commit to user
xxiii edisi Oktober 2009 dalam artikel berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat,
bernama Indonesia” dapat diketahui pemaknaannya secara tersirat dan tersurat. Berangkat dari berbagai uraian diatas, penulis tertarik dengan asumsi bahwa
tidak semua pesan yang disampaikan melalui esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” dalam majalah National
Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 dapat dengan mudah dipahami, maka peneliti akan mencoba meneliti sekaligus mengintepretasikan makna dalam foto
jurnalistik tersebut agar dapat membuka tabir mengenai simbol-simbol Islam yang kerap kali dipakai oleh masyarakat. Sebagai salah satu penelitian komunikasi,
penelitian ini setidaknya bisa memberikan makna yang lebih bisa dipahami dalam pertukaran simbol Islam yang dipakai oleh media massa, seperti cadar atau polisi
syariah. Fotojurnalistik merupakan bagian dari sebuah media, kajian tentang foto jurnalistik tentu membantu ilmu komunikasi dalam membuka pesan atau makna yang
ditampilkan fotojurnalistik sebagai bentuk berita yang dikonsumsi masyarakat luas.
B. Perumusan Masalah
Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Makna-makna apa yang disampaikan fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National
Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi kumpulan foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.
C. Tujuan Penelitian
commit to user
xxiv Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang disampaikan
fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi foto jurnalistik berjudul “Moderat dan
Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis · Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
teoritis berupa penambahan kajian semiotika menggunakan kode-kode fotografi untuk membedah makna pada foto jurnalistik.
2. Manfaat praktis · Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi
media, pakar semiotika, pemerhati komunikasi, masyarakat akademis dan masyarakat pada umumnya dengan memberikan pengetahuan secara lebih
mendalam bagaimana Islam di Indonesia dalam foto jurnalistik. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik balik untuk
melaksanakan penelitian serupa secara lebih mendalam.
E. Kerangka Teori 1. Semiotik
Ilmu komunikasi mencakup segala aspek ilmu sosial dan kebahasaan. Dalam lingkup yang sangat luas itu, ada satu pendekatan yang sangat penting, yaitu
commit to user
xxv semiotika. Semiotika adalah ilmu tanda; berasal dari kata dalam bahasa Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Secara sederhana, semiotika didefinisikan sebagai teori tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu yang
memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan kepada seseorang.
7
Human minds ‘cognize’and ‘signify’ as complementary aspects of their capacity to think and feel. If we accept the metaphore of ‘higher’ and ‘lower’
levels of cognition, and the idea of seeing the ‘higher levels of cognition’ as those responsible for abstraction, language, discourse, institutions, law,
science, music, visual arts, and cultural practicesn general, grounde in the use of conventionally established and intentionallyused signs often called
symbols, then semiotics is the discipline commited to the study of these ‘higher levels’.
8
Manusia memiliki kemamampuan untuk mengetahui dan menandai sebagai aspek yang saling melengkapi untuk berfikir dan merasakan.Konsep
pengetahuan untuk memaknai itu sendiri masih terbagi ke dalam dua tingkatan yaitu tingkatan yang lebih tinggi dan tingkatan yang lebih rendah.
Tingkat pengetahuan untuk memaknai tanda dengan tingkatan yang lebih tinggi terdapat pada bahasa, pidato, musik, hukum, senivisual dan kebudayaan
pada umumnya. Semiotik merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui pemaknaan tanda pada tingkat yang lebih tinggi.
Jika kita mengikuti Charles Sanders Peirce, maka semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”
the formal doctrine of signs; sementara bagi Ferdinand de Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda-tanda di dalam masyarakat” a science that studies the life of signs within
7
Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar, 2002, hal 76
8
Andreassen, Lars. Brandt Vang. “Cognitive Semiotics Issue 0 Spring 2007”, http:www.cognitivesemiotics.comwp-contentuploads200705cognitive-semiotics-0.pdf
diakses pada 5 Februari 2010 pukul 20.15 WIB
commit to user
xxvi society.
