ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA

(1)

commit to user

ii

SKRIPSI

ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA

DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK

MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA

(Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Esai Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009)

Disusun Oleh :

Agoes Rudianto D 1207565

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Disetujui Untuk Dipertahankan Dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si Drs Subagyo, SU


(3)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Telah Diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari :

Tanggal :

Panitia Penguji :

1. Ketua : Drs. Mursito, SU

NIP 19530727 198003 1001 ( ……… )

2. Sekretaris : Diah Kusumawati, M.Si

NIP. 19760101 260812 2002 ( ……… )

3. Penguji I : Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si

NIP 19580617 19870 21 001 ( ……… )

4. Penguji II : Drs Subagyo SU

NIP. 19520917 19800 31 001 ( ……… )

Mengetahui, Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Drs. Pawito Ph.D NIP. 19540805 19850 31 002


(4)

commit to user

v

M

MOOTTTTOO

· Semua akan indah pada waktunya, tapi hanya untuk orang yang mau berusaha

· Setiap perjalanan adalah pelajaran


(5)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karya sederhana ini untuk mereka, orang-orang yang telah menjadikanku bisa berusaha dengan keras dan tekad untuk lulus :

· Bapak dan Ibu yang bagai nyala sepasang lilin di dalam hakiki kesabaran dan jiwa kesederhanaannya, yang telah mendidik, membimbing dan membuatku seperti sekarang ini, semoga diriku menambah kebanggaan serta tidak mengecewakan keluarga.

· Buat adik-adikku Miko Bagus dan Basuki Wahyu Utomo, semoga bisa mengeyam pendidikan yang lebih tinggi.


(6)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah Robbill’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas kebesaran rahmat dan karunia-Nya, serta sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Skripsi berjudul Islam Radikal dan Moderat di Indonesia Dalam Esai Foto Jurnalistik Majalah National Geographic Indonesia(Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009) ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari bimbingan dan petunjuk serta arahan dari berbagai pihak yang dengan penuh kesadaran memberi dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila ada rangkaian kata yang lebih indah melebihi ucapan terima kasih, dengan segenap ketulusan dan keihklasan serta kerendahan hati akan penulis sampaikan kepada yang terhormat dan tercinta Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga yang menanti keberhasilan atas doa, dukungan dan kasih sayang yang diberikan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Special thanks for ALLAH SWT dan Al-Qur’an ( penjawab semua keraguan dan misteri ).

2. Prof. Drs. Pawito Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

3. Dra Prahastiwi Utari, Ph D selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.


(7)

commit to user

viii

4. Drs. Subagyo SU, selaku pembimbing akademik, yang telah berkenan memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

5. Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si dan Drs. Subagyo SU selaku dosen pembimbing yang telah merelakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.

6. Segenap dosen pengajar yang telah memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan bimbingan selama menempuh pendidikan di FISIP Universitas Sebelas Maret.

7. Terima kasih kepada redaksi Majalah National Geographic Indonesia yang sudah memberi bantuan selama penulis melakukan penelitian dan pengumpulan data.

8. Bapak, Ibu dan adik-adikku (Miko dan Wahyu) atas segala doa dan dukungan untuk tetap bersabar dan berjuang menyelesaikan skripsi ini.

9. Amin Maulin Nastria, yang selalu mendukung di masa-masa sulit studiku dan juga semua perhatiaanya hingga skripsi ini terselesaikan.

10.Keluarga keduaku, Hasan Sakri Gozali dan Kesturi Haryunani yang selalu mengingatkan bahwa waktu itu terbatas. Juga Ratna, Elya dan Eko yang menjadi tempat berbagi ilmu serta motivasi.

11.FFC dan semua penghuninya yang membawa saya menjadikan fotografi bagian dari hidup saya.

12.Desk foto Fadjar Roosdianto, Verdy Bagus, Ratna Puspita Dewi, Dwi Prasetyo, Sunaryo Haryo Bayu, Burhan Aris Nugraha, Widodo dan Wachid. Serta rekan kerja di Harian Umum SOLOPOS lainnya yakni Anton Prihantono, Rina Yurini, Danang Nur Ihsan, Yusmei Sawitri, Sholahudin Muyazin, Priyono.

13.Teman-teman Pewarta Foto Indonesia (PFI) Solo Andika, Akbar, Nuno, Taufan, Azzam, Arie, Jimbung, Arif, Mas Boy, Mas Gembeng, Mas Andri, Mas Blontank, Pak Ali Lutfi.


(8)

commit to user

ix

14.Semua saudara dan teman yang belum atau tidak tertulis disini, yang penulis anggap telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, bukanlah suatu ketidakinginan karena diri-dirimu telah terlukis dalam hatiku (dan juga karena keterbatasan penulis dalam menyusun siapa saja yang harus disebutkan), dan juga disebabkan akan keterburu-buruan penulis untuk segera menulis ”these thanks to things” dikarenakan dateline untuk mendaftar wisuda yang sudah mepet.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan kepada semuanya, Amin. Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun dalam penyajiannya. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan penulis dan dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka penulis mengharapkan adanya kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Mei 2011

Penulis


(9)

commit to user

x

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Kerangka Teori Kerangka Pemikiran 1. Semiotika... ... 11

2. Foto Jurnalistik... 24

3. Islam Radikal dan Moderat ... 31

4. Tempat Kejadian ... 33

F. Kerangka Pikir ... 34

G. Defenisi Konsep 1. Semiotik ... 36

2. Makna ... 36

3. Foto Jurnalistik... 37

4. Islam Radikal dan Moderat ... 37

H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian... 38

2. Metode Penelitian... 38

3. Sumber Data... 39


(10)

commit to user

xi

BAB II DESKRIPSI MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA

A. Profil Majalah NGI ... 43

B. Visi Dan Misi Majalah NGI ... 44

C. Alur Peliputan ... 45

D. Pengawakan Redaksi ... 47

E. Fotografer James Natchwey ... 50

F. Liputan NGI Mengenai Islam di Indonesia ... 52

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Konsep Esai Foto Islam di Indoensia... 55

B. Analisa Obyek Foto ... 56

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 112


(11)

commit to user

xii

ABSTRAK

Agoes Rudianto, D 1207565 : ISLAM RADIKAL DAN MODERAT DI INDONESIA DALAM ESAI FOTO JURNALISTIK MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA (Studi Analisis Semiotik terhadap Makna Esai Foto Jurnalistik Tentang Islam di Indonesia dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009), Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011.

Majalah mempunyai fungsi sebagai pemberi informasi kepada khalayak, informasi bisa berupa tulisan dan juga foto yang termuat. Foto jurnalistik yang menjadi salah satu bagian dari media massa mampu memberikan penjelasan secara virtual dalam suatu berita. Selain untuk kebutuhan berita, foto mempunyai pesan berita tersendiri yang ingin disampaikan melalui sebuah visual. Penelitian ini berfokus pada bagaimana membaca sebuah foto yang termuat dalam sebuah media massa, membaca makna dalam foto majalah.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik Roland Barthes, yang berguna untuk menganalisis makna dalam foto jurnalistik di majalah. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan unit analisis denotasi dan konotasi yang terdapat dalam objek penelitian yang berupa foto dan caption dalam majalah yang berjumlah sepuluh foto. Akhirnya temuan dari studi ini tidak lain adalah jawaban dari rumusan masalah sebelumnya, pembentukan makna yang secara keseluruhan diperoleh setelah melewati tahapan analisis, disertai dengan tahapan identifikasi hubungan pertandaan yang memakai model Barthez.

Pemeluk Islam di Indonesia terdiri dari berbagai kelompok gerakan keagamaan yang berbeda dalam pelaksanaan syariah. Perbedaan tersebut muncul karena dipengaruhi oleh pemahaman mengenai Al Quran dan Hadist yang berbeda pula. Ada kelompok yang berusaha menegakkan syariat Islam dengan kekerasan, sedangkan kelompok lainnya berusaha menyelaraskan syariat Islam dengan perkembangan jaman.

Selanjutnya karya ilmiah ini diharapkan dapat berguna bagi penelitian lanjutan dengan menggunakan metode yang berbeda, dan agar dapat lebih dikembangkan lagi dari berbagai segi, baik dalam hal analisis, content dari karya ilmiah yang akan ditulis oleh peneliti-peneliti selanjutnya.


