PENGARUH PERUBAHAN PENUTUP LAHAN TERHADAP DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI SUB DAS KEDUANG KABUPATEN WONOGIRI

(1)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

i

PENGARUH PERUBAHAN PENUTUP LAHAN TERHADAP

DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI SUB-DAS KEDUANG

KABUPATEN WONOGIRI

(The Effect of Land Cover Changes to Runoff Discharge

in Keduang Sub-basin, Wonogiri)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Disusun oleh:

AWALUDIN F. ARYANTO

NIM I 0106039

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

TERHADAP DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI SUB-DAS KEDUANG

KABUPATEN WONOGIRI

(The Effect of Land Cover Changes to Runoff Discharge

in Keduang Sub-basin, Wonogiri)

SKRIPSI

Disusun oleh:

AWALUDIN F. ARYANTO

NIM I 0106039

Persetujuan dosen pembimbing

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Mamok Soeprapto R, M. Eng.

NIP. 19510710 198103 1 003

Dosen Pembimbing II

Ir. Adi Yusuf Muttaqien, MT

NIP. 19581127 198803 1 001


(3)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

TERHADAP DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI SUB-DAS KEDUANG

KABUPATEN WONOGIRI

SKRIPSI

Disusun oleh:

AWALUDIN F. ARYANTO

NIM I 0106039

Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Pendadaran Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret pada hari:

1.

Dr. Ir. Mamok Soeprapto Raharjo, M.Eng

NIP. 19510710 198103 1 003

(……….)

2.

Ir. Adi Yusuf Muttaqien, MT

NIP. 19581127 198803 1 001

(……….)

3.

Ir. Solichin, MT

NIP. 19600110 198803 1 002

(……….)

4.

Ir. Siti Qomariyah, M.Sc

NIP. 19580615 198501 2 001

(……….)

Mengetahui,

a.n. Dekan Fakultas Teknik UNS

Pembantu Dekan I

Ir. Noegroho Djarwanti, MT

NIP. 19561112 198403 2 007

Disahkan,

Ketua Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik UNS

Ir. Bambang Santosa, MT

NIP. 19590823 198601 1 001


(4)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

TERHADAP DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI SUB-DAS KEDUANG

KABUPATEN WONOGIRI

(The Effect of Land Cover Changes to Runoff Discharge

in Keduang Sub-basin, Wonogiri)

SKRIPSI

Disusun oleh:

AWALUDIN F. ARYANTO

NIM I 0106039

Persetujuan pembimbing

Pembimbing Pendamping

Ir. Sukresno, MSc

NIP. 19580204 198503 1 002


(5)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOT T O

“Allah t idak akan membebani seseor ang melainkan sesuai kesanggupannya”

-Q S 1:286-

“Nek luwe mangan, nek ngelak ngombe, nek ngant uk t ur u, ur ip kuwi kudu

digawe gampang, nanging aj a nggampangke ur ip”

-Dody Yudho W inar t o-

“I khlas mar ang kang wis kelakon, nr imo mar ang kang lagi dilakoni, pasr ah

mar ang kang ar ep dilakoni”

-Pepat ah J awa-

“Madeg pr ibadi, mandir eng ing samukawis””

-Pepat ah j awa-

“Ber syukur membuat hidup lebih nikmat ”

-Awaludin-

“Har apan ber banding lur us dengan kekecewaan, ber ani ber har ap ber ar t i

siap unt uk kecewa”

-Adit yo Rahar j o-


(6)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

¾ Bapak, I bu, Nanda, Ega, Mbah Kakung dan Mbah Put r i selur uh keluar ga yang j adi sumber kekuat an unt uk menj alani semua.

¾ Pak Mamok yang sudah menj adi gur u, pembimbing, bapak, dan t eman yang selalu member i dukungan unt uk menj adi “anak air ” yang t angguh.

¾ Teman-t eman DeGelo (Uj ang, Agus, Dimas, Danang, Set yo, Sit a, Fer dian, Lily) yang t idak bosan unt uk t er us menggila.

¾ Tim kr eat if Asr ika Films Co. (W ak Acong, Ar ip, Mbah J enggot , MDod, Hanif , I r van, Aj i, Haf id, Siswo, Far id, Bagus, Alber t , Aan) sumber inspir asi yang t idak per nah ker ing.

¾ Teman-t eman Scuadr a (Adit , Supr a, Dimas, Tangguh, Dika, Yani, Ayu, Linda, Rat ih) yang t er us kompak.

¾ W ar ga RW 15 (Mbah Hadi, Pak Nur , Pakdhe Yono, Mbak Eni, Bu J oko), t er ima kasih unt uk t empat t inggal, lingkungan, sar apan, makan siang, makan malam, dan buka puasa yang super .

¾ Biant o J ohan Ar if in, Dyah Kur nia Pr imasast i, Annisa Kusumawat i, Dina Rachmayat i, Er mis Ver a, M. Yushar Yahya, Muh. Syar if , I r ma Tr ianawat i, Ar yu Diah, Rezy, Tanj ung, Adit , Riani Novia, Ber nadet a, I khsanudin, Anshor i, Andi, Luqman, W inda, Yunie, Ropr i, Aj i, W ir a, Alve, Dendy, Far id, Bet t y, Nur ul, dan t eman-t eman seper j uangan Sipil 2006 yang membanggakan.

¾ Pak Edy, Pak As,ad, Pak Bambang, Pak Ar y, Pak J oko, Pak Sof a, Bu Sobr iah, Bu Pungky, Pak Senot , Bu Faj ar , Bu Endah, Pak Sur , Pak Paulus, Mas Yanuar ,


(7)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

Pak Yusuf , Pak Agung Kumor o, Pak Mulyant o, Mas Budi, Mas Tof ik, Mas W ar doyo, Pak Saiman, Mas Har bun, yang t idak per nah lelah membagi ilmu.

¾ Devint a Puspa, Sar i Nur Pr ihat iningsih, dua or ang yang selalu menyediakan t elinga dan t ak per nah kehabisan per sediaan semangat .

¾ Baht iar , Mayang, Tia, Tat ang, Ami, Sint a, Bila, Vino, Ar ga, dan keluar ga besar t eknik sipil Univer sit as Sebelas Mar et Sur akar t a.

¾ HMS, Relawan Rumah Zakat , Fr eelancer , Backpacker , Dunia W ayang, Kot a Solo yang mengaj ar kan bagaimana sehar usnya menj adi manusia.


(8)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

Awaludin F. Aryanto. 2010. “PENGARUH PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

TERHADAP DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI SUB-DAS KEDUANG

KABUPATEN WONOGIRI”.

Skripsi, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret

Perubahan iklim dan konversi lahan menjadi daerah pemukiman/industri dapat

mengakibatkan peningkatan jumlah aliran permukaan. Perubahan penutup lahan

menyebabkan turunnya infiltrasi sehingga air hujan langsung ber-trasformasi

menjadi aliran permukaan. Pengaruh perubahan penutup lahan terhadap aliran

permukaan menarik unuk dikaji.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan data primer adalah

data koordinat stasiun hujan. Data sekunder adalah data hujan harian dan peta

Sub-DAS Keduang. Dalam penelitian ini, sub-Sub-DAS Keduang dibagi menjadi beberapa

grid bujur sangkar berukuran 1x1 km. Dengan perangkat lunak MPAR, dilakukan

delapan skenario perubahan penutup lahan di tiga zone sub-DAS Keduang, yaitu

zone hulu, tengah dan hilir. Hasil simulasi kemudian dibandingkan dengan data debit

hasil observasi untuk mengetahui seberapa besar perubahan jumlah aliran permukaan

yang terjadi.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan volume total sebesar 16,85% dan

kenaikan debit puncak sebesar 5,27% pada perubahan di zone hulu, 18,29% dan

8,2% pada perubahan di zone tengah, 17,08% dan 4,12% pada perubahan di hilir,

perubahan volume total 20,07% dan kenaikan debit puncak sebesar 9,8% pada

perubahan di seluruh sub-DAS Keduang.


(9)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

ABSTRACT

Awaludin F. Aryanto. 2010. “The Effect of Land Cover Changes to Runoff

Discharge in Keduang Sub-basin, Wonogiri”.

Thesis, Civil Engineering

Departement, Engineering Faculty, Sebelas Maret University.

Climate change and deforestation cause runoff discharge going to increase. Land

cover change decrease infiltration, so when rainfall happen, water directly

transformed to runoff. It is interesting to do some research about the effect of soil

cover change to runoff.

This is a Descriptive Quantitative research using rainfall stasion coordinates as

primary data and daily ranfall and Keduang Sub-Watersed geographic map as

secondary datas. In this research, Keduang sub-watershed divided to several square

1x1 km grids. Using MPAR, there are 8 land cover change scenarios applied in

upper, middle, and lower zone of Keduang sub-watershed. Then, the simulation

results compared with observed data to know how much land cover change affect the

runoff.

As results, there is 16,85% difference of total volume and 5,27% difference of peak

discharge on upper zone land cover change, 18,29% and 8,2% on middle zone

change, 17,08% and 4,12% on lower zone change, and 20,07% and 9,8% difference

on total Keduang sub-watershed change.

Keywords

: Grid, land cover, runoff.


(10)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

x

untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik dengan judul “Pengaruh Perubahan

Penutup Lahan Terhadap Debit Aliran Permukaan di Sub-DAS Keduang Kabupaten

Wonogiri” dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan pihak-pihak yang selalu

bersedia menyediakan bermacam bantuan demi kelancaran proses penulisan. Untuk

itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Ayah, Ibu, Nanda, Ega, serta keluarga yang tak pernah berhenti berdoa dan

memberikan dukungan.

2.

Dr. Ir. Mamok Soeprapto, M.Eng selaku pembimbing pertama yang selalu

bersedia meluangkan waktu untuk bertukar pikiran.

