protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK dan MAP kinase Foster, et
al., 2001. 2.5 Sel MCF-7
Sel ini merupakan sel kanker payudara yang mengekspresikan reseptor estrogen ER+ dan berasal dari pleural effusionbreast adenocarcinoma seorang
pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan darah O. Sel ini termasuk sel adherent melekat yang dapat ditumbuhkan dalam media penumbuh DMEM.
Biakan sel MCF-7 memiliki beberapa karakteristik pada epitel mamari yang berbeda termasuk dalam kemampuannya untuk memproduksi estradiol via
reseptor sitoplasma. Sel ini mengekspresikan reseptor estrogen alfa ER- α,
memiliki sifat resisten terhadap doksorubisin Zampieri, et al., 2002 dan tidak mengekspresikan caspase-3. Pada sel MCF-7, Pgp diekspresikan tinggi, sehingga
sensitivitas terhadap agen kemoterapi seperti doksorubisin rendah Wong, et al., 2006. Penurunan konsentrasi ini dapat mengurangi efektivitas senyawa
kemoterapi pada sel MCF-7. Cara untuk meningkatkan sensitivitas MCF-7 adalah dengan menghambat ekspresi dan aktivasi Pgp Zhou, et al., 2006.
2.6 Sel T47D
Cell line adalah sel yang disubkultur dari primary cultures, yaitu sel yang langsung berasal dari organ atau jaringan yang diperoleh dengan
metode enzimatik maupun secara mekanik dan dikultur dalam kondisi hormonal yang sesuai. Sel T47D merupakan continous cell lines yang
dikultur dari jaringan epitel duktus payudara seorang wanita berusia 54 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Sel ini dapat ditumbuhkan pada suhu 37ºC dan dapat tumbuh secara kontinu,
menempel pada dasar flask Anonim, 2012.
Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang
telah termutasi. Pada sel ini p53 mengalami missense mutation pada residu 194 dalam zinc-binding domain L2 sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika
p53 tidak dapat mengikat response element pada DNA maka akan mengurangi atau menghilangkan kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu
apoptosis. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor ER apabila kekurangan estrogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Oleh karena itu sel
ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara p53 mutan Anonim, 2012.
2.7 Sel Vero
Sel Vero ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker. Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel monolayer
berbentuk poligonal dan pipih, sel ini immortal, non tumorigenic fibroblastic cell. Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan membentuk
ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas dan transformasi sel yang di induksi oleh
berbagai senyawa kimia Goncalves, et al., 2006. 2.8 Uji Sitotoksik
Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan
Universitas Sumatera Utara
xxxii
makanan, pestisida dan digunakan juga untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang
bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor
Freshney, 2000.
Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan dapat digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan
yang digunakan untuk kultur sel primer manusia serta dapat memberikan informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia serta uji yang
digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung. Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ target memberikan informasi tentang
perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik Doyle, et al., 2000. 2.8.1 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT
Metode MTT [3-4,5-dimetiltiazol-2-il-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan
pengukuran intensitas warna kolorimetri yang terjadi sebagai hasil metabolisme
suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna Kupcsik, 2011.
Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem
reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup
Kupcsik, 2011.
Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10 SDS dalam
HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan
Universitas Sumatera Utara
spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase
viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
viabilitas = absorbansi sampel
absorbansi kontrol x 100
2.9 Antikanker
Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan kanker dan penghambatan kanker. Upaya pencegahan kanker disebut kemopreventif.
Senyawa kemopreventif dibagi menjadi dua kategori yaitu blocking agent dan suppressing agent. Blocking agent adalah mencegah karsinogen mencapai target
aksinya, baik melalui penghambatan aktivasi metabolisme atau menghambat interaksi dengan target makromolekul seperti DNA, RNA atau protein.
Suppressing agent adalah menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah
terinisiasi pada tahap promosi atau progresi Meiyanto, dkk., 2008.
Menurut Sharma 2000, kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu primer, sekunder dan tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya
sel kanker sejak tahap premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada tahap awal malignan adalah kemopreventif sekunder sedangkan kemopreventif
tersier adalah usaha untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi setelah terapi untuk malignan primer. Upaya penyembuhan kuratif kanker antara lain
adalah:
a. Kemoterapi: terapi ini menggunakan obat-obatan misalnya saja golongan siklofosfamid, doksorubisin, methotreksat dan 5-flurourasil. Pada dasarnya
kinerja obat-obatan tersebut sama yaitu menghambat proliferasi sel sehingga
Universitas Sumatera Utara
sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa diberikan secara tunggal satu macam obat saja atau kombinasi, dengan harapan bahwa sel-sel yang
resisten terhadap obat tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga bisa diperoleh hasil yang lebih baik. Dampaknya pada pasien biasanya
rambut rontok, selera makan menurun, rasa lemah dan letih Sharma, 2000. b. Terapi hormon: terapi ini digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan
dengan hormon misalnya kanker payudara berkaitan dengan hormon estrogen pada wanita dan kanker prostat berkaitan dengan hormon
androgen pada pria. Terapi hormon pada dasarnya berusaha menghambat sintesis steroid sehingga sel tidak dapat membelah. Terapi ini membawa
dampak negatif bila diaplikasikan pada wanita yang masih dalam usia subur karena dapat menghambat siklus menstruasi Sharma, 2000.
c. Radioterapi: terapi ini menggunakan sinar X dengan dosis tertentu sehingga dapat merusak DNA dan memaksa sel untuk berapoptosis. Efek negatif yang
ditimbulkan hampir sama dengan kemoterapi Mulyadi, 1997.