(12)

commit to user

xiii

ABSTRACT

Agoes Rudianto, D 1207565: RADICAL AND MODERATE ISLAM IN INDONESIA OF ESSAY JOURNALISTIC PHOTOGRAPHY IN INDONESIAN NATIONAL GEOGRAPHIC MAGAZINE (Study of Semiotic analysis of The Meaning of Jornalistic Photography about Islam in Indonesia in Indonesia National Geographic Magazine 2009 October edition). Thesis. Major in Communication Science. Faculty of Social Science and Political Science. Sebelas Maret University of Surakarta. 2011

Magazine has a function as an information source for public, this information can be a written material and also photojournalism be contained in a publication. Photojournalism, as one part of mass media, are able to explain news virtually. In addition to needs of news, photojournalism has its own news message that needs to be to be conveyed through a visual. This research is focused on how to read a published photo in a mass media, read the meaning of a photo in a magazine.

The purpose of this research is finding out the meanings that contained in photos about Islam in Indonesia by James Natchwey on Indonesian National Geographic Magazine October 2009 edition. This research is an interpretative qualitative research. Data in this research is a qualitative data (non numeric data), so it is categorized as substantive data that will be interpreted with scientific reference.

The methodology used in this research is a semiotic analysis of Roland Barthes, which is useful for analyzing the meanings of photojournalism in magazines. The analysis is done qualitatively with the unit of analysis denotation and connotation contained in the object of research in the form of a photo and caption in the magazine, amounting to 10 photos. The result of this research is the answer of previous problem formulation, the whole of formation meaning is obtained after passing through the stages of analysis, followed by signified relation identification stage of Barthez’s model.

Moslem in Indonesia consists of various groups of different religious movements in the implementation of syariah. These differences arise because it is influenced by different understanding of Al-Quran and Hadist. There is a group trying to enforce Islamic laws by violence, while another group tried to harmonize Islamic law with the developmental period.

For the further step, this scientific work is expected to be useful for further research using different methods, and that can be developed from various aspects, both in terms of analysis, content of scientific work to be written by subsequent researchers.


(13)

commit to user

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setahun setelah bom Bali 2002, terjadi pengeboman pertama hotel JW Marriott di Jakarta, kemudian pada tahun 2004 serangan bom menimpa Kantor Kedutaan Australia yang juga berada di Jakarta. Sementara pada tahun 2005 terjadi tiga kali bom bunuh diri di Bali. Setelah cukup lama tidak terjadi aksi pengeboman yang membuat pakar mulai yakin bahwa ancaman terorisme sudah sangat berkurang, terjadilah pengeboman di Hotel Ritz-Carlton dan di Hotel JW Marriott. Semua kejadian tersebut tersebar dibeberapa titik saja di negara Indonesia yang luas. Hal tersebut menegaskan kekhawatiran dunia barat bahwa negara Indonesia menjadi tempat berlindung para teroris.

Selama beberapa dasawarsa, masyarakat Indonesia semakin terbuka keislamannya. Jama’ah mesjid bertambah banyak dan busana Muslim menjadi semakin populer. Pada tahun 2000, semakin banyak pemerintah daerah yang mulai memberlakukan peraturan yang diinspirasi oleh syariah atau hukum Islam dan dukungan untuk partai politik Islam terus meningkat. Makin lama, kelompok militan Islam yang mendukung perjuangan dengan kekerasan untuk membentuk Indonesia sebagai republik Islam tampaknya telah menenggelamkan suara mayoritas Muslim


(14)

commit to user

xv

Indonesia yang berpendapat bahwa keimanan mereka dapat hidup berdampingan dengan mulus bersama kehidupan modern dan nilai-nilai demokrasi.

Penyebaran Islam ke Indonesia berlangsung secara bertahap dan damai. Islam turut berperan mempersatukan penduduk yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi budaya kawasan tunggal. Pada saat VOC yang dikelola Belanda menguasai perdagangan rempah-rempah pada abad ke-17, Islam telah menyebar ke hampir semua masyarakat pesisir Indonesia.

Meskipun demikian, ketika penataan kembali dunia pasca Perang Dunia II membuka jalan menuju kemerdekaan dari penjajahan Belanda, Presiden pertama Indonesia Sukarno memilih untuk tidak menetapkan agama resmi negara. Menciptakan republik Islam, menurut Sukarno, dapat mengucilkan kalangan minoritas non-Muslim. Presiden kedua Indonesia Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1966, ketika meletus kekerasan antikomunis yang menewaskan setengah juta jiwa, dan untuk sementara waktu dia berhasil meredam kekejaman dan memupuk pertumbuhan ekonomi. Namun, rezim pemerintahannya sarat penindasan dan bergaya militer. Pengunduran diri Soeharto pada 1998 dipicu oleh gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa, berkekuatan jutaan orang yang sebagian besar Muslim.

Namun, akhir rezim Suharto juga menegaskan perpecahan di dalam masyarakat Muslim, antara pihak yang mendukung perpaduan tradisional antara Islam dengan kepercayaan setempat dan pihak yang berupaya “menyucikan” Islam dan mengikis nuansa regionalnya. Pertikaian ini berlanjut sampai sekarang,


(15)

commit to user

xvi

dikobarkan antara lain oleh ide dan praktik yang berasal dari aliran Wahabi yang ketat di Arab Saudi.

Radikalisme belakangan ini menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam.

Islam radikal, tampaknya, terus mencoba melawan. Perlawanan itu muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Dan, berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang.

Kini, gerakan radikal Islam telah terfragmentasi dalam beragam organisasi. Namun, ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari berbagai kelompok Islam radikal. Yaitu, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, perjuangan yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan, serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat.


(16)

commit to user

xvii

Pasca tragedi 11 September 2001, Islam moderat di Asia Tenggara menjadi kebalikan atas Islam radikal. Banyak tokoh dari dalam dan luar negeri yang berharap agar Islam moderat tampil dan memberikan andil dalam meredam gejolak teror berlabel agama.

Kondisi semacam ini mendorong umat Islam di Asia Tenggara merespon maraknya terorisme berlabel agama dengan menggelar konferensi yang bermaksud membalikkan berkembangnya pengaruh Islam radikal di kalangan umat Islam pada umumnya, dan mencegah terbentuknya opini internasional yang mengidentikkan Islam dengan terorisme. “Deklarasi Jakarta 2001”, yang merupakan hasil Summit of World Muslim Leaders, menyatakan bahwa Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta International Islamic Conference (JIIC) yang dilaksanakan atas kerjasama NU-Muhammadiyah pada tanggal 13-15 Oktober 2003. Konferensi ini ingin mempertegas peran Islam moderat Asia Tenggara yang direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah dalam meredam gelombang radikalisme. 1

Saat ini, Islam di Indonesia terus berkembang dan sebagian terkotak-kotak sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Islam radikal menunjukkan eksistensi dengan munculnya sejumlah organisasi massa kerap menggelar razia tempat-tempat maksiat semisal bar dan rumah penampungan tunsusila. Di sisi lain, Islam moderat mendengungkan pentingnya hidup berdampingan dengan agama lain, bersikap

1http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=202816&kat_id=105&kat_id1=147


(17)

commit to user

xviii

terbuka dalam beragama dan tidak mementingkan sikap eksklusif satu agama atas agama lainnya.

Harus diakui bahwa media massa memegang peranan penting dalam meningkatkan pemahaman bahwa umat Islam memang terbagi menjadi berbagai golongan. Namun, untuk itu diperlukan pula kesamapahaman makna perbedaan agar tidak dijadikan jurang pemisah dan perlunya toleransi dari berbagai golongan umat Islam untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.

Umat masih berdebat tentang bagaimana Islam sesungguhnya. Tetapi bila kita mengamati foto-foto tentang praktik keagaamaan, serta keberagaman Islam yang ada di Indonesia yang terdapat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Islam di Indonesia memang terbagi dalam berbagai kelompok. Tapi perbedaan bukanlah sebuah alasan untuk berselisih.

Dari berbagai cara yang digunakan dalam berkomunikasi, salah satu mediumnya adalah fotografi. Fotografi adalah bahasa gambar yang merupakan hasil akhir dari komunikasi percetakan.2 Sebagai salah satu media berkomunikasi, fotografi menyampaikan makna-makna serta pesan yang terekam dalam wujud bingkai foto.

Penemuan fotografi sendiri bukanlah sebuah sensasi sekejap, melainkan melalui proses yang panjang selama berabad-abad dan merupakan fenomena dimana bidang fisika dan kimia yang dikaji oleh para ilmuwan dikombinasikan dengan pencetusan ide para seniman. Kelahiran fotografi dicanangkan pada tahun 1839 di Perancis. Pada tahun tersebut, di negara Perancis dinyatakan bahwa fotografi adalah


(18)

commit to user

xix

sebuah terobosan teknologi.3 Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata telah dapat dibuat secara permanen.

