UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Karakteristik ekstrak dilakukan untuk mengetahui mutu dari ekstrak yang akan digunakan sebagai bahan uji. Hasil karakteristik ekstrak dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4.1. Tabel Karakteristik Ekstrak
No. Parameter
Ekstrak n-heksan 1.
Organoleptik : a. Bentuk
Gumpalan Kasar b. Warna
Hitam c. Bau
Jamu 2.
Kadar air 0,048
3. Kadar abu
0,636 Pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral
internal dan eksternal yang berasal dari proses awal hingga terbentuk ekstrak Depkes RI, 2000. Hasil kadar abu menunjukan bahwa jumlah kandungan
mineral Ekstrak Mastigophora diclados masih dibawah ambang batas dari peraturan Depkes RI, 1980 yaitu tidak lebih dari 14.
4.1.3 Penapisan Fitokimia
Hasil penapisan fitokimia ekstrak n-heksan lumut hati Mastigophora diclados yang diuji hanya diperoleh senyawa terpenoid. Penapisan fitokimia
bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat yang terkandung dalam jaringan tanaman Depkes RI, 1987, sehingga memungkinkan untuk mengetahui
senyawa yang berpotensi sebagai antiinflamasi. Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak n-heksan tanaman lumut hati Mastigophora diclados dapat dilihat pada
tabel berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 4.2. Tabel Penapisan Fitokimia
No. Golongan Senyawa
Hasil Penapisan 1.
Alkaloid -
2. Flavonoid
- 3.
Saponin -
4. Tanin
- 5.
Steroid -
6. Terpenoid
+ 7.
Fenol -
Ket: + memberikan reaksi positif, - memberikan reaksi negatif
4.1.4 Uji Antiinflamasi dengan Metode Pembuatan Udem Buatan
Metode pengujian antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan metoda pembentukan udem buatan pada telapak kaki belakang tikus putih jantan yang
diinduksi dengan karagenan sebagai induktor udem. Metode ini dipilih karena merupakan metode standar dalam penelitian uji antiinflamasi, dan sederhana
dalam pengerjaannya Chakraborty et al., 2004. Karagenan dipilih sebagai induktor udem karena memiliki kepekaan yang
tinggi dibandingkan dengan induktor lain pada metode pembentukan udem buatan, selain itu pembentukan udem dengan karagenan tidak bersifat antigenik
dan tidak menimbulkan efek sistemik pada jaringan sekitar inflamasi Chakraborty et al., 2004.
Karagenan akan menginduksi cedera sel sehingga sel yang cedera melepaskan mediator yang mengawali proses inflamasi. Setelah
pelepasan mediator inflamasi, terjadi udem yang mampu bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam setelah injeksi. Pengukuran
daya antiinflamasi dilakukan dengan cara melihat kemampuan ekstrak n-heksan lumut hati Mastigophora diclados dalam mengurangi pembengkakan telapak kaki
hewan percobaan akibat penyuntikan larutan karagenan 1. Setelah disuntik karagenan, hewan percobaan memperlihatkan adanya pembengkakan dan
kemerahan pada telapak kaki serta tidak dapat berjalan lincah seperti sebelum diinjeksi.
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 0,2 mL suspensi karagenan 1 pada telapak kaki tikus secara intrakutan Rustam et al, 2007. Pengukuran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
volume udem dilakukan dengan menggunakan alat plestimometer dengan cara mencelupkan telapak kaki kiri tikus hingga tanda batas pergelangan kaki tikus.
Hal yang perlu diperhatikan adalah volume air raksa harus sama pada setiap kali pengukuran, tanda pada pergelangan kaki tikus harus jelas dan telapak kaki tikus
harus tercelup sempurna sampai tanda batas yang ditentukan dengan tujuan agar mendapatkan data pengukuran yang konstan pada tiap waktu dan dalam kondisi
yang sama. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley
yang telah diaklimatisasi selama 3 minggu agar dapat memenuhi syarat berat badan yaitu 200-250 gram serta dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan selama penelitian berlangsung. Pemilihan jenis kelamin tikus putih jantan bertujuan agar hasil uji tidak dipengaruhi oleh hormon estrogen, karena
hormon ekstrogen lebih banyak terdapat pada tikus betina yang dapat meningkatkan inflamasi melalui mediator kimia bradikin Green, et al, 1999.
Tikus dikelompokan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif 1 mL200g Na CMC 0,5, dosis rendah 5 mgkgBB , dosis sedang 10
mgKgBB dan dosis tinggi 50 mgKgBB. Penentuan variasi dosis untuk percobaan diperoleh setelah dilakukan uji pendahuluan pada dosis 10 mgKgBB,
100 mgKgBB, dan dosis 1000 mgKgBB. Dari hasil persen ihhibisi ketiga dosis uji pendahuluan tersebut menunjukan bahwa dosis 10 mgKgBB memiliki persen
inhibisi sebesar 66,63 pada jam ke-5, dosis 100 mgKgBB memiliki persen inhibisi sebesar 42,58 pada jam ke-5,dan dosis 1000 mgKgBB memiliki persen
inhibisi sebesar 55,36 pada jam ke-5. Dari hasil persen inhibisi udem yang diperoleh dari uji pendahuluan tersebut didapatkan dosis 10 mgKgBB memiliki
persen inhibisi yang baik, maka untuk penentuan dosis uji dilakukan pengecilan dosis yaitu menjadi dosis 5 mgKgBB, 10 mgKgBB dan 50 mgKgBB untuk
melihat aktivitas antiinflamasi yang lebih optimal. Kontrol positif sebagai pembanding digunakan asam asetil salisilat
asetosal dengan dosis 125 mgKgBB dalam Na CMC 0,5. Pemilihan asam asetil salisilat asetosal pada penelitian ini dikarenakan asetosal merupakan obat
yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik dan antiinflamasi dan digolongkan kedalam obat bebas, serta pada pemberian oral sebagian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
salisilat dapat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam
setelah pemberian, asetosal memiliki mekanisme kerja dengan menghambat enzime sikloooksigenase secara ireversibel prostaglandin sintetase, yang
mengkatalis perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan yang berperan mengganggu timbulnya reaksi peradangan Wilmana,
2007; Gunawan, 2008. Pengukuran volume udem dilakukan setiap 1 jam selama 6 jam
pengamatan pada telapak kaki kiri tikus yang telah diinduksi dengan karegenan. Setelah mendapatkan hasil pengukuran kemudian dapat dihitung nilai rata-rata
dan standar deviasi dari volume udem telapak kaki tikus.
4.1.5 Hasil Uji Antiinflamasi Ekstrak n-heksan Lumut Hati Mastigophora