Pembuatan Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kelapa Murni (VCO), Minyak Kelapa Sawit, dan Minyak Kedelai Serta Uji Aktivitas Antibakteri
PEMBUATAN SABUN MADU TRANSPARAN
DENGAN MINYAK KELAPA MURNI (VCO),
MINYAK KELAPA SAWIT, DAN MINYAK KEDELAI
SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
SKRIPSI
OLEH:
ELISA MONIKA SIMANJUNTAK
NIM 121524068
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PEMBUATAN SABUN MADU TRANSPARAN
DENGAN MINYAK KELAPA MURNI (VCO),
MINYAK KELAPA SAWIT, DAN MINYAK KEDELAI
SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ELISA MONIKA SIMANJUNTAK
NIM 121524068
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
PEMBUATAN SABUN MADU TRANSPARAN
DENGAN MINYAK KELAPA MURNI (VCO),
MINYAK KELAPA SAWIT, DAN MINYAK KEDELAI
SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
OLEH:
ELISA MONIKA SIMANJUNTAK NIM 121524068
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 13 Desember 2014
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt. Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195406281983031002 NIP 195707231986012001
Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt. Pembimbing II, NIP 195406281983031002
Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt. Dra. Masria Lasma Tambunan,M.Si., Apt.
NIP 195006121980032001 NIP 195005081977022001
Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt. NIP 195001261983031002
Medan, Januari 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara a.n Dekan,
Wakil Dekan I,
Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kasih, rahmat dan karunia-Nya yang tidak terhingga sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pembuatan Sabun Madu
Transparan Dengan Minyak Kelapa Murni (VCO), Minyak Kelapa Sawit, dan
Minyak Kedelai Serta Uji Aktivitas Antibakteri. Skripsi ini diajukan sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio
Hadisahputra., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah
memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dr.
Masfria, M.S., Apt., selaku penasehat akademis yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi
USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Bapak Drs. Nahitma
Ginting, M.Si., Apt., danIbu Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt., selaku pembimbing
yang telah memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama penelitian hingga
selesainya penyusunan skripsi ini. Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., Ibu Dra. Masria
Lasma Tambunan, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt.,
selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan
Ibunda tercinta, Bismar Simanjuntak dan Resta Sinambela, yang tiada hentinya
(5)
Rizky Simanjuntak, yang selalu setia memberi doa, dorongan, dan motivasi
selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaannya. Harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan kefarmasian.
Medan, Desember 2014
Penulis
Elisa Monika Simanjuntak NIM 121524068
(6)
PEMBUATAN SABUN MADU TRANSPARAN DENGAN MINYAK KELAPA MURNI (VCO), MINYAK KELAPA SAWIT, DAN MINYAK KEDELAI
SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI ABSTRAK
Telah dilakukan pembuatan tiga sabun madu transparan dengan menggunakan tiga jenis minyak nabati yaitu minyak kelapa murni (VCO), minyak kelapa sawit dan minyak kedelai. Ketiga jenis minyak dipilih karena sudah sangat dikenal di Indonesia, sering digunakan dalam pembuatan sabun dan memiliki komponen asam lemak yang berbeda–beda. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jenis asam lemak dari minyak yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sabun terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri dari ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan.
Ketiga sabun madu transparan diuji sifat fisik sabun antra lain: pH, tinggi busa dan tegangan permukaan. Pengujian aktivitas antibakteri sabun madu transparan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli
dilakukan dengan metode Difusi Agar, menggunakan cakram kertas.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan memiliki perbedaan sifat fisik dan aktivitas antibakteri. Ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan aman digunakan karena memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit. Sabun madu trasnparan yang diformulasi dengan VCO, minyak kelapa sawit dan minyak kedelai memiliki ketinggian busa sebesar 4,20 cm, 3,50 cm dan 3,23 cm, hal ini menunjukkan bahwa sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO memiliki ketinggian busa yang paling besar dibandingkan sabun yang lain. Sabun madu trasnparan yang diformulasi dengan VCO, minyak kelapa sawit dan minyak kedelai memiliki tegangan permukaan sebesar 33,51 dyne/cm, 30,53 dyne/cm, 28,24 dyne/cm, hal ini menunjukkan bahwa sabun yang diformulasi dengan minyak kedelai memiliki tegangan permukaan yang paling rendah dibadingkan sabun yang lain. Pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa sabun madu trasparan yang diformulasi dengan VCO memiliki aktivitas antibakteri yang paling besar dibandingkan sabun yang lain. Diameter daerah hambat sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi 5%, 10 % dan 20% berturut – turut 16,73, 19,00 mm dan 21,06 mm. Diameter daerah hambat sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO terhadap bakteri
Escherichia coli pada konsentrasi 5%, 10 % dan 20% berturut – turut 16,36 mm,
17,43 mm dan 19,50 mm.
Kata kunci: sabun transparan , madu, VCO, minyak kelapa sawit, minyak kedelai, Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli
(7)
MAKING TRANSPARENT HONEY SOAP
WITH VIRGIN COCONUT OIL (VCO), PALM OIL AND SOYBEAN OIL AND TEST ACTIVITY ANTIBACTERIAL
ABSTRACT
Have been fabricated three transparent honey soap using types of vegetable oils, namely virgin coconut oil (VCO), palm oil and soybean oil. The three types of oils chosen because it is very well known in Indonesia, often used in the manufacture of soap and has different main fatty acids components. This study aims to look at the fatty acids effects of those oils that is used as the basic mateerials of soap manufacturing towards the physical characteristics and antibacterial activity of those three transparent honey soaps produced.
The three soaps are tested their characteristics, such as pH, foam height and surface tension. Testing soap antibacterial activity against Staphylococcus
epidermidis and Escherichia coli was conducted using Difusi Agar’s method,
using paper discs.
The results showed those transparent honey soaps produced have different physical characteristics and antibacterial activity. Those transparent honey soaps are safe to use because they have pH corresponding to the pH of the skin. Being formulated with VCO, palm oil and soybean oil, the foam has height of 4.20 cm, 3.80 cm and 3.33 cm, indicates that the soap is formulated with VCO has a height greater than most other foam soaps. Being formulated with VCO, palm oil and soybean oil, it has a surface tension of 33.51 dynes/cm, 30.53 dyne/cm and 28.24 dyne/cm, indicates that the soap is formulated with soybean oils has the lowest surface tension of all. Testing antibacterial activity shows that transparent honey soap formulared with VCO has the greatest antibacterial activity of all. The diameter of the inhibition of transparent honey soap formulated VCO against
Staphylococcus epidermidis at concentrations of 5%, 10% and 20% respectively
were 16.73 mm, 19.00 mm and 21.06 mm. The diameter of the inhibition of transparent honey soap formulated with VCO against Escherichia coli bacteria at concentrations of 5%, 10% and 20% respectively were 16.36 mm, 17.43 mm and 19.50 mm.
Keywords: transparent soap, honey, VCO, palm oil, soybean oil, Staphylococcus epidermidis and Escherichia coli.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 2
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Lemak dan Minyak ... 4
2.2 Minyak Nabati ... 5
2.2.1 Minyak Kelapa Murni (VCO) ... 5
2.2.2 Minyak Kelapa Sawit ... 6
(9)
2.3 Asam Lemak ... 7
2.4 Sabun ... 8
2.5 Mekanisme Kerja Sabun ... 10
2.6 Peran Asam Lemak dalam Sabun ... 11
2.7 Madu ... 11
2.8 Uraian Mikroba ... 12
2.9 Bakteri ... 12
2.9.1 Klasifikasi Bakteri ... 12
2.9.2 Staphylococcus epidermidis ... 14
2.9.3 Escherichia coli ... 14
2.10 Fase Pertumbuhan Bakteri ... 15
2.11 Faktor Yang Mempengaruhi Mikroorganisme ... 17
2.12 Uji Aktivitas Antibakteri ... 19
BAB III METODE PENELITIAN ... 21
3.1 Alat dan Bahan ... 21
3.1.1 Alat ... 21
3.1.2 Bahan ... 21
3.2 Prosedur Penelitian ... 22
3.2.1 Formula Sabun Transparan ... 22
3.2.2 Formula Modifikasi Sabun Madu Transparan ... 22
3.2.3 Pembuatan Sabun Madu Transparan ... 23
3.3 Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun ... 24
3.3.1 Pengukuran pH Sabun ... 24
(10)
3.3.3 Pengukuran Tegangan Permukaan Sabun ... 25
3.4 Pembuatan Media ... 26
3.4.1 Media Nutrient Agar (NA) ... 26
3.4.2 Media Nutrient Broth (NB) ... 26
3.5 Sterilisasi Alat ... 26
3.6 Pembuatan Agar Miring ... 27
3.7 Pembuatan Stok Kultur Bakteri ... 27
3.7.1 Pembuatan Stok Kultur Bakteri Staphylococcus epidermidis ... 27
3.7.2 Pembuatan Stok Kultur Bakteri Escherichia coli ... 27
3.8 Pembuatan Inokulum Bakteri ... 27
3.8.1 Pembuatan Inokulum Bakteri Staphylococcus epidermidis ... 27
3.8.2 Pembuatan inokulum Bakteri Escherichia coli ... 28
3.9 Pembuatn Larutan Sabun Dengan Berbgai Konsentrasi ... 28
3.9.1 Konsentrasi 5% b/v ... 28
3.9.2 Konsentrasi 10% b/v ... 28
3.9.3 Konsentrasi 20% b/v ... 28
3.10 Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri Sabun Secara In vitro ... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
4.1 Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun Madu Transparan ... 30
4.1.1 Hasil Pengukuran pH Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 30
4.1.2 Hasil Pengukuran Ketinggian Busa Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 32
(11)
4.1.3 Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Ketiga
Sabun Madu Transparan ... 34
4.1.3.1 Penurunan Tegangan Permukaan ... 34
4.1.3.2 Penentuan Konsentrasi Misel Kritis ... 37
4.2 Uji Aktivitas Antibakteri Dari Sabun Madu Transparan Terhadap Bakteri Uji Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli ... 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42
5.1 Kesimpulan ... 42
5.2 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel2.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa ... 5
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit ... 6
Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak Kedelai ... 7
Tabel 4.1 Data Hasil Pengukuran pH Dari Sabun Madu Transparan ... 29
Tabel 4.2 Data Hasil Pengukuran Ketinggian Busa Dari Sabun Madu
Transparan ... 30
Tabel 4.3 Data Pengukuran Penurunan Tegangan Permukaan Dari Sabun Madu Transparan ... 32
Tabel 4.4 Data Hasil Penentuan Konsentrasi Misel Kritis Dari Sabun Madu Transparan ... 37
Tabel 4.5 Data Pengukurn Diameter Daerah Hambat Pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis Dari Sabun Madu Trnsparan ... 38
Tabel 4.6 Data Pengukurn Diameter Daerah Hambat Pertumbuhan
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1 Grafik Hasil Pengukuran pH Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 31
Gambar 4.2 Grafik Hasil Pengukuran Tinggi Busa Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 33
Gambar 4.3 Grafik Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 35
Gambar 4.4 Grafik Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan Staphylococcus epidermidis Dari Ketiga
Sabun Madu Transparan ... 39
Gambar 4.5 Grafik Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan Escherichia coli Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 40
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Gambar Bahan Yang Digunakan Dalam Pembuatan Sabun Madu Transparan ... 47
Lampiran 2. Bagan Pembuatan Sabun Madu Transparan ... 48
Lampiran 3 Gambar Sabun Madu Transparan ... 49
Lampiran 4. Data Hasil Pengukurn pH Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 50
Lampiran 5. Data Hasil Pengukurn Ketinggian Busa Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 52
Lampiran 6. Penentuan Faktor Koreksi Pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) Larutan Sabun Madu Transparan Dengan Alat Tensiometer Duo-Nioy ... 54
Lampiran 7. Data Hasil Pengukuran Tegnagan Permukaan Dari Ketiga Sabun Madu Transparan ... 55
Lampiran 8. Bagan Pengujian Antibakteri Sabun Madu Transparan ... 57
Lampiran 9. Gambar Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Madu Transparan Terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli ... 58
Lampiran 10. Data Hasil Pengukuran Diameter Hambatan Pertumbuhan
(15)
PEMBUATAN SABUN MADU TRANSPARAN DENGAN MINYAK KELAPA MURNI (VCO), MINYAK KELAPA SAWIT, DAN MINYAK KEDELAI
SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI ABSTRAK
Telah dilakukan pembuatan tiga sabun madu transparan dengan menggunakan tiga jenis minyak nabati yaitu minyak kelapa murni (VCO), minyak kelapa sawit dan minyak kedelai. Ketiga jenis minyak dipilih karena sudah sangat dikenal di Indonesia, sering digunakan dalam pembuatan sabun dan memiliki komponen asam lemak yang berbeda–beda. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jenis asam lemak dari minyak yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sabun terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri dari ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan.