9
Perbedaan pendekatan semiotik di antara keduanya adalah, bagi Peirce pendekatan semiotikanya lebih menekankan pada logika, sedangkan Saussure lebih
menekankan pada linguistik. Some general features of the proposed domain of inquiry may be discerned. In
the first place, Peirce’s early attention to the science of semiotic follows from an endeavour to find a definition of logic that would avoid the pitfalls of
psychologism. This, it is evident that the representations, which the various branches of semiotic study, are not to be explicated by an examination of the
actual workings of the human mind. Secondly, it is of some interest to note that semiotic is one member of the basic trivium of science, of which the other
components are the science of forms formal science and the science of things positive science. This primary trivium can be connected to his work on the
theory of categories. In “An Unpsychological View of Logic” Peirce claims that form and matter can be abstracted from the phenomenon considered as an
image or a representation. All three phenomenal aspects or elements may be generalised, giving three supposable objects: representations in general, things,
and qualities. Positive science studies material things, while formal science examines qualitative forms for Semiotic, as the science of representations,
would naturally be concerned with objects of the first kind, that is, with internal and external representations. Using later terminology, we could say that its
proper domain is objects as thirds.
10
Beberapa tulisan umum mengemukakan domain penelitian yang bisa dilihat. Pertama, perhatian awal Peirce pada ilmu semiotik mengikuti dari usahanya
menemukan definisi logic yang akan menghindarkan dari kesukaran ilmu psikologi. Demikian, ini adalah pendukung representasi dimana beberapa
cabang studi semiotik tidak dapat dijabarkan oleh pemeriksaan dari pengerjaan aktual pemikiran manusia. Kedua, ini menjadi catatan yang menarik bahwa
semiotik adalah satu anggota dari ilmu trivium dasar, dimana komponen lain seperti ilmu formal dan ilmu positif. Tribium utama ini bisa dihubungkan pada
pengerjaannya dalam kategori teori. Dalam “An Unpsychological View of Logic” Pierce menyatakan bahwa bentuk dan masalah bisa dimasukkan dalam
fenomena yang dapat dipertimbangkan sebagai gambar atau representasi. Ketiga aspek atau elemen fenomenal bisa digeneralisasikan, memberikan tiga objec
perkiraan yaitu representasi secara umum, sesuatu dan kualitas. Ilmu positif mempelajari tentang suatu benda, sedangkan ilmu formal meneliti bentuk
9
Kris Budiman, Semiotika Visual, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2004, hal 3
10
Berger, Mats. The secret of rendering signs effective: the import of C. S. Peirce’s semiotic rhetoric. The Public Journal of Semiotics. 12,4.
http:www.semiotics.caissuespjos-1-2.pdf diakses pada 5
Februari 2010 pukul 20.35 WIB
commit to user
xxvii kualitatif dari semiotik sebagai ilmu representasi yang secara alami menjadi
berkonsentasi pada objek jenis pertama yaitu representasi internal dan eksternal. Menggunakan terminologi berikutnya, kita bisa katakan itu domain yang tepat
adalah objek sebagai yang ketiga.
Menurut Peirce, sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri, yaitu
sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik, yang termasuk tanda adalah kata-
kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture, dan juga obyek.
11
Tanda terdapat dimana-mana. Kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala sesuatu bisa
menjadi sebuah tanda, misalnya struktur karya sastra, struktur film, orang, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Peirce yang adalah ahli filsafat
Amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Berarti, sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.
12
Bahasa dianggap sebagai unsur terpenting dalam komunikasi. Dengan bahasa tersebut, manusia mengadakan komunikasi satu dengan yang lainnya. Diantara
lambang-lambang atau simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, seperti bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, bahasa adalah yang paling
banyak digunakan. Hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini. Baik mengenai hal
11
Ratna Noviani, op. cit, hal 77
12
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotik, PT. Karya Nusantara, Jakarta, 1996, hal vii
commit to user
xxviii yang konkret maupun yang abstrak. Bukan saja tentang hal atau peristiwa pada saat
sekarang, tetapi juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang. Fotografi dapat dipadankan dengan bahasa, karena layaknya bahasa, fotografi
kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi, yaitu dengan bahasa gambar.
