pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung Singal dan Iliskovic, 1998.
Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida
dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak. Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak
akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping sesuai dosis Wattanapitayakul, et al., 2005. Melalui penelitian ini tampak bahwa EEADP
sinergis dengan doksorubisin IK 1, sehingga diharapkan aplikasi EEADP sebagai ko-kemoterapi dan mampu menurunkan dosis doksorubisin yang dalam
terapi kanker payudara selain toksis terhadap jaringan normal doksorubisin juga diketahui mampu menyebabkan timbulnya resistensi sel tumor terhadap obat.
Berbagai mekanisme yang memperantarainya adalah inaktivasi obat, pengeluaran obat oleh pompa pada membran sel, mutasi pada target obat serta kegagalan
inisiasi apoptosis Davis, et al., 2003, Notorbartolo, et al., 2005.
4.9 Uji Penghambatan Siklus Sel Terhadap Sel MCF-7
Data flowsitometri dianalisis untuk melihat distribusi sel pada fase-fase daur sel sub G
1
, S, G
2
Akumulasi sel pada siklus sel merupakan salah satu target utama agen antikanker. Pada penelitian ini pengamatan siklus sel dilakukan dengan metode
flowsitometri. Dengan metode ini, dapat dilihat distribusi sel pada masing-masing fase dalam siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat diperkirakan jalur
penghambatan EEADP serta kombinasinya dengan doksorubisin dalam , M dan sel yang mengalami poliploidi. Flowsitometri dilakukan
dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan kecepatan medium 500 seldetik
Universitas Sumatera Utara
menghambat siklus sel. Fase-fase dalam siklus sel normal memiliki perbedaan pada jumlah set kromosom yaitu fase G
1
jumlah set kromosomnya adalah 2n. Berlanjut pada fase S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n karena terjadi
proses replikasi sedangkan pada fase G
2
Pengujian siklus sel pada sel MCF-7 dengan metode flowsitometri dilakukan dengan berbagai perlakuan. Diantaranya adalah kontrol ditunjukkan
pada Gambar 4.1, EEADP pada konsentrasi ½ IC dan M, replikasi telah sempurna
membentuk set kromosom 4n. Dengan adanya fluorochrome yang memiliki kemampuan berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propidium iodide maka
tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka
intensitas fluoresensi akan semakin besar. Alat yang digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi tiap sel pada penelitian ini adalah FACS Fluorescence
Activated Cell Sorting atau flowsitometer Givan, 2001.
50
yaitu 60 µgmL ditunjukkan pada Gambar 4.2, EEADP-doksorubisin
1 8
IC
50
EEADP dan
1 4
IC
50
doksorubisin yaitu 15 µgmL dan 2 µgmL ditunjukkan pada Gambar 4.3 dan doksorubisin pada konsentrasi ½ IC
50
Tabel 4.6 Distribusi sel MCF-7 setelah perlakuan dengan berbagai konsentrasi
EEADP, doksorubisin dan kombinasi keduanya yaitu 4 µgmL ditunjukkan pada Gambar
4.4. Profil penghambatan siklus sel MCF Tabel 4.6 dibawah ini.
Kadar Fase sel
G -G
S
1
G
2
–M Kontrol
- 63,98
19,51 15,92
EEADP ½ IC
70,01
50
16,42 12,90
Kb EEADP- doksorubisin
1 8
IC
50
-
1 4
IC 59,49
50
18,81 21,16
Doksorubisin ½ IC
57,08
50
25,91 12,73
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1 Gambaran siklus sel MCF-7 kontrol
Gambar 4.2 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi ½ IC
50
EEADP
Gambar 4.3 Siklus sel MCF-7 diberi
1 8
IC
50
EEADP dan ¼ IC
50
doksorubisin
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi ½ IC
50
Analisis data dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan antara perlakuan dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan pada fase siklus sel
dimana terjadi akumulasi sel terbesar pada masing-masing perlakuan.