Ketiga sabun madu transparan diuji sifat fisik sabun antra lain: pH, tinggi busa dan tegangan permukaan. Pengujian aktivitas antibakteri sabun madu transparan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli
dilakukan dengan metode Difusi Agar, menggunakan cakram kertas.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan memiliki perbedaan sifat fisik dan aktivitas antibakteri. Ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan aman digunakan karena memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit. Sabun madu trasnparan yang diformulasi dengan VCO, minyak kelapa sawit dan minyak kedelai memiliki ketinggian busa sebesar 4,20 cm, 3,50 cm dan 3,23 cm, hal ini menunjukkan bahwa sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO memiliki ketinggian busa yang paling besar dibandingkan sabun yang lain. Sabun madu trasnparan yang diformulasi dengan VCO, minyak kelapa sawit dan minyak kedelai memiliki tegangan permukaan sebesar 33,51 dyne/cm, 30,53 dyne/cm, 28,24 dyne/cm, hal ini menunjukkan bahwa sabun yang diformulasi dengan minyak kedelai memiliki tegangan permukaan yang paling rendah dibadingkan sabun yang lain. Pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa sabun madu trasparan yang diformulasi dengan VCO memiliki aktivitas antibakteri yang paling besar dibandingkan sabun yang lain. Diameter daerah hambat sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi 5%, 10 % dan 20% berturut – turut 16,73, 19,00 mm dan 21,06 mm. Diameter daerah hambat sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO terhadap bakteri
Escherichia coli pada konsentrasi 5%, 10 % dan 20% berturut – turut 16,36 mm,
17,43 mm dan 19,50 mm.
Kata kunci: sabun transparan , madu, VCO, minyak kelapa sawit, minyak kedelai, Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli
(16)
MAKING TRANSPARENT HONEY SOAP
WITH VIRGIN COCONUT OIL (VCO), PALM OIL AND SOYBEAN OIL AND TEST ACTIVITY ANTIBACTERIAL
ABSTRACT
Have been fabricated three transparent honey soap using types of vegetable oils, namely virgin coconut oil (VCO), palm oil and soybean oil. The three types of oils chosen because it is very well known in Indonesia, often used in the manufacture of soap and has different main fatty acids components. This study aims to look at the fatty acids effects of those oils that is used as the basic mateerials of soap manufacturing towards the physical characteristics and antibacterial activity of those three transparent honey soaps produced.
The three soaps are tested their characteristics, such as pH, foam height and surface tension. Testing soap antibacterial activity against Staphylococcus
epidermidis and Escherichia coli was conducted using Difusi Agar’s method,
using paper discs.
The results showed those transparent honey soaps produced have different physical characteristics and antibacterial activity. Those transparent honey soaps are safe to use because they have pH corresponding to the pH of the skin. Being formulated with VCO, palm oil and soybean oil, the foam has height of 4.20 cm, 3.80 cm and 3.33 cm, indicates that the soap is formulated with VCO has a height greater than most other foam soaps. Being formulated with VCO, palm oil and soybean oil, it has a surface tension of 33.51 dynes/cm, 30.53 dyne/cm and 28.24 dyne/cm, indicates that the soap is formulated with soybean oils has the lowest surface tension of all. Testing antibacterial activity shows that transparent honey soap formulared with VCO has the greatest antibacterial activity of all. The diameter of the inhibition of transparent honey soap formulated VCO against
Staphylococcus epidermidis at concentrations of 5%, 10% and 20% respectively
were 16.73 mm, 19.00 mm and 21.06 mm. The diameter of the inhibition of transparent honey soap formulated with VCO against Escherichia coli bacteria at concentrations of 5%, 10% and 20% respectively were 16.36 mm, 17.43 mm and 19.50 mm.
Keywords: transparent soap, honey, VCO, palm oil, soybean oil, Staphylococcus epidermidis and Escherichia coli.
(17)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sabun secara umum didefinisikan sebagai garam alkali dari asam lemak
rantai panjang. Saat lemak atau minyak disaponifikasi terbentuk garam natrium
atau kalium dari asam lemak rantai panjang yang disebut sabun. Sabun dihasilkan
dari dua bahan utama yaitu alkali dan trigliserida (lemak atau minyak) (Barel, et
al., 2001).
Sabun mandi adalah senyawa natrium hidroksida (alkali) dengan asam
lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa,
dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit
(Standardisasi Nasional Indonesia, 1994).
Sabun transparan merupakan salah satu produk inovasi sabun yang
menjadikan sabun menjadi lebih menarik. Sabun transparan mempunyai busa
yang lebih halus dibandingkan dengan sabun opaque (sabun tidak transparan).
Penambahan madu merupakan suatu peningkatan dari penggunaan madu yang
digunakan sebagai bahan kecantikan pada umumnya. Penambahan madu pada
sabun transparan dapat pula meningkatkan nilai guna dari sabun seperti:
melembabkan, menghaluskan, dan melembutkan kulit serta memberikan sifat
antibakteri dari sabun, sehingga diperlukan adanya suatu formula yang tepat
dalam pembuatan sabun madu transparan ini sehingga sabun madu transparan ini
aman dan layak untuk digunakan berdasarkan sifat fisik sabun madu transparan
(18)
Dalam penelitian ini digunakan 3 jenis minyak nabati, yaitu: minyak kelapa
murni (VCO), minyak kelapa sawit (palm oil) dan minyak kedelai (soybean oil).
Ketiga jenis minyak tersebut dipilih karena sudah sangat dikenal di Indonesia,
sering digunakan dalam pembuatan sabun dan memiliki komponen asam lemak
yang berbeda-beda. Asam lemak paling banyak dalam minyak kelapa murni
(VCO) adalah asam laurat (C12:0) yaitu sekitar 48% yang merupakan asam lemak
jenuh rantai sedang. Asam lemak paling banyak dalam minyak kelapa sawit
adalah asam palmitat (C16:0) yaitu sekitar 43% yang merupakan asam lemak
jenuh rantai panjang. Asam lemak paling banyak dalam minyak kedelai adalah
asam linoleat (C18:2) yaitu sekitar 62% yang merupakan asam lemak tak jenuh
rantai panjang (Ketaren, 1996).
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian pembuatan tiga sabun
madu transparan dengan menggunakan minyak nabati yang berbeda-beda yaitu:
minyak kelapa murni (VCO), minyak kelapa sawit (palm oil) dan minyak kedelai
(soybean oil) kemudian menguji sifat fisik (pH, tinggi busa dan tengangan
permukaan) dari sabun yang dihasilkan dan menguji aktivitas antibakterinya.
Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan bakteri uji yaitu
Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli dengan metode difui agar
menggunakan cakram kertas. Bakteri Staphylococcus epidermidis merupakan
bakteri gram positif yang terdapat di kulit dan dapat menyebabkan infeksi kulit.
Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang dapat
menyebabkan diare akibat masuk bakteri Escherichia coli ke dalam tubuh melalui
tangan yang terkontaminasi bakteri tersebut, sehingga dianjurkan untuk mencuci
(19)
1.2Perumusan Masalah
a. Bagaimana sifat fisik (pH, tinggi busa dan tegangan permukaan) dari ketiga
sabun madu transparan yang dihasilkan.
b. Apakah ada perbedaan aktivitas antibakteri dari ketiga sabun madu transparan
terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli.
