuning, berbunga pada bulan Februari–Maret atau September–Oktober. Biasanya berbuah setiap enam tahun sekali. Buah berwarna coklat keunguan dengan biji berdaging. Setiap buah mengandung satu sampai tiga biji. Biji yang disimpan dalam kamar yang kering selama 15 – 30 hari mempunyai daya kecambah 50% - 80% (Hadisuparto 2009).

Tinggi tanaman 40-45 m, batang bulat lurus, tinggi bebas cabang dapat mencapai 21 m, diameter batang setinggi dada 60-120 cm. Pengamatan pada keadaan alami di Kapuas, Kalimantan Tengah menunjukkan, G. bancanus

bersama bintangur (Calophyllum kunstlerii), jangkang (Xylopia malacensis), pisang-pisang (Mezzetia parvifolia), dan meranti bunga (Shorea pauciflora)


(28)

menempati lapisan atas vegetasi dengan tinggi ± 33 m. Pohon kadang membentuk lekukkan memanjang pada permukaan batang bawah, banyak memiliki akar menonjol ke luar permukaan tanah (peumatophores). Permukaan kulit batang sering pecah dan keabu-abuan sampai merah coklat. Kulit batang bagian dalam berserabut, warna kuning. Kayu gubal warna pucat krem atau putih. Bentuk daun elips, 4-14,5 x 2-7 cm, bagian dasar berbentuk setengah lingkaran ujung meruncing, panjang tangkai 8-18 mm. Panjang rangkaian bunga sampai 9 cm, berbulu halus pendek. Panjang tangkai individu bunga 8-14 mm, daun mahkota (meruncing, tidak berbulu), sebanyak 13-20. Bentuk buah agak bulat, panjang sampai 4,5 cm, dengan 3-4 rongga, permukaan agak kasar tetapi tidak membentuk lekukan yang memanjang. Biji berbentuk telur, warna hitam, 28 x 22 x 6 mm. Terdapat 250-300 benih/kg. Pada keadaan alami, musim berbunga dan berbuah tidak tetap, ditunjukkan oleh bulan berbunga yang berbeda serta musim berbunga tidak terjadi tiap tahun (Kartiko 2001).

2.5.2 Sebaran Habitat Ramin

Ramin merupakan jenis asli Indonesia (Kalimantan Barat dan Tengah, Sumatera bagian tenggara, Bangka), Malaysia (Semenanjung barat daya dan Sarawak) dan Brunei Darussalam pada hutan rawa gambut berair tawar di daerah pantai. Sebaran tempat tumbuh dapat mencapai ketinggian 100 m di atas permukaan laut, kadang merupakan tegakan ramin murni. Populasi dan habitatnya menurun tajam akibat penebangan berlebihan. Berdasarkan daftar merah IUCN, tingkat kelestariannya tergolong kategori terancam punah (Kartiko 2001).

Kawasan Asia merupakan agregat terdapatnya 75% lahan gambut tropis termasuk yang ada di Indonesia dan pada awalnya sebagai habitat hutan jenis ramin seperti hutan Sumatera dan Kalimantan. Jenis ramin tumbuh berkelompok pada hutan rawa gambut di atas tanah aluvial dengan ketinggian dataran 2 meter 100 meter dari permukaan laut. Ramin juga tumbuh pada tanah podsol (spodosol) bergambut, akan tetapi pada tanah ini yang umumnya lebih tipis pertumbuhan ramin kurang begitu dominan. Tempat tumbuh ramin dapat dipengaruhi oleh air pasang-surut, namun secara tidak lansung dipengaruhi oleh air laut. Kondisi edafis lebih berperan sebagai tempat tumbuh ramin dalam genangan air secara periodik. Ketebalan gambut dapat mencapai tiga meter atau lebih dengan kondisi iklim


(29)

yang basah atau tergolong tipe A menurut Schmidt dan Ferguson (1951) (Hadisuparto 2009).

2.5.3 Riap Alami Ramin

Pada tahun 2003, PT DRT melakukan uji coba penanaman lapangan anakan ramin hasil stek pucuk. Penanaman dilakukan di areal terbuka (bekas TPn dan bekas jalan rel) dengan naungan, di areal terbuka tanpa naungan, di areal bekas jalan sarad, dan di areal terbuka yang tergenang air. Sampai umur tanam 2 (dua) tahun, ternyata semua anakan ramin yang ditanam pada lima kondisi lapangan yang berbeda menunjukkan pertumbuhan yang sangat menggembirakan dimana persentase tumbuh mencapai 97,5%. Secara ringkas, data pertumbuhan anakan ramin asal stek pucuk sampai umur tanam dua tahun anakan ramin dapat mencapai tinggi 164,0 cm dan diameter batang 3,1 cm. Adapun jika dirata-ratakan, riap rata-rata tinggi dan diameter anakan ramin hasil stek pucuk sebesar 37,55 cm dan 0,74 cm (PT DRT 2006).

Ramin merupakan jenis pohon yang tumbuh lambat. Berdasarkan laporan sementara penanaman stek pucuk ramin sampai umur dua tahun pada areal bekas tebangan, rata-rata riap diameter terendah ramin adalah 0,475 cm/tahun dan riap diameter tertinggi 1,125 cm/tahun dengan rata-rata 0,740 cm/tahun. Pertumbuhan riap tinggi ramin minimum 18,50 cm/tahun dan riap tinggi maksimum 70,30 cm/tahun dengan rata-rata 37,55 cm/tahun. Dengan melihat hasil penanaman lapangan anakan ramin hasil stek pucuk pada umur tanam dua tahun di areal PT DRT ini maka PT DRT memiliki keyakinan bahwa pada periode rotasi tebangan berikutnya (40 tahun) jumlah populasi ramin baik tingkat semai, pancang, tiang dan pohon tebang dapat mencapai kondisi sebagaimana kondisi sebelum dilakukan penebangan (PT DRT 2006).

2.6 Multivariate Analysis of Variance (MANOVA)

Analisis multivariate merupakan salah satu teknik dalam statistik yang dapat dipakai untuk memahami struktur data dalam beberapa variabel. Beberapa variabel tersebut saling berkaitan antara satu sama lain. Pada penelitian ini variabel yang dimaksud adalah respon dari keterbukaan areal yang meliputi suhu


(30)

dan kelembaban, pertumbuhan semai ramin, tinggi muka air dan sifat fisik tanah. Untuk mengetahui pengaruh keterbukaan areal tersebut terhadap respon, metode yang tepat adalah Multivariate Analysis of Variance (MANOVA)

MANOVA memiliki beberapa kemampuan tambahan untuk menangani beberapa variabel dependen, sedangkan jika menggunakan ANOVA secara berurutan pada serangkaian variabel dependen yang berhubungan bisa membawa kepada kesimpulan yang salah, MANOVA secara stimultan menguji semua variabel yang ada hubungannya.