doksorubisin
Akumulasi sel terbesar pada perlakuan EEADP konsentrasi 60 μgml ½
IC
50
adalah pada fase G -G
1
sebesar 70,01. Pada perlakuan EEADP dan kombinasinya dengan doksorubisin EEADP
1 8
IC
50
dan doksorubisin ¼ IC
50
akumulasi terbesar terjadi pada fase G
2
-M yaitu sebesar 21,16 sedangkan pada perlakuan dengan doksorubisin doksorubisin ½ IC
50
Hambatan regulasi daur sel pada fase G akumulasi terbesar terjadi
pada fase S yaitu sebesar 25,91. -G
1
oleh EEADP terjadi melalui penurunan level ekspresi siklin D1 berdasarkan pengujian imunositokimia
sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6 yang berakibat pada penghambatan fosforilasi pRb protein retinoblastoma, pRb yang tidak
terfosforilasi akan berikatan dengan faktor transkripsi E2F mengikat DNA dan menghambat transkripsi gen yang produknya diperlukan untuk fase S siklus sel
sehingga sel tertahan di fase G
1
atau terjadi G
1
arrest Kumar, et al., 2005. Penghambatan daur sel ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh kemampuan
Universitas Sumatera Utara
senyawa yang terkandung dari EEADP meningkatkan ekspresi protein p21 dan p27 akan membentuk ikatan kompleks dengan siklin D dan Cyclin Dependent
Kinase 46 Cdk, sehingga akan menghambat posporilasi pRb protein retinoblastoma. Hal ini mengakibatkan E2F inaktif, hal ini berakibat pada
terhentinya daur sel Foster, et al., 2001; King, 2000. Penghentian siklus sel pada fase G
-G
1
Hambatan regulasi siklus sel pada fase S memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki DNA yang rusak
apabila tidak bisa diperbaiki lanjut ke proses apoptosis.
Pada perlakuan kombinasi ekstrak etil asetat daun poguntano dengan doksorubisin dengan dosis EEADP
oleh doksorubisin kemungkinan terjadi karena penurunan level ekspresi siklin A sehingga tidak terjadi aktivasi
siklin A dengan CDK1CDK2 sehingga siklus sel tertahan di fase S Kumar, et al., 2005. Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik.
Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau
kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam
pencegahan kanker Ruddon, 2007.
1 8
IC
50
dan doksorubisin ¼ IC
50
terjadi penghambatan pada siklus G
2-
M. Dalam siklus sel, checkpoint pada fase G
2
-M merupakan target potensial untuk terapi kanker. Ketika sel-sel yang mengandung
DNA yang rusak memasuki mitosis, checkpoint G
2
-M membantu mencegah perkembangan siklus sel dalam upaya perbaikan DNA yang rusak pada akhir fase
S atau fase G
2
checkpoint akhir pada G
2
mengendalikan perkembangan siklus sel masuk dari G
2
ke fase M. Ikatan kompleks antara Cdk1 cdc2 dengan siklin B1
Universitas Sumatera Utara
diperlukan untuk perkembangan dari G
2
ke fase M. Ikatan kompleks cdc2-B1 melibatkan penghambatan fosfat pada sepasang asam amino aktif oleh Wee1.
Defosforilasi ini oleh cdc25C fosfatase meningkatkan aktivitas Cdk. Kerusakan DNA mengaktifkan Chk1, yang menginaktivasi cdc25C melalui fosforilasi
cdc25C, mengakibatkan fosforilasi dan aktivitas dari cdc2-B1 menjadi inaktif, akhirnya terjadi penghentian fase G
2
- Kegagalan sel saat memasuki checkpoint pada fase
M cell cycle arrest Dipaola, 2002. G
2
-M tidak mengizinkan sel yang rusak untuk memasuki fase mitosis tetapi akan mengalami apoptosis.
Upaya meningkatkan mekanisme ini dapat mempertinggi efek sitotoksisitas kemoterapi. Dengan kata lain, upaya untuk meningkatkan G
2
-M arrest juga berkaitan dengan peningkatan apoptosis Dipaola, 2002.
4.10 Uji Penghambatan Siklus Sel terhadap Sel T47D