1.3Hipotesis
a. Ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan memiliki perbedaan sifat fisik
antara lain: pH, tinggi busa dan tegangan permukaan.
b. Sabun madu transparan yang diformulasi dengan VCO memiliki aktivitas
antibakteri yang lebih besar daripada sabun madu transparan yang diformulasi
dengan minyak kelapa sawit dan minyak kedelai.
1.4 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sifat fisik (pH, tinggi busa dan tegangan permukaan) dari
ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan.
b. Untuk mengetahui perbedaan aktivitas antibakteri dari ketiga sabun madu
transparan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi tentang pengaruh asam
lemak dari minyak yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sabun
terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri dari ketiga sabun madu transparan
(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol. Perbedaan antara
lemak dan minyak yaitu pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan
minyak berbentuk cair. Sebagian besar gliserida pada hewan adalah berupa lemak,
sedangkan gliserida dalam tumbuhan berupa minyak, karena itu biasa terdengar
ungkapan lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan minyak nabati (minyak
jagung, minyak bunga matahari). Asam lemak jenuh membentuk rantai “zig-zag”
yang sesuai satu sama lain, sehingga gaya tarik van der waalsnya tinggi, oleh
karena itu lemak–lemak jenuh itu bersifat padat. Jika beberapa ikatan rangkap
terdapat dalam rantai asam lemak maka molekul itu tidak dapat rapat dan mampat,
tetapi cenderung untuk melingkar sehingga lemak tak jenuh ganda cenderung
berbentuk minyak (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Hampir semua bahan pangan banyak mengandung lemak dan minyak
terutama bahan yang berasal dari hewan. Lemak dalam jaringan hewan terdapat
pada jaringan adipose. Dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol
dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi
karbohidrat dalam proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman
dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembentukan gliserol, pembentukan
molekul asam lemak, kemudian kondensasi asam lemak dengan gliserol
(21)
2.2 Minyak Nabati
Minyak nabati merupakan minyak yang umumnya berwujud cair pada suhu
kamar karena mengandung asam lemak tidak jenuh, seperti asam oleat, asam
linolenat dan asam linolenat (Ketaren, 1996).
2.2.1 Minyak Kelapa Murni (VCO)
Minyak kelapa murni (VCO) merupakan salah satu olahan dari buah kelapa
(Cocos nucifera). Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%)
dan minyak tak jenuh (10%). Minyak kelapa memiliki banyak kelebihan, 50%
asam lemak pada minyak kelapa adalah asam laurat dan 7% asam kaprilat. Kedua
asam tersebut merupakan asam lemak jenuh rantai sedang yang mudah
dimetabolisme dan bersifat antimikroba (antivirus, antibakteri, dan antijamur)
(Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam minyak kelapa dapat dilihat
pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa
Asam Lemak Rumus Kimia Jumlah (%)
Asam Lemak Jenuh:
Asam kaproat Asam kaprilat Asam kaprat Asam laurat Asam miristat Asam palmitat Asam stearat Asam arachidat
Asam Lemak Tidak Jenuh:
Asam palmitoleat Asam oleat Asam linoleat C5H11COOH C7H15COOH C9H19COOH C11H23COOH C13H27COOH C15H31COOH C17H35COOH C19H39COOH C15H29COOH C17H33COOH C17H31COOH 0,0-0,8 5,5-9,5 4,5-9,5 44,0-52,0 13,0-19,0 7,5-10,5 1,0-3,0 0,0-0,4 0,0-1,3 5,0-8,0 1,5-2,5 Sumber : Ketaren, 1996
(22)
2.2.2 Minyak Kelapa Sawit
Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan
minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Tanaman kelapa sawit
(Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam
family Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau
minyak, sedangkan nama spesies guinensis berasal dari kata guinea, yaitu tempat
dimana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama
kali di pantai Guinea (Ketaren, 1996).
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam minyak kelapa sawit dapat
dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit
Asam Lemak Rumus Kimia Jumlah (%)
Asam Lemak Jenuh:
Asam miristat Asam palmitat Asam stearat
Asam Lemak Tak Jenuh:
Asam oleat Asam linoleat
C13H27COOH C15H31COOH C17H35COOH
C17H33COOH C17H31COOH
1,1-2,5 40-46 3,6-4,7
39-45 7-11 Sumber : Ketaren, 1996
2.2.3 Minyak Kedelai
Kandungan minyak dan komposisi asam lemak dalam kedelai dipengaruhi
oleh varietas dan keadaan iklim tempat tumbuh. Lemak kasar terdiri dari
trigliserida sebesar 90-95 persen, sedangkan sisanya ialah fosfatida, asam lemak
bebas, sterol, dan tokoferol. Jumlah fosfatida dalam kedelai sekitar 2 persen yang
terdiri dari lesitin dan sepalin. Lesitin digunakan sebagai bahan pengempuk dalam
(23)
Minyak kedelai yang sudah dimurnikan dapat digunakan untuk pembuatan
minyak salad, minyak goreng (cooking oil) serta untuk segala keperluan pangan.
Minyak kedelai juga digunakan pada pabrik lilin, sabun, varnish, cat, semir,
insektisida dan desinfektans (Ketaren, 1996).
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam minyak kedelai dapat dilihat
pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak Kedelai
Asam Lemak Rumus Kimia Jumlah (%)
Asam Lemak Tidak Jenuh:
Asam oleat Asam linoleat Asam linolenat Asam arachidonat
Asam Lemak Jenuh:
Asam palmitat Asam sterat Asam arachidat Asam laurat C17H33COOH C17H31COOH C17H29COOH C19H31COOH C15H31COOH C17H35COOH C19H39COOH C11H23COOH 15-64 11-60 1-12 1,5 7-10 2-5 0,2-1 0,0-0,1 Sumber : Ketaren, 1996
2.3 Asam Lemak
Asam lemak yang ditemukan di alam, biasanya merupakan asam-asam
monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah
atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam
lemak jenuh (saturated fatty acid/ SFA) tidak memiliki ikatan rangkap di antara
atom–atom karbon bersebelahan. Asam lemak mono–tak jenuh (
mono-unsaturated fatty acid/ MUFA) memiliki satu ikatan rangkap; sedangkan asam
lemak poli-tak jenuh (poly-unsaturated fatty acid/ PUFA) memiliki dua atau lebih
(24)
Asam lemak rantai pendek memiliki 2 sampai 6 atom karbon; asam lemak
rantai sedang memiliki 8 sampai 12 atom karbon; dan asam lemak rantai panjang
memiliki 14 sampai 24 atom karbon. Asam lemak jenuh yang mempunyai rantai
karbon pendek berupa zat cair pada suhu kamar. Makin panjang rantai karbon,
makin tinggi titik leburnya. Asam palmitat dan stearat berupa zat padat pada suhu
kamar. Apabila dibandingkan dengan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh
mempunyai titik lebur lebih rendah. Asam oleat mempunyai rantai karbon sama
panjang dengan asam stearat, akan tetapi pada suhu kamar asam oleat berupa zat
cair. Disamping itu semakin banyak jumlah ikatan rangkap, makin rendah titik
leburnya (Darmoyuwono, 2005; Poedjiadi, 1994).
2.4 Sabun
Sabun adalah garam alkali dari asam lemak rantai panjang. Sabun
ditemukan oleh orang Mesir Kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Bangsa Romawi
membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu. Sekarang sabun dibuat dengan
memanaskan lelehan lemak dengan lindi (lye=larutan alkali) sebagai ganti abu
kayu (Fessenden dan Fessenden 1986).
Proses pembuatan sabun tidak pernah berubah selama 200 tahun. Prosedur
pembuatan sabun melibatkan hidrolisis (saponifikasi) dari lemak. Secara kimia,
lemak biasanya disebut sebagai trigliserida yang mengandung gugus ester.
Saponifikasi melibatkan pemanasan lemak dengan larutan alkali. Larutan basa
menghidrolisis lemak menghasilkan garam dari asam karboksilat rantai penjang
(sabun) dan alkohol (gliserol). Garam asam karboksilat dari sabun biasanya
(25)
Lemak dan minyak yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah
gliserida dengan tiga gugus asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserol
(trihidroksi alkohol). Perbedaan antara lemak dan minyak dapat dilihat dari
keadaan fisiknya: lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Lemak dan
minyak biasanya terdiri dari molekul asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh
yang mengandung atom karbon antara 7 dan 21 yang berikatan dengan gliserol.
Secara umum, reaksi antara alkali dengan trigliserida menghasilkan sabun dan
gliserol yang dikenal dengan reaksi saponifikasi. Reaksi saponifikasi adalah
proses pembuatan sabun yang paling banyak dugunakan. Proses pembuatan sabun
yang lain adalah netralisasi asam lemak dengan alkali. Lemak dan minyak
dihidrolisis dengan uap bertekanan tinggi untuk menghasilkan asam lemak bebas
dan gliserol. Asam lemak ini kemudian dimurnikan dengan destilasi dan
dinetralkan dengan alkali untuk menghasilkan sabun dan air (Barel, et al., 2001)
Persyaratan mutu yang harus dipenuhi produk sabun menurut Standardisasi
Nasional Indonesia (1994): kadar air , jumlah asam lemak, kadar alkalis bebas dan
kadar minyak mineral. Syarat mutu sabun dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.4 Syarat Mutu Sabun
No. Uraian Syarat
1.
2.
3.
4.
5.
Kadar air
Jumlah asam lemak
Alkali bebas (dihitung sebagai NaOH)
Asam lemak bebas atau lemak netral
Minyak mineral
maks. 15 %
> 70 %
maks. 0,1 %
2,5 % - 7,5%
negataif
(26)
2.5 Mekanisme Kerja Sabun
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang dan
ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul bersifat hidrofobik dan larut dalam
zat-zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air.
Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun tidak sepenuhnya larut
dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel,
yakni segerombol molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok
dengan ujung-ujung ionnya menghadap ke air (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsikan kotoran berminyak
sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua
sifat sabun. Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat
nopolar, seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang
tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang
menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes
sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung, tetapi tetap
tersuspensi (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Nilai sabun yang sesungguhnya terletak pada kemampuannya
menghilangkan mikroorganisme secara mekanis. Seperti deterjen lain, sabun
dapat mengurangi tegangan permukaan sehingga meningkatkan sifat pembasahan
air yang di dalamnya terlarut sabun. Air sabun dapat mengemulsikan dan
menghilangkan minyak dan kotoran. Mikroorganisme menjadi terperangkap di
dalam busa sabun dan hilang setelah dibilas dengan air. Berbagai macam zat
kimia dicampurkan dalam sabun untuk meningkatkan aktivitas germisidalnya
(27)
2.6 Peran Asam Lemak dalam Sabun
Sifat-sifat dari produk sabun yang dihasilkan ditentukan oleh kualitas dan
komposisi asam-asam lemak yang digunakan. Secara umum, asam lemak dengan
panjang rantai karbon kurang dari 12 dapat menimbulkan iritasi kulit, sementara
asam lemak dengan panjang rantai karbon lebih dari 18 menghasilkan sabun yang
memiliki kelarutan yang sangat rendah (Barel, et al., 2001).
2.7 Madu
Jaman dahulu madu dipakai untuk mengawetkan daging dan kulit. Orang
Mesir pada waktu itu mempergunakan madu sebagai bagian dari ramuan
rahasianya untuk mengawetkan jenazah raja–raja, yang dikenal dengan nama
mummi. Sejak itu pula madu telah dikenal sebagai makanan, obat, minuman,
bahkan kecantikan dan bahan yang penting dalam pesta upacara agama. Begitu
terkenalnya madu pada zaman itu sehingga pajak di Babylonia dan di Mesir tidak
dibayar dengan uang, tetapi dengan madu. Pada waktu itu gula tebu dan gula lain
belum diketemukan orang, karenanya madu merupakan zat manis satu–satunya
yang dipakai untuk segala keperluan (Sumoprastowo dan Suprapto, 1993).
Untuk kecantikan madu dapat dibuat dalam bentuk masker, krem dan salep.
Masker madu lebih efektif daripa krem dan salep, sebab madu tidak saja
melembutkan kulit, tetapi juga memberi makan kulit. Karena madu bersifat
hygroskopis, maka sekresi kulit terhisap, sekaligus madu sebagai desinfektan.
Dengan demikian kulit muka tetap terjamin keawetan dan kesegarannya, halus,
lembut, dan bebas dari keriput dan benjolan yang merusak keindahan kulit
(28)
2.8 Uraian Mikroba
Mikroba atau mikroorganisme adalah organisme hidup yang berukuran
sangat kecil dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Mikroba
dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu organisme prokariot dan organisme
eukariot. Bakteri termasuk ke dalam organisme prokariot dan jamur termasuk
organisme eukariot (Pratiwi, 2008).
2.9 Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang berarti
tongkat atau batang. Bakteri merupakan mikroorganisme yang bersel satu,
berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya
tampak dengan mikroskop (Waluyo, 2004).
2.9.1 Klasifikasi Bakteri
1. Menurut Waluyo (2004), berdasarkan bentuk morfologinya maka bakteri dapat
dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu:
a) Bentuk Basil (Bacillus)
Basil dari kata bacillus, merupakan bakteri yang bentuknya menyerupai
tongkat pendek/batang kecil dan silindris. Basil dapat bergandeng-gandeng
panjang, bergandeng dua, atau terlepas satu sama lain. Berdasarkan jumlah koloni,
basil dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: monobasil, diplobasil dan
streptobasil.
b) Bentuk Kokus (Coccus)
Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil.
Berdasarkan jumlah koloni, kokus dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok,
(29)
c) Bentuk Spiral (Spirillum)
Spiril merupakan bakteri yang berbentuk bengkok atau
berbengkok-bengkok seperti spiral. Golongan bakteri ini merupakan golongan yang paling
kecil jika dibandingkan dengan golongan basil dan golongan kokus.
2. Menurut Dwidjoseputro (1978), berdasarkan tempat kedudukan flagelnya maka
bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Monotrik, jika flagel hanya satu dan bulu cambuk itu melekat pada ujung sel.
b) Lofotrik, jika flagel yang melekat pada salah satu ujung itu banyak.
c) Amfitrik, jika banyak flagel melekat pada kedua ujung sel.
d) Peritrik, jika flagel tersebar dari ujung-ujung sampai pada sisi.
e) Atrik, jika suatu spesies tidak mempunyai flagel sama sekali.
3. Menurut Lay dan Hastowo (1994), berdasarkan pengecatan gram maka bakteri
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
a) Bakteri gram positif yaitu: bakteri yang dapat mengikat zat warna kristal violet
akan memberikan warna ungu dan setelah dicuci dengan larutan pemucat, bakteri
gram positif tetap berwarna ungu karena kompleks persenyawaan kristal
violet-yodium tetap terikat pada dinding sel. Kemudian ditambahkan zat warna safranin,
tidak menyebabkan perubahan warna pada bakteri.
b) Bakteri gram negative yaitu: bakteri yang kehilangan warna dari kristal violet
ketika dicuci dengan larutan pemucat karena larutan pemucat melarutkan lipida
dan menyebabkan pori – pori dinding sel membesar. Kemudian diberi zat warna
safranin, bakteri akan memberikan warna merah karena persenyawaan kompleks
(30)
2.9.2 Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Dwidjoseputro
(1978), sebagai berikut :
Devisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococcaceae Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok buah
anggur dan kokus yang berarti benih bulat. Kuman ini sering ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia. Staphylococcus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap (Staf pengajar fakultas kedokeran UI, 1993; Brooks, et al., 2001).
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi kulit yang ringan disertai pembentukan abses. Bakteri ini memiliki koloni berwarna putih dan bersifat anaerob fakultatif, tidak mempunyai protein A pada dinding selnya, bersifat koagulasi negatif, meragi glukosa dan dalam keadaan anaerob tidak meragi manitol (Staf pengajar fakultas kedokteran UI, 1993).
2.9.3 Escherichia coli
Sistematika Escherichia coli menurut Tjitrosoepomo (1994), sebagai
berikut:
Divisi : Schizophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Enterobacteriaceae Marga : Escherichia
(31)
Escherichia coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa dipakai
di laboratorium Mikrobiologi; pada media yang dipergunakan untuk isolasi
kuman enterik, sebagian besar Escherichia coli tumbuh sebagai koloni yang
meragi laktosa dan bersifat mikroaerofilik (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI,
1993).
Escherichia coli adalah kuman oportunis yang banyak ditemukan di dalam
usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat
menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak dan travelers
diarrhea, seperti juga kemampuannya menimbulkan infeksi pada jaringan tubuh
lain di luar usus (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, 1993).
2.10 Fase Pertumbuhan Bakteri
Apabila bakteri ditanam pada media pembenihan yang sesuai pada waktu
tertentu maka pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri tersebut dapat
digambarkan dengan sebuah grafik pertumbuhan yang dapat dibagi dalam 4 fase,
yaitu:
1. Fase Penyesuaian (fase lag)
Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme
pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah
sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Rentang waktu fase penyesuaian
tersebut tergantung dari fase pertumbuhan bakteri saat dipindahkan untuk ditanam
pada medi pembenihan yang baru dan tergantung pula pada adanya bahan toksik
yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri (Pratiwi,
(32)
2. Fase Log (fase eksponensial)
Fase log merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah
pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat
media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan
massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju
pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil
metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat pertumbuhan
(Pratiwi, 2008).
3. Fase Stasioner
Pada fase stasioner, kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri
mencapai titik terendah atau boleh dikatakan nol. Hal ini disebabkan kondisi
lingkungan telah berubah dan tidak menguntungkan bagi pertumbuhan maupun
perkembangbiakan bakteri, dimana nutrisi telah habis dan terjadi penumpukan
hasil metabolik yang bersifat toksis. Jumlah sel bakteri yang hidup tampak
konstan, hal ini terjadi karena jumlah sel yang baru terbentuk seimbang dengan
jumlah sel yang mati (Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, 2003).
4. Fase Penurunan (fase kematian)
Pada fase ini, terjadi peningkatan kematian sel bakteri sehingga terjadi
penurunan populasi bakteri karena: (1) nutrient di dalam medium sudah habis, (2)
energi cadangan di dalam sel habis. Jumlah sel yang mati semakin lama akan
semakin banyak, dan kecepatan kematian dipengaruhi kondisi nutrient,
lingkungan dan jasad renik (Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
(33)
2.11 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mikroorganisme
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat meliputi:
1. Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang penting di dalam kehidupan
mikroorganisme. Beberapa jenis mikroba dapat hidup pada daerah temperature
yang luas sedangkan jenis lainnya pada daerah yang terbatas. Pada umumnya
batas daerah temperatur bagi kehidupan mikroba terletak antara 0oC – 90oC, dan
kita kenal ada temperatur minimum, temperatur optimum, dan temperatur
maksimum. Temperatur minimum adalah nilai paling rendah dianatara kegiatan
mikroba masih dapat berlangsung. Temperatur maksimum adalah temperature
tertinggi yang masih dapat digunakan untuk aktivitas mikroba. Sedangkan
temperatur yang paling baik bagi kegiatan hidup dinamakan temperature
optimium (Waluyo, 2004).
Menurut Pratiwi (2008), berdasarkan kisaran temperatur tumbuh maka
mikroorganisme dibagi atas 4 golongan yaitu :
a) Psikrofil, tumbuh pada temperatur maksimal 20oC dengan suhu optimal 0
sampai 15oC.
b) Psikrofil fakultatif/psikotrof, tumbuh pada temperatur maksimal 30ºC dengan
suhu optimal 20 sampai 30ºC.
c) Mesofil, tumbuh pada temperatur minimal 15 sampai 20oC dengan suhu
optimal 20 sampai 45oC dan suhu maksimal 45oC.
d) Termofil, tumbuh pada temperatur minimal 45 dengan suhu optimal 55 sampai
(34)
2. pH
Nilai pH medium sangat berpengaruh pada jenis mikroba yang tumbuh.
Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yakni sekitar pH 6,5 – 7,5. Pada
pH dibawah 5,0 dan di atas 8,5, bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik, kecuali
bakteri asam asetat dan bakteri yang mengoksidasi sulfur (Waluyo, 2004).
Menurut Waluyo (2004), berdasarkan daerah-daerah pH bagi kehidupan
mikroba maka mikroba dapat dibedakan atas 3 gologan besar yaitu :
a) Mikroba asidofilik yaitu: mikroba yang dapat tumbuh pada pH antara 2,0 – 5,0.
b) Mikroba mesofilik (netrofilik) yaitu: mikroba yang dapat tumbuh pada pH
antara 5,5 – 8,0.
c) Mikroba alkalifilik yaitu: mikroba yang dapat tumbuh pada pH antara 8,4 – 9,5
3. Oksigen
Menurut Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
(2003), berdasarkan akan kebutuhan terhadap oksigen maka bakteri dapat dibagi
menjadi 4 golongan yaitu :
a) Bakteri aerob mutlak yaitu: bakteri yang untuk pertumbuhannya memerlukan
adanya oksigen.
b) Bakteri anaerob fakultatif yaitu: bakteri yang dapat tumbuh, baik ada oksigen
maupun tanpa adanya oksigen.
c) Bakteri anaerob mutlak yaitu: bakteri yang hidup bila tidak ada oksigen.
d) Bakteri mikroaerofilik yaitu: bakteri yang hanya tumbuh pada konsentrasi
oksigen yang rendah yaitu kurang dari 20%, pada konsentrasi oksigen yang tinggi
(35)
4. Nilai Osmosis
Medium yang paling cocok bagi kehidupan bakteri ialah medium yang
isotonik terhadap isi sel bakteri. Jika bakteri ditempatkan di dalam suatu larutan
yang hipertonik terhadap isi sel, maka bakteri akan mengalami plasmolisis.
Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air
sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain bakteri dapat
mengalami plasmoptisis (Dwidjoseputro, 1978).
5. Nutrisi
Jasad renik heterotof membutuhkan nutrien untuk kehidupan dan
pertumbuhannya, yakni sebagai: (1) sumber karbon, (2) sumber nitrogen, (3)
sumber energi, (4) dan faktor pertumbuhan, yakni mineral dan vitamin. Nutrisi
tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi dan menyusun komponen–
komponen sel. Setiap jasad renik bervariasi dalam kebutuhannya akan zat–zat
nutrisi tersebut (Waluyo, 2004).
2.12 Uji Aktivitas Antibakteri
Menurut (Pratiwi, 2008), pengujian aktivitas antibakteri dapat dilakukan
dengan cara 2 cara yaitu:
1. Cara difusi
Metode difusi digunakan untuk menentukan aktivitas agen mikroba.
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah
ditanami mikroorganisme, dimana agen antimikroba akan berdifusi pada media
Agar tersebut. Area jernih disekitar piringan mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media
(36)
2. Cara dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Dilusi cai (borth dilution)
Metode ini mengukur KHM (kadar hambat minimum) dan KBM (kadar
bunuh minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri
pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan
mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat
jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM.
Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan
diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah
inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
b. Dilusi padat (solid dilution)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba
(37)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental parametrik meliputi
pembuatan sabun madu transparan menggunakan minyak kelapa murni (VCO),
minyak kelapa sawit dan minyak kedelai, kemudian menguji sifat fisik (pH, tinggi
busa dan tegangan permukaan) dari sabun madu transparan yang dihasilkan dan
menguji aktivitas antibakterinya. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Fitokimia, Laboratorium Farmasi Fisik dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara.
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas,
thermometer (FISONS, UK), hot plate (FISONS, UK), timbangan digital (Mettler
Toledo), cetakan sabun, pH meter (Hanna Instruments, W-Germany), tensiometer
Du Nuoy (Kruss, Germany), autoklaf (Fison), inkubator (Memmert), oven
(Fisher), Laminar Air Flow Cabinet (Astec HLF 1200L), pipet mikro
(Eppendorf), jangka sorong (Kenmaster), jarum ose, pinset, cakram kertas
(Macherey-Nagel), spektrofotometer Visibel (Dynamica Halo Vis-10).
3.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan sabun madu transparan
adalah minyak kelapa murni (VCO) (Niha Oil), minyak kelapa sawit (Sunco),
minyak kedelai (Mama Suka), madu (Trumon, Aceh Selatan), natrium hidroksida
(38)
Bahan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu serbuk nutrient agar
(Oxoid), nutrient broth (Oxoid), Staphylococcus epidermidis (ATCC No. 12228),
dan Escherichia coli (ATCC No. 25922).
3.2 Prosedur Penelitian
3.2.1 Formula Sabun Transparan
Adapun formula pembuatan sabun madu transparan: (Hambali, et al., 2005). R/ Minyak kelapa 2000 g
NaOH 30% 2030 g Asam stearat 700 g Etanol 1500 g Gliserin 1300 g Gula (sukrosa) 750 g Coco DEA 300 g Asam sitrat 300 g NaCl 20 g Akuades 450 ml
3.2.2 Formula Sabun Madu Transparan Yang Dimodifikasi:
KOMPOSISI FORMULA KETERANGAN 1 2 3
VCO 25 g - - Pembentuk stok sabun Minyak
Kelapa Sawit
- 25 g -
Minyak Kedelai
- - 25 g
NaOH 30% 25,37 g 25,37 g 25,37 g Asam stearat 8,75 g 8,75 g 8,75 g
Etanol 18,75 g 18,75 g 18,75 g Pelarut, transparent agent
Gliserin 16,25 g 16,25 g 16,25 g Pelarut, transparent agent, humektan
TEA 3,75 g 3,75 g 3,75 g Penstabil busa Asam sitrat 3,75 g 3,75 g 3,75 g Penstabil pH NaCl 0,25 g 0,25 g 0,25 g Elektrolit Akuades 5,6 ml 5,6 ml 5,6 ml Pelarut
Madu 8,06 g 8,06 g 8,06 g Transparent agent, humektan
Keterangan:
F1 : Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kelapa Murni (VCO) F2 : Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kelapa Sawit
(39)
Pada formula modifikasi, formula dasar dibagi delapan puluh untuk
mendapatkan satu formula sabun. Pada formula yang dimodifikasi dibuat tiga
sabun dengan menggunakan minyak nabati yang berbeda-beda yaitu: minyak
kelapa murni (VCO), minyak kelapa sawit (palm oil) dan minyak kedelai
(soybean oil) sebagai minyak pembentuk sabun. Coco DEA diganti dengan TEA
karena sama – sama sebagai emulgator (surfaktatn). Gula diganti dengan madu
sebagai pembentuk sabun transparan (transparant agent) karena dalam madu
terdapat sukrosa. Madu yang ditambahkan sebanyak 7,5% dari jumlah seluruh
bahan yang digunakan
3.2.3Pembuatan Sabun Madu Transparan
Sebanyak 8,75 gram asam stearat dalam beaker gelas dicairkan kemudian
dicampur dengan 25 g minyak (VCO, minyak kelapa sawit, dan minyak kedelai)
pada suhu 70 oC. Setelah homogen, ditambahkan 25,37 g NaOH 30% hingga
terbentuk padatan sabun kemudian ditambahkan bahan – bahan pendukung yaitu:
18,75 g etanol, 16,25 g gliserin, 3,75 g asam sitrat, 3,75 g TEA, 0,25 g NaCl, dan
5,6 ml akuades sehingga terbentuk sabun dasar.
Sebanyak 8,06 g madu dan parfum secukupnya ditambahkan ke dalam
larutan sabun transparan setelah larutan sabun transparan 60 oC untuk mencegah
pencoklatan pada madu yang menyebabkan warna madu berubah lebih gelap.
Setelah madu dicampurkan ke dalam sabun transparan, sabun langsung dicetak
(Hambali, 2005).
Perlakuan sama dilakukan terhadap sabun madu transparan yang
menggunakan minyak kelapa murni (VCO), minyak kelapa sawit dan minyak
(40)
3.3 Pemeriksaan Sifat Fisik Sabun
3.3.1 Pengukuran pH Sabun Madu Transparan
Alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar
standar netral (pH 7,0 ) dan larutan dapar pH basa (pH 10,0 ) hingga alat
menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan akuades, lalu
dikeringkan dengan tisu. Sebanyak 0,050 g sabun, dimasukkan ke dalam beaker
gelas 100 ml, kemudian ditambahkan 50 ml air suling (konsentrasi 0,1%). Setelah
itu elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Dibiarkan alat menunjukkan
harga pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter itu merupakan
sediaan (Mariane, 2003).
Diulangi percobaan yang sama menggunakan konsentrasi larutan sabun
(0,005, 0,010, 0,020, 0,030, 0,040, 0,050, 0,060, 0,070, 0,080, 0,090, 0,1) % b/v
dari sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa murni (VCO),
minyak kelapa sawit dan minyak kedelai. Data hasil pengukuran dapat dilihat
pada Lampiran 4, halaman 49 - 50.
3.3.2 Pengukuran Ketinggian Busa Sabun Madu Transparan
Sabun yang dihasilkan terlebih dahulu dipotong-potong hingga halus.
Sebanyak 0,05 g sabun yang telah dipotong-potong hingga halus dimasukkan
kedalam gelas ukur 100 ml, kemudian ditambahkan air suling hingga 50 ml
(konsentrasi 0,1%). Larutan sabun tersebut dikocok selama 100 detik sebanyak
200 kali kocokan (dengan dua kali kocokan/detik). Dan busa yang terbentuk
dibiarkan selama 3 menit dan diukur ketinggian busa yang dihasilkan (Ernita,
(41)
Larutan sabun dibuat dengan berbagai konsentrasi yaitu: (0,005, 0,010,
0,020, 0,030, 0,040, 0,050, 0,060, 0,070, 0,080, 0,090, 0,1) % b/v. Perlakuan sama
terhadap sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa murni (VCO),
minyak kelapa sawit dan minyak kedelai. Data hasil pengukuran dapat dilihat
pada Lampiran 5, halaman 51 - 52.
