Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gizi Lebih

Pengetahuan dapat menjadi pedoman yang baik untuk menjaga kesehatan tubuh dan menjaga berat tubuh yang ideal. Pentingnya upaya promotif dalam menangani obesitas dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan mengenai citra tubuh yang positif. Kemampuan untuk menyaring informasi dari media massa juga hal penting yang harus ditanamkan kepada masyarakat agar mereka dapat memperoleh informasi yang benar dari media massa Simarmaca, 2008. Notoatmodjo juga mengatakan bahwa merubah perilaku lebih sulit ketimbang pengetahuan karena proses pembentukan dan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya faktor internal persepsi, motivasi, pengetahuan dan faktor eksternal lingkungan fisik dan non fisik seperti kebudayaan sosial dan ekonomi Notoatmodjo, 2010.

5.2 Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gizi Lebih

Pola makan dalam penelitian ini digambarkan melalui jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan. Penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa mahasiswa dengan jenis makanan lengkap sebanyak 62,9 memiliki status gizi normal dan 37,1 memiliki status gizi lebih. Sedangkan mahasiswa dengan jenis makanan tidak lengkap sebanyak 10,6 normal dan 89,4 memiliki status gizi lebih. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji chi square diketahui bahwa terdapat hubungan antara jenis makanan dengan kejadian gizi lebih p= 0,0001 0,005. Penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa mahasiswa dengan jumlah kecukupan energi pada kategori kurang sebanyak 54,7 memiliki status gizi normal dan 45,3 memiliki status gizi lebih. Sedangkan mahasiswa dengan kategori baik sebanyak 44,4 normal dan 55,6 memiliki status gizi lebih. Pada Universitas Sumatera Utara kategori lebih terdapat 54,2 untuk status gizi normal dan 45,8 untuk status gizi lebih. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji pearson chi square diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara kecukupan energi dengan kejadian gizi lebih p= 0,844 0,005. Berdasarkan penelitian sebanyak 55,6 mahasiswa memiliki gizi lebih tetapi asupan energinya pada kategori baik. Hal ini disebabkan karena mereka sedang mengurangi asupan makanan agar mendapatkan berat yang ideal. Pada kategori asupan energi lebih terdapat sebanyak 54,2 mahasiswa bergizi normal. hal ini disebabkan karena mahasiswa selalu mengonsumsi nasi bungkus dengan frekuensi 1-2 kali sehari. Seperti yang kita ketahui, nasi bungkus terdiri dari nasi yang banyak dan kuah-kuah dari santan, serta sayuran yang sedikit dan porsi lauk yang kecil. Alasan mahasiswa mengonsumsi nasi bungkus karena harganya yang ekonomis dan gampang dibeli di daerah sekitar kampus. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa mahasiswa dengan jumlah kecukupan protein pada kategori kurang sebanyak 50 memiliki status gizi normal dan 50 memiliki status gizi lebih. Sedangkan semua mahasiswa dengan jumlah kecukupan protein pada kategori kurang memiliki status gizi normal. Untuk kategori lebih terdapat sebanyak 52,9 mahasiswa, pada status gizi normal dan pada status gizi lebih terdapat sebanyak 47,1. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji pearson chi square diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara kecukupan protein dengan kejadian gizi lebih p= 0,160 0,005. Penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa semua mahasiswa dengan kecukupan lemak pada kategori kurang memiliki status gizi normal. Sedangkan mahasiswa dengan kecukupan lemak pada kategori baik sebanyak Universitas Sumatera Utara 33,3 normal dan 66,7 gizi lebih. Dan mahasiswa dengan kecukupan lemak pada kategori baik sebanyak 15,4 status gizi normal dan 84,6 status gizi lebih. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji pearson chi square diketahui bahwa terdapat hubungan antara kecukupan lemak dengan kejadian gizi lebih p= 0,0001 0,005. Pola konsumsi dalam penelitian ini digambarkan dengan besarnya asupan energi, asupan lemak dan asupan protein. Hasil uji pearson chi square menunjukkan dari ketiga jenis asupan tersebut hanya asupan lemak yang memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian obesitas p 0,005 untuk asupan lemak menunjukkan bahwa siswa yang mengonsumsi lemak lebih banyak akan berpeluang terkena obesitas sebesar 25 kali dibandingkan dengan siswa yang tidak obesitas apabila asupan lemak 69,6 grhari. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kharismawati, hasil uji statistik didapat hubungan antara tingkat energi dan obesitas tidak bermakna, asupan protein dengan status obesitas secara statistik tidak bermakna. Ada hubungan antara tingkat asupan lemak dengan status obesitas. Kegemukan terkadang juga berdasarkan pada kecenderungan tubuh untuk menyimpan makanan lebih banyak daripada yang dikonsumsinya, artinya proses metabolisme tubuhnya berjalan lambat. Daya serap tubuh terhadap makanan, sebagian orang berdaya serap kalori tinggi, kendati porsi makanan sedikit, tubuh mereka gemuk karena seluruh kalori yang masuk dapat diserap dengan baik Nugraha, 2009. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukan bahwa status gizi yang di ukur berdasarkan berat badan tidak dapat di pengaruhi oleh Universitas Sumatera Utara konsumsi protein saja, akan tetapi berat badan saat ini lebih merupakan refleksi asupan energi secara keseluruhan yang berasal karbohidrat dan lemak Jumirah, 2007. Data Riskesdas 2010 juga menyatakan bahwa penduduk indonesia yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal sebanyak 37, ini biasa terjadi pada usia sekolah 6-12 tahun, usia pra remaja 13-15 tahun dan usia remaja 16-18 tahun Depkes RI, 2010. Faktor lain yang menyebabkan asupan energi dan protein kurang karena mahasiswa lebih suka makan jajanan dikampus atau diluar rumah dimana makanannya sangat rendah dengan kandungan protein Yulni, 2013. Penelitian ini sejalan dengan Fatma 2012 dari hasil analisis statistik di simpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan energi dengan obesitas. Mahasiswa obesitas dengan asupan energi kurang 67,8, mahasiswa overweight 32,2, asupannya kurang, faktor yang pengaruhi dimungkinkan oleh jadwal kuliah yang padat sehingga mereka tidak sempat untuk mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, dan kemungkinan juga di sebabkan mereka senggaja menggurangi asupan karbohidrat kompleks dengan alasan kegemukannya. Penelitian ini sejalan dengan Sumarcana yang melakukan penelitian remaja di Amerika dan menemukan bahwa terdapat kecenderungan remaja menurunkan konsumsi makanan berserat buah dan sayur segar, semakin beralih ke buah kaleng dan jus siap saji Sumarcana, 2009. Pada masa remaja mudah terpengaruh oleh teman sebaya lebih besar daripada keluarga, remaja lebih mudah menerima pengaruh globalisasi, pengaruh pola makan western eropa dengan tinggi asupan lemak namun rendah serat Kaprianan, 2012. Universitas Sumatera Utara Asupan lemak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian obesitas p= 0,0001 0,005, sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan obesitas, asupan lemak lebih mahasiswa obesitas 57,7 dan overweight 30,8, kedua kategori mahasiswa ini hampir memiliki kesamaan dalam pola konsumsi lemak Yani, 2013. Hasil penelitian ini berbanding lurus dengan penelitian yang dilakukan Gregory JW pada subjek anak usia 10-18 tahun dilondon yang mengatakan lemak menyumbang energi lebih besar daripada karbohidrat 1:9 sehingga lemak merupakan cadangan energi tubuh yang besar dan kelebihan lemak dalam tubuh cenderung mudah obesitas. Lemak memiliki rasa yang gurih. Densitas energi yang tinggi di miliki oleh lemak, sehingga dapat menyebabkan keseimbangan positif dan kelebihan tersebut akan di simpan dalam jaringan adiposa. Peningkatan jaringan adiposa meningkatkan leptin, sehingga memiliki pengaruh terhadap kseimbangan energi dan pada akhirnya dapat menyebabkan obesitas Murray, 2009. Salah satu penyebab kelebihan berat badan pada anak adalah pemilihan jenis makanan yang kurang tepat, seperti makanan yang lemak tinggi. Faktor lain yang mungkin juga mempengaruhi adalah kebiasaan konsumsi keluarga. Konsumsi lemak yang tinggi lebih banyak ditemukan dikonsumsi oleh masyarakat kelompok menengah ke atas. Hal ini dapat disebabkan karena mereka lebih konsumtif dan lebih cenderung mengikuti tren, dimana sekarang ini sangat banyak tren yang mengangkat makanan yang berlemak tinggi seperti fast food yang sangat rendah kandungan nilai gizinya Sukmawati, 2013. Universitas