(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber (DRT), Sei. Sinepis, Provinsi Riau. Waktu pelaksanaan penelitian selama dua bulan yang terdiri dari dua tahap, tahap pertama pengambilan data di lapangan pada pada bulan April hingga Mei 2012 dan tahap kedua pengujian contoh tanah di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2012.

3.2Objek dan Alat Penelitian

Objek yang digunakan untuk penelitian ini adalah bibit ramin yang diambil dari areal persemaian PT. Diamond Raya Timber serta contoh tanah gambut dari beberapa tempat yang berbeda sebanyak 22 sampel tanah. Alat yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu alat untuk pengambilan data di lapangan berupa parang dan golok, meteran, mistar/ penggaris berukuran panjang 1 meter, GPS, plastik berlabel, pipa paralon ukuran 4 inci dengan tinggi 5 cm, alat tulis dan tallysheet. Adapun peralatan yang digunakan untuk pengujian contoh uji di laboratorium berupa oven dan cawan, timbangan dan ring sampel tanah. Analisis data menggunakan Komputer, Microsoft office excel 2007, software SAS 9.1 dan Minitab 15.

3.3Jenis Data

Pengambilan data primer merupakan hal-hal yang berkaitan dengan analisis data penelitian yang dilaksanakan di lapangan antara lain:

1. Luas areal yang terbuka akibat kegiatan pemanenan yaitu TPn, jalan sarad, bekas penebangan, dan jalan angkutan kayu.

2. Sampel tanah gambut pada areal yang terbuka akibat kegiatan pemanenan dan pada hutan primer (virgin forest).


(32)

3. TMA, ketebalan, suhu dan kelembaban hutan rawa gambut di sekitar areal yang terbuka akibat kegiatan pemanenan dan pada hutan primer (virgin forest).

4. Data pertumbuhan ramin berdasarkan tinggi dan jumlah daun pada lokasi penanaman.

Data sekunder diperoleh dari kegiatan wawancara dengan warga setempat, dilengkapi dengan data yang dari dokumen perusahaan. Data yang dikumpulkan berupa:

1. Kondisi umum lokasi penelitian.

2. Data jumlah dan jenis pohon ditebang pada penelitian.

3. Peta areal kerja PT DRT, peta PWH dan sistem pemanenan PT DRT.

3.4 Metode Penelitian 3.4.1. Batasan Masalah

Pengukuran pertumbuhan ramin dan pengambilan contoh tanah dilakukan pada TPn, jalan sarad, penebangan, kiri kanan jalan angkutan dan pada hutan primer. Dalam penelitian ini parameter pengukuran pertumbuhan ramin yang dimaksud adalah tinggi dan jumlah daun pada semai ramin.

Sebagai parameter pembanding, pengukuran dilakukan juga pada hutan primer (virgin forest) dengan luas keterbukaan dinyatakan sama dengan nol. Hutan primer maksudnya adalah areal hutan yang tidak dilakukan kegiatan produksi atau pemanenan.

Untuk pengukuran suhu dan kelembaban di petak tebang dilakukan pada TPn masing-masing sub petak, hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa suhu dan kelembaban pada satu sub petak adalah sama. Selain itu pengukuran suhu dan kelembaban juga dilakukan pada pinggir rel dan di hutan primer.

3.4.2. Prosedur Penelitian

1. Pengukuran Luas Keterbukaan Areal

Pengukuran luas keterbukaan areal bertujuan untuk mengetahui luas yang terbuka akibat kegiatan pemanenan, meliputi luas TPN, jalan sarad, jalan angkut, serta luas terbuka akibat penebangan di petak manual dan mekanis. Pengukuran


(33)

luas dilakukan secara manual dengan menggunakan meteran ukur dengan panjang 50 meter. Pengukuran dilakukan pada bagian terluar dari areal yang terbuka, kemudian dari pengolahan data diperoleh luas terbuka dalam satuan m2.

2. Penanaman Bibit Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz)

Sebelum melakukan penanaman bibit ramin perlu memperhatikan kriteria bibit ramin yang siap tanam di lapangan. Menurut Kartiko (2001) di persemaian, bibit harus ditempatkan di bawah naungan. Bibit siap di tanam setelah 8-11 bulan, tinggi bibit sekitar 20 cm. Berdasarkan literatur tersebut dilakukan seleksi terhadap bibit ramin pada bedeng sapih di areal persemaian PT DRT. Selain kritria tersebut perlu diperhatikan morfologi bibit ramin yang bebas dari penyakit.

Sebelum ditanam perlu dilakukan proses aklimatisasi (pemindahan mendekati kondisi iklim lokasi penanaman) kurang lebih 2 – 4 minggu sebelum penanaman, akan tetapi dalam penelitian ini proses aklimatisasi hanya dilakukan selama empat hari sebelum penanaman. Hal ini dikarenakan kondisi iklim areal persemaian tidak jauh berbeda dengan lokasi penanaman.

Penanaman dilakukan dengan sangat hati-hati untuk tetap menjamin pertumbuhan semai sesuai dengan yang diharapkan. Penanaman dimulai dengan membersihkan lahan tempat menanam dengan memastikan tidak ada lagi tanaman atau perakaran dan kayu-kayu di atas permukaan tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan ramin, kemudian dibuat lubang berukuran lebih kurang 20 cm x 20 cm dengan kedalaman disesuaikan dengan tinggi polybag. Semai dikeluarkan dari polybag berikut dengan tanah dengan tidak mengganggu bongkahannya lalu dimasukan ke dalam lubang penanaman. Setelah ditanam lokasi tersebut diberi ajir sebagai penanda adanya penanaman sehingga memudahkan dalam pengecekan selanjutnya.

Gambar 2 Penanaman semai ramin (dari kiri ke kanan: pembersihan tempat, pembuatan lubang tanam, penanaman, dan pemasangan ajir).


(34)

3. Pengukuran Pertumbuhan Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz)

Parameter pengukuran pertumbuhan semai ramin adalah tinggi dan jumlah daun. Pemilihan parameter ini karena keterbatasan waktu penelitian yang relatif lebih singkat dibandingkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ramin termasuk jenis pohon komersial hutan gambut yang tumbuh lambat.

Pengukuran dilakukan pada pagi hingga siang hari dengan menggunakan penggaris sepanjang satu meter. Pengukuran dilakukan pada 43 semai ramin yang ditanam. Metode pengukuran yaitu mengukur tinggi ramin mulai dari leher akar sampai dengan batas tumbuhnya daun pucuk.

(a) (b) (c)

Gambar 3 Pengukuran ramin (a) munggu ke-0, (b) pengukuran di lapangan, (c) pertumbuhan daun semai ramin.

Pengukuran pertama pada anakan ramin saat masih berada di bedeng sapih. Pengukuran ini merupakan pengukuran minggu ke-nol dari delapan minggu pengamatan. Setelah ditanam di lapangan, secara rutin dilakukan pengukuran sekali seminggu untuk mengetahui pertumbuhan rata-rata ramin setiap minggunya.

4. Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan hal yang penting diperhatikan untuk mengetahui faktor luas keterbukaaan areal yang mempengaruhinya dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ramin di setiap lokasi penanaman. Pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan thermohygrometer, dengan meletakkannya pada setiap TPn pada sub petak yang diamati, untuk jalan angkutan diletakkan pada jari-jari rel selama 15 menit lalu dicatat angka yang


(35)

terbaca pada alat tersebut. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan satu kali seminggu.

5. Pengukuran Tinggi Muka Air Gambut

Pengukuran Tinggi Muka Air (TMA) dilakukan untuk mengetahui hubungan tinggi muka air dengan keterbukaan lahan akibat kegiatan produksi. Metode pengukurannya dengan mengukur jarak antara permukaan air sampai dengan permukaan serasah dengan menggunakan pengaris ukuran satu meter. Pengukuran dilakukan pada 22 titik yang masing-masing diukur sebanyak 8 kali ulangan selama delapan minggu.

Tinggi muka air selalu berubah dalam kurun waktu yang relatif singkat hal ini dikarenakan terjadinya hari hujan selama pengamatan berlansung. Jika terjadi hujan, hampir seluruh permukaan gambut tergenang air, sebaliknya jika tidak ada hujan tinggi muka air cenderung berada di bawah permukaan serasah tanah gambut.

Gambar 4 Pengukuran Tinggi Muka Air Gambut. 6. Pengukuran Ketebalan Gambut

Berdasarkan pengukuran pada penelitian sebelumnya, ketebalan gambut dapat mencapai 4-5 meter. Semakin jauh dari pantai maka ketebalan gambut semakin tinggi.

Pengukuran ketebalan gambut menggunakan batang pancang yang silindris sepanjang enam meter yang telah dimodifikasi dengan membentuk takikkan untuk mengetahui batas permukaan tanah di bawah lapisan gambut. Metode pengukurannya dengan memasukkan batang pancang silindris tersebut ke dalam tanah secara vertikal hingga terbenam sepanjang 5,5 m, kemudian mencabut dengan cara memutar batang pancang agar tanah di bawah gambut dapat


(36)

tertinggal pada takikan batang tersebut. Tanah yang tertinggal pada takikan berwarna abu-abu (tanah mineral) yang lebih liat sehingga dapat terlihat berbeda dengan tanah gambut yang berwarna coklat kehitaman (tanah gambut). Pengukuran dimulai dari takikan yang terdapat tanah mineral berwarna abu-abu sampai dengan batas batang yang dimasukkan ke dalam tanah.

(a) (b)

Gambar 5 Pengukuran ketebalan gambut (a) memasukkan kayu pengukur ke dalam tanah, (b) batas tanah mineral.

7. Pengambilan Contoh Tanah Gambut

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada hari terakhir pengukuran agar contoh tanah yang diambil dapat dipertahankan kondisinya sebelum tanah dimasukkan ke laboratorium tanah untuk menguji sifat fisiknya. Metode pengambilan contoh tanah adalah dengan menggali tanah gambut bagian atas sedalam 50 cm yang biasanya bagian atas ini masih merupakan serasah, kemudian diambil tanah utuh yang di bawahnya sedalam 50 cm dengan menggunakan plastik. Pengambilan tanah hanya pada kedalaman satu meter karena sifat fisik tanah yang diamati adalah bagian yang terkena dampak lansung keterbukaan lahan akibat pemanenan.

Tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam pipa paralon berukuran 4 inci dengan tinggi 5 cm yang dilapisi dengan plastik lalu ditutup dengan kertas

aluminium foil tujuannya untuk mempertahankan kondisi tanah agar tidak terjadi penguapan. Contoh tanah ditutup dengan plastik yang diberi label dan direkat dengan isolasi.

Pengambilan contoh tanah berlokasi di TPn, jalan sarad atau jalan seling, bekas penebangan, di kiri atau kanan jalan angkut atau jalan rel, serta pada hutan primer. Contoh tanah yang diambil berjumlah 22 sampel.


(37)

8. Pengujian Contoh Tanah

Pengujian contoh tanah dilakukan di laboratorium dengan parameter pengujian adalah sifat fisik tanah gambut yaitu kerapatan lindak (bulk density), kadar air, dan porositas tanah. Pengujian dilakukan selama satu minggu dengan menggunakan alat uji laboratorium antara lain ring sample dan oven sebagai alat pengering tanah.

Rumus- rumus yang digunakan dalam pengolahan data yang diperoleh adalah :

1. Kadar air

� (%) =�[( + �� ℎ � )−( + �� ℎ ��� �)]

( + �� ℎ ��� �)− �

∗100%

2. Bulk density

(�/ ) = �� ��� �

��� �

3. Porositas Tanah

� =�1− �

1 �� ∗100%

(Sitorus et al. 1980)

9. Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif dengan melakukan pembacaan tabel dan gambar sedangkan analisis statistik dengan menggunakan Microsoft office excel 2007, software Statistical Analysis Software (SAS) 9.1 melalui metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dan Minitab 15 dengan analisis Regresi Komponen Utama (RKU).


(38)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

PT. Diamond Raya Timber (DRT) telah memulai operasinya pada tahun 1979 berdasarkan surat izin No.403 Kpts/UM/6/1979 di dalam hutan rawa gambut alami berdasarkan sistem silvikultur Tebng Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yang berlaku di Indonesia. Luasan areal menurut SK pertama adalah seluas 115.000 ha dan berakhir pada tanggal 27 Juni 1999. Pada tahun 1998, PT DRT mendapatkan SK izin perpanjangan kedua dengan total areal konsesi menjadi 90.956 ha (SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 443/Kpts-II/1998 tanggal 8 Mei 1998) (PT DRT 2009).

Berdasarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.56/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem, rencana pengelolaan hutan terbagi dalam rencana kerja 10 tahunan (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT). Berdasarkan hasil penataan menurut RKPH, areal efektif produksi PT DRT adalah seluas 82.016 ha. Untuk lebih menjamin tercapainya kelestarian hutan, PT DRT mengambil kebijakan tambahan untuk mengalokasikan sebagian areal produktifnya menjadi Kawasan Lindung Gambut (KLG) seluas 4.593 ha sehingga luas areal produktif menjadi 76.523 ha. Proyeksi pemanenan RKU 2010-2019 akan mencakup total 10 tahun dengan perkiraan areal produksi seluas 17.750 ha dengan estimasi produksi 896.256,65 m3 (PT DRT 2009).

PT DRT berhasil membuktikan bahwa hutan rawa gambut dapat dikelola secara lestari melalui sertifikat pengelolaan hutan alam lestari yang diperoleh pada tahun 2001. Sertifikat tersebut memberlakukan perizinan penebangan pohon ramin di PT DRT (Maryani 2009).

