Pengertian Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan

55

BAB III KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI TANAH

DANATAU BANGUNAN DI KOTA TANJUNG BALAI DENGAN ADANYA VERIFIKASI OLEH DPPKA

A. Pengertian Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan

Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya. 54 Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan Jual Beli dianggap telah terjadi antar kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. 55 Dalam jual beli senantiasa terdapat dua sisi Hukum Perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dari sisi hukum kebendaan, jual beli menimbulkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak, dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan 54 Effendi Perangin-Angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Pandangan Praktis Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1986, hal. 1. 55 R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1977, hal. 1-2. 55 Universitas Sumatera Utara 56 kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. 56 Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya dalam Buku III KUHPerdata. Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan verbintenis, adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antar dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang dari yang lain, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. 57 Sebenarnya istilah perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih dari sekedar perjanjian, karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatan-perikatan yang timbul karena undang-undang. Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul karena adanya perbuatan yang melanggar hukum dan perikatan yang timbul karena perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan. Dengan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi Undang-undang tidak mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu perikatan. Dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak saja, telah cukup bagi 56 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.l.Cet, 2, Jakarta: PT.Raja, Grafindo Persada, 2004, hal. 27. 57 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet X, Jakarta: Indonesia, 2003, hal. 122. Universitas Sumatera Utara 57 perjanjian tersebut untuk mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Namun perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan sangat tergantung dari itikad masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya prestasinya kepada pihak lain yang menyangkal telah membuat perjanjian itu atau menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang diatur oleh lawannya, maka pihak yang menuntut memenuhi prestasi yang berkewajiban untuk membuktikan tentang adanya janji tersebut. Karena undang-undang menentukan pihak yang menuntutlah yang berkewajiban untuk membuktikan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin kepastian dipenuhinya prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian di perlukan adanya suatu alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut menurut ketentuan Pasal 1866 bisa berupa : bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan surat dapat dibedakan menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal peristiwa, karenanya suatu akta harus ditandatangani, sedangkan surat yang berbentuk akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Suatu akta otentik merupakan alat pembuktian yang berupa surat berbentuk akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang menurut Undang-undang Universitas Sumatera Utara 58 ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta di bawah tangan ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seseorang pejabat umum. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan, pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana aktanya dibuat. Jadi unsur-unsur dalam suatu Akta otentik adalah : 58 1. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu. 2. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus itu dibuatnya. Dalam mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu di tempat di mana akta hak pelaksanaan untuk melakukan jual beli, maka para pihak seperti penjual dan pembeli harus memenuhi syarat-syarat untuk terjadinya suatu perjanjian jual beli. Adapun syarat- syarat untuk terjadinya suatu perjanjian jual beli : a. Kesepakatan Para Pihak Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak, dan persetujuan kehendak itu sendiri adalah kesepakatan. Sepakat berarti telah terjadinya kesepakatan antar para pihak terlebih dahulu terhadap hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan antara para pihak tersebut. Kesepakatan tersebut terjadi secara timbal balik di mana pihak yang satu menyetujui dan mengetahui isi dari maksud perjanjian tersebut begitu sebaliknya. 58 GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet ke, 3, Jakarta: Erlangga, 1983, hal. 16. Universitas Sumatera Utara 59 b. Kecakapan untuk berbuat sesuatu. Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan, jika ia oleh undang-undang dinyatakan cakap. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikiranya adalah cakap menurut hukum. Namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia menghendaki kepada para Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT untuk memperhatikan bahwa ada beberapa subyek-subyek hukum yang karena Undang-Undang dibatasi penggunaan haknya dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu tidak semua subyek hukum yang dapat menghadap ke kantor Notaris adalah cakap dan dapat dilayani untuk pembuatan akta-akta PPAT. Orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah : 59 1. Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros. 3. Orang-orang dewasa yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 59 Pasal 1330 KUHPerdata jo Pasal 433 KUHPerdata jo Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Universitas Sumatera Utara 60 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa, dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu : c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, berupa prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan obyek perjanjian. Sebagai syarat yang ketiga ini untuk adanya suatu perjanjian adalah perjanjian itu mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu dan dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian ini batal demi hukum. 60 d. Suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk syahnya perjanjian. Sebab adalah suatu yang menyebabkab orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan clausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang 60 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1986, hal. 94. Universitas Sumatera Utara 61 mendorong orang membuat perjanjian. Melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang rnenggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. 61 Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku disamping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan sebagai mana yang dinyatakan dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam jual beli yang menjadi sebab perjanjian adalah di satu pihak pembeli ingin mendapatkan barangnya dan pihak lain penjual berkeinginan untuk mendapatkan uangnya.

B. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan

Dokumen yang terkait

Kajian Aspek Legal Pengenaan PPH Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dan BPHTB Terhadap Transaksi Leasing Tanah Dan Bangunan”

6 67 188

Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)

11 132 141

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

6 97 144

Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kabupaten Badung.

2 16 63

PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM JUAL BELI TANAH DAN ATAU BANGUNAN DI KOTA SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 79

Penentuan Harga Jual Beli Tanah Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

0 0 17

BAB II SISTEM PEMUNGUTAN BPHTB DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA TANJUNG BALAI A. Jenis-jenis Sistem Pemungutan Perpajakan - Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Bel

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

0 0 27

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

0 1 15

PENERAPAN SISTEM SELF ASSESSMENT PADA PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA SURAKARTA - UNS Institutional Repository

0 1 13