2.9.1 Doksorubisin dan resistensinya pada kanker payudara
Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara
luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi
kanker sejak akhir tahun 1960 Singal dan Iliskovic, 1998.
Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan
pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA
Universitas Sumatera Utara
melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan
mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II
membentuk kompleks pemotong DNA. Doksorubisin telah digunakan pada beberapa pengobatan jenis tumor seperti kanker payudara, esophagus,
osteosarkoma, Kaposi’s sarkoma, sarkoma jaringan lunak, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal maupun kombinasi dengan beberapa
agen antitumor lainnya. Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping Tyagi, et
al., 2004.
Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya reversibel serta dapat
dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah
cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung Singal dan Iliskovic, 1998. Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak
akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga
disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan
jaringan kardiak Wattanapitayakul, et al., 2005.
Permasalahan yang sering timbul dalam terapi kanker terutama kanker payudara menggunakan doksorubisin adalah resistensi obat dan menjadi penyebab
Universitas Sumatera Utara
kegagalan terapi kanker payudara Mechetner, et al., 1998. Resistensi ini diperantarai oleh berbagai mekanisme antara lain mutasi pada target obat,
kegagalan inisiasi apoptosis dan pengeluaran obat oleh protein transporter pada membran sel. Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp
menjadi salah satu sebab utama resistensi obat ini Mechetner, et al., 1998.
Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel
kanker. Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan
penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker
terhadap doksorubisin Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006. 2.9.2 Terapi Kombinasi
Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi ko-kemoterapi dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel
kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Terapi kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris. Namun demikian,
sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah metastasis. Selain itu, berbagai permasalahan seperti resistensi obat dan timbulnya
toksisitas yang tinggi pada jaringan normal oleh beberapa agen kemoterapi menjadi semakin sulit menemukan terapi kanker payudara yang efektif. Hal
tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara
Tyagi, et al., 2004.
Pemanfaatan senyawa alam yang non toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan
Universitas Sumatera Utara
agen kemoterapi Tyagi, et al., 2004. Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat
sehingga tingkat keamanan pasien semakin tinggi.
Isobologram dan indeks kombinasi IK merupakan metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama
kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 Zhao, et al., 2004.
Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif IC
50
Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis dengan IK. Analisis IK menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut.
dari masing-masing obat ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan
Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif. Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang
sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif atau antagonis diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah secara berurutan di
bawah, pada atau di atas garis aditif Zhao, et al., 2004.
I= D
1
Dx
1
+ D
2
Dx I adalah indeks kombinasi. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang
dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC
2
50
terhadap pertumbuhan sel kanker payudara. D
1
dan D
2
adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama atau
lebih dari 1 mengindikasikan efek secara berurutan sinergis, aditif atau
antagonis Zhao, et al., 2004; Reynolds, et al., 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.10 Indeks Selektivitas
Untuk memperoleh nilai indeks selektivitas digunakan sel Vero menggunakan 3-4,5-dimethylthiazol-2-yl-2,5-diphenyltetrazolium
bromide MTT. Indeks selektivitas IS diperoleh dari rasio IC
50
sel Vero dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat
atau ekstrak memiliki selektivitas yang tinggi Prayong, et al., 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental untuk mengetahui apakah ekstrak etil asetat daun poguntano EEADP dan doksorubisin memiliki efek
kombinasi terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan T47D. Tahap penelitian meliputi identifikasi sampel atau bahan tumbuhan, pengumpulan dan pembuatan
simplisia, pembuatan pereaksi, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, pembuatan ekstrak n-heksana ENDP, etil asetat EEADP dan
etanol EEDP yang dilakukan di laboratorium Farmakognosi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengujian efek sitotoksik EEADP dan
doksorubisin, pengujian indeks kombinasi EEADP dengan doksorubisin, pengujian selektivitas terhadap sel Vero, pengujian penghambatan siklus sel,
pengujian apoptosis dengan metode flowsitometri dan penekanan ekspresi protein Bcl-2 dan siklin D1 dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, autoclave Hirayama, blender Philips, conical tube, eksikator, ELISA reader
BenMark Biorad, inkubator CO
2
Heraceus, FACScan flowcytometer, inverted microscope Olympus, krus porselin, laminar air flow LAF Labconco,
mikropipet, tissue culture flask, hemositometer, hand counter
, neraca kasar Home Line, neraca listrik Vibra AJ, oven Memmert, penangas air Yenaco,
Universitas Sumatera Utara