4.2 Letak dan Luas Areal 4.2.1Batas Geografis

Secara geografis areal hutan yang termasuk dalam konsesi IUPHHK PT. Diamond Raya Timber terletak pada koordinat 100050’ – 101013’ Bujur Timur


(39)

dan 001045’ – 002018’ Lintang Utara. Batas-batas wilayah konsesi PT. Diamond Raya Timber dan lahan yang berbatasan yaitu sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan lahan milik masyarakat, sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka dan bekas PT. Silvasaki, sebelah selatan berbatasan dengan bekas HPH PT. Silvasaki, dan bekas HTI PT. Riau Tanah Putih, dan sebelah barat berbatasan dengan lahan milik masyarakat dan perkebunan kelapa sawit PT. Gunung Mas Raya dan PT. Sindora Seraya (PT DRT 2010).

Berdasarkan letak administratif pemerintahan PT. Diamond Raya Timber terletak di Propinsi Riau; Kabupaten/Kota Rokan Hilir dan Kota Dumai; Kecamatan Sinaboi, Bangko, Batu Hampar, Rimba Melintang, dan Sungai Sembilan. Secara administrasi kehutanan, PT DRT terletak di Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Rokan Hilir dan Kota Dumai.

4.2.2 Luas

Berdasarkan hasil pengukuran batas IUPHHK yang telah dilakukan oleh Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan yang di-overlay dengan peta interpretasi potret udara, peta tata guna hutan (TGHK) dan peta rencana tata ruang propinsi (RTRWP) serta peta interpretasi citra Lansad TM 542 Path/Row 127/59 liputan januari 1997, luas areal yang dinyatakan sebagai areal kerja IUPHHK PT. Diamond Raya Timber adalah 90.956 ha. Hal tersebut telah disesuaikan melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 443/Kpts-II/1998 tanggal 8 Mei 1998 (perpanjangan IUPHHK). Surat izin berlaku untuk periode 20 tahun dan akan habis pada tanggal 07 Mei 2019 (PT DRT 2010).

4.3 Kondisi Fisik Hutan 4.3.1 Topografi

Keadaan topografi areal IUPHHK PT DRT terdiri atas dataran rendah pantai dan dataran dengan ketinggian 2-8 m dpl. Pada umumnya areal PT DRT merupakan daerah lahan basah tergenang air (rawa) yang mempunyai kelerengan di bawah 8%. Tinggi genangan air bervariasi tergantung musim, pasang tinggi air laut dan curah hujan yang berkisar antara pergelangan kaki sampai pinggang orang dewasa (PT DRT 2010).


(40)

4.3.2 Hidrologi

Areal kerja IUPHHK PT DRT terletak di bagian timur DAS Sungai Rokan dengan beberapa sungai yang mengalir ke barat dan selatan, utara dan timur (Selat Malaka). Sungai-sungai yang mengalir ke bagian barat-selatan yang bermuara ke Sungai Rokan adalah Sungai Pasir Besar, Sungai Agar, Sungai Labuan Tangga Besar, Sungai Labuan Tangga Kecil dan Sungai Bantaian. Sungai-sungai yang ke Utara dan ke arah Timur bermuara ke Selat Malaka adalah Sungai Serusa, Sungai Pematang Nibung, Sungai Nyamuk, Sungai Sinaboi, Sungai Teluk Dalam, Sungai Sinepis Besar dan Sungai Sinepis Kecil. Sungai yang mengalir dari bagian selatan ke arah utara adalah Sungai Sekusut.

Air pada genangan rawa berwarna cokelat tua yang berasal dari tanah gambut. Pelumpuran yang terjadi sangat sedikit, kecuali yang dekat dengan aliran Sungai Rokan.

Kedalaman Sungai Rokan dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Mulai tahun 2009 base camp (log pond) dipindahkan ke Sungai Sinepis mengingat areal kerja blok RKT berada lebih dekat dengan Sungai Sinepis (PT DRT 2010).

4.3.3 Geologi

Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah PPT dan Agroklimat, Bogor (1990) dalam PT DRT (2010). Lembar Dumai dan Bagan Siapiapi (0817 dan 0818) formasi geologi areal hutan IUPHHK PT. Diamond Raya Timber terdiri dari sedimen aluvium tersier dan kuarter. Formasi tersier menempati daerah antiklinarium yang ditempati daerah telisa (Tmt). Formasi telisa dicirikan oleh batu-batu lumpur kelabu bergamping dengan sedikit sisipan batu gamping dan busa gamping. Kandungan deposit bahan tambang di areal kerja IUPHHK PT. Diamond Raya Timber sampai saat ini belum diketahui.

Formasi kuarter ditempati formasi endapan permukaan muda (Ph) dan endapan permukaan tua (Qp). Endapan permukaan muda merupakan daerah yang didominasi oleh bahan organik berupa kubah gambut dan hanya sebagian kecil terbentuk dari lempung yang membentuk aluvial sungai. Endapan permukaan tua adalah daerah basah (basin) dan daerah kering (upland) (PT DRT 2010).


(41)

4.3.4 Tanah

Fisiologi tanah di areal PT. Diamond Raya Timber berdasarkan Buku Satuan Lahan dan Tanah Lembar Dumai, dikelompokkan ke dalam tiga grup, yaitu Grup Kubah Gambut, Grup Aluvial dan Grup Marin. Grup Kubah Gambut mendominasi areal ini, yang berkembang dari endapan organik permukaan muda (Ph) dan tua (Qp). Secara umum tanah gambut semakin tebal jika makin jauh dari sungai. Ketebalan gambut bisa melebihi tiga meter dibagian pinggir dan dapat mencapai delapan meter dibagian tengah-selatan. Terdapat pula sedikit tanah glay, aluvial dan podzolik.

Grup alivial berkembang dari endapan aluvial sungai dan menempati jalur aliran sungai yang ditandai dengan adanya pasang surut. Dataran banjir dari sungai bermeander terutama membentuk rawa belakang yang luas dan selalu jenuh air (PT DRT 2010).

4.3.5 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmid dan Furgoson (1951) dalam PT DRT (2010b), areal kerja IUPHHK PT. Diamond Raya Timber termasuk kedalam tipe A dengan nilai Q adalah 10,1%. Curah hujan per tahun 2.358 mm, sedangkan curah hujan bulanan rata-rata berkisar 51,32 - 301,6 mm/bulan, curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Maret (51,3 mm/bulan) dan Juli (73,80 mm/bulan). Rata-rata hari hujan adalah 12 hari/bulan, hari hujan tertinggi jatuh pada bulan Nopember (14 hari/bulan) dan terendah pada bulan Februari (3,3 hari/bulan).

Suhu udara rata-rata di areal kerja PT. Diamond Raya Timber hampir merata sepanjang tahun yaitu berkisar antara 25oC - 27oC. Demikian juga kelembaban nisbi bulanannya yaitu antara 79% - 90%. Rata-rata kecepatan angin berkisar antara 8 - 21 km/jam. Belum pernah dilaporkan adanya angin puting beliung. Arah angin yang umum terjadi pada bulan-bulan tertentu pada yaitu Timur Laut pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret; Tenggara pada bulan April, Mei, Juli dan September; Selatan pada bulan Juni dan Agustus; Barat Laut pada bulan Nopember, serta Barat Daya terjadi pada bulan Oktober.