13
Di dalam fotografi, gambar adalah sarana bagi seorang fotografer untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikan, sebagaimana kata-kata yang digunakan
oleh seorang penulis. Jadi melalui bahasa gambar tersebut, seorang fotografer menyampaikan pesannya secara visual, yang mencakup berbagai jenis pesan, yaitu
berupa penyampaian pesan, ide, gagasan, visi, sikap fotografer dan penikmatnya. Asumsi yang paling mendasar dari semiotika adalah menentukan bahwa
segala sesuatu adalah tanda. Prinsipnya, segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesan arti dapat pula berfugsi sebagai tanda, dan kesan arti itu tidak perlu harus
berkaitan dengan kesan arti yang terbentuk dari sesuatu yang diartikan atau ditandakan.
14
Bukan hanya bahasa atau unsur-unsur komunikasi tertentu saja yang tak tersusun sebagai tanda-tanda.
Pada dasarnya, konsep utama semiotika, mencakup tiga elemen dasar yang dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu :
-
Tanda sign, adalah yang memimpin pemahaman obyek kepada subyek. Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata, seperti benda,
13
FOTOMEDIA, Warna-warni : Memahami Arti Komposisi, Juni 1996, hal 27
14
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1995, hal 182
commit to user
xxix kejadian, tulisan, peristiwa dan sebagainya. Tanda adalah arti yang statis,
lugas, umum, dan obyektif.
-
Lambang symbol, adalah keadaan yang memimpin pemahaman subyek kepada obyek. Pemahaman masalah lambang akan mencakup penanda
signifier, dan petanda signified. Penanda adalah yang menandai sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan dengan realitas
kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut Ferdinand de Saussure, tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu :
1 Signifier sound image, tanda atau penanda, merupakan bunyi dari tanda atau kata
2 Signified concept, makna atau petanda, merupakan suatu konsep atau makna dari tanda tersebut
Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda
“mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai alat
komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan bertujuan untuk menyatakan maksud.
15
-
Isyarat signal, adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subyek kepada obyek
15
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Op. Cit , hal 43
commit to user
xxx Charles Sanders Peirce membagi tanda menjadi 3 kategori, yaitu icon, index,
dan symbol.
16
1. Icon ikon Di dalam ikon, hubungan antara tanda dan obyeknya terwujud sebagai
kesamaan dalam berbagai kualitas yakni dalam kesamaan atau kesesuaian rupa yang terungkap oleh penerimanya. Sebuah diagram peta, peta, atau
lukisan misalnya, memiliki hubungan ikonik dengan obyeknya, sejauh diantaranya terdapat keserupaan.
2. Index indeks Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan langsung dengan objek.
Indeks merupakan fakta yang lansung dapat ditangkap, dan disamping itu masih memberikan informasi tambahan tentang fakta-fakta lain yang tidak
dapat ditangkap. Di samping itu masih memberikan informasi tambahan mengenai fakta-fakta lain yang tidak dapat ditangkap secara langsung.
Misalnya, basah merupakan indikasi adanya air, atau kecepatan bicara seseorang merupakan isyarat dari perasaan si pembicara. Dengan demikian,
semua isyarat komunikasi juga mrupakan tanda adanya indikasi. 3. Symbol simbol
Simbol adalah bentuk tanda yang terjadi karena hasil konsensus dari para pengguna. Contoh simbol seperti menggelengkan kepala tanda tidak setuju
atau Sang merah putih yang merupakan simbol dari negara Indonesia.
16
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, hal 43
commit to user
xxxi Sebuah tanda dapat dikatakan sebagai ikon, indeks, maupun simbol, bahkan
kombinasi dari ketiganya. Dapat dijelaskan dengan ilustrasi berikut. Sebuah peta adalah indeks, karena menunjukkan suatu tempat. Dapat pula disebut sebagai ikon,
apabila menunjuk pada tempat-tempat yang saling berhubungan secara topografis. Dan juga bisa dikatakan sebagai simbol karena adanya sistem penotasiannya yang
harus dipelajari lebih dahulu. Semiotik dapat dideskripsikan sebagai studi dan aplikasi dari tanda sign.
Tanda menjadi segalanya yang merefleksikan makna. Dalam hal ini, fotografi adalah sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik informasi maupun emosi. Dalam
perkembangannya saat ini, analisa semiologi merupakan metode yang diterapkan untuk mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial, dia mungkin akan
menjadi bagian dari psikologi sosial dan dengan sendirinya psikologi umum. Semiologi akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut
dan hukum apayang akan mengaturnya. Pendekatan yang digunakan dalam studi hubungan antara pola persepsi dan pemaknaan inilah yang disebut semiologi.