3.

Ir. Adi Yusuf Muttaqien, MT, selaku pembimbing kedua yang dengan teliti

memberikan koreksi untuk memberikan hasil yang lebih baik.

4.

Ir. Sukresno, MSc, selaku pembimbing pendamping dan Kepala Balai Penelitian

Kehutanan Surakarta atas arahan dan kemudahan akses untuk mendapatkan data.

5.

Bapak dan Ibu dosen yang telah membagi ilmunya.

6.

Bu Inung, Bu Suli, Pak Tony Warsono, serta PT. Wijaya Karya yang telah

memberikan bantuan untuk menyelesaikan kuliah dan kesempatan untuk

bergabung dalam keluarga besar PT. Wijaya Karya.

7.

Teman-teman dekat yang tidak lelah untuk saling memberi semangat.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat

menjadi inspirasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Surakarta, Agustus 2010


(11)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

i

LEMBAR PERSETUJUAN ...

ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...

iv

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ...

x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR NOTASI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...

1

1.2. Rumusan Masalah ...

2

1.3. Batasan Masalah ...

2

1.4. Tujuan Penelitian ...

3

1.5. Manfaat Penelitian ...

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan iklim global ...

4

2.2. Peningkatan Debit Aliran Permukaan (

Runoff

) ...

4

2.3. Perubahan Penutup Lahan

(land coverage) ...

5

2.4. Pengalihragaman Hujan-aliran ...

6

2.5. Rencana Tataguna Lahan ...

7

2.6. Pemodelan hidrologi ...

8

BAB III DASAR TEORI

3.1. Hujan

(rainfall) ...

10

3.2. Hujan Wilayah ... 10

3.3. Uji Jaringan... 11

3.4. Uji Konsistensi (Kepanggahan) ... 12


(12)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

3.7. Infiltrasi

(infiltration) ...

16

3.8. Aliran Permukaan (

overland flow

) ... 18

3.9. Debit Aliran Permukaan ... 19

3.10. Kecepatan dan tebal aliran laminer seragam ... 20

3.11. Kecepatan dan tebal aliran turbulen ... 21

3.12. Aliran di alur sungai (

channel flow

) ... 22

3.13. Penelusuran Aliran (

Routing

) ... 22

3.14. Kalibrasi ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Metode Penelitian ... 26

4.1.1. Studi Pustaka ... 26

4.1.2. Metode Survei Lapangan ... 26

4.1.3. Metode Interview ... 26

4.2. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 27

4.3. Data yang Dibutuhkan ... 26

4.3.1.

Data debit ... 26

4.3.2.

Data hujan harian ... 28

4.3.3.

Data Peta ... 28

4.4. Peralatan yang dibutuhkan ... 28

4.5. Uji Data ... 29

4.5.1.

Uji jaringan stasiun hujan ... 29

4.5.2.

Uji kepanggahan data hujan ... 29

4.6. Persiapan Analisis ... 29

4.6.1.

Data debit ... 29

4.6.2.

Data hujan ... 29

4.6.3.

Data peta ... 30

4.6.4.

Penyusunan

grid

... 30

4.6.5.

Tabulasi data ... 31

4.7. Analisis Data ... 32

4.7.1.

Hujan grid ... 32


(13)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

4.7.3.

Resapan ... 33

4.7.4.

Aliran permukaan (

Overland flow

) ... 33

4.7.5.

Penelusuran

Overland flow ...

33

4.7.6.

Channel flow

... 33

4.7.7.

Penelusuran

channel flow

... 33

4.7.8.

Kalibrasi ... 33

4.7.9.

Simulasi perubahan penutup lahan... 34

4.8. Diagram alir tahapan penelitian ... 35

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. Uji Data ... 36

5.2. Uji Jaringan Stasiun Hujan ... 37

5.3. Pembuatan Model Sub-DAS Keduang ... 38

5.3.1. Trasformasi peta dasar menjadi peta

grid ...

38

5.3.2.

Input

parameter DAS ... 39

5.3.3.

Input

parameter tiap

grid ...

39

5.3.4.

Input

data hujan ... 40

5.3.5. Input data debit ... 42

5.4. Perhitungan transformasi hujan-aliran menggunakan MPAR ... 43

5.4.1. Penentuan waktu observasi ... 43

5.4.2 Perhitungan hujan efektif... 43

5.4.3

Overland flow ...

44

5.4.4 Penelusuran aliran pada saluran ... 46

5.4.5 Hasil perhitungan MPAR ... 47

5.5. Simulasi model ... 48

5.5.1. Hasil simulasi ... 48

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 56

6.2. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

LAMPIRAN


(14)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Poligon Thiessen ... 11

Gambar 3.2. Aliran tunak seragam pada permukaan lahan ... 19

Gambar 3.3. Kejadian aliran permukaan sampai pada saluran alam ... 20

Gambar 4.1. Lokasi Sub-DAS Keduang pada DAS Bengawan Solo Hulu

...

27

Gambar 4.2. Penyusunan

grid ...

31

Gambar 4.3. Pembagian wilayah DAS ... 34

Gambar 4.4. Bagan alir penelitian... 35

Gambar 5.1. Jaringan segitiga Kagan ... 37

Gambar 5.2. Peta dasar sub-DAS Keduang ... 38

Gambar 5.3. Peta

grid

sub-DAS Keduang ... 39

Gambar 5.4. Hujan Girimarto PP 125B ... 40

Gambar 5.5. Hujan Ngadirojo 125F ... 40

Gambar 5.6. Hujan Jatisrono 131 ... 41

Gambar 5.7. Hujan Jatiroto 130C ... 41

Gambar 5.8. Hujan Bulukerto 130A ... 42

Gambar 5.9. Debit Sungai Keduang ... 43

Gambar 5.10. Perbandingan Q model dengan Q pengukuran lapangan ... 50

Gambar 5.11. Perbandingan Q model dengan perubahan di zone hulu ... 51

Gambar 5.12. Perbandingan Q model dengan perubahan di zone tengah ... 52

Gambar 5.13. Perbandingan Q model dengan perubahan di zone hilir ... 53

Gambar 5.14. Perbandingan Q model dengan perubahan di seluruh wilayah sub-DAS

... 54


(15)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Nilai kritik

Q

dan

R ...

14

Tabel 3.2. Distribusi Hujan Tadashi Tanimoto ... 15

Tabel 3.3. Parameter Infiltrasi Green-Ampt ... 18

Tabel 3.4. Nilai

n

Manning untuk aliran limpasan ... 24

Tabel 3.5. Nilai

n

Manning untuk saluran terbuka ... 24

Tabel 4.1. Koordinat stasiun hujan ... 27

Tabel 4.2. Indeks parameter ... 32

Tabel 5.1. Hasil uji data hujan tahunan ... 36

Tabel 5.2. Perhitungan infiltrasi ... 44

Tabel 5.3. Perhitungan

overland flow ...

46

Tabel 5.4. Penelusuran aliran sungai ... 47

Tabel 5.5.

Resume

running

model sub-DAS Keduang ... 48


(16)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data

Lampiran 2. Analisis dan Hasil

Lampiran 3. Surat-surat


(17)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

DAFTAR NOTASI

ܲത

= hujan Wilayah (mm)

ܲ

= hujan masing-masing stasiun pencatat hujan (mm)

ܣ

= luas wilayah (km

2

)

ܣ

= luas masing-masing poligon (km

2

)

N

= jumlah stasiun pencatat hujan

d

s

= jarak stasiun terdekat terhadap titik berat

grid

x

1

,

y

1

= koordinat stasiun ke-1 terdekat dengan

grid

x

2

,

y

2

= koordinat stasiun ke-2 terdekat dengan

grid

x

g

,

y

g

=

koordinat

pusat

grid

P

g.h

= hujan

grid

pada hari h

P

ds.h

= hujan pada stasiun dengan jarak terpendek,

d

s

di hari h

L

= panjang sisi segitiga (Km)

A

= luas wilayah (Km

2

)

N

= jumlah stasiun pencatat hujan

r

d

= korelasi antar stasiun dengan jarak

d

km,

r

0

= korelasi antar stasiun dengan jarak yang sangat kecil (± 0 km ),

d

= jarak antar stasiun (km),

d

0

= radius korelasi.

Z

l

= kesalahan perataan (%)

C

v

=

koefisien

varian

A

= luas wilayah (km

2

)

N

= jumlah stasiun hujan

Z

3

= kesalahan interpolasi (%)

S

= standar deviasi

Y

i

= data hujan ke-

i

Y

= data hujan rerata -

i

D

y

= deviasi standar

n

= jumlah data


(18)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

A

= luas DAS (km

)

L

= panjang sungai utama (km)

S

= kemiringan sungai (m/m)

t

T

I

=

intensitas

hujan dengan kala ulang

T

untuk durasi t (mm/jam),

R

T,24

=

intensitas

hujan

harian untuk kala ulang

T

(mm/hari),

t

= durasi hujan (jam).