Pada umumnya presipitasi mencukupi dan tersebar dengan baik guna mengurangi resiko kebakaran hutan. Namun demikian, iklim luar biasa dapat


(42)

terjadi berkaitan dengan el nino yang menyebabkan musim kemarau panjang sehingga meningkatkan resiko kebakaran hutan dari aktivitas kerja masyarakat lokal di sekitar batas hutan. PT DRT telah memiliki prosedur pencegahan kebakaran dan pemadamannya (PT DRT 2010).

4.4 Keadaan Hutan

4.4.1 Tipe Hutan dan Asosiasi Vegetasi

Terdapat dua tipe utama ekosistem hutan di dalam areal keja IUPHHK PT DRT yaitu hutan rawa gambut dan hutan mangrove, serta diantara kedua tipe tersebut terdapat daerah peralihan yang disebut daerah ekoton. Luas kawasan lindung gambut di PT DRT adalah 4.670,28 ha, sedangkan hutan mangrove dan ekoton 3.204,93 ha. Tipe hutan rawa gambut di areal keja IUPHHK PT DRT termasuk tipe gambut pantai yang terletak di daerah depresi antara Sungai Rokan dan Selat Malaka. Berdasarkan asosiasi vegetasi terdapat tiga asosiasi hutan rawa gambut mulai dari gambut dangkal sampai gambut dalam. Masing-masing asosiasi vegetasi diberi nama menurut jenis pohon komersil yang dominan, yaitu asosiasi Terentang-Pulai pada ketebalan gambut < 3 m, asosiasi Balam-Meranti Batu pada ketebalan gambut 3-6 m dan asosiasi Ramin-Suntai pada ketebalan gambut > 6 m.

Tipe ekosistem hutan mangrove areal keja IUPHHK PT DRT terletak di pantai Utara-Timur yang berbatasan dengan Selat Malaka. Pada lokasi tersebut terbentuk habitat berlumpur yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan sesuai dengan pertumbuhan hutan mangrove. Lebar jalur hutan mangrove berkisar 200 – 800 m. Zonasi hutan mangrove dari arah laut meliputi asosiasi Sonneratia-Rhizospora spp. yang disusul oleh asosiasi Xylocarpus-Bruguiera spp., sedangkan dari arah tepi sungai dimulai dengan nipah (Nypa fruticans), Xylocarpus granatum sampai Bruguiera cylindrica di bagian tengah. Terdapat juga areal tak berhutan dan belukar (PT DRT 2010).

4.4.2 Pemanfaatan Lahan di Sekitar Areal Konsesi

Berdsarkan karakteristik fisiografi ekosistem hutan rawa gambut, areal yang termasuk kategori subur, yaitu areal yang terdapat deposit tanah mineral (aluvial),


(43)

berada di sepanjang sisi sungai dan pantai. Di lokasi tersebut biasanya terdapat pemukiman warga (desa atau kecamatan) dan lahan pertanian intensif. Di areal tersebut juga terdapat jalan aspal yang menghubungkan kota Pekanbaru dan Dumai dengan Bagan Siapiapi.

Penggunaan lahan di luar areal hutan meliputi pemukiman warga, tanah garapan/pertanian tanaman pangan, perkebunan milik masyarakat lokal (khususnya perkebunan kelapa sawit), perkebunan sawit swasta serta lahan semak dan tanah yang terabaikan (PT DRT 2010).

4.4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat di sekitar areal PT. DRT sebagian besar adalah suku Melayu dan keturunan etnis Cina (di daerah Sinaboi, Sungai Bakau, Bagan Hulu dan Bagan Timur), sebagian kecil lainnya adalah pendatang dari Pulau Jawa, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan sebagainnya.

Mata pencaharian masyarakat di sekitar areal PT. DRT antara lain adalah nelayan, petani padi dan tanaman pangan lainnya, perkebunan kelapa sawit hasil hutan kayu dan non kayu. Permasalahan ekonomi masyarakat di sekitar areal PT. DRT antara lain adalah sebagian besar termasuk masyarakat miskin dengan mata pencarian rata-rata pertanian, berpendidikan rendah tanpa didukung fasilitas yang memadai, interaksi masyarakat dengan perusahaan terfokus hanya pada daerah berlangsungnya aktifitas (PT DRT 2010).


(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemanenan Hasil Hutan Kayu PT. Diamond Raya Timber

Sistem pemanenan kayu di HPH PT. Diamond Raya Timber menggunakan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Berdasarkan penggunaan jenis tenaga, PT DRT membagi petak-petak tebang ke dalam dua sistem yaitu petak manual dan petak semi mekanis. Petak manual adalah blok tebang yang direncanakan dalam RKT dengan sistem produksi kayunya menggunakan tenaga manusia, meliputi penebangan, pembagian batang, dan penyaradan. Pada petak manual ini areal blok tebang seluas 100 ha dibagi ke dalam delapan sub petak dengan luas masing-masing 12,5 ha. Petak semi mekanis merupakan blok tebang yang direncanakan dalam RKT dengan sistem produksi kayunya menggunakan tenaga mesin (logfisher) yang digunakan hanya pada penyaradan. Petak semi mekanis dalam satu blok tebang dibagi ke dalam enam sub petak dengan ukuran luas masing-masing adalah 16,67 ha.

Pemanenan hasil hutan kayu merupakan rangkaian kegiatan pengusahaan hutan yang bertujuan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dengan cara memindahkan kayu dari dalam hutan ke tempat pengolahan kayu. IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber melaksanakan sistem pemanenan yang menjamin agar kegiatan pemanenan kayu terlaksana dengan baik dan efektif berdasarkan prinsip kelestarian hutan dan kelestarian produksi. Berdasarkan penjelasan manajer produksi PT DRT, dalam pelaksanaannya pemanenan hutan dilakukan sesuai dengan tahapan pemanenan, yang meliputi Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), pembagian petak tebang, penandaan pohon (tree marking), penentuan Jatah Pohon Tebang (JPT), penebangan, checking tebangan, pengukuran dan pengujian kayu (scalling and grading), bersih petak, pemuatan, pengangkutan, dan pembongkaran, serta Change of Custody (CoC) atau lacak balak dan log control.

Pada penelitian ini hanya membahas mengenai pembukaan wilayah hutan (yang meliputi TPn, jalan sarad, dan jalan angkut) serta penebangan.

Kegiatan pembukaan wilayah hutan merupakan kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kepentingan pengusahaan hutan meliputi kegiatan


(45)

pembangunan jalan angkutan kayu, base camp, TPn, dan log pond. Kegiatan PWH terdiri atas beberapa langkah kegiatan yaitu perintisan jalan, tebang bayang matahari, pengadaan jari-jari, pemasangan besi sel, pengadaan rambu-rambu jalan, pemeliharaan jaringan jalan, bongkar pasang jalan as dan pembongkaran besi sel (PT DRT 2010).