Fotografi adalah seni mengamati keadaan dan efektivitas fotografi ditentukan oleh kuat dan intensnya pengamatan., Hanya pengamatan dan keutusan hasil pengamatan yang kuat akan menghasilkan foto bermutu. Fotografi hanya tersaji pada selembar kertas, namun dengan keterbatasannya, apabila di olah dengan benar maka sebuah foto akan memiliki kekuatan yang besar.4

Istilah “photojourmalism” pertama kali diperkenalkan dalam dunia kampus (Universitas Missouri) oleh Prof. Clift Edom pada 19737., maka praktek jurnalisme visual itu telah dikenalkan dengan sejumlah pendekatannya. Pada 1980 hingga 1908, pendekatan tradisi foto dokumenter sosial diperkenalkan Jacob Riis dan Lewis Hine sebagai reporter “New York Sun”.

Fotografi adalah bahasa gambar, berbeda dengan tulisan atau pesan yang disampaikan dengan kata-kata, fotografi merupakan bentuk komunikasi yang dapat dipahami oleh seluruh dunia. Tujuan hakiki dari fotografi adalah komunikasi. Dalam merekam suatu gambar dengan menggunakan kamera foto, tidak banyak orang yang melakukannya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Kebanyakan orang memotret sesuatu agar karya fotonya dapat dilihat orang lain.5

3 Arbain Rambey, Sejarah Fotografi dan Sejarah Teknologi, Kompas, 23 Juni 2003, hal 20 4 FOTOMEDIA, Fokus : Foto Jurnalistik, Agustus 2001, hal 23


(19)

commit to user

xx

Sebuah foto jurnalistik yang baik bisa menjelaskan elemen minimal berita, yaitu: what, who, where, when, why, dan how (5W+1H), sedang untuk foto kadang ada tambahan unsur: komposisi, isi, konteks, kreativitas, dan jelas.

Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka “Magnum” menjabarkan, “Foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersembul mengungkap sebuah cerita.”

Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali, tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.

Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi. (Kartono Ryadi, Editor foto Kompas). Perbedaan foto jurnalistik dengan foto dokumentasi terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis berarti memilih foto mana yang cocok. (contoh : di dalam peristiwa pernikahan, dokumentasi berarti mengambil / memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan tamu sampai selesai, tapi seorang wartawan foto hanya mengambil yang menarik,


(20)

commit to user

xxi

apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, itu akan jauh lebih menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan atau tidak.

Kehadiran foto dalam media massa cetak memiliki 'suara' tersendiri dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual yang lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan dengan bahasa verbal. Pers di Indonesia terutama media cetak yang dulunya sarat dengan tulisan kini berubah menjadi dominasi gambar (foto). Hal ini terjadi karena

positioning, kompetisi dan tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih memikat. 6

Dalam edisi Oktober majalah National Geographic Indonesia terdapat esai foto mengenai gambaran umat Islam di Indonesia karya fotografer James Natchwey. Foto-foto tersebut menampilkan aktifitas pemeluk agama Islam di Indoensia dari berbagai sisi kehidupan, baik saat beribadah maupun berbaur dengan masyarakat umum.

Sebagai contoh adalah foto Romaeni binti Hasan Basri yang mulai mengenakan cadar pada semester terakhir ketika kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Teman-temannya menggodanya. Tetapi, mereka menjadi terbiasa. Foto tersebut menggambarkan kehidupan Romaeni yang menggunakan cadar saat beraktifitas bersama teman-temannya dari berbagai latarbelakang dan pemahaman tentang agama.


(21)

commit to user

xxii

Selain itu juga terdapat foto seorang anggota Front Pembela Islam (FPI) yang mengenakan penutup kepala dengan tulisan semboyan ”Hidup terhormat atau mati syahid” dengan huruf merah. Setiap tahun, mereka berpatroli di daerah permukiman di Jakarta sebelum dan selama bulan suci Ramadan, mengintimidasi tempat maksiat, seperti pemilik bar dan para tunasusila.

Lewat majalah ini juga definisi foto jurnalistik pun menjadi lebih melebar dan meluas karena foto-foto yang terpilih tidak sekadar menyajikan sebuah peristiwa penting dan kuat unsur dokumentasinya, tapi juga kuat dari segi unsur estetikanya. Contoh mudah adalah dengan melihat sampul depan dari majalah ini yang menunjukkan kaum wanita di komunitas An-Nadzir saat memulai salat dalam rangka peryaan hari raya Kurban. Mukena seorang anak yang berwarna putih dengan motifwarna-warni terlihat lebih menonjol dengan latar belakang mukena sejumlah perempuan dewasa yang berwarna hitam pekat.

Diharapkan analisis dengan menggunakan teori semiotika pada skripsi ini dapat mengungkapkan Islam di Indoensia dari sejumlah sisi, dari foto-foto yang terdapat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”

Faktor utama kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu pesan dapat diketahui pemaknaannya secara denotatif dan konotatif. Artinya bahwa makna yang terkandung pada foto-foto jurnalistik dalam majalah National Geographic Indonesia


(22)

commit to user

xxiii

edisi Oktober 2009 dalam artikel berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” dapat diketahui pemaknaannya secara tersirat dan tersurat.

Berangkat dari berbagai uraian diatas, penulis tertarik dengan asumsi bahwa tidak semua pesan yang disampaikan melalui esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 dapat dengan mudah dipahami, maka peneliti akan mencoba meneliti sekaligus mengintepretasikan makna dalam foto jurnalistik tersebut agar dapat membuka tabir mengenai simbol-simbol Islam yang kerap kali dipakai oleh masyarakat. Sebagai salah satu penelitian komunikasi, penelitian ini setidaknya bisa memberikan makna yang lebih bisa dipahami dalam pertukaran simbol Islam yang dipakai oleh media massa, seperti cadar atau polisi syariah. Fotojurnalistik merupakan bagian dari sebuah media, kajian tentang foto jurnalistik tentu membantu ilmu komunikasi dalam membuka pesan atau makna yang ditampilkan fotojurnalistik sebagai bentuk berita yang dikonsumsi masyarakat luas.

B. Perumusan Masalah

Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Makna-makna apa yang disampaikan fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi kumpulan foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.


(23)

commit to user

xxiv

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang disampaikan fotografer James Nacthwey atas esai foto dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

· Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis berupa penambahan kajian semiotika menggunakan kode-kode fotografi untuk membedah makna pada foto jurnalistik.

2. Manfaat praktis

· Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi media, pakar semiotika, pemerhati komunikasi, masyarakat akademis dan masyarakat pada umumnya dengan memberikan pengetahuan secara lebih mendalam bagaimana Islam di Indonesia dalam foto jurnalistik. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik balik untuk melaksanakan penelitian serupa secara lebih mendalam.

E. Kerangka Teori 1. Semiotik

Ilmu komunikasi mencakup segala aspek ilmu sosial dan kebahasaan. Dalam lingkup yang sangat luas itu, ada satu pendekatan yang sangat penting, yaitu


(24)

commit to user

xxv

semiotika. Semiotika adalah ilmu tanda; berasal dari kata dalam bahasa Yunani

semeion yang berarti “tanda”. Secara sederhana, semiotika didefinisikan sebagai teori tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu yang memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan kepada seseorang.7

Human minds ‘cognize’and ‘signify’ as complementary aspects of their capacity to think and feel. If we accept the metaphore of ‘higher’ and ‘lower’ levels of cognition, and the idea of seeing the ‘higher levels of cognition’ as those responsible for abstraction, language, discourse, institutions, law, science, music, visual arts, and cultural practicesn general, grounde in the use of conventionally established and intentionallyused signs (often called symbols), then semiotics is the discipline commited to the study of these ‘higher levels’.8

(Manusia memiliki kemamampuan untuk mengetahui dan menandai sebagai aspek yang saling melengkapi untuk berfikir dan merasakan.Konsep pengetahuan untuk memaknai itu sendiri masih terbagi ke dalam dua tingkatan yaitu tingkatan yang lebih tinggi dan tingkatan yang lebih rendah. Tingkat pengetahuan untuk memaknai tanda dengan tingkatan yang lebih tinggi terdapat pada bahasa, pidato, musik, hukum, senivisual dan kebudayaan pada umumnya. Semiotik merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui pemaknaan tanda pada tingkat yang lebih tinggi).