17
Penerapan analisa semiologi komunikasi secara pasti akan membuka peluang untuk menyingkap lebih banyak arti dalam pesan yang disampaikan secara
keseluruhan, daripada yang mungkin akan dilakukan dengan hanya mengikuti kaidah bahasa atau berpedoman dari arti kamus dan tanda-tanda yang terpisah.
Memperhatikan kecenderungan ini, kaitannya lalu dapat dikatakan bahwa sebenarnya analisis semiotika lebih bersifat serba guna.
17
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan Indonesiatera, Magelang, 2001, hal 14-15
commit to user
xxxii Seperti beberapa istilah lain yang dipakai dalam semiotik bergambar, fotografi
adalah pengertian umum gagasan, yang hal dalam hal ini adalah dengan analisis semiotika untuk menyusunnya. Sebagaimana fotografi dirancang dengan cara tertentu
untuk menghasilkan sebuah tanda pada suatu permukaan yang akan menambah khayalan dari pemandangan dunia yang diproyeksikan pada permukaan tersebut.
18
Dalam hal ini, fotografi adalah sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik informasi maupun emosi. Menurut Aart Van Zoest, semiologi memiliki dua
pendekatan yang dipelopori oloh Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Menurut Peirce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda yang
memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Sedangkan kekhasan teori Saussure
terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagi sistem tanda.
19
Peneliti akan menggunakan teori Roland Barthes yang dikenal sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Pengolahan teks dalam praktek semiotika Roland Barthes didasarkan pada
beberapa kode-kode, yakni
20
: 1. Kode hermeneutik, kode ataupun teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul pada teks.
18
Goran Sonesson, The Interne Semiotics Encyclopedia, www.arthist.lu.se
diakses pada 5 Februari 2010 pukul 18.45 WIB
19
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoost, opcit, hal 1
20
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 2003, hal 65-67
commit to user
xxxiii 2. Kode semik makna konotatif, banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses
pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase
yang mirip. 3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural. 4. Kode proaretik kode tindakan, dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang
dibaca orang. Artiny semua teks bersifat naratif. 5. Kode gnomik kode kultural, kode-kode ini merupakan acuan teks ke benda-
benda yang sudah diketahui dan dimodifikasi oleh budaya. Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun sistem klasifikasi
unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-
teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari nyata. Menurut Roland Barthes, semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan
petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan.
21
Barthes mengaplikasikan semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti
mode busana, iklan, film, sastra dan fotografi. Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan two way of signification,
yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
21
Alex Sobur, op. cit, hal 123
commit to user
xxxiv hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas
yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.
22
Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang
didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan.
Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan.
23
Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap two way of signification seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier penanda
2. Signified petanda
2. Denotative sign
tanda denotative 4. Conotative Signifier
penanda konotatif Conotative sigfnified
petanda konotatif Conotative sign tanda konotatif
22
Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas Kebudayaan, LKiS, Yagyakarta, 1999, hal 261
23
Ibid
commit to user
xxxv
Sumber : Dikutip dari Paul Cobey Litza Jansz, 1999, Introducing Semiotics, NY, Totem Book, hal 51 dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 2003,hal 69
Dari peta Brathes diatas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif 4. Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan
namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu
makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi
Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang
universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan
perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda
berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi antara tanda dan pengguna budayanya yang sangat aktif.
24
Teori tentang
mitos tersebut
kemudian diterangkannya
dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifed petanda oleh
pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan
24
John Fiske, op. cit, hal 121-126
commit to user
xxxvi ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak
lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi.
25
Seperti pada gambar di bawah: tatanan pertama
tatanan kedua
realitas tanda
kultur
bentuk
i s i
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya
26
Denotasi dalam arti umum adalah makna yang sesungguhnya, bahkan terkadang dirancukan sebagai referansi atau acuan. Denotasi adalah penggunaan
bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Sedangkan konotasi
merupakan signifikasi tingkat kedua.
25
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok, Jakarta, 2008, hal 153
26
Alex Sobur, op. cit, hal 70 denotasi
Penanda petanda
konotasi
mitos
commit to user
xxxvii Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
27
2. Foto Jurnalistik