Tempat pengumpulan kayu (TPn) adalah bangunan hutan yang disediakan untuk mengumpulkan kayu-kayu hasil penebangan di petak tebang sebelum dimuat ke alat angkut. Pada hutan gambut, TPn hanya bersifat sementara, untuk itu diupayakan lahan yang terbuka akibat pembuatan TPn harus diminimalkan, maka setelah dilakukan penebangan dilakukan penanaman untuk mengembalikan fungsinya sebagai areal hutan produksi. Hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan TPn adalah minimal ada satu pohon berdiri yang ada di antara bangunan TPn, memastikan areal tersebut hanya untuk keperluan TPn, memastikan maksimal hanya ada 6 pelabuhan dalam 1 TPn, petak kerja menghadap ke rel, dan tidak menggunakan jenis kayu-kayu jenis komersil (PT DRT 2010)

Jalan sarad adalah jalan hutan yang menghubungkan tunggak dengan TPn yang berada di dalam petak tebang areal hutan. Langkah-langkah kegiatan pembuatan jalan sarad yaitu perintisan jalan as, pembuatan jalan as, dan pembuatan jalan sarad. Jalan as adalah pondasi jalan sarad dengan bantalan yang menbujur menuju TPn berbentuk dua garis yang sejajar. Perintisan jalan dilakukan untuk mempermudah pembuatan jalan as. Pola jalan sarad yang dibuat adalah seperti sirip ikan.

Jalan angkut adalah jalan yang meghubungkan TPn dengan tempat penimbunan kayu (TPK). Pada hutan gambut digunakan jalan rel dengan alat angkut yaitu 16 buah lori yang ditarik mengunakan lokomotif.

Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon tegakan yang berdiameter sama atau lebih besar dari diameter batas yang ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan pada pohon-pohon jenis komersil di petak tebang pada periode RKT berlansung dengan tujuan menjamin agar kegiatan pemanenan kayu terlaksana dengan baik dan efektif berdasarkan prinsip kelestarian hutan. Operator


(46)

chainsaw harus menguasai teknik penebangan pohon sesuai dengan karakter pohon tersebut dalam pelaksanaan penebangan.

Upaya pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan PWH yang dilakukan oleh PT DRT adalah penanaman pada areal terbuka yaitu di kiri kanan jalan dan pada areal sekitar sempadan sungai.

5.2 Keterbukaan Areal

Kegiatan pemanenan akan menimbulkan keterbukaan areal, dalam hal ini meliputi penebangan pohon, pembuatan jalan sarad dan jalan seling, pembuatan TPn dan pembuatan jalan angkutan kayu. Pengukuran terhadap masing-masing luas tersebut berlokasi di tiga sub petak dengan pengerjaan menggunakan sistem manual dan tiga sub petak dengan pengerjaan menggunakan sistem mekanis.

Tabel 1 Rata-rata keterbukaan areal pada masing-masing lokasi Lokasi

Rata-rata keterbukaan

(m2/ha)

Rata-rata keterbukaan

m2/pohon

% Keterbukaan

Manual

TPN 750,00 - 7,50

Jalan sarad 160,00 - 1,60

Penebangan 802,90 50,18 8,03

Jumlah 1712,90 - 17,13

Semi Mekanis

TPN 327,96 - 3,28

Jalan sarad 51,03 - 8,64

Penebangan 1036,86 60,99 10,37

Jumlah 1415,85 - 22,29

Jalan angkut 600 - 6,00

Hutan primer 0 - 0,00

Total 3728,75 -

Tabel 1 menunjukkan luas areal yang terjadi akibat kegiatan pemanenan, meliputi areal penebangan, bekas jalan sarad, bekas TPn dan jalan angkut pada RKT 2010, 2011, dan 2012 di petak tebang manual dan mekanis. Keterbukaan areal total akibat pemanenan adalah 3.728,75 m2/ha dengan masing masing keterbukaan areal di petak manual 1.712,90 m2/ha, di petak semi mekanis 1.415,85 m2/ha, dan jalan angkut adalah 600 m2/ha. Rata-Rata keterbukaan areal paling tinggi terjadi di penebangan pada petak semi mekanis, yaitu 1.036,86 m2/ha dengan intensitas pohon ditebang 17 pohon, namun untuk satu pohon rata-rata keterbukaan sedang yaitu 60,99 m2.


(47)

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Enrico (1997) pada hutan rawa gambut yang menghasilkan keterbukaan akibat TPn 0,8 ha/blok tebang, jalan sarad 0,04-0,05 ha/blok tebang serta jalan angkut dan pemanenan itu sendiri 0,4-0,6 ha/ blok tebang. Keterbukaan total akibat pemanenan adalah 6.775,67 m2/blok tebang. Akan tetapi tidak dijelaskan pengukuran tersebut dilakukan pada pemanenan manual atau mekanis. Penelitian Kurniawan (2002) menyebutkan rata-rata keterbukaan yang ditimbulkan oleh penebangan adalah 1.679 m2/ha dengan intensitas tebang 29 pohon/ha atau 57,89 m2/pohon dan rata-rata keterbukaan akibat penyaradan adalah 571,68 m2/ha dengan rata-rata panjang jalan 329,05 m dan lebar 1,44 m. Pada hutan tropis Kalimantan (hutan bukan gambut), penelitian yang dikemukakan oleh Nasution (2009) menghasilkan luas terbuka akibat pembuatan TPn, jalan sarad, penebangan dan jalan angkut berturut-turut adalah 0,12%; 17,72%; 196,85 m2/pohon dan 4,7%. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan nilai yang diperoleh dari hasil penelitian ini yang disebabkan oleh perbedaan kondisi hutan dan metode pengukuran yang berbeda pula. Semakin sedikit areal yang terbuka dengan produktivitas tertentu maka kegiatan pemanenan hutan kayu semakin baik untuk kelestarian hutan.

Penggunaan logfisher pada petak semi mekanis menyebabkan keterbukaan areal lebih tinggi dari pada petak manual. Berdasarkan rasio keterbukaan areal pada petak manual dengan petak semi mekanis tanpa menggunakan logfisher, diperoleh luas keterbukaan pada petak manual 1,21 kali lebih luas daripada keterbukaan areal di petak semi mekanis, sedangkan jika menggunakan logfisher keterbukaan areal pada petak manual 0,71 kali dari luas keterbukaan petak semi mekanis. Penambahan luas keterbukaan areal oleh logfisher sebesar 1000 m2/ha atau sebesar 70,6%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan logfisher dapat menyebabkan keterbukaan areal di petak semi mekanis meningkat.

5.3 Sifat Fisik Tanah Gambut Setelah Pemanenan

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 22 buah yang diambil dari areal yang terbuka dan hutan primer. Karakteristik tanah gambut dapat dilihat melalui analisis sifat fisika dan kimianya. Sifat fisik tanah yang diukur melalui contoh


(48)

tanah pada 22 titik pengambilan meliputi kadar air, bulk density dan porositas tanah gambut.