F

t

= infiltrasi kumulatif pada akhir waktu

t

(cm)

Ψ

= tinggi tekanan kapiler (cm)

∆θ

= perbedaan isi lengas tanah pada keadaan awal dan akhir

K

= daya konduksi tanah (cm/jam)

f

t

= laju resapan pada waktu

t

(cm/jam)

t

= interval waktu (jam)

q

0

= debit aliran permukaan per satuan lebar

V

=

kecepatan

rerata aliran

y

=

ketebalan

aliran

i

=

intensitas

hujan

L

c

= panjang lintasan aliran di permukaan

Θ

= sudut kemiringan lahan terhadap bidang horisontal

R

e

= bilangan Reynold

R

= jejari hidrolik

v

=

viskositas

air

C

L

= koefisien tahanan

g

= gaya gravitasi

n

=

koefisien

kekasaran Manning

S

f

= kemiringan bidang penghambat

S

0

= kemiringan lahan

y

=

ketebalan

aliran

V

=

kecepatan

aliran

T

=

Travel Time

Q

= debit di saluran alam

n

=

koefisien

Manning

untuk saluran alam


(19)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

xix

A

= luas penampang basah untuk saluran alam

R

= jejari hidrolik

C

=

koefisien

Chezy

untuk saluran alam

q

= aliran masuk lateral

Q

= debit aliran

β

=

koefisien

momentum

atau koefisien Boussinesq,

β

=1.01-1.33

t

= interval waktu

x

= interval jarak

n

= loefisien kekasaran Manning untuk permukaan lahan

α

= kecepatan aliran di

grid

P

= keliling basah

S

0

= kemiringan dasar aliran

i

= step jarak

j

= step waktu

SE

=

kesalahan

standar

Q

obs

= nilai dari pengamatan

Q

model

= nilai dari model

N

= jumlah kejadian


(20)

commit to user

1

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Peningkatan suhu bumi akibat perubahan iklim global telah mengubah pola cuaca yang telah terbentuk selama jutaan tahun. Peningkatan suhu ini menyebabkan meningkatnya intensitas hujan. Kenaikan suhu rata-rata tahunan

antara 0,2-1 derajat celcius antara tahun 1970 hingga 2000 akibat pemanasan

global telah mengakibatkan peningkatan rata-rata curah hujan bulanan di

Indonesia.

(http://www.antara.co.id/view/?i=1176803186&c=WBM&s=:17April2007).

Pemanasan global mengakibatkan suhu atmosfir meningkat. Atmosfir yang lebih hangat mengandung embun dalam jumlah banyak dan meningkatkan intensitas hujan.

(http://www.dailygalaxy.com/myweblog/2008/08/global-climate.html.9Juni2009)

Perubahan pola dan intensitas hujan mendasari perlunya kajian terhadap metode dan pendekatan analisis yang terkait dengan air. Pada wilayah yang telah menerapkan perencanaan terintegrasi, pola penggunaan lahan suatu tempat telah diatur melalui peraturan-peraturan sehingga pengelolaan suatu wilayah dengan tata guna lahan tertentu menjadi lebih baik. Namun seiring dengan pertumbuhan perkotaan yang cepat, kebutuhan lahan untuk pemukiman semakin meningkat sehingga perubahan pola penggunaan lahan dan pembukaan hutan (deforestation)

sering dilakukan secara tidak beraturan atau acak. Pola penggunaan lahan suatu wilayah akan mempengaruhi jenis penutup lahan (land coverage) yang selanjutnya berpengaruh terhadap pola aliran permukaan.

Peningkatan intensitas hujan dan perubahan pola penggunaan lahan ditengarai sebagai faktor utama penyebab banjir yang sering terjadi belakangan ini. Sebagian dari hujan akan meresap ke dalam tanah (infiltration) dan sisanya mengalir menjadi aliran permukaan (direct runoff) yang akan ditampung oleh


(21)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

2

cekungan-cekungan (depression storage) maupun oleh alur sungai. Berkurangnya kawasan terbuka alami mengurangi jumlah air yang terinfiltrasi. Pembukaan hutan dan mengubahnya menjadi area perkebunan dan pertanian dapat meningkatkan 10-30% total aliran permukaan (Mao dan Cherkauer, 2009).

Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan menaikkan resiko banjir di daerah perkotaan. Agar resiko banjir dapat diminimalisir, maka perlu adanya kajian mengenai pola penggunaan lahan dalam suatu wilayah yang berhubungan dengan aliran permukaan.

1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan mengenai bagaimana pengaruh perubahan penutup lahan terhadap besarnya jumlah aliran permukaan.

1.3.

Batasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam kajian ini dibatasi pada:

1. Peta disederhanakan menjadi berbentuk grid. Grid adalah suatu wilayah dengan ukuran 1x1 km. Apabila ada luasan yang menempati lebih dari setengah grid, maka luasan itu dianggap sama dengan luas grid, namun bila luasan tersebut kurang dari setengah luas grid, maka luasan tersebut dianggap sama dengan nol.

2. Ketebalan hujan, kemiringan lahan, jenis tanah, dan jenis penutup lahan dalam satu grid dianggap sama.

3. Hujan pada setiap grid sama dengan hujan yang tercatat pada stasiun hujan terdekat.

4. Alur sungai disesuaikan dengan garis-garis pembentuk grid dengan cara menghimpitkan alur sungai dengan grid terdekat.

5. Arah aliran pada tiap grid ditentukan dari bagian tertinggi menuju bagian yang lebih rendah dengan arah horisontal maupun vertikal dan dianggap tidak berpindah jalur maupun saling memotong.


(22)

commit to user

3

1.4.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan penutup lahan terhadap besarnya jumlah aliran permukaan di sub-DAS Keduang Kabupaten Wonogiri.

1.5.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis adalah untuk menambah informasi dalam hal hidrologi, terutama keterkaitan antara soil coverage dengan aliran permukaan (runoff).

2. Manfaat praktis adalah untuk mengetahui pola penggunaan lahan yang tepat untuk mengurangi resiko banjir suatu wilayah.


(23)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

4

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Perubahan iklim global

Perubahan iklim global adalah perubahan jangka panjang pada pola dari keadaan cuaca rata-rata bumi secara keseluruhan karena peningkatan jumlah karbon dioksida (CO2) dan Metana (CH4) di atmosfer. Perubahan iklim memperlihatkan variasi abnormal dari iklim bumi yang selanjutnya mempengaruhi bagian lain bumi terutama curah hujan dan suhu udara. Untuk wilayah Asia Tenggara, terjadi kenaikan suhu sekitar 2,5 - 4 ºC dengan kisaran 2- 6 ºC dan curah hujan yang lebih banyak (Sulistyowati, 2006).

Perubahan iklim telah menyebabkan fluktuasi curah hujan yang tinggi (Armi Susandi, 2008) dan mengubah pola distribusi hujan yang cenderung menjadikan daerah yang basah semakin basah, dan daerah yang kering semakin kering. Di negara dengan empat musim, siklus musim (seasonal cycle) telah terpengaruh oleh perubahan iklim yang ditandai dengan meningkatnya intensitas hujan pada musim dingin, berkurangnya hujan di musim panas, dan peningkatan suhu (Susan Steele-Dunne, dkk, 2008). UNDP-Indonesia (2007) dan WWF-Indonesia (2007) menjelaskan bahwa di WWF-Indonesia ada kecenderungan untuk dapat mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek tetapi dengan curah yang berubah secara drastis pada pola distribusinya. Hujan rata-rata tahunan menunjukkan peningkatan sebesar 7%, dikarenakan meningkatnya intensitas hujan pada bulan Oktober sampai Maret dan menurunnya intensitas hujan selama Juli sampai September. Peningkatan jumlah terjadinya hujan dengan intensitas yang melampaui hujan maksimum sebesar 0.1% dari seluruh hari hujan dengan rata-rata peningkatan kedalaman hujan 7% (Hans Thodsen, 2007).

2.2.

Peningkatan Debit Aliran Permukaan (

Runoff

)

Peningkatan jumlah hujan memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan debit aliran permukaan (Pao-Shan Yu,dkk., 2002). Aliran permukaan


(24)

commit to user

5  

memberi kontribusi besar pada peningkatan debit aliran sungai. Akibat peningkatan intensitas hujan antara bulan Oktober sampai Maret, debit Sungai Danish di Denmark meningkat rata-rata sebesar 12%. Analisis pada hujan maksimum dan debit sungai secara menyeluruh menunjukaan bahwa peristiwa debit maksimum cenderung meningkat. Peningkatan peristiwa terlampauinya debit maksimum sebesar 0.1% dengan debit yang meningkat mendekati 15% (Hans Thodsen, 2007).

Aliran permukaan (runoff) yang meningkat berbanding terbalik dengan menurunnya kapasitas tampungan sehingga menyebabkan peluang terjadinya banjir meningkat. Menurut Mudiyarso (1994), pada beberapa daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia keberadaan air permukaan diperkirakan akan meningkat. Di DAS Citarum, Jawa Barat, peningkatan tersebut mencapai 32%, di DAS Brantas Jawa Timur, peningkatan mencapai 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi Selatan, meningkat sebesar 132% (http://climatechange.menlh.go.id- Climate Change–

Indonesia, 3 Mei 2009). Kerusakan DAS, pendangkalan sungai akibat

sedimentasi, juga menyempitnya sungai membuat kelebihan air tidak dapat ditampung oleh alur sungai sehingga mengakibatkan banjir.

2.3.

Perubahan Penutup Lahan

(land coverage)

Perubahan penutup lahan mempunyai pengaruh besar pada peningkatan jumlah aliran permukaan. Urbanisasi yang cepat memaksa lahan di perkotaan beralih fungsi dan menambah jumlah permukaan yang kedap air (impervious). Kebutuhan lahan untuk industri juga menyebabkan lahan pertanian terkonversi menjadi kawasan industri.

Pada penelitian yang dilakukan di Jerman, perbandingan perhitungan limpasan (runoff) pada dua daerah tangkapan dengan proporsi lahan pemukiman sebesar 4.9% dan dengan proporsi pemukiman hanya 2.9% menunjukkan perbedaan limpasan hingga 70% (M. Wegehenkel, 2006). Sementara Suroso dan Hery Awan Susanto (2007) menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan di DAS Banjaran (Banyumas) dari tahun 1995 hingga 2001 menyebabkan peningkatan debit banjir sungai Banjaran di titik kontrol Patikraja.