Jika kita mengikuti Charles Sanders Peirce, maka semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda” (the formal doctrine of signs); sementara bagi Ferdinand de Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a science that studies the life of signs within

7 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar, 2002, hal 76

8

Andreassen, Lars. Brandt & Vang. “Cognitive Semiotics Issue 0 (Spring 2007)”, http://www.cognitivesemiotics.com/wp-content/uploads/2007/05/cognitive-semiotics-0.pdf diakses pada 5 Februari 2010 pukul 20.15 WIB


(25)

commit to user

xxvi

society).9 Perbedaan pendekatan semiotik di antara keduanya adalah, bagi Peirce pendekatan semiotikanya lebih menekankan pada logika, sedangkan Saussure lebih menekankan pada linguistik.

Some general features of the proposed domain of inquiry may be discerned. In the first place, Peirce’s early attention to the science of semiotic follows from an endeavour to find a definition of logic that would avoid the pitfalls of psychologism. This, it is evident that the representations, which the various branches of semiotic study, are not to be explicated by an examination of the actual workings of the human mind. Secondly, it is of some interest to note that semiotic is one member of the basic trivium of science, of which the other components are the science of forms (formal science) and the science of things (positive science). This primary trivium can be connected to his work on the theory of categories. In “An Unpsychological View of Logic” Peirce claims that form and matter can be abstracted from the phenomenon considered as an image or a representation. All three phenomenal aspects or elements may be generalised, giving three supposable objects: representations in general, things, and qualities. Positive science studies material things, while formal science examines qualitative forms for Semiotic, as the science of representations, would naturally be concerned with objects of the first kind, that is, with internal and external representations. Using later terminology, we could say that its proper domain is objects as thirds.10

(Beberapa tulisan umum mengemukakan domain penelitian yang bisa dilihat. Pertama, perhatian awal Peirce pada ilmu semiotik mengikuti dari usahanya menemukan definisi logic yang akan menghindarkan dari kesukaran ilmu psikologi. Demikian, ini adalah pendukung representasi dimana beberapa cabang studi semiotik tidak dapat dijabarkan oleh pemeriksaan dari pengerjaan aktual pemikiran manusia. Kedua, ini menjadi catatan yang menarik bahwa semiotik adalah satu anggota dari ilmu trivium dasar, dimana komponen lain seperti ilmu formal dan ilmu positif. Tribium utama ini bisa dihubungkan pada pengerjaannya dalam kategori teori. Dalam “An Unpsychological View of Logic” Pierce menyatakan bahwa bentuk dan masalah bisa dimasukkan dalam fenomena yang dapat dipertimbangkan sebagai gambar atau representasi. Ketiga aspek atau elemen fenomenal bisa digeneralisasikan, memberikan tiga objec perkiraan yaitu representasi secara umum, sesuatu dan kualitas. Ilmu positif mempelajari tentang suatu benda, sedangkan ilmu formal meneliti bentuk

9

Kris Budiman, Semiotika Visual, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2004, hal 3

10

Berger, Mats. The secret of rendering signs effective: the import of C. S. Peirce’s semiotic rhetoric. The Public Journal of Semiotics. 1(2),4. http://www.semiotics.ca/issues/pjos-1-2.pdf diakses pada 5 Februari 2010 pukul 20.35 WIB


(26)

commit to user

xxvii

kualitatif dari semiotik sebagai ilmu representasi yang secara alami menjadi berkonsentasi pada objek jenis pertama yaitu representasi internal dan eksternal. Menggunakan terminologi berikutnya, kita bisa katakan itu domain yang tepat adalah objek sebagai yang ketiga).

Menurut Peirce, sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik, yang termasuk tanda adalah kata-kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture, dan juga obyek.11

Tanda terdapat dimana-mana. Kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala sesuatu bisa menjadi sebuah tanda, misalnya struktur karya sastra, struktur film, orang, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Peirce yang adalah ahli filsafat Amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Berarti, sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.12

Bahasa dianggap sebagai unsur terpenting dalam komunikasi. Dengan bahasa tersebut, manusia mengadakan komunikasi satu dengan yang lainnya. Diantara lambang-lambang atau simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, seperti bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, bahasa adalah yang paling banyak digunakan. Hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini. Baik mengenai hal

11 Ratna Noviani, op. cit, hal 77

12 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotik, PT. Karya Nusantara, Jakarta, 1996, hal


(27)

commit to user

xxviii

yang konkret maupun yang abstrak. Bukan saja tentang hal atau peristiwa pada saat sekarang, tetapi juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang.

Fotografi dapat dipadankan dengan bahasa, karena layaknya bahasa, fotografi kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi, yaitu dengan bahasa gambar.13 Di dalam fotografi, gambar adalah sarana bagi seorang fotografer untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikan, sebagaimana kata-kata yang digunakan oleh seorang penulis. Jadi melalui bahasa gambar tersebut, seorang fotografer menyampaikan pesannya secara visual, yang mencakup berbagai jenis pesan, yaitu berupa penyampaian pesan, ide, gagasan, visi, sikap fotografer dan penikmatnya.

Asumsi yang paling mendasar dari semiotika adalah menentukan bahwa segala sesuatu adalah tanda. Prinsipnya, segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesan arti dapat pula berfugsi sebagai tanda, dan kesan arti itu tidak perlu harus berkaitan dengan kesan arti yang terbentuk dari sesuatu yang diartikan atau ditandakan.14 Bukan hanya bahasa atau unsur-unsur komunikasi tertentu saja yang tak tersusun sebagai tanda-tanda.

Pada dasarnya, konsep utama semiotika, mencakup tiga elemen dasar yang dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu :

- Tanda (sign), adalah yang memimpin pemahaman obyek kepada subyek.

Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata, seperti benda,

13 FOTOMEDIA, Warna-warni : Memahami Arti Komposisi, Juni 1996, hal 27


(28)

commit to user

xxix

kejadian, tulisan, peristiwa dan sebagainya. Tanda adalah arti yang statis, lugas, umum, dan obyektif.

- Lambang (symbol), adalah keadaan yang memimpin pemahaman subyek

kepada obyek. Pemahaman masalah lambang akan mencakup penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda adalah yang menandai sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan dengan realitas kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut Ferdinand de Saussure, tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu :

1) Signifier (sound image), tanda atau penanda, merupakan bunyi dari tanda atau kata

2) Signified (concept), makna atau petanda, merupakan suatu konsep atau makna dari tanda tersebut

Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda “mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan bertujuan untuk menyatakan maksud.15

- Isyarat (signal), adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subyek

kepada obyek


(29)

commit to user

xxx

Charles Sanders Peirce membagi tanda menjadi 3 kategori, yaitu icon, index, dan symbol.16

1. Icon (ikon)

Di dalam ikon, hubungan antara tanda dan obyeknya terwujud sebagai kesamaan dalam berbagai kualitas yakni dalam kesamaan atau kesesuaian rupa yang terungkap oleh penerimanya. Sebuah diagram peta, peta, atau lukisan misalnya, memiliki hubungan ikonik dengan obyeknya, sejauh diantaranya terdapat keserupaan.

2. Index (indeks)

Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan langsung dengan objek. Indeks merupakan fakta yang lansung dapat ditangkap, dan disamping itu masih memberikan informasi tambahan tentang fakta-fakta lain yang tidak dapat ditangkap. Di samping itu masih memberikan informasi tambahan mengenai fakta-fakta lain yang tidak dapat ditangkap secara langsung.

Misalnya, basah merupakan indikasi adanya air, atau kecepatan bicara seseorang merupakan isyarat dari perasaan si pembicara. Dengan demikian, semua isyarat komunikasi juga mrupakan tanda adanya indikasi.

3. Symbol (simbol)

Simbol adalah bentuk tanda yang terjadi karena hasil konsensus dari para pengguna. Contoh simbol seperti menggelengkan kepala tanda tidak setuju atau Sang merah putih yang merupakan simbol dari negara Indonesia.


(30)

commit to user

xxxi

Sebuah tanda dapat dikatakan sebagai ikon, indeks, maupun simbol, bahkan kombinasi dari ketiganya. Dapat dijelaskan dengan ilustrasi berikut. Sebuah peta adalah indeks, karena menunjukkan suatu tempat. Dapat pula disebut sebagai ikon, apabila menunjuk pada tempat-tempat yang saling berhubungan secara topografis. Dan juga bisa dikatakan sebagai simbol karena adanya sistem penotasiannya yang harus dipelajari lebih dahulu.