Tabel 2 Perubahan sifat fisik tanah akibat pemanenan Sifat Fisik

Tanah

Petak manual Petak semi mekanis

Jalan angkut

Hutan primer TPN Jalan

sarad

Bekas tebangan

TPN Jalan sarad

Bekas tebangan

kadar air (%) 755,30 784,79 635,73 858,58 746,41 947,24 741,13 684,3

Bulk density

(g/cm3)

0,12 0,12 0,14 0,11 0,12 0,1 0,12 0,14

Porositas (%) 88,77 88,53 85,76 89,42 88,02 90,45 88,24 86,43

Kadar air gambut sangat penting diketahui, salah satunya untuk merancang tata letak drainase yang efisien. Menurut Andriesse (1988) kadar air tanah gambut di pengaruhi oleh kematangan gambut, derajat dekomposisi, dan asal botanis bahan organik pembentuknya. Hasil analisis tanah gambut pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kadar air pada hutan primer 684,3% dan pada areal terbuka berkisar 635,73% - 947,24% dengan kedalaman satu meter. Nilai tersebut berada dalam kisaran nilai kadar air pada penelitian Noor (2001) yaitu antara 500% - 1000%. Penelitian Utama (2012) menyatakan bahwa kadar air pada ketebalan 5 m di hutan primer dan LOA (Logged Over Area) adalah 886,03% dan 884,18%. Nilai tersebut lebih tinggi dari pada hasil penelitian ini yaitu 684,3% pada hutan primer dan pada areal terbuka berkisar 635,73% - 947,24% dengan ketebalan 1 m. Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan juga dapat mempengaruhi jumlah kadar air tanahnya, selain itu metode pengambilan contoh tanah dan waktu pelaksanaan juga dapat menyebabkan perbedaan nilai tersebut.

Porositas tanah merupakan persentase volume ruang tanah yang ditempati oleh udara dan air (Hardjowigeno 2007). Menurut Andriesse (1988) porositas tanah gambut tergantung pada nilai bulk density-nya. Semakin rendah bulk density-nya maka semakin tinggi nilai porositas tanahnya. Rata-rata porositas tanah pada lokasi penelitian berkisar antara 85,76% - 90,45% dimana nilai porositas pada hutan primer adalah 86,43%. Data ini didukung oleh penelitian Mardiana (2006) yang menyatakan nilai porositas tanah pada hutan alam gambut adalah 88,40%, nilai ini berada dalam kisaran hasil uji porositas tanah pada penelitian ini. Pada penelitian Boetler (1974) dalam Andriesse (1988)


(1)

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 6 25.907 4.318 0.70 0.654

Residual Error 15 92.487 6.166

Total 21 118.394

tinggi (cm) suhu (oC) kelembaban (%) Kedalaman KA (%) BD (g/cm3) Porositas (%)

6.55 33.8 67 4.35 816.49 0.11 89.47

7.50 33.8 67 4.64 589.89 0.14 86.29

5.65 33.8 67 4.78 692.95 0.12 88.2

5.65 36.0 58 4.00 816.49 0.11 89.47

5.00 36.0 58 4.00 724.11 0.13 87.31

1.95 36.0 58 4.11 1011.62 0.1 90.37

3.00 36.6 59 4.24 632.91 0.13 87.36

7.50 36.6 59 4.36 925.24 0.1 90.46

4.70 36.6 59 4.41 649.81 0.13 87.02

5.15 37.0 56 3.50 738.82 0.12 87.99

1.25 37.0 56 3.81 790.68 0.11 88.84

3.10 37.0 56 3.72 1085.39 0.08 91.87

3.20 37.9 57 4.30 1018.16 0.09 90.9

4.85 37.9 57 4.41 542.59 0.16 83.87

9.30 37.9 57 4.48 823.25 0.11 89.15

3.40 37.9 57 4.37 818.76 0.11 89.36

6.40 37.9 57 4.41 573.92 0.15 84.57

10.10 37.9 57 4.42 933.09 0.1 90.32

4.60 36.7 56 4.37 813.314 0.11 89.258

4.40 34.7 61 2.92 668.943 0.13 87.23

6.40 35.5 65 3.94 684.3 0.14 86.43


(2)

73

Principal Component Analysis: z1, z2, z3, z4, z5, z6 Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 3.2686 1.5434 1.0114 0.1263 0.0454 0.0050 Proportion 0.545 0.257 0.169 0.021 0.008 0.001 Cumulative 0.545 0.802 0.971 0.992 0.999 1.000

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 C16 -0.279 0.670 0.056 0.589 0.348 0.046 C17 0.339 -0.598 0.131 0.640 0.318 -0.007 C18 0.040 0.076 0.986 -0.109 -0.088 -0.008 C19 -0.519 -0.219 0.021 0.420 -0.711 0.008 C20 0.524 0.238 -0.051 0.143 -0.364 0.716 C21 -0.511 -0.290 0.061 -0.186 0.362 0.69

Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6

-1.67213 1.517453 0.465527 0.281489 -0.45504 0.582317 -1.67213 1.517453 1.164366 -1.23107 1.046588 -0.97427 -1.67213 1.517453 1.501736 -0.54314 0.045504 -0.03934 -0.17998 -0.4914 -0.3779 0.281489 -0.45504 0.582317 -0.17998 -0.4914 -0.3779 -0.33515 0.546046 -0.47498 -0.17998 -0.4914 -0.11282 1.583984 -0.95558 1.022859 0.236819 -0.25351 0.200451 -0.94391 0.546046 -0.45051 0.236819 -0.25351 0.489625 1.007397 -0.95558 1.066913 0.236819 -0.25351 0.610114 -0.8311 0.546046 -0.61694 0.495237 -0.75572 -1.58279 -0.23696 0.045504 -0.14213 0.495237 -0.75572 -0.83576 0.109207 -0.45504 0.273937 0.495237 -0.75572 -1.05264 2.0764 -1.95666 1.757096 1.07876 -0.54426 0.345038 1.627639 -1.45612 1.28229 1.07876 -0.54426 0.610114 -1.5468 2.047672 -2.15884 1.07876 -0.54426 0.7788 0.326612 -0.45504 0.42568 1.07876 -0.54426 0.513723 0.296642 -0.45504 0.528473 1.07876 -0.54426 0.610114 -1.33767 1.54713 -1.81619 1.07876 -0.54426 0.634212 1.059796 -0.95558 0.998385 0.245155 -0.91432 0.513723 0.260289 -0.45504 0.478545 -1.04693 0.301568 -2.98047 -0.70339 0.546046 -0.51414 -0.52176 1.068104 -0.52249 -0.60088 1.046588 -0.90574 -1.78884 2.75977 -0.59478 -0.60088 1.046588 -0.90574


(3)

6 5

4 3

2 1

3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

Component Number

E

ig

e

n

v

a

lu

e

Scree Plot of C1 6 , ..., C2 1

Score

komponen utama :