(25)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

6  

Permukaan lahan yang lebih kedap air mengurangi kapasitas infiltrasi. Akibatnya sebagian besar hujan yang turun langsung berubah menjadi aliran permukaan (runoff). Perubahan transformasi hujan menjadi aliran yang terjadi secara langsung tanpa adanya penundaan (delay) membuat debit sungai meningkat dengan cepat dan waktu puncak datang lebih awal. Simulasi debit di DAS Krueng, Aceh, dengan asumsi hutan menyempit 50%, kebun campuran dan lahan terbuka menyempit 25%, sawah dan pemukiman meningkat 400% menunjukkan bahwa kejadian hujan sebesar 29.4 mm pada tanggal 31 Juli 2002 dan curah hujan sebesar 64 mm pada tanggal 29 Oktober 2002 menimbulkan debit puncak sebesar 66.3 dan 161.9 m3/detik, atau naik masing-masing sebesar 21.6 dan 38.0 m3/detik dibandingkan dengan kondisi tutupan lahan semula sebelum perubahan

(balitklimat.litbang.deptan.go.id, 2005)

Li, dkk. (2007), pada percobaan di Afrika Barat menuliskan, pembukaan hutan total (total deforestation) meningkatkan rasio limpasan (runoff) dari 0.15 menjadi 0.44, dan menaikkan debit sungai tahunan antara 35-65%. Sementara penggantian lahan terbuka (padang rumput dan savana) meningkatkan debit sungai antara 33-91%.

2.4.

Pengalihragaman Hujan-aliran

Hujan merupakan salah satu penyebab alami terjadinya banjir (Kodoatie, dkk. 2002). Banjir terjadi akibat aliran langsung (direct runoff) yang terakumulasi dan tidak mampu ditampung oleh saluran. Dalam memprediksi banjir, debit banjir rencana dapat diturunkan dari data curah hujan. Data curah hujan harian didapatkan dari stasiun hujan yang dipilih setelah dilakukan uji jaringan stasiun hujan. Uji jaringan stasiun hujan biasanya menggunakan cara Kagan, yaitu dengan memilih stasiun hujan yang berada pada titik simpul segitiga samasisi Kagan yang panjang sisinya dihitung dari korelasi jarak antar stasiun pada DAS.

Data dari stasiun hujan terpilih selanjutnya diuji untuk mengetahui kepanggahan data yang tercatat. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi adanya data yang tidak valid akibat kesalahan pencatatan maupun hal lainnya. Stasiun hujan dengan data yang dianggap panggah dapat digunakan datanya untuk perencanaan hidrologi. Dalam perencanaan, data hujan dari stasiun hujan


(26)

commit to user

7  

ditransformasi menjadi hujan wilayah. Chow, dkk (1988) menyebutkan bahwa rerata hujan wilayah dapat diperoleh dengan tiga cara, yakni: 1) rerata aritmatik, 2) poligon Thiessen, 3) cara Isohyet. Hujan wilayah diperlukan untuk menentukan besarnya debit yang dihasilkan akibat hujan yang jatuh pada luasan tertentu berdasarkan stasiun hujan yang dianggap mewakili luasan tersebut.

Untuk perhitungan debit, pada tahap selanjutnya data hujan harian dicari pola agihan jam-jamannya untuk mengetahui prosentase hujan yang turun pada tiap jamnya. Pola agihan hujan menggambarkan intensitas hujan yang turun tiap jam dalam bentuk hidrograf. Dari hidrograf dapat diketahui waktu puncak terjadinya hujan yang digunakan sebagai dasar perhitungan intensitas hujan rencana.

Sebelum diturunkan menjadi debit, perlu dilakukan pengurangan hujan rencana akibat adanya proses infiltrasi. Hujan yang telah dikurangi oleh infiltrasi disebut sebagai hujan sisa (excess rainfall) yang kemudian mengalir di permukaan tanah (overland flow). Besarnya jumlah air yang terserap tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah dan penutup lahan, jenis tanah, dan moisture content

(Chow, dkk. 1988). Aliran di permukaan tanah akan terakumulasi di saluran dan berubah menjadi aliran yang dinamakan aliran di alur sungai (channel flow).

2.5.

Rencana Tataguna Lahan

Tata Guna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dan lain-lain. Rencana tata guna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya

(http://kwalabekala.usu.ac.id/,8 Agustus 2009).

Kawasan yang terintegrasi adalah kawasan yang unsur-unsurnya secara fungsional membentuk jalinan yang sinergis, secara fisik memiliki struktur yang teratur, dan secara norma memperhatikan pelaku, konteks budaya dan akarmya (Soediwahjono,1998). Pada intinya, kawasan yang terintegrasi adalah kawasan


(27)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

8  

dimana pembagian penggunaan lahannya terkoordinasi dengan baik yang menciptakan keseimbangan pemanfaatan lahan sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antar kawasan. Penerapan manajemen kota yang didukung oleh infrastruktur yang baik serta ketegasan dalam penegakan undang-undang akan menghasilkan tata wilayah yang optimal.

Dalam UU No.26 tahun 2007 pasal 29 diatur bahwa “Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota”. Dan pada pasal 35 disebutkan bahwa “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi”.

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan peningkatan curah hujan, konsistensi penerapan zonasi dalam suatu wilayah diperlukan untuk menjaga daerah tangkapan sehingga kapasitas tampungan yang ada masih mampu menampung peningkatan jumlah aliran permukaan. Contohnya adalah simulasi model Agricultural Non Point Source Pollution (AGNPS) dengan meningkatkan luas hutan pada luas sub DAS Cilalawi, Cikao dan Ciherang, dapat menurunkan aliran permukaan, peak runoff rate, erosi permukaan dan sedimen

(balitklimat.litbang.deptan.go.id,2003). Penerapan Integrated Watershed

Management (IWSM) di Tigray, Ethiopia. IWSM menunjukkan bahwa dengan

penerapan manajemen yang tepat dan terintergrasi, kelestarian daerah tangkapan bisa terjaga. Berkurangnya erosi tanah, meningkatnya kelembaban tanah, dan berkurangnya sedimentasi serta pengurangan jumlah aliran permukaan (Fikir Alemayehu, dkk,. 2009).

2.6.

Pemodelan hidrologi

Model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks (Sri Harto, 1993). Dooge (1968), Clarke (1973), Nemec (1973) membagi model ke dalam tiga kategori, antara lain:

a. Model Fisik yaitu model yang dibuat dengan skala tertentu untuk menirukan prototipnya.


(28)

commit to user

9  

b. Model analog yaitu model yang menggunakan rangaian resistor-kapasitor untuk menyelesaikan persamaan hidrologi.

c. Model matematik yaitu model yang menyajikan sistem dalam rangkaian persamaan yang menghubungkan antara variabel dan parameter.

Pesatnya perkembangan komputer membuat model matematik lebih banyak digunakan karena lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Pada model matematik, variabel dan parameter merupakan hasil estimasi dari kondisi sebenarnya sehingga sering terjadi nilai keluaran model berbeda dengan hasil pencatatan lapangan. Untuk meminimalisir perbedaan (error) yang terjadi, dilakukan kalibrasi untuk mendekatkan nilai keluaran model dengan hasil pencatatan lapangan (Mamok Suprapto, 2008). Kalibrasi dilakukan dengan mengubah nilai parameter yang diestimasi dengan cara coba-coba sampai diperoleh nilai error yang paling kecil. Penentuan parameter yang diubah didasarkan pada analisis sensitivitas parameter yang memiliki pengaruh dominan terhadap hasil model.

Setelah diperoleh nilai keluaran model dengan nilai error yang paling kecil, maka model yang dibuat dianggap mewakili keadaan sebenarnya sehingga nilai keluaran model dapat dipakai sebagai dasar perencanaan.

2.7. Model Pengelolaan Aliran Rendah (MPAR)

Model Pengelolaan Aliran Rendah (MPAR) adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Dr. Ir. Mamok Soeprapto, M.Eng yang dapat digunakan untuk melakukan analisis hujan aliran dan irigasi. Pada penelitian ini, dipakai program MPAR untuk perhitungan analisis hujan-aliran. MPAR merupakan model semi teragih (semi distributed) yang memungkinkan semua proses transformasi hujan-aliran dihitung secara detail sehingga hasil model mendekati keadaan di lapangan. Data yang dibutuhkan untuk analisis hujan-aliran adalah data hujan harian dan data debit harian. Keluaran dari model MPAR hujan-aliran adalah debit model yang akan dikomparasikan dengan debit hasil observasi. Dengan menetapkan batasan kesalahan, koefisien Boussinesq dan koefisien Manning


(29)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

10

BAB III

DASAR TEORI

3.1.

Hujan

(rainfall)

Jumlah hujan yang turun ke permukaan bumi dinyatakan dalam ketebalan air (milimeter). Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam satu satuan waktu (mm/jam, mm/hari, mm/tahun, dan sebagainya). Durasi hujan adalah waktu yang dihitung dari saat hujan mulai turun sampai berhenti, biasanya dinyatakan dalam satuan waktu. Ketebalan hujan diukur oleh alat pencatat hujan (stasiun hujan) yang dianggap mewakili hujan di suatu kawasan dengan luasan tertentu. Hujan yang tercatat dalam satu stasiun hujan disebut sebagai hujan titik.

3.2.

Hujan Wilayah

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu (Suyono Sosrodarsono, 1976). Cara polygon Thiessen menganggap bahwa hujan yang terjadi di suatu wilayah memiliki ketebalan yang sama dengan hujan yang dicatat pada stasiun hujan terdekat. Ketinggian hujan yang tercatat pada suatu stasiun pencatat hujan dapat digunakan atau mewakili kedalaman hujan pada wilayah sampai dengan setengah jarak terhadap stasiun berikutnya. Cara ini lebih teliti dibandingkan dengan cara aritmatik, namun kurang luwes karena jaringan poligon baru harus dibuat jika ada perubahan jaringan stasiun hujan. Hujan wilayah dengan cara polygon Thiessen dapat diilustrasikan seperti Gambar 3.1. dan dihitung dengan persamaan berikut:

=

= N

i i i

w

P A A

P

1 .