3.3.3 Pengukuran Tegangan Permukaan Sabun Madu Transparan
Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan alat
Tensiometer Du Nuoy yaitu sebanyak 30 ml larutan sabun masing-masing
konsentrasi dimasukkan kedalam cawan. Kemudian cawan tersebut diletakkan
pada meja pengukuran yang dihubungkan dengan sebuah termostat. Meja
pengukuran dinaikkan dengan hati-hati sampai cincin terletak ditengah-tengah
cairan dan kemudian dikunci. Cairan dibiarkan sebentar untuk membiarkan
permukaan terbentuk. Skrup penurun meja pengukuran diputar dan dipertahankan
agar jarum penunjuk tetap terletak diantara bagian hitam dari cakram tanda,
sementara skrup pada petunjuk skala diputar berlawanan dengan putaran jarum
jam sampai cincin terlepas dari permukaan larutan. Skala yang ditunjukkan pada
alat dicatat (Mariane, 2003).
Konsentrasi larutan sabun yang digunakan adalah: (0,001; 0,005; 0,010;
0,020; 0,030; 0,040; 0,050; 0,060; 0,070; 0,080; 0,090; 0,100 )% b/v. Perlakuan
sama terhadap sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa murni
(VCO), minyak kelapa sawit dan minyak kedelai. Data hasil pengukuran dapat
(42)
3.4 Pembuatan Media
3.4.1 Media Nutrient Agar (NA)
Komposisi: Lab-lemco powder 1 g Yeast extract 2 g Peptone 5 g Sodium chloride 5 g Agar 15 g
Sebanyak 28 g serbuk nutrient agar (NA) disuspensikan dalam air suling
hingga 1000 ml. Suspensi dipanaskan hingga seluruh bahan larut sempurna.
Larutan tersebut disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit
(Bridson, 1998).
3.4.2 Media Nutrient Broth (NB)
Komposisi: Lab-lemco powder 1 g Yeast extract 2 g Peptone 5 g Sodium chloride 5 g
Sebanyak 13 g serbuk nutrient broth (NB) disuspensikan dalam air suling
hingga 1000 ml. Suspensi dipanaskan hingga seluruh bahan larut sempurna.
Larutan tersebut disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit
(Bridson, 1998).
3.5 Sterilisasi Alat
Alat-Alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan
terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan di dalam oven pada
suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C
selama 15 menit. Jarum ose dan pinset dipijar dengan lampu Bunsen (Waluyo,
(43)
3.6 Pembuatan Agar Miring
Sepuluh mililiter media nutrient agar (NA) dimasukkan ke dalam tabung
reaksi. Tabung kemudian diletakkan dengan kemiringan 30-45°C dan dibiarkan
pada suhu kamar hingga media memadat. Media disimpan dalam lemari pendingin
pada suhu 5oC (Lay dan Hastowo, 1994).
3.7 Pembuatan Stok Kultur Bakteri
3.7.1 Pembuatan stok Kultur bakteri Staphylococcus epidermidis
Sebanyak satu ose koloni bakteri Staphylococcus epidermidis diambil
dengan menggunakan jarum ose steril, lalu diinokulasikan pada pemukaan media
nutrient agar (NA) miring dengan cara menggores menggunakan jarum ose steril,
kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35 ± 2°C selama 18 - 24 jam
(Ditjen POM, 1995).
3.7.2 Pembuatan stok Kultur bakteri Escherichia coli
Sebanyak satu ose koloni bakteri Escherichia coli diambil dengan
menggunakan jarum ose steril, lalu diinokulasikan pada pemukaan media nutrient
agar (NA) miring dengan cara menggores menggunakan jarum ose steril,
kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35 ± 2°C selama 18 - 24 jam
(Ditjen POM, 1995).
3.8 Pembuatan Inokulum Bakteri
3.8.1 Pembuatan Inokulum Bakteri Staphylococcus epidermidis
Koloni bakteri Staphylococcus epidermidis diambil dari stok kultur bakteri
(44)
yang berisi 10 ml media nutrient broth (NB) steril, diinkubasikan pada suhu 35 ±
2oC selama 2 - 3 jam sampai didapat kekeruhan dengan transmitan 25%
menggunakan alat spektrofotometer visible pada panjang gelombang 580 nm
(Ditjen POM, 1995).
3.8.2 Pembuatan Inokulum Bakteri Escherichia coli
Koloni bakteri Escherichia coli diambil dari stok kultur bakteri dengan
menggunakan jarum ose steril, lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi
10 ml media nutrient broth (NB) steril, diinkubasikan pada suhu 35 ± 2oC selama
2 - 3 jam sampai didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat
spektrofotometer visible pada panjang gelombang 580 nm (Ditjen POM, 1995).
3.9 Pembuatan Larutan Sabun Dengan Berbagai Konsentrasi 3.9.1 Konsentrasi 5% b/v
Sabun madu transparan yang dihasilkan terlebih dahulu dipotong-potong
hingga halus kemudian ditimbang 5 g potongan sabun lalu dilarutkan dengan 100
ml akuades steril.
3.9.2 Konsentrasi 10% b/v
Sabun madu transparan yang dihasilkan terlebih dahulu dipotong-potong
hingga halus kemudian ditimbang 10 g potongan sabun lalu dilarutkan dengan
100 ml akuades steril.
3.9.3 Konsentrasi 20% b/v
Sabun madu tranaparan yang dihasilkan terlebih dahulu dipotong-potong
hingga halus kemudian ditimbang 20 g potongan sabun lalu dilarutkan dengan
(45)
3.10 Metode Pengujian Efek Aktivitas Antibakteri Secara In Vitro
Ke dalam cawan petri dimasukkan 0,1 ml inokulum, kemudian ditambahkan
20 ml media nutrient agar steril yang telah dicairkan, dihomogenkan dan
dibiarkan sampai media memadat. Cakram kertas (diameter 6 mm) direndam ke
dalam larutan uji dengan berbagai konsentrasi dan diletakkan diatas permukaan
media agar, kemudian diinkubasi pada suhu 35 ± 2°C selama 18 - 24 jam.
Diameter daerah hambat di sekitar cakram kertas diukur dengan menggunakan
jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali. Perlakuan sama terhadap
sabun madu transparan yang menggunakan VCO, minyak kelapa sawit (palm oil)
dan minyak kedelai (soybean oil). Data hasil pengukuran dapat dilihat pada
(46)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemerikasaan Sifat Fisik Sabun Madu Transparan
Pemeriksaan sifat fisik sabun seperti pH, tinggi busa dan tegangan
permukaan dilakukan terhadap sabun madu transparan yang menggunakan
minyak kelapa murni (VCO), minyak kelapa sawit dan minyak kedelai, dengan
maksud untuk mengetahui apakah ketiga sabun madu tansparan memiliki sifat
fisik yang berbeda. Hasil sifat fisik ketiga sabun madu transparan dapat dilihat
pada Tabel 4 berikut ini:
4.1.1 Hasil Pengukuran pH Dari Ketiga Sabun Madu Transparan
Data hasil pengukuran pH dari ketiga sabun madu transparan dapat dilihat
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Hasil Pengukuran pH Dari Ketiga Sabun Madu Transparan
No.
Konsentrasi sabun madu transparan
(%b/v)
pH Sabun VCO
Sabun Minyak
Kelapa Sawit Sabun Miyak Kedelai
1. 0,001 6,70 6,73 6,80 2. 0,005 6,73 6,76 6,86 3. 0,010 6,76 6,83 6,90 4. 0,020 6,80 6,90 6,96 5. 0,030 6,86 6,93 7,10 6. 0,040 7,03 7,13 7,23 7. 0,050 7,20 7,26 7,30 8. 0,060 7,33 7,36 7,46 9. 0,070 7,50 7,53 7,56 10. 0,080 7,53 7,60 7,66 11. 0,090 7,63 7,70 7,73 12 0,100 7,73 7,80 7,86
(47)
Grafik hasil pengukuran pH dari ketiga sabun madu transparan dapat dilihat
pada Grafik 4.1.
Grafik 4.1 Grafik Hasil Pengukuran pH Dari Sabun Madu Transparan
Dari Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa pH dari sabun madu transparan
yang menggunakan VCO yaitu 6,70 - 7,73, pH dari sabun madu transparan yang
menggunakan minyak kelapa sawit yaitu 6,73 - 7,80 dan pH dari sabun madu
transparan yang menggunakan minyak kedelai yaitu 6,80 - 7,86. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga sabun madu transparan yang dihasilkan aman
digunakan karena memiliki pH kurang dari 9. Bila sabun memiliki pH 9 – 12
dapat menyebabkan iritasi kulit (Wasitaatmadjaya, 1997).
Sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa
kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Jika pH sabun
antara 9 ˗ 12 (alkalis) dapat menyebabkan iritasi kulit karena akan mempercepat hilangnya mantel asam pada lemak kulit permukaan sehingga pembengkakan kulit
akan terjadi lebih cepat. Kerusakan lapisan lemak kulit dapat meningkatkan
6,00 6,20 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 7,40 7,60 7,80 8,00 pH Sab un M ad u T ran spar an
Konsentrasi Larutan Sabun Madu Transparan (%)
pH Sabun VCO
pH Sabun Minyak Kelapa Sawit pH Sabun Miyak Kedelai
(48)
permeabilitas kulit sehingga mempermudah benda asing menembus kulit dan
mengakibatkan kekeringan kulit akibat kegagalan kulit mengikat air
(Wasitaatmadja, 1997).
Pada formula sabun transparan ditambahkan gliserin dan madu yang
berfungsi sebagai pelembab (humektan) untuk mencegah kekeringan kulit dengan
cara mengganti lapisan lemak permukaan kulit yang terlarut akibat pemakaian
sabun, mengikat air dan mengurangi jumlah air yang meninggalkan kulit. Dari
pernyataan diatas dapat dijelaskan bahwa sabun madu transparan yang dibuat
memiliki pH yang masih diterima oleh permukaan kulit.