Semiotik dapat dideskripsikan sebagai studi dan aplikasi dari tanda (sign). Tanda menjadi segalanya yang merefleksikan makna. Dalam hal ini, fotografi adalah sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik informasi maupun emosi. Dalam perkembangannya saat ini, analisa semiologi merupakan metode yang diterapkan untuk mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial, dia mungkin akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan dengan sendirinya psikologi umum. Semiologi akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut dan hukum apayang akan mengaturnya. Pendekatan yang digunakan dalam studi hubungan antara pola persepsi dan pemaknaan inilah yang disebut semiologi.17

Penerapan analisa semiologi komunikasi secara pasti akan membuka peluang untuk menyingkap lebih banyak arti dalam pesan yang disampaikan secara keseluruhan, daripada yang mungkin akan dilakukan dengan hanya mengikuti kaidah bahasa atau berpedoman dari arti kamus dan tanda-tanda yang terpisah. Memperhatikan kecenderungan ini, kaitannya lalu dapat dikatakan bahwa sebenarnya analisis semiotika lebih bersifat serba guna.


(31)

commit to user

xxxii

Seperti beberapa istilah lain yang dipakai dalam semiotik bergambar, fotografi adalah pengertian umum gagasan, yang hal dalam hal ini adalah dengan analisis semiotika untuk menyusunnya. Sebagaimana fotografi dirancang dengan cara tertentu untuk menghasilkan sebuah tanda pada suatu permukaan yang akan menambah khayalan dari pemandangan dunia yang diproyeksikan pada permukaan tersebut.18 Dalam hal ini, fotografi adalah sebuah tanda, tanda yang memanifestasikan baik informasi maupun emosi. Menurut Aart Van Zoest, semiologi memiliki dua pendekatan yang dipelopori oloh Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Menurut Peirce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda yang memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Sedangkan kekhasan teori Saussure terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagi sistem tanda.19

Peneliti akan menggunakan teori Roland Barthes yang dikenal sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Pengolahan teks dalam praktek semiotika Roland Barthes didasarkan pada beberapa kode-kode, yakni20:

1. Kode hermeneutik, kode ataupun teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul pada teks.

18

Goran Sonesson, The Interne Semiotics Encyclopedia, www.arthist.lu.se diakses pada 5 Februari 2010 pukul 18.45 WIB

19 Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoost, opcit, hal 1


(32)

commit to user

xxxiii

2. Kode semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase yang mirip.

3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural.

4. Kode proaretik (kode tindakan), dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Artiny semua teks bersifat naratif.

5. Kode gnomik (kode kultural), kode-kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dimodifikasi oleh budaya.

Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari nyata. Menurut Roland Barthes, semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan.21 Barthes mengaplikasikan semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti mode busana, iklan, film, sastra dan fotografi.

Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan


(33)

commit to user

xxxiv

hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. 22 Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).

Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan. 23

Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.

Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier (penanda)

2. Signified (petanda) 2. Denotative sign

( tanda denotative ) 4. Conotative Signifier

(penanda konotatif)

Conotative sigfnified

(petanda konotatif) Conotative sign (tanda konotatif)

22 Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas Kebudayaan, LKiS, Yagyakarta, 1999, hal 261 23 Ibid


(34)

commit to user

xxxv

Sumber : Dikutip dari Paul Cobey & Litza Jansz, 1999, Introducing Semiotics, NY, Totem Book, hal 51 dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 2003,hal 69

Dari peta Brathes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif. 24

Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifed (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan


(35)

commit to user

xxxvi

ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. 25

Seperti pada gambar di bawah:

tatanan pertama tatanan kedua

realitas tanda kultur

bentuk

i s i

Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya26

Denotasi dalam arti umum adalah makna yang sesungguhnya, bahkan terkadang dirancukan sebagai referansi atau acuan. Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua.

25 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Depok, Jakarta, 2008, hal 153

26 Alex Sobur, op. cit, hal 70

denotasi Penanda

petanda

konotasi


(36)

commit to user

xxxvii

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.27

2. Foto Jurnalistik

Bahasa merupakan alat komunikasi. Hakekat fotografi bisa dipadankan dengan bahasa. Fotografi kerap berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi.28 Tak berbeda dengen berita tulis, foto jurnalistik juga harus mengandung nilai berita, yakni: Prominence / Importance, pentingnya suatu berita diukur dari dampaknya bagaimana dia mempengaruhi anda. Korban yang meninggal lebih penting ketimbang kerusakan materi. Human interest, suatu yang menarik perhatian orang seperti berita mengenai seleberitis, gossip politik dan drama yang menceritakan kehidupan manusia. Conflict / Controversy, konflik biasanya lebih menarik daripada keharmonisan. The Unusual, suatu yang tidak biasa atau unik umumnya menarik.

Timeliness, berita adalah tepat waktu, artinya unsur kecepatan menyampaikan berita sesuai waktu atau actual merupakan hal yang penting, melewatinya maka berita tersebut dianggap sudah basi atau kadaluarsa. Proximity, kegiatan yang terjadi dekat kita dinilai mempunyai nilai yang lebih tinggi.

Dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks gambar adalah mutlak.

27 Alex Sobur, op. cit, hal 71


(37)

commit to user

xxxviii

Menurut Wilson Hicks, seorang redaktur foto majalah LIFE dan perintis kemajuan foto jurnalistik, foto jurnalistik adalah gambar dan kata. Kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya.

Sementara untuk mengenali sifat foto jurnalistik itu, Wilson Hicks dalam buku “Word and Pictures” menjabarkan tujuh karakteristik khas dalam ranting ilmu komunikasi tersebut, yakni sebagai berikut :29

Pertama, dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks gambar adalah mutlak. Caption sangat membantu informasi dan pengertian suatu imaji / gambar bagi masyarakat. Foto esai yang sangat personal pun membutuhkan caption.

Kedua, medium foto jurnalistik biasanya tercetak (saat ini, media online pun dimasukkan dalam kategori ini), bisa media cetak, kantor berita, koran atau majalah tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan foto penerangan yang muatannya adalah kisah sukses yang biasanya positif, maka informasi yang disebar dan foto jurnalistiknya adalah sebagaimana adanya, disajikan dengan sejujur-jujurnya.

Ketiga, lingkup jurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalis harus punya kepentingan mutlak kepada manusia. Posisinya berada dipuncak piramida sajian dan pesan visual.


(38)

commit to user

xxxix

Keempat, bentuk liputan foto jurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seorang foto jurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita itu sendiri. Tugas pewarta foto adalah melaporkan berita sehingga bisa memberi kesan pembaca seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa itu.

Kelima, foto jurnalistik adalah foto fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa diekspresikan seorang foto jurnalis terhadap subjeknya. Objek pemotretan hendaknya mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkan sehingga lebih pantas menjadi subjek aktif.

Keenam, pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual foto jurnalistik harus jelas dan segera bisa dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam foto jurnalistik. Gaya pemotretan yang khas dan bahkan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan harus tetap komunikatif bagi lapisan masyarakat luas.

Ketujuh, foto jurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual luas, populis, arif dan jeli dalam menilai karya-karya foto yang dihasilakn, serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, menyunting teknisnya, saran-saran.

Sebuah foto sebenarnya dapat berdiri sendiri, namun jurnalistik tanpa foto tidak akan lengkap, karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam atau menceritakan suatu peristiwa. Pada dasarnya semua foto adalah dokumentasi,


(39)

commit to user

xl

dan foto jurnalistik merupakan bagian dari foto dokumentasi. Karena foto dokumentasi adalah sebutan yang dapat dikenakan pada semua foto berita dan sejarah, yang bertujuan untuk merekam suatu peristiwa, untuk disimpan, sebagai arsip.30 Yang membedakan di antara keduanya adalah pada apakah foto tersebut dipublikasikan atau tidak.31

Ciri dalam foto jurnalistik memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri, melengkapi berita atau artikel dan dimuat dalam media massa.32 Foto jurnalistik terbagi menjadi beberapa bagian:

· Spot news / Hard News (Berita Hangat)

Foto beragam peristiwa yang langka dan dapat mengubah sejarah dunia, seperti peristiwa bencana alam, kecelakaan yang merenggut ratusan jiwa, hingga aksi terorisme.