1

(3.1) dengan:

= hujan Wilayah (mm)

= hujan masing-masing stasiun pencatat hujan (mm)

= luas wilayah (km2)

= luas masing-masing poligon (km2)


(30)

commit to user

11

Gambar 3.1. Poligon Thiessen

Dalam sistem grid, kajian hujan dilakukan menggunakan konsep poligon

Thiessen. Sehingga hujan yang tercatat pada stasiun pencatat hujan dapat

mewakili ketebalan hujan pada grid terdekat yang termasuk dalam pengaruh

stasiun hujan tersebut. Hujan pada stasiun terdekat dihitung dengan cara

membandingkan jarak terpendek antara titik pusat grid (xg dan yg) dengan dua

stasiun hujan terdekat (x1 dan y1, x2dan y2). Hujan dari stasiun hujan dengan jarak

terpendek dari grid dianggap sebagai hujan grid. Hujan grid dapat dirumuskan

sebagai berikut (Mamok Suprapto, 2008):

(

) (

)

(

) (

)

⎥⎦

⎢⎣

⎠ ⎞ ⎜

+

⎟ ⎠ ⎞ ⎜

+

= 2

2 2 2 2

1 2

1 g g , g g

s x x y y x x y y

d (3.2)

Pg.h = Pds.h (3.3)

dengan:

ds = jarak stasiun terdekat terhadap titik berat grid (m)

x1, y1 = koordinat stasiun ke-1 terdekat dengan grid

x2, y2 = koordinat stasiun ke-2 terdekat dengan grid

xg, yg = koordinat pusat grid

Pg.h = hujan grid pada hari h

Pds.h = hujan pada stasiun dengan jarak terpendek, ds di hari h

3.3.

Uji Jaringan

Hujan yang jatuh ke permukaan bumi sulit untuk diketahui besarnya. Satu-satunya cara untuk mengetahui besarnya hujan yang jatuh di suatu wilayah adalah


(31)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

12

dengan cara menempatkan stasiun hujan dengan jumlah yang cukup dengan penempatan yang tepat.

Jumlah dan sebaran stasiun hujan yang ada di suatu wilayah perlu diuji agar hujan yang tercatat dapat mewakili hujan di wilayah tersebut. Untuk memperkecil kesalahan dalam penempatan stasiun hujan, digunakan cara Kagan untuk menguji jaringan stasiun hujan yang ada. Persamaan yang digunakan dalam cara Kagan adalah sebagai berikut:

Untuk mencari panjang sisi segitiga sama sisi untuk uji jaringan digunakan persamaan:

N A

L=1.07 (3.4)

dengan:

L = panjang sisi segitiga (Km)

A = luas wilayah (Km2)

N = jumlah stasiun pencatat hujan

Korelasi antar stasiun hujan dihitung menggunakan persamaan:

(

0

)

0exp

d d

d r

r = − (3.5)

dengan:

rd = korelasi antar stasiun dengan jarak d km,

r0 = korelasi antar stasiun dengan jarak yang sangat kecil (± 0 km ),

d = jarak antar stasiun (km),

d0 = radius korelasi.

Kesalahan perataan dihitung dengan persamaan:

N N d A r C

Z v 0

0 1

23 . 0

1− +

= (3.6)

dengan:

Zl = kesalahan perataan (%)

Cv = koefisien varian

A = luas wilayah (km2)

N = jumlah stasiun hujan

Kesalahan interpolasi dihitung dengan persamaan:

N S d r r C Z v 0 0 0

3 0.52

3 1

+ −

= (3.7)

dengan:

Z3 = kesalahan interpolasi (%)


(32)

commit to user

13

3.4.

Uji Konsistensi (Kepanggahan)

Data yang diperoleh dari stasiun hujan perlu diuji karena ada kemungkinan data tidak panggah akibat alat pernah rusak, alat pernah berpindah tempat, lokasi alat terganggu, atau kesalahan dalam pencatatan. Untuk stasiun hujan lebih dari 3,

dilakukan uji konsistensi menggunakan cara double mass curve. Dan untuk

individual stasiun (stand alone station) dengan cara RAPS (Rescaled Adjusted

Partial Sums).

Cara RAPS menggunakan variabel Q/ n yang dibandingkan dengan nilai

kritik. Bila Q/ n yang didapat lebih kecil dari nilai kritik untuk tahun dan

confidence level yang sesuai, maka data dinyatakan panggah. Uji kepanggahan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut:

(

)

= − = k i i

k Y Y

S

1 *

, dengan k = 1, 2, 3, ..., n (3.8)

0

* 0 =

S (3.9)

y k k D S S * * * =

, dengan k = 0, 1, 2, 3, ...., n (3.10)

(

)

= − = n i i y n Y Y D 1 2 2 (3.11) dengan:

Yi = data hujan ke-i

Y = data hujan rerata -i

Dy = deviasi standar

n = jumlah data

Untuk uji kepanggahan digunakan cara statistik: |

|Sk** maks

Q= , 0 ≤kn, atau (3.12)

* * *

* min

k

k imumS

S maksimum


(33)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Nilai kritik Q dan R untuk analisis RAPS ditunjukkan dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Nilai kritik Q dan R

n n

Q

n R

90% 95% 99% 90% 95% 99% 10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38 20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60 30 1.12 1.24 1.46 1.40 1.50 1.70 40 1.13 1.26 1.50 1.42 1.53 1.74 50 1.14 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78 100 1.17 1.29 1.55 1.50 1.62 1.86

∞ 1.22 1.36 1.63 1.62 1.75 2.00

Sumber: Mamok Suprapto, 2008

3.5.

Intensitas Hujan

Hujan (I) merupakan laju hujan rerata dalam mm/jam untuk suatu

wilayah/luasan tertentu. Intensitas hujan tersebut dipilih berdasarkan lama hujan

dan kala ulang (T) yang telah ditentukan. Lama hujan biasanya dihampiri dengan

waktu konsentrasi (Tc) untuk wilayah tersebut atau berdasarkan hasil pencatatan,

sedang kala ulang didasarkan pada kebutuhan. Besarnya intensitas hujan dapat diperoleh dari lengkung hubungan antara tinggi hujan, lama hujan dan frekuensi atau sering disebut sebagai lengkung hujan.

Besarnya aliran dianggap mencapai puncak pada saat waktu konsentrasi.

Waktu konsentrasi (Tc) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Kirpich : Tc =0.066L0,77S−0,385 (3.14)

Australian Rainfall-Runoff : Tc =0 76 A

0 38

, , (3.15)

dengan:

Tc = waktu konsentrasi (jam)

A = luas DAS (km2)

L = panjang sungai utama (km)


(34)

commit to user

15

3.6.

Pola Agihan Hujan

Hujan yang turun di suatu wilayah umumnya memiliki pola agihan jam-jaman. Namun, data yang tersedia di lapangan umumnya adalah data hujan harian sehingga perlu dilakukan analisis untuk perkiraan pola agihan jam-jaman.

Perhitungan agihan hujan dapat dilakukan dengan menggunakan pola

agihan Tadashi Tanimoto, seragam, Triangular Hyetograph Method (THM),

Alternating Block Method (ABM), atau Mononobe. Dalam penentuan agihan hujan diperlukan data lama hujan yang biasanya didekati dengan menghitung waktu konsentrasinya atau dari hasil analisis yang didasarkan pada kejadian hujan.

Model Tadashi Tanimoto adalah model yang dikembangkan berdasarkan distribusi hujan yang ada di pulau Jawa dengan menggunakan lama hujan 8 (delapan) jam. Model agihan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Distribusi Hujan Tadashi Tanimoto

Waktu (jam ke-) 1 2 3 4 5 6 7 8

% Distribusi hujan 26 24 17 13 7 5.5 4 3.5

% Distribusi hujan kumulatif 26 50 67 80 87 92.5 96.5 100

Sumber:Mamok Suprapto, 2008

Model distribusi seragam adalah yang paling sederhana yaitu dengan

menganggap hujan rancangan terdistribusi (P) secara merata selama durasi hujan

rancangan (Td). Triangular Hyetograph Method (THM)/segitiga menggunakan

satu tinggi hujan untuk menentukan puncak hujan. Puncak hujan terjadi sekitar

separuh waktu hujan. Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana

untuk membuat hyetograph rencana dari kurva Intensitas Durasi Frekuensi (IDF).

Dari hitungan pertambahan hujan dan interval waktu ∆t, blok-blok pertambahan

hujan disusun kedalam rangkaian waktu, dengan intensitas hujan maksimum

berada di tengah-tengah durasi hujan (Td) dan blok-blok sisanya disusun dalam

urutan secara bolak-balik pada kanan dan kiri blok maksimum. Perhitungan menggunakan metode Mononobe menggunakan rumus:


(35)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

16

3 2 24

, 24

24 ⎟⎠

⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

t R

It T

T (3.16)

dengan: t T

I = intensitas hujan dengan kala ulang T untuk durasi t (mm/jam),

RT,24 = intensitas hujan harian untuk kala ulang T (mm/hari),

t = durasi hujan (jam).

3.7.

Infiltrasi

(infiltration)

Infiltrasi adalah aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebagian masuk ke bawah permukaan tanah,

mengisi pori tanah, dan selanjutnya sebagai lengas tanah (soil moisture). Di dalam

tanah air mengalir dalam arah lateral sebagai aliran antara (interflow), atau secara

vertikal yang dikenal dengan perkolasi (percolation). Laju infiltrasi dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu kedalaman genangan dan tebal lapisan jenuh, kelembaban tanah, pemadatan oleh hujan, tanaman penutup, intensitas hujan, dan sifat-sifat fisik tanah.