4.1.2 Hasil Pengukuran Ketinggian Busa Dari Ketiga Sabun Madu Transparan
Data hasil pengukuran ketinggian busa dari ketiga sabun madu transparan
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Data Hasil Pengukuran Ketinggian Busa Dari Ketiga Sabun Madu Transparan No Konsentrasi sabun madu transparan (%b/v) Tinggi Busa Sabun VCO (cm) Sabun Minyak Kelapa Sawit (cm) Sabun Minyak Kedelai (cm)
1. 0,001 1,43 0,86 0,50 2. 0,005 1,60 1,03 0,63 3. 0,010 1,83 1,33 0,83 4. 0,020 2,06 1,56 1,06 5. 0,030 2,33 1,73 1,26 6. 0,040 2,66 1,96 1,60 7. 0,050 2,86 2,20 1,83 8. 0,060 3,20 2,53 2,06 9. 0,070 3,53 2,86 2,33 10. 0,080 3,86 3,06 2,63 11. 0,090 4,00 3,23 3,03 12. 0,100 4,20 3,50 3,23
(49)
Grafik hasil pengukuran tinggi busa dari ketiga sabun madu dapat dilihat
pada Grafik 4.2.
Grafik 4.2 Grafik Hasil Pengukuran Tinggi Busa Dari Sabun Madu Transparan
Banyak larutan yang mengandung bahan aktif permukaan menghasilkan
busa yang stabil bila dicampur dengan air. Busa adalah suatu struktur yang relatif
stabil yang terdiri dari kantong-kantong udara terbungkus dalam lapisan tipis
cairan, dispersi gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu zat pembusa
(Martin, et al., 1983).
Dari Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa ketiga sabun madu transparan
mempunyai ketinggian busa yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan komponen asam lemak dari minyak yang digunakan dalam proses
pembuatan sabun. Karakteristik busa yang dihasilkan oleh sabun dipengaruhi oleh
jenis asam lemak yang terdapat dalam minyak yang digunakan dalam pembuatan
sabun. Semakin panjang rantai hidrokarbon dari asam lemak maka akan semakin
rendah ketinggian busa dari sabun yang akan dihasilkan (Rosen, 1998).
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 T inggi B ua Sab un M ad u T ran sp ar an ( cm )
Konsentrasi Larutan Sabun Madu Transparan (%)
Tinggi Busa Sabun VCO Tinggi busa sabun minyak kelapa sawit Tinggi busa sabun minyak kedelai
(50)
Sabun madu transparan yang menggunakan VCO mempunyai ketinggian
busa yang lebih besar dibandingkan dengan sabun madu transparan yang
menggunakan minyak kelapa sawit dan sabun madu transparan yang
menggunakan minyak kedelai. Hal ini disebabkan karena adanya komponen asam
lemak rantai sedang (asam laurat) pada minyak kelapa murni (VCO)
menyebabkan timbulnya busa yang relatif banyak pada sabun madu transparan
yang menggunakan VCO, dimana asam lemak rantai sedang lebih berperan
terhadap pembusan sabun dibandingkan asam lemak rantai panjang. Semakin
banyak jumlah asam lemak rantai sedang (asam laurat) yang digunakan dalam
pembuatan sabun, maka akan semakin banyak busa yang dihasilkan (Rosen,
1998).
4.1.3 Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Sabun Madu Transparan 4.1.3.1 Penurunan Tegangan Permukaan
Data hasil pengukuran tegangan permukaan dari ketiga sabun madu
transparan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Sabun Madu Transparan
No
Konsentrasi Sabun Madu
(b/v)
γ Setelah Koreksi (dyne/cm)
γ Sabun
VCO
γ Sabun Minyak
kelapa Sawit
γ Sabun Minyak
Kedelai
1. 0,001 46,12 43,69 42,15 2. 0,005 42,80 42,97 39,41 3. 0,010 39,65 39,44 35,88 4. 0,020 38,65 37,69 34,82 5. 0,030 37,76 34,61 33,82 6. 0,040 37,39 34,57 33,62 7. 0,050 36,52 33,69 30,29 8. 0,060 35,39 32,55 29,37 9, 0,070 33,51 30,53 28,24 10. 0,080 33,51 30,53 28,24 11. 0,090 33,51 30,53 28,24
(51)
Grafik hasil pengukuran tegangan permukaan dari sabun madu transparan
dapat dilihat pada Grafik 4.3.
Grafik 4.3 Grafik Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Sabun Madu Transparan
Dari Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa ketiga sabun madu transparan
mempunyai nilai tegangan permukaan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan komponen asam lemak dari minyak yang digunakan dalam
pembuatan sabun. Tegangan permukaan dipengaruhi oleh panjang rantai
hidrokarbon dari asam lemak yang terdapat dalam minyak. Semakin panjang
rantai hidrokarbon dari asam lemak maka akan semakin rendah nilai tegangan
permukaan sehingga semakin tinggi daya pembersih sabun (Lachman, et al.,
1989).
Sabun madu transparan yang menggunakan minyak kedelai mempunyai
nilai tegangan permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan sabun madu
transparan yang menggunakan VCO dan sabun madu transparan yang
25 30 35 40 45 50
0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120
T egan gan P er m u k aan ( d yn e/ cm )
Log Konsentrasi Larutan Sabun Madu Transparan
γ Sabun VCO γ Sabun Minyak Kelapa Sawit γ Sabun Minyak Kedelai
(52)
menggunakan minyak kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh asam lemak yang
terdapat minyak kedelai, dimana rantai hidrokarbon asam linoleat (C18:2) dari
minyak kedelai lebih panjang daripada rantai hidrokarbom asam laurat (C12:0)
dari minyak kelapa murni (VCO) dan rantai hidrokarbon asam palmitat (C16:0)
dari minyak kelapa sawit. Sabun madu transparan yang menggunakan minyak
kedelai mempunyai nilai tegangan permukaan yang lebih kecil sehingga daya
pembersih sabun madu transparan yang menggunakan minyak kedelai lebih baik
daripada sabun madu transparan yang menggunakan VCO dan sabun madu
transparan yang menggunakan minyak kelapa sawit.
Minyak kedelai juga mengandung lesitin 1-3%. Lesitin adalah suatu zat
pengemulsi (surfaktan) yang berfungsi sebagai senyawa penstabil dan pembasah
(wetting agent) (Hartomo, 1993). Hal ini juga menyebabkan sabun madu
transparan yang menggunakan minyak kedelai memiliki tengangan permukaan
yang lebih rendah dibandingkan sabun madu transparan yang lain.
Penurunan tegangan permukaan berhubungan dengan pembasahan dan
penurunan sudut kontak. Semakin kecil tegangan permukaan, maka sudut kontak
semakin kecil sehingga kemampuan untuk membasahi padatan semakin besar.
Semakin kecil sudut kontak, maka kemampuan untuk melepaskan minyak dari
permukaan padatan semakin besar sehingga daya pembersihnya semakin tinggi.
Sebaliknya untuk tegangan permukaan yang besar akan menghasilkan sudut
kontak yang besar dan susah terjadi pembasahan. Sudut kontak yang besar
menyebabkan kotoran susah dilepaskan dari permukaan padatan sehingga daya
(53)
Salah satu kriteria sabun yang baik adalah dapat menurunkan tegangan
permukaan air dari 71,15 dyne/cm menjadi 25-45 dyne/cm pada rentang
konsentrasi 0,1-0,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sabun madu transparan
termasuk kriteria sabun yang baik karena memiliki nilai tegangan permukaan pada
rentang 25-45 dyne/cm (Noor, 2009).
4.1.3.2 Penentuan Harga Konsentrasi Misel Kritis (KMK)
Untuk mendapatkan Konsentrasi Misel Kritis (KMK) maka dibuat grafik
tegangan permukaan versus konsentrasi sabun. Konsentrasi Misel Kritis (KMK)
merupakan titik potong antara garis penurunan tegangan permukaan dengan garis
konsentrasi. Pada saat Konsentrasi Misel Kritis (KMK), tegangan permukaan
mulai konstan. Penentuan harga KMK untuk sabun madu transparan yang
menggunakan VCO, minyak kelapa sawit, dan minyak kedelai dapat dilakukan
dengan cara yang sama seperti diatas.
Data hasil pengukuran harga konsentarsi misel kritis (KMK) dari sabun
madu transparan dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Data Hasil Penentuan Harga Konsentrasi Misel Kritis (KMK) Dari Sabun Madu Transparan
No. Nama Sabun Madu Transparan
Tegangan Permukaan Pada KMK (dyne/cm)
KMK (% b/v)
1. Sabun Dengan Minyak Kelapa Murni (VCO)
43,51 0,07
2. Sabun Dengan Minyak Kelapa Sawit
40,53 0,07
3. Sabun Dengan Minyak Kedelai
(54)
Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa KMK, sabun madu transparan yang
menggunakan VCO, minyak kelapa sawit dan minyak kedelai adalah 0,07% b/v.
Dimulai dari konsentrasi ini, peningkatan konsentrasi tidak akan menurunkan
tegangan permukaan. Hal ini disebabkan larutan sabun tidak mempunyai efek
lebih lanjut pada permukaan atau tegangan permukaan pada konsentrasi di atas
KMK, karena tidak lagi berorientasi pada muka tetapi telah membentuk agregat
berukuran koloid yang disebut misel di dalam larutan (Lachman, et al., 1989).
Di bawah KMK, konsentrasi amfifil yang mengalami adsorpsi pada
antarmuka udar-air meningkat pada waktu konsentrasi total amfifil dinaikkan.
Akhirnya tercapai suatu titik dimana antarmuka dan fase bulk keduanya menjadi
jenuh dengan monomer yang disebut dengan KMK. Tiap penambahan amfifil
selanjutnya yang melebihi KMK ini akan mengagregasi membentuk misel
(Martin, et al., 1983).