W1 W2

0.317737 -2.3301 2.713831 -1.1374 1.367603 -1.77162

-0.81368 -0.19435 0.571654 0.485412 -1.96666 -0.70599 0.862505 0.792336 -1.70154 -0.40996 0.905479 0.847085 -0.23861 0.767044 -0.86333 0.508278

-3.43848 -0.72595 -2.73561 -0.00047 2.518592 2.545775 -1.08016 0.803641 -1.12779 0.760227 1.972452 2.281601 -2.02167 0.34706 -0.97583 0.445542 1.188937 -0.67469 1.810176 -0.38425 2.734398 -2.24922


(4)

75

Regresi komponen Utama :

Regression Analysis: tinggi (cm) versus W1, W2

The regression equation is

tinggi (cm) = 5.03 + 0.033 W1 + 0.212 W2

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 5.0250 0.5287 9.50 0.000

W1 0.0332 0.2993 0.11 0.913 1.000 W2 0.2122 0.4356 0.49 0.632 1.000

S = 2.48001 R-Sq = 1.3% R-Sq(adj) = 0.0%

PRESS = 161.219 R-Sq(pred) = 0.00%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 2 1.535 0.768 0.12 0.883 Residual Error 19 116.859 6.150

Total 21 118.394

Transformasi ke Z

tinggi (cm) = 5.03 + 0.033 w1 + 0.212 w2

= 5.03 + 0.1328 Z1 - 0.1156Z2 + 0.0174 Z3 – 0.0637 Z4 + 0.0677 Z5 - 0.0783 Z6 Transformasi ke X


(5)

IFANI RUSVADILLA. Perubahan kondisi lingkungan dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) akibat keterbukaan areal pada hutan rawa gambut di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Dibimbing oleh UJANG SUWARNA.

Hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe hutan yang memiliki ekosistem spesifik dan rapuh dengan habitat lahan yang kaya akan bahan organik, sehingga diperlukan pengelolaan yang baik dan hati-hati untuk mencapai kelestarian produksi dan ekologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur luas hutan rawa gambut yang terbuka akibat kegiatan pemanenan, menganalisis faktor-faktor yang dipengaruhi oleh keterbukaan areal meliputi pertumbuhan semai ramin, sifat fisik tanah, tinggi muka air (TMA) serta suhu dan kelembaban dan menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) antara lain sifat fisik tanah, ketebalan gambut, serta suhu dan kelembaban. Keterbukaan lahan akibat pemanenan diharapkan pulih kembali dengan melakukan upaya penanaman kembali lahan tersebut.

Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif dengan melakukan pembacaan tabel dan gambar sedangkan analisis statistik

dengan menggunakan Microsoft office excel 2007, software Statistical Analysis Software

(SAS) 9.1 melalui metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dan Minitab 15

dengan analisis Komponen Utama (RKU).

PT. Diamond Raya Timber telah melaksanakan pemanenan hutan yang sesuai dengan prinsip kelestarian hutan, salah satunya menerapkan teori Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) pada bagian awal tahap pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menimbulkan keterbukaan areal, dalam hal ini meliputi penebangan pohon, pembuatan jalan sarad dan jalan seling,

pembuatan TPn dan pembuatan jalan angkutan kayu. Keterbukaan areal total akibat

pemanenan adalah 3.728,75 m2/ha, keterbukaan di petak manual 1.712, 90 m2/ha, di petak

mekanis 1.415,85 m2/ha dan jalan angkut 600 m2/ha. Luas keterbukaan areal pada petak

mekanis dapat lebih tinggi jika memperhitungkan keterbukaan areal akibat manuver logfisher

sebesar 1000 m2/ha atau sebesar 70,6%.

Keterbukaan areal dapat menimbulkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan dan

mempengaruhi pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz). Kondisi

lingkungan ini meliputi sifat fisik tanah (kadar air, bulk density, dan porositas), tinggi muka

air, suhu, dan kelembaban. Analisis data menunjukkan secara keseluruhan keterbukaan areal mempengeruhi seluruh variabel tersebut.

Secara deskriptif semai ramin lebih cepat tumbuh dengan kondisi tempat tumbuh yang agak terbuka karena pada tingkat semai, ramin merupakan jenis semi toleran. Analisis

hubungan pertumbuhan ramin terhadap sifat fisik tanah (kadar air, bulk density, dan

porositas), ketebalan, suhu, dan kelembaban gambut menyatakan hubungan yang tidak nyata. Artinya variabel tersebut memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap pertumbuhan semai ramin.


(6)

SUMMARY

IFANI RUSVADILLA. Change of enviromental conditions and growth of ramin (Gonystylus

bancanus (Miq.) Kurz) seedlings due land clearance on peat swamp forest IUPHHK PT. Diamond Raya Timber, Riau Province. Supervised by UJANG SUWARNA

Peat swamp forests is one of the forest type that has a specific and fragile ecosystem with the land that is rich in organic materials, so it needed proper management to achieve production and ecological sustainability. This research was purpose to measure the area of peat swamp forest that are open due to harvesting activity, analyze the factors that influenced by the openness of the area include the growth of ramin, physical properties if soils, water table, temperature, humidity and analyze the factors that influence the growth of ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) such as physical properties of soil, peat depth, temperature and humidity. The openness of land due to harvesting is expected to recover by making efforts to replant the area.

Data analysis was carried out trough the descriptive and statistic analysis. Descriptive analysis by doing reading tables and images while statistic analysis using microsoft office

excel 2007 software, Statistical Analysis Software (SAS) 9.1 trough Multivariate Analysis of

Variance (MANOVA) and Minitab 15 by principal component analysis (RKU).

PT. Diamond raya timber has exercised the harvesting of a forest to the principle of sustainability, one applies the theory of forest opening at the beginning stages of harvesting. The Purpose is to decrease high levels of openness to the harvesting, besides that PWH can also reduce the damage to the forest live and the reduce cost of harvesting. Harvesting activities can cause openess of the area, that means logging trees, building a skid road and seling road, and the road making TPn and manufacture of road transport of wood. The

openness of the total harvesting is due to 3.728,75 m2/ha. Openness area in manual plots is

1.712, 90 m2/ha, in mechanical plots 1.415,85 m2/ha, and road transport of wood 600 m2/ha.

Openess the area in mechanical plots can be higher if take into account the openess of area

due to maneuver logfisher equal to 1000 m2/ha or as much as 70,6 %.

Openness of area could result in the occurrence of a change of the weather conditions

and the growth of semai ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz). The environmental

condition these involve the physical characteristics of land (soil water content, bulk density, porosity), and top of water level, temperature, and moisture. Analysis of data overall openess the influential real against all variables such.

Based on descriptive analysis, ramin grow faster to the condition as rather open area, because at that level ramin is a kind of semi tolerant. Through analysis growth ramin against the physical characteristics of land (soil water content, bulk density, porosity), the thickness of soil, the temperature, and moisture peat expresses the relation of are not real. It means variables such give impact of the very small on the growth of semai ramin.