Infiltrasi mulai terjadi ketika hujan mulai turun. Proses ini terus berlangsung selama air di permukaan masih ada dan lapisan bawah permukaan belum jenuh. Perhitungan kapasitas infiltrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Metode

Horton menyatakan bahwa laju infiltrasi berawal dari laju awal (f0) dan

berangsur-angsur berkurang mengikuti lengkung eksponensial sampai mencapai laju konstan

(fc). Sementara Metode Phi Indeks menganggap bahwa laju infiltrasi adalah tetap

sepanjang tahun. Indeks infiltrasi adalah laju rerata kehilangan air karena infiltrasi sedemikian sehingga volume air hujan yang lebih dari laju tersebut adalah sama dengan aliran permukaan. Metode ini banyak digunakan untuk memperkirakan infiltrasi pada daerah yang luas dan heterogen.

Untuk perhitungan yang lebih teliti, digunakan cara untuk menentukan waktu genangan berdasarkan persamaan Green-Ampt. Pada tahap awal, laju infiltrasi dihitung berdasarkan persamaan berikut:


(36)

commit to user

17 ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + Ψ∆ = 1 t t F K

f

θ

(3.17)

dengan:

Ft = infiltrasi kumulatif pada akhir waktu t (cm)

Ψ = tinggi tekanan kapiler (cm)

∆θ = perbedaan isi lengas tanah pada keadaan awal dan akhir

K = daya konduksi tanah (cm/jam)

ft = laju resapan pada waktu t (cm/jam)

Bila ft it, maka terjadi genangan selama interval hujan dan kumulatif

resapan pada akhir interval dapat dihitung dengan persamaan:

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ Ψ∆ + Ψ∆ + Ψ∆ + ∆ + = +∆ ∆ +

θ

θ

θ

t t t t t t F F t K F

F ln (3.18)

dengan:

∆t = interval waktu (jam)

Bila ft> it, maka kemungkinan tidak terjadi genangan sepanjang interval dan

kumulatif resapan sama dengan kumulatif resapan sementara, yaitu:

t i F

F't+t= t + t∆ (3.29)

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + Ψ∆ = ∆ + ∆ + 1 ' ' t t t t F K

f

θ

(3.20)

Bila f't+t> it, maka tidak terjadi genangan sepanjang interval dan kumulatif

resapan sama dengan kumulatif resapan sementara, yaitu: t

t t

t F

F+ = '+ (3.21)

Sebaliknya, genangan terjadi mulai dalam penggal interval. Pada keadaan

ini terlebih dahulu dihitung Fp (kumulatif resapan waktu genangan) dan ∆t’

berdasarkan persamaan: K i K F t p Ψ∆

=

θ

; (it>K) (3.22)

t t p i F F

t = −


(37)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Fp dan ∆t selanjutnya disubstitusikan dalam persamaan 3.30, dengan Ft= Fp

dan ∆t= ∆t- ∆t’. Nilai-nilai porositas ( ), porositas efektif(θc), tinggi tekanan

kapiler (Ψ), dan daya konduksi tanah (K) dapat diperkirakan dari Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Parameter Infiltrasi Green-Ampt

Kelas tanah η θε Ψ

(cm)

K

(cm/jam)

Sand 0.437

0.374-0.500 0.417 0.354-0.480 4.95 0.97-25.36 11.78

Loamy sand 0.437

0.363-0.506 0.401 0.329-0.473 6.13 1.35-27.94 2.99

Sandy loam 0.453

(0.351-0.555) 0.412 (0.283-0.541) 11.01 (2.67-45.47) 1.09

Loam 0.463

(0.375-0.51) 0.434 (0.334-0.534) 8.89 (1.33-59.38) 0.34

Silt loam 0.501

(0.420-0.582) 0.486 (0.394-0.578) 16.68 (2.92-95.39) 0.65 Sandy clay loam 0.398 (0.332-0.464) 0.33 (0.235-0.425) 21.85 (4.42-108.00) 0.15

Clay loam 0.464

(0.409-0.519) 0.3 (0.279-0.501) 20.88 (4.79-91.10) 0.10 Silty clay loam 0.471 (0.418-0.524) 0.432 (0.347-0.517) 27.30 (5.67-131.50) 0.10

Sandy clay 0.43

(0.370-0.490) 0.321 (0.207-0.435) 23.90 (4.08-140.20) 0.06

Silty clay 0.479

(0.425-0.533) 0.423 (0.334-0.512) 29.22 (6.13-139.40) 0.05

Clay 0.475

(0.427-0.523) 0.385 (0.269-0.501) 31.63 (6.39-156.50) 0.03 Sumber: Mamok Suprapto, 2008

3.8.

Aliran Permukaan (

overland flow

)

Overland flow adalah bagian dari hujan yang tidak terserap oleh tanah melalui resapan. (Horton, dalam Chow, dkk.1988). Bila tanah memiliki kapasitas

resapan, f, dan intensitas hujan, i, kurang dari f, maka seluruh hujan akan terserap

dan tidak terjadi aliran permukaan. Sebaliknya, bila i>f, maka akan terjadi aliran

permukaan dengan laju (i-f). Horton menyebutnya sebagai hujan lebih (excess

rainfall).

Laju overland flow bervariasi sepanjang lintasan di permukaan DAS karena


(38)

commit to user

19

flow dapat berpengaruh terhadap bentuk hidrograf dikarenakan adanya interaksi

dengan proses infiltrasi dan penimbunan aliran permukaan.

3.9.

Debit Aliran Permukaan

Chow, dalam Mamok Suprapto (2008), menggunakan persamaan

kontinuitas untuk memperkirakan besaran debit per satuan lebar dari overland

flow, dan persamaan momentum untuk mendapatkan kecepatan aliran dari

overland flow, dengan menghitung angka Reynolds untuk membedakan aliran

laminer dan turbulen. Overland flow dipandang sebagai aliran tipis (sheet flow)

yang mengalir di bidang datar yang memiliki parameter slope, panjang lintasan,

dan kekasaran permukaan sepanjang lintasan air, yang berinteraksi dengan kejadian hujan serta proses infiltrasi, sebelum aliran terkonsentrasi menjadi aliran pada saluran alam atau saluran buatan manusia.

Gambar 3.2 menunjukkan aliran permukaan selama kejadian hujan i dan

resapan f, sampai pada saat tertentu aliran menjadi tunak (steady flow). Bidang

tinjau adalah per satuan lebar permukaan lahan, Panjang L0, sudut kemiringan

permukaan lahan terhadap bidang horisontal θ, dan kemiringan lahan S0 sebesar

tan-θ.

Gambar 3.2. Aliran tunak seragam pada permukaan lahan

Chow, dkk (1988) menganggap aliran permukaan merupakan aliran seragam

tunak (steady uniform flow), dengan jenis aliran laminer atau turbulen. Besaran

Intensitas Hujan i

L0  Q0=V.y

θ  

S0 


(39)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

20

debit per satuan lebar, q0, untuk aliran tunak dengan density aliran konstan

berdasarkan hasil penjabaran persamaan kontinuitas dan momentum sesuai persamaan:

q0 = V.y = (i-f) Lccosθ (3.24)

dengan:

q0 = debit aliran permukaan per satuan lebar

V = kecepatan rerata aliran

y = ketebalan aliran

i = intensitas hujan

f = kecepatan aliran

Lc = panjang lintasan aliran di permukaan

Θ = sudut kemiringan lahan terhadap bidang horisontal

Dengan demikian, debit di saluran dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan:

Q =q0.Lc (3.25)

Dengan Q adalah debit di saluran alam. Ilustrasi debit aliran permukaan

ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Kejadian aliran permukaan sampai pada saluran alam

3.10.

Kecepatan dan tebal aliran laminer seragam

Aliran laminer terjadi selama Re≤2000. Untuk laminar sheet flow selama

kejadian hujan, faktor penghambat meningkat dengan meningkatnya intensitas

hujan. Pada sheet flow, proporsi lebar sangat besar bila dibandingkan dengan

l

q0

Q


(40)

commit to user

21

ketebalan aliran y, maka diasumsi R=y, dengan R adalah radius hydraulic.

Persamaan-persamaan pada aliran laminer seragam adalah sebagai berikut:

v VR

Re = 4 , untuk sheet flow dengan asumsi nilai R=y, maka:

v q v VR

Re = 4 = 4 0 (3.26)

Koefisien tahanan dihitung menggunakan persamaan:

CL=96+108i0.4 (3.27)

Selanjutnya dihitung kapasitas resapan

e L

R C

f = (3.28)

Kemudian ketebalan aliran dapat dicari dengan persamaan:

3 / 1 0 2 0

8 ⎟⎟

⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = gS fq y (3.29)

Setelah y diketahui, maka kecepatan aliran dihitung dengan persamaan:

v y gS V 3 2 0 = (3.30) dengan:

Re = bilangan Reynold

R = jejari hidrolik

v = viskositas air

CL = koefisien tahanan

g = gaya gravitasi

3.11.

Kecepatan dan tebal aliran turbulen

Bila aliran menjadi turbulen, faktor penghambat menjadi terbebas dari bilangan Reynold dan tergantung hanya pada kekasaran permukaan. Dalam hal ini, persamaan Manning (dalam satuan metrik) diterapkan untuk mendeskripsikan aliran. 5 / 3 2 / 1 0 0 ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = S nq y (3.31)

Kecepatan aliran dapat dihitung dengan persamaan:

2 / 1 3 / 2 1 f S R n


(41)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Kemudian untuk mencari Travel Time digunakan persamaan:

=

∆ = l

i i

i

V L T

1

(3.33) Karena diasumsikan R=y, maka Sf=S0.

dengan:

n = koefisien kekasaran Manning

Sf = kemiringan bidang penghambat

S0 = kemiringan lahan

y = ketebalan aliran

V = kecepatan aliran

T = Travel Time

3.12.