· General news (Berita Umum)

Foto rekaman peristiwa yang terjadwal atau bersifat seremoni, seperti kunjungan presiden, peresmian sebuah gedung, dan HUT suatu negara.

· Portraits / People in the News (Potret dalam segala kondisi)

Foto yang menyajikan karakteristik sesuai dengan hati sang subyek, apakah dalam kondisi yang gembira atau sedih, seperti orang yang menangis karena kehilangan saudara saat perang atau orang yang gembira setelah memenangkan sebuah perlombaan.

30 R. M. Soelarko, Pengantar Foto Jurnalistik, PT Karya Nusantara, Bandung, 1985, hal 55 31 FOTOMEDIA, loc. cit.


(40)

commit to user

xli

· Sports (Olahraga)

Foto event olahraga seperti turnamen sepakbola Piala Eropa.

· Culture and the Art

Foto kegiatan kebudayaan dan kesenian, seperti acara Grebeg Sekaten.

· Science and Technology

Foto peristiwa ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti penerbangan pesawat ulang aling atau operasi kembar siam.

· Nature and Environment (Alam dan Lingkungan)

Foto peristiwa yang berhubungan dengan alam dan lingkungan, seperti gunung meletus, banjir atau kebakaran hutan.

· Daily Life (Celah Kehidupan / Keseharian)

Foto kegiatan manusia sehari-hari. Kategori ini tidak terikat dengan unsur kehangatan berita. Hal yang diutamakan dalam kategori foto ini adalah segi keunikan, humor, maupun perjuangan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seperti aktivitas pedagang asongan, pekerja bangunan atau nelayan.

· Feature

Foto feature bukan sekedar snapshot, tapi usaha wartawan untuk memilih sudut pandang yang khas dan bukan sekedar didikte oleh peristiwa itu sendiri, sehingga memberi makna lebih dalam terhadap sebuah peristiwa. Sebagai


(41)

commit to user

xlii

contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api yang menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan api, tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih kehilangan tempat tinggal. 33

· Esai foto

Kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang menyertainya.34

Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of message), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak tersurat.35 Dalam hal ini, isi pesan yang dimaksud adalah isi (content) dari esai foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang berbentuk foto begitu juga konteks yang menyertainya.

Pada hakekatnya, esensi dari sebuah foto jurnalistik secara umum tidak berbeda dengan jurnalistik tulis. Hanya saja dalam foto, yang menjadi media utama adalah foto dengan bahasa visualnya. Dalam menyampaikan permasalahan yang akan diangkat, foto merupakan elemen utama, sedangkan naskah atau caption yang menyertainya menjadi sekunder, atau bersifat sebagai komplemen. Karena elemen

33 Yuniahi Agung, loc. cit. 34 FOTOMEDIA, loc. cit.


(42)

commit to user

xliii

utamanya adalah foto, maka konsekuensinya foto harus mampu dalam menggantikan kata-kata. Sementara hal-hal yang tidak bisa tergambarkan oleh foto, terungkap sebagai naskah atau caption.36

Dalam foto jurnalistik yang baik, seorang fotografer jurnalistik harus mengetahui teknik-teknik pengambilan foto secara baik sehingga akan mendapatkan hasil yang baik pula. Yang dimaksud dengan proses teknik foto yaitu urutan atau tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer sehingga menghasilkan sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan perasaan dan menggugah emosi khalayak yang melihat hasil foto.

Urutan dan tahap pengambilan objek foto meliputi penggunaan kamera foto, yang berarti seorang fotografer harus sudah memahami terlebih dahulu bagian-bagian dari kamera seperti pengaturan kecepatan, pengaturan diafragma, dan pengaturan ruang tajam yang merupakan hal-hal yang paling mendasar dalam fotografi, tetapi sangat berpengaruh terhadap hasil foto yang akan dibuat.

Setelah itu, seorang fotografer juga harus memahami tentang pencahayaan, artinya objek yang diabadikan membutuhkan pengukuran cahaya secara tepat agar objek yang diambil terlihat secara jelas, yang secara teknik, penggunaan cahaya itu melalui pengukuran gelang diafragma dan kecepatan. Komposisi objek juga salah satu faktor pendukung yang akan memperkuat sebuah foto, artinya tata letak objek yang meliputi aturan sepertigaan, aturan seperlimaan, serta irisan emas dan komposisi frame yang berarti tata letak kamera yang meliputi posisi pengambilan gambar secara


(43)

commit to user

xliv

horisontal dan vertikal37 juga harus dipahami. Baru setelah teknik fotografi yang umum telah dikuasai, unsur jurnalistik akan ditambahkan, yang akan membuat foto tersebut jadi mempunyai nilai berita.

Objek dan peristiwa merupakan hal yang sangat penting untuk diabadikan oleh seorang fotografer. Hal ini bersifat natural mengingat insting dari seorang fotografer yang sangat tinggi untuk selalu mengabadikan momen atau peristiwa yang langka. Banyak hal yang dapat diperoleh dari suatu peristiwa atau objek foto, karena biasanya menyangkut pokok pikiran dari sebuah artikel yang akan di muat dalam media cetak.

Selain itu objek dan peristiwa yang akan diabadikan bersifat universal. Foto jurnalistik yang diabadikan berdasarkan objek dan peristiwa harus memiliki isi berita karena ukurannya, bukan seberapa jauh berita itu menjangkau tetapi bagaimana foto itu dapat menyentuh emosi dan perasaan pembaca. Gambar-gambar yang diambil oleh seorang fotografer juga harus bisa mewakili dari keadaan yang terjadi sebenarnya. Hal ini harus dilakukan agar bisa dinikmati oleh pembaca dan juga untuk menggugah emosi dan melibatkan perasaan pembaca melalui media cetak.

3. Islam Radikal dan Moderat di Indonesia

John L Esposito (1997) misalnya menyamakan istilah Islam politik dengan “fundamentalisme Islam: atau dengan gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam Politik sebagai aktivitas


(44)

commit to user

xlv

kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus ideologi politik. Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang dia sebut sebagai gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki berlakunya pemberlakuan syariat Islam. 38

Istilah “fundamentalisme” biasanya dipakai untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negative seperti “radikal, ekstrem, militan” serta “anti Barat/Amerika”. Namun, tak jarang pula julukan “fundamentalisme” diberikan kepada semua orang Islam yang menerima Qur’an dan Hadist sebagai jalan hidup mereka. Dengan kata lain kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam. 39

Islam moderat bukanlah “Islam baru” seperti Islam liberal yang ingin membuat syariat baru. Namun, Islam moderat adalah Islam asli. Ia adalah usaha untuk mengembalikan umat Islam kepada Islam original sesuai dengan tuntunan Nabi. Moderat dalam Islam bisa dilihat dari sikap tengah Islam terhadap ajarannya yang berupa akidah, ibadah, akhlak, ruhani-materi, hukum, dan privat-publik. Moderat di dalam Islam sangat cocok untuk agama abadi seperti Islam. Moderat di dalam Islam berarti adil, istiqamah, bukti kebaikan, personifikasi keamanan, bukti kekuatan, dan pusat.

Berbeda halnya dengan Islam radikal, Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan

38 Endang Turmudi, Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta:, LIPI Press, 2005,

hal.2.


(45)

commit to user

xlvi

ketergesa-gesaan. Pembebasan dan keberpihakan pada kaum yang lemah diwujudkan dalam bentuk yang elegan, sistematis, dan evolutif. Penggunaan metode dan pendekatan inilah yang membedakan Islam moderat dengan Islam radikal.

Fakta membuktikan bahwa agama merupakan kebutuhan asasi manusia. Karena itu, masalah agama adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan umat manusia sepanjang sejarah sebagaimana masalah sosial lainnya,seperti ekonomi dan politik. Ilmu pengetahuan sosial, dengan berbagai paradigma dan metode, dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia, tak terkecuali perilaku dalam beragama.

Perilaku dalam beragama meliputi, perilaku individu dalam hubungannya dengan keyakinan yang dianut seperti pengalaman beragama, perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok, perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok pimpinannya, perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok, perilaku individu dalam hubungannya dengan sistem simbol/doktrin agama tertentu, perilaku kelompok dalam hubungannya dengan pemimpin, stratifikasi sosial, perilaku pemimpin agama dalam sistem simbol, perilaku pemimpin agama dengan stratifikasi sosial.