Sumatera Utara Untuk frekuensi makanan yang diteliti berdasarkan pengelompokan makanan untuk kelompok makanan sumber karbohidrat, nasi merupakan jenis makanan yang selalu dikonsumsi sebanyak 93,5. Untuk kelompok makanan lauk pauk, ikan merupakan salah satu yang digemari mahasiswa, sebanyak 72,2 mahasiswa mengonsumsi ikan dan yang sering dikonsumsi adalah ayam sebanyak 58,3. Untuk lauk pauk dari sumber nabati, tempe merupakan jenis yang sering dikonsumsi oleh mahasiswa atau sebanyak 62. Pada kelompok makanan sayuran, daun ubi merupakan jenis makanan yang sering dikonsumsi oleh mahasiswa sebanyak 53,7, wortel sebanyak 52,8 dan terbanyak ketiga adalah bayam dengan 50,9. Untuk buah-buahan sebagian besar mahasiswa jarang mengonsumsi buah-buahan. Buah yang selalu dikonsumsi mahasiswa adalah pisang sebanyak 13,9, buah yang sering dikonsumsi adalah nenas sebanyak 45,4 dan buah yang paling jarang dikonsumsi adalah semangka sebanyak 48,1 sementara itu buah yang paling tidak pernah dikonsumsi dalam dua bulan terakhir adalah nenas sebanyak 20,4. Pada kelompok minuman yang selalu dikonsumsi adalah susu sebanyak 50,9. Untuk kelompok makanan jajanan yang selalu dikonsumsi tidak ada. Tetapi, jajanan yang sering dikonsumsi adalah gorengan sebanyak 57,4. Untuk siomay dan burger merupakan jajanan yang paling jarang dikonsumsi sebanyak 64,8. Menurut Thorsten, dkk perkiraan konsumsi pangan antara kedua metode dari kelompok makanan dan minuman yang dikomsumsi oleh reponden pada umumnya FFQ tidak lebih tinggi atau sering atau lebih rendah atau jarang dari perkiraan Food Recall 24 jam Thorsten, 2010. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Yessica ditemukan persepsi positif terhadap perilaku konsumsi buah dan sayur yang masih kurang pada anak obesitas Dewi, 2013. Hasil penelitian Rain juga mengatakan penyebab obesitas adalah rendahnya konsumsi sayur dan buah, karena sayur dan buah merupakan makanan rendah kalori, kaya serat, vitamin, dan mineral untuk menjaga kesehatan dan mempertahankan berat badan normal Raine, 2005. Hal ini sesuai dengan penelitian Ana Medawati 2005 di Yogyakarta yang menyimpulkan semakin tinggi asupan lemak semakin tinggi untuk terjadinya obesitas. Penelitian yang dilakukan di Brazil tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dan kebiasaan makan dengan kejadian obesitas pada anak sekolah dasar kelas 3 dan 4 oleh Rozane dan Elsa 2003, juga menemukan bahwa pola konsumsi merupakan variabel satu-satunya yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak sekolah dasar kelas 3 dan 4. Kedua hasil penelitian tersebut di atas, didukung pendapat Suhardjo 1989 yang menyatakan bahwa kebiasaan makan yang salah pada anak akan mempertinggi risiko terjadinya obesitas. Kebiasaan tersebut meliputi frekuensi makan, kebiasaan makan makanan camilan, atau jajanan. Pendapat ini, lebih dipertajam oleh Musaiger 2004 yang menyatakan bahwa pola konsumsi dan kebiasaan makan di Wilayah Mediternia Timur mengalami perubahan pada empat dekade belakangan ini. Perubahan ini menunjukkan terjadinya peningkatan pada asupan energi dan lemak per kapita hampir di seluruh negara dan ini memiliki peran dalam peningkatan risiko terjadinya obesitas di wilayah ini. Perubahan ditandai dengan terjadinya pergeseran dari kebiasaan mengkonsumsi makanan Universitas Sumatera Utara tradisional ke makanan ala barat dengan karakteristik kandungan lemak, kolesterol, garam yang tinggi dan rendah serat. Tingginya lemak pada kelompok siswa obesitas, berpotensi pada terjadinya ketidakseimbangan antara asupan kalori dengan kalori yang dipergunakan, sehingga menimbulkan terjadinya peningkatan berat badan. Hal ini sesuai dengan pendapat CDC 2001 yang menyatakan bahwa keseimbangan energi dapat diibaratkan seperti timbangan, dimana pertambahan berat badan dapat terjadi ketika kalori yang dikonsumsi lebih besar daripada kalori yang digunakan. Laporan National Dietary Survey of Schoochildren tahun 1985 dan National Nutrition Survey yang dilaksanakan oleh Australian Food and Nutrition Monitoring Unit tahun 1995, menyatakan bahwa terjadi peningkatan asupan energi bagi anak berumur 10 – 15 tahun lebih dari 10 , antara tahun 1985 dan 1995 Cook dkk, 2001.

5.3 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Gizi Lebih