Aliran di alur sungai (

channel flow

)

Air hujan yang turun mengalami proses overland flow kemudian mengalir

dan terakumulasi di saluran dan mengalir yang kemudian dinamakan channel

flow. Sifat aliran pada saluran bervariasi tergantung pada panjang, slope, dan

penampang melintang.

Besaran debit di saluran alam bila dipandang sebagai aliran seragam (uniform flow), dapat diperkirakan berdasarkan persamaan empiris Manning sebagai berikut:

3 / 2 2 / 1 0

1

AR S n

Q= (3.34)

Atau berdasarkan persamaan Chezy

0

RS AC Q=

(3.35) dengan:

Q = debit di saluran alam

n = koefisien Manning untuk saluran alam

S0 = kemiringan dasar saluran alam

A = luas penampang basah untuk saluran alam

R = jejari hidrolik

C = koefisien Chezy untuk saluran alam

3.13.

Penelusuran Aliran (

Routing

)

Penelusuran aliran bertujuan untuk mengetahui kedalaman dan kecepatan aliran pada setiap titik di saluran yang didasarkan pada data aliran. Penelusuran


(42)

commit to user

23

aliran dibagi menjadi dua, penelusuran hidrologis dan penelusuran hidraulis. Penelusuran hidrologis bertujuan mencari hidrograf debit di suatu titik berdasarkan titik yang lain sepanjang aliran yang sama.

Untuk memperkirakan debit pada satu titik dalam suatu wilayah atau sistem saluran, dapat dilakukan dengan menggunakan model penelusuran aliran teragih (distributed flow routing) berdasarkan persamaan Saint-Vennant untuk aliran satu dimensi sebagai berikut:

6 . 0 0 3 / 2 ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = S nP α (3.36) 2 1 1 1 j i j i q q q + + + + ≈ (3.37) ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + ∆ ∆ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ∆ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + ∆ ∆ = + + + + + − + + + + + 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 β β αβ αβ j i j i j i j i j i j i j i j i Q Q x t q q t Q Q Q x t Q (3.38) dengan:

q = aliran masuk lateral

Q = debit aliran

β = koefisien momentum atau koefisien Boussinesq, β=1.01-1.33

∆t = interval waktu

∆x = interval jarak

n = loefisien kekasaran Manning untuk permukaan lahan

α = kecepatan aliran di grid

P = keliling basah

S0 = kemiringan dasar aliran

i = step jarak

j = step waktu

Nilai n Manning dapat diperkirakan berdasarkan bilangan yang ditunjukkan


(43)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Tabel 3.4. Nilai n Manning untuk aliran limpasan

No Penggunaan tanah permukaan n Nilai yang

direkomendasikan

1 Beton 0.010-0.013 0.011

2 Aspal 0.010-0.015 0.012

3 Tanah terbuka 0.010-0.016 0.010

4 Tanah berkerikil 0.012-0.030 0.012

5 Tanah lempung berlanau dan terbuka

(mudah tererosi) 0.012-0.033 0.012

6 Tanah tandus 0.006-0.160 0.050

7 Tanah yang diolah 0.020-0.100 0.060

8 Semacam lapangan tembak/golf

(alami) 0.010-0.320 0.130

9 Semacam lapangan tembak/golf

yang dipangkas 0.020-0.240 0.080

10 Padang rumput pendek 0.100-0.200 0.150

11 Rerumputan yang tebal 0.170-0.300 0.240

Sumber: Mamok Suprapto, 2008

Tabel 3.5. Nilai n Manning untuk saluran terbuka

Material n Material n

Manning Manning

Dasar gravel, dinding: Bantaran Banjir:

-Beton 0.020 -Rerumputan 0.035

-Pasangan batu 0.023 -Tanaman musim 0.040

-Rip-rap 0.033 -Pohon kecil, jarang 0.050

Saluran alam: -Pohon kecil, padat 0.070

-Bersih, lurus 0.030 -Pohon besar, padat 0.100

-Bersih, berliku 0.040

-Berliku, pohon kecil 0.010

Sumber: Mamok Suprapto, 2008

3.14. Kalibrasi

Kalibrasi adalah upaya mendekatkan nilai keluaran model dengan nilai yang sebenarnya melalui penyesuaian nilai parameter (Mamok Suprapto, 2008). Darmadi (1990) memberikan dua fungsi untuk membandingkan hidrograf hasil

model dengan hidrograf hasil pengamatan, yaitu kesalahan standar (standard

error) dan koefisien keseimbangan massa (mass balance). Kesalahan standar dan koefisien keseimbangan massa dapat dihitung menggunakan persamaan:


(44)

commit to user

25

1

2

1 mod

∑ ⎜⎛ − ⎟

= =

N

i l Q i Q SE

N

i obs e

(3.39)

N i

i Q

i l Q i

Q

MB N

i N i N

i

obs

obs e

,...., 3 , 2 , 1 ,

1 1

1 mod

− =

= = =

(3.40)

dengan:

SE = kesalahan standar

Qobs = nilai dari pengamatan

Qmodel = nilai dari model

N = jumlah kejadian


(45)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

26

 

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian yang digunakan agar proses penyusunan skripsi dapat berjalan dengan lancer. Beberapa metode yang dipakai dalam pengumpulan data antara lain:

4.1.1. Studi Pustaka

Tahapan studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan landasan teori masalah yang akan dibahas dengan cara membaca buku-buku literatur, jurnal-jurnal ilmiah, serta mencari informasi dari internet dengan tujuan agar penelitian memiliki dasar yang kuat.

4.1.2. Metode Survei Lapangan

Survei lapangan dilakukan untuk mendapatkan data koordinat stasiun hujan di Sub-DAS Keduang pada tanggal 3 Juli 2010.

4.1.3. Metode Interview/ Diskusi

Interview dilakukan dengan melakukan tanya jawab dengan instansi yang berkaitan dengan topik pembahasan skripsi yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dan Balai Penelitian Kehutanan Surakarta.

4.2. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil kokasi di sub-DAS Keduang –salah satu sub-DAS Sungai Bengawan Solo yang terletak di sebelah timur Kabupaten Wonogiri. Sub-DAS Keduang adalah sub-Sub-DAS terbesar di wilayah hulu Sungai Bengawan Solo. Pada sub-DAS Keduang terdapat satu sungai utama, yaitu Sungai Keduang.

Pada sub-DAS Keduang terdapat satu alat pengukur debit (AWLR) yang dikelola Dinas Kehutanan dan sepuluh stasiun hujan manual yang dikelola oleh


(46)

commit to user

27

 

Dinas Pengairan serta satu stasiun otomatis yang dikelola Dinas Kehutanan. Koordinat masing-masing stasiun hujan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Gambar 4.1. Lokasi Sub-DAS Keduang pada DAS Bengawan Solo Hulu

Tabel 4.1 Koordinat stasiun hujan

No Nama Sta. No. Sta S E

° ‘ “ ° ‘ “

1 Girimarto SKT 27 07 46,301 00 111 05,503 00

2 Girimarto PP 125B 07 47,276 00 111 04,933 00

3 Sidoharjo 125C 07 49,340 00 111 03,989 00

4 Ngadirojo 125F 07 49,044 00 110 59,713 00

5 Jatipurno 130B 07 48,113 00 111 08,047 00

6 Jatisrono 131 07 49,805 00 111 07,653 00

X Y

7 Slogohimo 131B 519103,541 9134759,129

8 Jatiroto 130B 511604,216 9128331,136

9 Jr Kemukus Peng SKT 33 Tidak terdapat data koordinat

10 Bulukerto 130A Tidak terdapat data koordinat


(47)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

28

 

4.3. Data yang Dibutuhkan

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diantaranya:

4.3.1 Data debit

Data debit diperoleh dari hasil olahan tinggi muka air yang tercatat pada

AWLR (Automatic Water Level Recorder). Data bacaan AWLR dibutuhkan

dalam proses kalibrasi model.

4.3.2 Data hujan harian

Data hujan harian diperoleh dari stasiun hujan manual dari tahun 2000-2009. Data hujan diperlukan untuk proses simulasi transformasi hujan menjadi aliran untuk mengetahui debit yang terjadi.

4.3.3 Data Peta

Data peta yang dibutuhkan antara lain 1) Peta Rupa Bumi (RBI) skala 1:25.000, 2) Peta tanah skala 1:250.000, 3) Peta hidrogeologi Indonesia skala 1:250.000. Data peta diperlukan untuk mengetahui batas wilayah kajian,

parameter fisik DAS, jenis tanah, kemiringan lereng (slope), penggunaan lahan,

dan lokasi wilayah kajian.

Semua data yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh dari Balai Konservasi Hutan, Surakarta.

4.4.

Peralatan yang dibutuhkan

Alat bantu yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

1. Perangkat lunak ArcGIS yang dibutuhkan untuk mendigitasi peta dasar

menjadi peta berbentuk grid.

2. Perangkat lunak Microsoft Excel untuk uji data hujan.

3. Perangkat lunak Model Pengelolaan Aliran Rendah (MPAR) untuk analisis


(48)

commit to user

29

 

4.5.

Uji Data

4.5.1. Uji jaringan stasiun hujan

Jumlah dan agihan (sebaran) stasiun hujan yang akan digunakan ditetapkan berdasarkan ketersediaan data dan hasil analisis jaringan stasiun hujan. Pengujian jaringan dilakukan menggunakan cara Kagan dengan prosedur seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya menggunakan Persamaan 3.4 sampai 3.7.

4.5.2. Uji kepanggahan data hujan

Data dari stasiun hujan yang dipilih kemudian diuji kepanggahannya dengan

cara RAPS seperti dijelaskan pada bab sebelumnya. Bila QRAPS n yang didapat

lebih kecil dari nilai kritik dan confidence level yang sesuai, maka data dinyatakan

panggah. Uji kepanggahan dilakukan menggunakan Persamaan 3.8 hingga Persamaan 3.13 dan Tabel 3.1.