4.2 Uji Aktivitas Antibakteri Dari Sabun Madu Transparan Terhadap
Staphylococcus epiderimidis dan Escherichia coli
Data hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis dari sabun madu transparan dapat dilihat pada Tabel
4.5.
Tabel 4.5 Data hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Staphylococcus epiderimidis dari sabun madu transparan
Nama Sabun Konsentrasi (%) Diameter Hambat (mm)
Sabun Madu Transparan Dengan VCO
5 16,73
10 19,00 20 21,06 Sabun Madu Transparan
Dengan Minyak Kelapa Sawit
5 14,30
10 15,13 20 16,53 Sabun Madu Transparan
Dengan Minyak Kedelai
5 16,06
(55)
Grafik hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Staphylococcus epiderimidis dari sabun madu transparan dapat dilihat pada Grafik
4.4.
Grafik 4.4 Grafik hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Staphylococcus epiderimidis dari sabun madu transparan
Data hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan Escherichia
coli dari sabun madu transparan dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Data hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Escherichia coli dari sabun madu transparan
Nama Sabun Konsentrasi (%) Diameter Hambat
(mm)
Sabun Madu Transparan Dengan VCO
5 16,36
10 17,43 20 19,50 Sabun Madu Transparan
Dengan Minyak Kelapa Sawit
5 13,83
10 14,63 20 15,66 Sabun Madu Transparan
Dengan Minyak Kedelai
5 15,26
10 16,30 20 17,66
0 5 10 15 20 25
5 10 20
D iam et er H am b at ( mm)
Konsentrasi Larutan Sabun Madu Transparan (%)
sabun vco
sabun minyak kelapa sawit sabun minyak kedelai
(56)
Grafik hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Escherichia coli dari sabun madu transparan dapat dilihat pada Grafik 4.5.
Grafik 4.5 Grafik hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan
Escherichia coli dari sabun madu transparan
Dari Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 di atas bahwa pengujian aktivitas antibakteri
dilakukan dengan berbagai tingkat konsentrasi yang bertujuan untuk mengetahui
apakah kenaikan konsentrasi akan meningkatkan aktivitas antibakterinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sabun madu transparan yang menggunakan VCO,
minyak kelapa sawit dan minyak kedelai memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Escherichia coli dan Staphylococcus epidermidis yang ditandai dengan adanya
daerah hambatan di sekitar cakram kertas.
Sabun madu transparan yang menggunakan VCO memiliki diameter daerah
hambatan yang lebih besar terhadap Staphylococcus epidermidis dan Escherichia
coli dibandingkan sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa
sawit dan sabun madu transparan yang menggunakan minyak kedelai. Diameter
daerah hambatan dari sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa
0 5 10 15 20 25
5 10 20
D
iam
et
er
H
am
b
at
( mm
)
Konsentrasi Larutan Sabun Madu Transparan (%)
sabun vco
sabun minyak kelapa sawit sabun minyak kedelai
(57)
murni (VCO) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi 5%,
10% dan 20% berturut-turut 16,73 mm, 19,00 mm dan 21,06 mm. Terhadap
bakteri Escherichia coli, sabun madu transparan yang menggunakan minyak
kelapa murni (VCO) memberikan diameter daerah hambatan pada konsentrasi
5%, 10% dan 20% sebesar 16,36 mm, 17,43 mm dan 19,50 mm. Hal ini
disebabkan karena minyak kelapa murni (VCO) mempunyai kandungan asam
lemak rantai sedang yang yang dikenal sebagai Medium Chain Fatty Acids
(MCFA). MCFA merupakan asam lemak yang mempunyai rantai karbon C8-C12
yang bersifat jenuh (asam kaprilat, kaprat, laurat) yang bermanfaat sebagai
antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Asam lemak dar MCFA yang
paling aktif sebagai antibakteri adalah asam laurat (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Dari hasil yang diperoleh, sabun madu transparan yang menggunakan
minyak kedelai memiliki diameter daerah hambatan yang lebih besar terhadap
Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli dibandingkan sabun madu
transparan yang menggunakan minyak kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena
minyak kedelai mengandung lesitin, dimana lesitin merupakan suatu zat
pengemulsi/surfaktan (Hartomo, 1993). Dengan adanya lesitin (surfaktan) maka
kemampuan sabun untuk masuk kedalam membrane plasma bakteri dan merusak
membrane plasma bakteri akan meningkat sehingga antibakteri dari sabun
(58)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga sabun madu transparan yang
dihasilkan memberikan sifat fisik yang berbeda – beda terhadap pH, tinggi busa
dan tegangan permukaan. Ketiga sabun madu transparan yang dibuat aman
digunakan karena sesuai dengan pH permukaan kulit. Sabun madu transparan
yang diformulasi dengan VCO mempunyai ketinggian busa yang paling tinggi
dibandingkan sabun madu transpan yang diformualsi dengan minyak kelapa sawit
dan sabun madu transparan yang diformulasi dengan minyak kedelai, sedangkan
tegangan permukaan dari sabun madu transparan yang diformulasi dengan
minyak kedelai lebih rendah dari kedua sabun madu transparan yang lain.
b. Sabun madu transparan dengan minyak VCO memiliki aktivitas antibakteri
yang paling besar terhadap Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli
dibandingkan kedua sabun madu transparan yang lain. Diameter daerah hambatan
dari sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa murni (VCO)
terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi 5%, 10% dan 20%
berturut-turut 16,73 mm, 19,00 mm dan 21,06 mm. Terhadap bakteri Escherichia
coli, sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa murni (VCO)
memberikan diameter daerah hambatan pada konsentrasi 5%, 10% dan 20%
(59)
5.2 Saran
Kepada peneliti selanjutnya disarankan membuat sabun transparan dari
beberapa campuran minyak yang berbeda dan memodifikasi formula dengan
(1)
c. Data Hasil Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Sabun Madu Transparan Yang Menggunakan Minyak Kedelai
Konsentrasi sabun madu dengan Minyak
Kedelai
γ Terbaca (dyne/cm)
γ Rata -rata
γ Setelah Koreksi (dyne/cm γ 1 γ 2 γ 3
0,001 40,4 40,8 41,0 40,73 42,15
0,005 38,1 38,0 38,1 38,06 39,41
0,010 34,8 34,2 34,9 34,63 35,88
0,020 33,8 33,1 33,9 33,60 34,82
0,030 32,3 32,9 32,7 32,63 33,82
0,040 32,1 32,9 32,3 32,43 33,62
0,050 28,8 28,8 30,0 29,20 30,29
0,060 28,3 28,3 28,3 28,30 29,37
0,070 27,2 27,2 27,2 27,20 28,24
0,080 27,2 27,3 27,1 27,20 28,24
0,090 27,2 27,0 27,4 27,20 28,24
(2)
Lampiran 8. Bagan pengujian aktivitas antibakteri sabun madu transparan
Diambil 1 ose stok kultur
Disuspensikan ke dalam 10 ml media nutrient broth (NB) steril
Diinkubasi pada suhu 35 ± 2oC selama 2 - 3 jam sampai diperoleh kekeruhan dengan transmitan 25% pada panjang gelombang 580 nm
Dimasukkan 0,1 ml inokulum ke dalam cawan petri Ditambahkan 20 ml media nutrient agar (NA) ke dalam cawan petri
Dihomogenkan
Dibiarkan hingga media memadat
Diletakkan cakram kertas yang telah direndam ke dalam larutan uji dengan berbagai konsentrasi
Diinkubasi pada suhu 35±2oC selama 18 - 24 jam
Diukur diameter daerah hambatan disekitar cakram kertas menggunakan jangka sorong
Stok kultur
Inokulum bakteri
Media padat
(3)
Lampiran 9. Gambar hasil uji aktivitas antibakteri sabun madu transparan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dan Escherichia coli
a. Gambar hasil uji aktivitas antibakteri sabun madu transparan terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis
Keterangan:
A = Zona hambat sabun madu transparan yang menggunakan VCO
B = Zona hambat sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa sawit C = Zona hambat sabun madu transparan yang menggunakan minyak kedelai
A
C
(4)
b. Gambar hasil uji aktivitas antibakteri sabun madu transparan terhadap bakteri Escherichia coli
Keterangan:
A = Zona hambat sabun madu transparan yang menggunakan VCO
B = Zona hambat sabun madu transparan yang menggunakan minyak kelapa sawit C = Zona hambat sabun madu transparan yang menggunakan minyak kedelai
A
C
(5)
Lampiran 10. Data Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis Dan Escherichia coli Dari Sabun
Madu Transparan
a. Data Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis Dari Sabun Madu Transparan
Nama Sabun Konsentrasi (%) Diameter Hambat (mm)
Diameter Hambat Rata-Rata (mm)
Sabun Madu Transparan Dengan VCO
5 16,9
16,73
5 16,8
5 16,5
10 19,5
19,00
10 19,1
10 18,4
20 21,0
21,06
20 20,8
20 21,4
Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kelapa Sawit
5 14,5
14,30
5 14,1
5 14,3
10 15,4
15,13
10 15,2
10 14,8
20 16,5
16,53
20 16,7
20 16,4
Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kedelai
5 15,8
16,06
5 16,0
5 16,4
10 17,3
17,20
10 16,8
10 17,5
20 18,2
18,16
20 18,5
(6)
b. Data Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan Escherichia coli Dari Sabun Madu Transparan
Nama Sabun Konsentrasi (%)
Diameter Hambat (mm)
Diameter Hambat Rata-Rata (mm)
Sabun Madu Transparan Dengan VCO
5 16,2
16,36
5 16,5
5 16,4
10 17,6
17,43
10 17,3
10 17,4
20 19,3
19,50
20 19,5
20 19,7
Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kelapa Sawit
5 13,8
13,83
5 14,0
5 13,7
10 14,4
14,63
10 14,6
10 14,9
20 15,7
15,66
20 15,9
20 15,4
Sabun Madu Transparan Dengan Minyak Kedelai
5 15,4
15,26
5 15,3
5 15,1
10 16,3
16,30
10 16,5
10 16,1
20 17,4
17,66
20 17,6