4. Tempat atau Kejadian

Tempat atau kejadian merupakan hal yang terpenting karena menyangkut keberadaan objek dan terjadinya sebuah peristiwa, sehingga pembaca mengetahui


(46)

commit to user

xlvii

kapan dan dimana peristiwa itu terjadi. Selain itu kondisi sosiokultural masyarakat dapat dikaitkan sebagai tempat atau kejadian yaitu sebagai pengukur sejauh mana kejadian yang berlangsung dapat mempengaruhi pola pikir dan sejauh mana kondisi tersebut berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

F. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian ini bertolak dari adanya aksi-aksi terorisme berupa serangan bom yang terjadi di Indonesia, sementara di sisi lain sebagian umat Islam berpikir terbuka dalam menjalankan syariat Islam. Maka dari itu, sesungguhnya umat Islam di Indonesia terbagi menjadi sejumlah golongan yang mempunyai keyakinan masing-masing dalam menjalankan syariatnya dan berbeda dalam perilaku beragama. Padahal sesungguhnya Islam adalah agama yang membawa kedamaian.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009, menampilkan sebuah liputan mengenai perilaku umat Islam di Indonesia dalam tulisan dan esai foto jurnalistik. Dari sinilah peneliti tertarik untuk menganalisis perilaku beragama umat Islam Indonesia dalam esai foto jurnalistik yang berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” karya James Natchwey. Dari esai foto tersebut kemudian dikategorikan dalam sejumlah aspek.


(47)

commit to user

xlviii

Berbekal hasil analisis foto tersebut, peneliti kemudian menemukan model analisis semiotik yang paling relevan.

Kerangka Pikir Penelitian

Pendekatan Analisis Semiotik Oleh Peneliti

G. Definisi Konsepsional

Dalam penelitian ini, penjelasan konsep diperlukan sebagai dasar-dasar konsep yang jelas bagi unsur-unsur masalah yang akan diteliti dengan tujuan menghindari kesesatan, perbedaan pengertian ataupun penafsiran mengenai variabel-variabel penelitian yang diketengahkan antara konsep peneliti dan pembaca.

Esai Foto jurnalistik karya James Natchwey di Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 tentang Islam di Indonesia

Simbol-simbol mempresentasikan :

1. Aspek aktivitas beribadah 2. Aspek aktivitas

kehidupan sosial 3. Aspek ideologi 4. Aspek identitas

Kode-kode fotografi (cara pengambilan gambar)

Kode-kode sosial (ekspresi, penampilan, gestur dll)


(48)

commit to user

xlix

1. Semiotik

Adalah konsep tentang lambang atau tanda ada beberapa perbedaan teori antara ahli semiotik modern terutama dalam penerapan konsep-konsep dan hasil karya. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan yang mendasar. Penalaran secara hipotesis dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda tersebut memungkinkan kita untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna terhadap apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotik merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat tujuanya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.

2. Makna

Makna adalah hasil dari perilaku menyandi. Suatu makna terdiri dari lambang-lambang verbal maupun nonverbal yang mewakili perasaan dan pikiran sumber pada suatu saat dan tempat tertentu. Meskipun encoding merupakan suatu kegiatan internal yang menghasilkan suatu pesan, pesannya itu sendiri besifat eksternal bagi sumber. Pesan adalah apa yang harus sampai dari sumber ke penerima bila sumber bermaksud mempengaruhi penerima.40 Pesan harus menggunakan suatu alat untuk memindahkannya dari sumber ke penerima. Dalam hal ini fotografi

40 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, Panduan Berkomunikasi


(49)

commit to user

l

menjadi berita yang digunakan oleh komunikator dalam menyampaikan pesan kepada komunikan.

3. Foto Jurnalistik

Foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa pada masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak di balik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Foto merupakan sarana bagi seorang fotografer, sebagaimana kata-kata yang digunakan sebagai seorang penulis untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya. Melalui bahasa gambar tersebut, seorang fotografer menyampaikan pesan secara visual mencakup berbagai jenis pesan, yaitu berupa penyampaian pesan, ide, gagasan, visi, sikap fotografer dan penikmatnya.

Fotojurnalistik menunjukkan kepada kita hal-hal yang tidak biasanya kita lihat, membawa kita ketempat-tempat yang tidak biasanya kita kunjungi, ia menjelaskan kompleksitas seluruh kehidupan dunia. Fotojurnalistik yang baik tidak hanya sekedar fokus secara teknis, namun juga fokus secara cerita. Fokus dengan teknis adalah gambar mengandung ketajaman dan kekaburan yang beralasan, dalam artian memenuhi syarat secara tekhis fotografi. Fokus secara cerita, yakni pesan dan misi yang akan disampaikan kepada pembaca mudah dimengerti dan dipahami.


(50)

commit to user

li

Islam terbagi menjadi sejumlah golongan yang mempunyai keyakinan masing-masing dalam menjalankan syariatnya dan dalam menerjemahkan Al Quran serta hadist Nabi Muhammad SAW, tak terkecuali di Indonesia. Diantaranya adalah radikal dan moderat.

Islam radikal merupakan reaksi dari adanya ketidakadilan, kezaliman, kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat. Kelompok ini memperjuangkan Islam secara kaffah (totalitas), syariat Islam sebagai hukum negara, Islam sebagai dasar negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik sehingga bukan demokrasi yang menjadi sistem politik nasional. Mereka juga berdasarkan praktik keagamaannya pada orientasi masa lalu. Selain itu, mereka sangat memusuhi Barat dengan segala produk peradabannya, seperti sekularisasi dan modernisasi. Cenderung menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya

Islam moderat cenderung kepada golongan yang mengambil jalan tengah diantara dua hal yang berbeda. Penganutnya selalu memelihara keseimbangan dalam beragama dan bermasyarakat, menerima perkembangan yang terjadi dengan tetap memegang ajaran Islam. Mempertimbangkan segala sesuatunya tanpa ada kehendak mengikuti hawa nafsu dengan tetap mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian


(51)

commit to user

lii

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiologi komunikasi. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau wacana, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif (data yang bersifat tanpa angka-angka atau bilangan), sehingga data bersifat kategori substantif yang kemudian diinterpretasikan dengan rujukan, acuan dan refrensi-referensi ilmiah.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk mencermati foto jurnalistik dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” dengan tema Islam di adalah metode analisis semiotik. Merupakan cara atau metode atau menganalis dan memberikan makna – makna terhadap lambang-lambang pesan atau teks.41 Metode analisis pendekatan semiotik bersifat deskriptif kualitatif, maka secara umum tehnik analisis datanya menggunakan alur yang lazim dikonversikan ke dalam bentuk-bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebelum dianalisis, diinterpretasi, dan kemudian disimpulkan. Metode ini memfokuskan pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks objek yang diteliti.

3. Sumber Data


(52)

commit to user

liii

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009 yang berisi esai foto jurnalistik berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia”

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari buku-buku, artikel, jurnal, majalah, situs internet.

4. Analisa Data

Sesuai dengan metode penelitian bersifat kualitatif, analisa data sama sekali tidak menggunakan perhitungan secara kuantitatif. Semiotika digunakan untuk menganalisa makna dari tanda-tanda yang ada dari pesan-pesan komunikasi dalam esai foto yang berjudul “Moderat dan Radikal dalam Satu Tempat, bernama Indonesia” karya James Natchwey

Tahap pertama, foto ditelaah bagian mana yang merepresentasikan Islam radikal maupun moderat yang ada di Indonesia. Bagian-bagian inilah yang menjadi korpus penelitian. Korpus penelitian berisi : makna-makna apa yang terkandung


(53)

commit to user

liv

dalam Islam radikal maupun moderat di Indonesia” Langkah yang dilakukan dalam analisis data yakni dengan mengelompokkan foto menjadi beberapa bagian.

Korpus-korpus itu kemudian berdasarkan dua aspek sosial dan aspek fotografis. Pada aspek sosial digunakan dua tahap analisis yakni tahap denotatif dan konotatif. Sedangkan aspek fotografis yang berupa angle, lighting, dan setting hanya digunakan satu tahap yaitu tahap konotatif. Dari dua aspek tersebut akan diperoleh tema radikal dan moderat Islam di Indonesia yang kemudian memasuki tahap analisis terakhir yaitu mitos. Dengan tahapan diatas, tujuan penelitian akan tercapai.

Secara ringkas, peneliti melakukan proses analisisnya dengan menggunakan jabaran langkah yang mengadopsi bagan/skema model semiologi Roland Barthes dari

Introduction to Communications Studies yang ditulis John Fiske, yakni sebagai berikut: 42

1. Essai foto mengenai Islam radikal dan moderat di Indonesia karya James Natchwey yang menjadi bahasan dalam penelitian ini diamati untuk mengenali penanda-penandanya (signifier).