4.6.

Persiapan Analisis

Sebelum proses analisis dilakukan, ditetapkan periode waktu pengamatannya. Semua deret data yang akan digunakan dalam analisis disesuaikan periode waktunya.

4.6.1. Data debit

Data debit diperoleh dari hasil pengolahan data tinggi muka air. Data aliran sungai digunakan dalam analisis penelusuran aliran sungai dan proses kalibrasi.

4.6.2. Data hujan

Data hujan harian digunakan untuk memperkirakan pola agihan hujan

jam-jaman. Data dari stasiun hujan biasa digunakan untuk hujan grid. Untuk keperluan

analisis, digunakan stasiun hujan yang pada periode yang sama memiliki data

hujan yang lengkap. Data hujan untuk masing-masing grid diagihkan ke satuan


(49)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

30

 

4.6.3. Data peta

Semua data peta yang didapat didigitasi untuk kemudian diseragamkan

skalanya sehingga peta dapat disuperposisi menjadi lapisan-lapisan (layer)

tersendiri yang memuat informasi-informasi tertentu yang disebut sebagai peta dasar.

4.6.4. Penyusunan grid

MPAR merupakan model semi teragih (semi distributed). Model ini

mengharuskan DAS dan Sub DAS ditransformasikan dalam bentuk grid sebagai

bentuk penyederhanaan. Grid terbentuk dari garis-garis horisontal dan vertikal

dengan arah garis Utara-Selatan dan Timur-Barat.

Peta dasar yang terdiri dari lapis batas DAS, lapisan jaringan sungai, lapis kemiringan lahan, lapis penggunaan lahan, lapis jenis tanah, dan lapis poligon

Thiessen kemudian disusun membentuk grid-grid dengan ukuran 1x1 km.

Kemudian tiap-tiap grid diberi ID grid sesuai dengan informasi yang ada pada

grid tersebut. Informasi pada tiap grid bisa sama atau berbeda dengan grid yang

lain.

Luasan yang menempati setengah atau lebih dari luas grid dianggap sama

dengan luas grid, sementara yang menempati kurang dari setengah luas grid

dianggap nol. Alur sungai disederhanakan mengikuti garis-garis grid yang berada pada jarak paling pendek terhadap sungai tersebut. Arah aliran permukaan ditentukan berdasarkan kemiringan permukaan lahan sampai akhirnya aliran tersebut terkonsentrasi di saluran alam. Arah aliran pada setiap grid ditentukan dari bagian tertinggi menuju bagian yang lebih rendah dengan arah vertikal maupun horisontal (tidak ada arah diagonal maupun pindah jalur). Transformasi peta grid diilustrasikan pada Gambar 4.2.


(50)

commit to user

31

 

Keterangan:

: Batas DAS

: Alur sungai

: Grid dipakai (≥ 0,5 luas grid terisi) : Grid tidak dipakai (< 0,5 luas grid terisi) : Arah aliran pada grid

: Alur sungai penyesuaian dengan grid

Gambar 4.2. Penyusunan grid (ilustrasi)

Sistem koordinat yang digunakan pada peta adalah koordinat lokal, dengan

titik (0,0) ada di ujung kiri bawah peta grid. Grid diberi nomor sesuai dengan

koordinat titik beratnya. Grid dengan nomor (03.20) berarti titik berat grid

tersebut ada pada koordinat (3000,20000).

4.6.5. Tabulasi data

Setelah penyusunan grid selesai dilakukan, data fisik DAS, data hujan, dan data debit disusun dalam bentuk tabel. MPAR menyediakan format tabel dalam

bentuk spreadsheet untuk memudahkan user melakukan tabulasi data. MPAR

menggunakan sistem indeks untuk menentukan ID tiap grid. Angka ID digunakan

untuk membedakan jenis informasi yang satu dengan yang lain. Indeks yang digunakan dalam MPAR ditunjukkan dalam Tabel 4.2.


(51)

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

commit to user

32

 

Tabel 4.2. Indeks parameter Jenis

Tanah

ID-JT Jenis penggunaan lahan ID-PL

Slope

lahan

ID-KL

Clay 1 Air tawar 1 4.00% 1

Sandy clay 2 Belukar/semak 2 11.50% 2

Sand 3 Gedung 3 20.00% 3

Sandy Loam 4 Hutan 4 32.50% 4

Silty clay 5 Kebun 5 >40.00% 5

Loam 6 Pasir darat 6

Clay loam 7 Pemukiman 7

Rumput 8

Sawah irigasi 9

Sawah tdh hujan 10

Tegalan 11

Sumber: Mamok Suprapto, 2008 keterangan

ID-JT = identitas jenis tanah ID-PL = identitas penggunaan lahan ID-KL = identitas kemiringan lahan

4.7.

Analisis Data

4.7.1. Hujan grid

Thiessen menganggap bahwa setiap titik di suatu wilayah memiliki ketebalan hujan yang sama dengan data yang tercatat pada stasiun pencatat hujan terdekat. Dengan demikian, jumlah hujan yang tercatat pada suatu stasiun pencatat dapat digunakan atau dapat mewakili ketebalan hujan pada kawasan sampai

dengan setengah jarak dari stasiun berikutnya. Hujan pada grid ditentukan dengan

prinsip Thiessen yang dihitung menggunakan Persamaan 3.2 dan 3.3.

4.7.2. Agihan hujan jam-jaman

Pola agihan hujan jam-jaman ditetapkan berdasarkan data hujan jam-jaman yang tersedia dari stasiun hujan otomatik. Dengan menghitung frekuensi hujan, durasi hujan dapat diketahui. Berdasarkan durasi hujan dan pola agihan hujan Tadashi Tanimoto dalam Tabel 3.2, pola agihan hujan jam-jaman dapat ditetapkan.


(1)

commit to user

G

am

b

ar

5

.1

2

.

P

er

b

an

d

in

g

an

Q

m

o

d

el

d

en

g

an

p

er

u

b

ah

an

d

i

zo

n

e

te

n

g


(2)

commit to user

G

am

b

ar

5

.1

3

.

P

er

b

an

d

in

g

an

Q

m

o

d

el

d

en

g

an

p

er

u

b

ah

an

d

i

zo

n

e

h

il


(3)

G

am

b

ar

5

.1

4

.

P

er

b

an

d

in

g

an

Q

m

o

d

el

d

en

g

an

p

er

u

b

ah

an

d

i

se

lu

ru

h

s

u

b

-D

A

S

K

ed

u

an

g


(4)

commit to user

dan debit model. Terjadi perbedaan jumlah dan waktu puncak, namun debit yang

terjadi memiliki pola yang hampir sama dengan kesalahan total yang terjadi antara

debit model dengan debit hasil observasi sebesar 5,1%.

Gambar 5.11 hingga Gambar 5.14 menunjukkan bahwa perubahan penutup

lahan dapat mengakibatkan perubahan pada debit pada hujan yang sama. Pada

skenario konservasi lahan pada Sub-DAS Keduang hulu, tengah, hilir, dan seluruh

wilayah Sub-DAS, debit yang terjadi lebih kecil dibanding debit dengan penutup

lahan eksisting. Sementara dengan skenario perubahan lahan menjadi daerah

pemukiman/ industri, debit yang terjadi lebih besar dibanding debit dengan

penutup lahan eksisting. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penutup lahan

dapat memberikan pengaruh terhadap debit aliran permukaan di Sub-DAS

Keduang.


(5)

commit to user

56

 

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil simulasi hujan-aliran pada sub-DAS Keduang diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Perubahan penutup lahan di zona hulu menjadi lahan gundul memberikan kenaikan volume air air total sebesar 7,5% dan kenaikan debit puncak sebesar 3,43%. Sementara dengan melakukan konservasi di zone hulu, volume air total akan turun sebesar 9,35% dan debit puncak turun sebesar 1,84%.

2. Perubahan penutup lahan di zona tengah menjadi lahan gundul memberikan kenaikan volume air total sebesar 8,77% dan kenaikan debit puncak sebesar 5,07%. Sementara dengan melakukan konservasi di zone tengah, volume air total akan turun sebesar 9,52% dan debit puncak turun sebesar 3,13%. 3. Perubahan penutup lahan di zona hilir menjadi lahan gundul memberikan

kenaikan volume air total sebesar 8,48% dan kenaikan debit puncak sebesar 2,62%. Sementara dengan melakukan konservasi di zone hilir, volume air total akan turun sebesar 8,60% dan debit puncak turun sebesar 1,50%.

4. Perubahan penutup lahan di seluruh sub-DAS menjadi lahan gundul memberikan kenaikan volume air total sebesar 9,84% dan kenaikan debit puncak sebesar 4,13%. Sementara dengan melakukan konservasi di seluruh sub-DAS, volume air total akan turun sebesar 10,17% dan debit puncak turun sebesar 5,67%.

5. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan volume total sebesar 16,85% dan kenaikan debit puncak sebesar 5,27% pada perubahan di zone hulu, 18,29% dan 8,2% pada perubahan di zone tengah, 17,08% dan 4,12% pada perubahan di hilir, perubahan volume total 20,07% dan kenaikan debit puncak sebesar 9,8% pada perubahan di seluruh sub-DAS Keduang. 


(6)

commit to user

6.2. Saran

1. Monitoring terhadap laju konversi lahan dilakukan secara rutin, sehingga dampak buruk perubahan penutup lahan terutama terkait dengan resiko banjir dapat diantisipasi.

2. Pengarsipan dan pembaruan data yang lebih baik, sehingga data yang tersedia dapat menggambarkan kondisi lapangan yang lebih teliti.