2. kemudian dari data tersebut dicari makna denotasi dan ditransformasikan dari gambar ke verbal. Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir.

3. berdasarkan makna denotasi yang telah didapatkan maka akan didapat makna-makna konotasi dari lambang-lambang komunikasi yang ada. Makna konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi


(54)

commit to user

lv

dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk satu konotator tunggal, sedang petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah.43

4. menemukan mitos-mitos yang terkandung dalam foto, yang berlaku di dalam masyarakat.

5. untuk dapat membongkar sebuah makna ideologis dari praktik pertandaan, diperlukan prinsip-prinsip intertektualitas dan intersubyektifitas. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, iklan secara pengertian umum adalah teks. Dimulai dengan analisis bersifat teknis (kode-kode verbal dan nonverbal dalam iklan), kajian semiotika senantiasa menghubungkan isi teks dengan ”teks” lain berupa isi media lain dan bahkan fenomena sosiokultural masyarakat yang lebih luas. Asumsi dasar interteks adalah sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain atau tidak dapat berdiri sendiri.44 Prinsip intertekstualitas adalah di dalam suatu teks terdapat suatu teks lain yang dipengaruhi oleh latar

43

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Magelang, Yayasan Indonesia Tera,2001, hal. 68.

44

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta, Penerbit Pustaka Widyatama,2003, hal. 131.


(55)

commit to user

lvi

belakang teks tersebut. Begitu pula dengan intersubyektifitas, pemaknaan terhadap suatu teks akan dipengaruhi oleh latar belakang dan pola pikir subyek lain yang memaknai teks tersebut sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi hasil dari pemaknaan teks tersebut.


(1)

commit to user

cxxvii

mereka dari fitnah, dan tindak kejahatan.Seperti ditunjukkan dalam korpus

8 bahwa penggunaan cadar diajarkan di pesantren.

8.

Wanita Islam terpaksa bekerja di luar rumah karena keterpaksaan ekonomi

dan mereka melakukan penyesuaian dalam berbusana saat keluar rumah

agar sejalan dengan syariat Islam, seperti terlihat dalam korpus 9 yakni

petugas

SPBU

yang

melalukan

penyesuaian

seragam

dengan

menambahkan lengan panjang.

9.

Kebangkitan keagamaan Islam muncul di kampus. Gerakan ini lebih

memberi perhatian pada penguatan intelektual perorangan dengan ide-ide

agama. Di samping adanya perhatian dalam mempelajari dan memahami

Islam, juga kecenderungan untuk menegaskan Islam dalam praktik

keseharian kehidupan mereka sebagaimana tergambar dalam korpus 10,

yakni mahasiswa Institut Seni Jakarta yang menggunakan cadar dalam

berproses mempelajari dan memahami Islam.

B. Saran

Untuk peneliti selanjutnya, penelitian ini menggunakan metode analisis

semiotika, di mana metode ini hanyalah sebatas cara, teknik atau alat dalam

menganalisa atau menginterprestasikan foto. Keterbatasan metode ini tidaklah

memungkinkan peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai alasan yang

melatarbelakangi majalah National Geographic Indonesia (NGI) dalam pemuatan

foto-foto jurnalistiknya. Di sisi lain, keterbatasan literatur mengenai

length focus


(2)

kamera menjadikan penelitian kurang mendalam. Untuk itu perlu penelitian lebih

lanjut dengan metode penelitian yang lain yang sesuai untuk mengetahui

permasalahan-permasalahan tersebut.

Sedangkan untuk penelitian selanjutnya yang menggunakan metode analisis

semiotika, semiotika memungkinkan seorang peneliti untuk melihat sebuah foto

secara sekilas tetapi jelas. Hal tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan

interprestasi terhadap gambar tersebut, akibat perbedaan cara pandang dengan orang

lain.

Akhirnya temuan dari studi ini tidak lain adalah jawaban dari rumusan

masalah sebelumnya. Pembentukan makna secara keseluruhan di peroleh setelah

melewati tahapan analisis, disertai dengan tahapan identifikasi hubungan pertandaan

yang memakai model Barthes. Yang paling penting tentunya karya ilmiah ini

diharapkan akan berguna bagi peneliti-peneliti selanjutnya.yang perlu digaris bawahi

dari penelitian ini adalah agar dapat diperbanyak dan lebih dikembangkan lagi dari

berbagai segi, baik dalam hal analisis, konten dari karya ilmiah yang akan ditulis oleh

peneliti-peneliti selanjutnya.


(3)

commit to user

cxxix

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. 2004.

Effendy, Onong U.

Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya

Bakti. 1993.

Fiske , John. Introduction to Communications Studies. Yogyakarta: Jalasutra. 1990.

Freininger, Andreas. The Complete Photographer. Jakarta: Dahara Prize. 1985.

Hoed, Benny H.

Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya UI Depok. 2008.

Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera. 2001.

McQuail, Dennis.

Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

1995.

Munir, Faisal Najib. Tuntunan Ibadah Salat. Solo: Cita Abadi. 1997.

Noviani , Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2002.

Oetama Jacob. Prakata, Mata Hati 1965-2007. Jakarta: PT Gramedia. 2007.


(4)

Rakhmat, Deddy Mulyana dan Jalaluddin.

Komunikasi Antarbudaya, Panduan

Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Jakarta: Remaja

Rosdakarya. 2001.

Riesen, Paul Ekman dan Wallace V. Buku Dulu Topengmu. Yogyakarta: Baca. 2003.

Rosadi, Andri.

Hitam Putih FPI (Front Pembela Islam). Jakarta: Nun Publisher.

2008.

Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakata: Lkis. 2007.

Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. 2008.

Sihbudi , Endang Turmudi dan Riza.

Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta:

LIPI Press. 2005.

Soelarko , R. M. Pengantar Foto Jurnalistik. Bandung: PT Karya Nusantara. 1985.

Sobur¸ Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003.

Zoest, Panuti Sudjiman dan Aart Van.

Serba-serbi Semiotik. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama. 1996.

Jurnal Internasional

Andreassen, Lars. Brandt & Vang. “Cognitive Semiotics Issue 0 (Spring 2007)”,


(5)

commit to user

cxxxi

Berger, Mats. The secret of rendering signs effective: the import of C. S. Peirce’s semiotic rhetoric.

The Public Journal of Semiotics. 1(2),4.http://www.semiotics.ca/issues/pjos-1-2.pdf diakses

pada5 Februari 2010 pukul 20.35 WIB

Goran Sonesson, The Interne Semiotics Encyclopedia, www.arthist.lu.se diakses pada5 Februari 2010 pukul 18.45 WIB

Majalah dan Surat Kabar

Arbain Rambey, Sejarah Fotografi dan Sejarah Teknologi, Kompas, 23 Juni 2003

FOTOMEDIA, Fokus : Foto Jurnalistik, Agustus 2001

FOTOMEDIA, Fotojurnalistik, Gabungan Gambar dan Kata, April 2003

FOTOMEDIA, Warna-warni : Memahami Arti Komposisi, Juni 1996

Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2009\

Makalah

Yuniadhi Agung, Pengantar Fotografi Jurnalistik, 2004

Website

http://annadzir.blogspot.com/2009/02/mengenal-jamaah-nadzir-ditulis-pada.html

diakses pada 8 Maret 2011 pukul 14.00 WIB

http://blog.re.or.id/bagaimana-hukum-memakai-cadar.htm

diakses pada 7 Maret 2011


(6)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/28/time/134736/idnews/5490 00/idkanal/10 diakses pada 1 Maret 2011 pukul 06.10 WIB

http://en.wikipedia.org/wiki/James_Nachtwey

diakses pada 17 Januari 2011 pukul

08.15 WIB

http://langitan.net/?p=162

diakses pada 8 Maret 2011 pukul 15.00 WIB

http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Perempuan2.htm

diakses pada 1 Maret

pukul 16.00 WIB

http://ms.wikipedia.org/wiki/Putih

diakses pada 1 Maret 2011 pukul 06.00 WIB

http://photography.nationalgeographic.com/photography/photographers/photographer

-james-nachtwey.html

diakses pada 17 Januari 2011 pukul 08.00 WIB

http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=202816&kat_id=1

05&kat_id1=147&kat_id2=291

diakses pada 9 November 2009, pukul 19.30