Program Literasi Informasi di sekolah

46 kapan informasi dibutuhkan dan menemukan, mengevaluasi, menggunakan secara efektif, serta mengkomunikasikan informasi dalam beragam formatnya. Dari kedua definisi information literacy tersebut sudah seharusnya merupakan komponen yang integral dari layanan media perpustakaan sekolah. Bagaimanapun, bukan saja hingga sejak diperkenalkannya komputer disekolah- sekolah dan pusat-pusat media perpustakaan sekolah, urgensi information literacy juga merupakan suatu yang penting. Perpustakaan pada lembaga pendidikan merupakan lingkungan yang aktif dan dapat melakukan kerjasama dengan guru atau dosen, siswa atau mahasiswa dalam meningkatkan berbagai keterampilan melek informasi information literacy dan menanamkan kebiasaan menjadi pembelajar sepanjang hidup Lifelong Leaner Farida, 2005: 10.

2. Program Literasi Informasi di sekolah

Pengalaman pendidikan tidak hanya meliputi aktifitas mengingat akan belajar memorization, tetapi merupakan kegiatan yang hidup, proses berfikir yang kompleks, diserap melalui energi kreatif dan kritis. Literasi informasi merupakan kunci penutup segudang informasi, yang memungkinkan anak memasuki dan memilih pintu yang mana yang akan memuaskan atas pertanyaannya. Literasi informasi merupakan suatu proses berfikir yang memungkinkan seseorang untuk mencari informasi, mengumpulkan, membedakan, menganalisa, mengevaluasi, dan mengaplikasikan informasi untuk memecahkan masalah Wahyudiati, 2008: 1. Proses di atas menunjukkan bahwa 47 dalam mendapatkan informasi harus mempunyai pengetahuan khusus, agar informasi yang didapat sesuai dengan kebutuhan. Hal ini memungkinkan seseorang untuk memahami dan mengakomodasi informasi ke dalam susunan perkembangan kognitif seseorang sebagai pengetahuan. Oleh karena itu, memungkinkan individu memecahkan masalahnya di kemudian hari. Pengalaman pendidikan dapat merangsang pertumbuhan dari dalam diri seseorang untuk meraih proses berfikir, menggunakan, dan menggali lingkungan fisik dan sosial. Pustakawan menciptakan laboratorium belajar di mana segala macam bentuk sumber dapat menghadirkan dunia informasi kepada siswa. Guru dan administrator telah dirangsang untuk melihat proses belajar mengajar dengan strategi baru. Keterampilan menggunakan perpustakaan seharusnya diintegrasikan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dari setiap subjek yang diajarkan. Kesulitan yang terjadi adalah bahwa siswa dan guru memiliki beban yang cukup besar sebagaimana tersirat dalam kurikulum yang harus dicapai dalam waktu tertentu. Anak didik perlu menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang mereka peroleh tidak terpisahkan dari aspek pengetahuan lain yang terkandung di berbagai sumber, media dan alam sekitarnya. Pada diri anak didik perlu juga ditanamkan pengertian bahwa kemampuan dan keterampilan mereka akan berkembang dengan meningkatkan penggunaan berbagai sumber atau media informasi yang lebih luas, termasuk media internet, buku-buku fiksi, dan lain-lain, termasuk lewat pengamatan kejadian di lingkungan sekitarnya. Sehingga buku 48 teks bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan mereka. Oleh karena itu, kegiatan belajar perlu dilengkapi dengan beragam bahan bacaan dan literatur sebagai sarana penguatan dan pengayaan keilmuan yang terkandung pada buku ajar dan kurikulum sekolah Nuryudi, 2006: 14. Pemahaman akan keterkaitan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari- hari perlu untuk ditanamkan ke dalam diri anak didik sejak dini. Untuk itu, para pustakawan hendaknya proaktif terhadap rencana-rencana pemanfaatan sarana perpustakaan untuk kegiatan proses belajar yang lebih intensif. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, misalnya, guru dan pustakawan dapat menerapkan sistem pembelajaran dengan pendekatan pemberian tugas ilmiah dimana siswa akan terlatih untuk mengolah pengetahuan atau keterampilan yang mereka peroleh secara lebih mendalam. Guru dan siswa akan terdorong untuk menggunakan sumber daya informasi yang ada di perpustakaan secara maksimal. Dengan ini diharapkan guru dan pustakawan dapat mengidentifikasi bakat dan minat anak didik untuk dibimbing dengan sistematis dengan memberikan sarana kebutuhan informasi termasuk keahlian dalam penilaian dan penelusurannya. Program ini juga membimbing siswa akan terbentuknya kecakapan dalam mengolah dan mengorganisir berbagai fakta sehingga terjadi sinkronisasi dengan kebutuhan, kecakapan dalam menciptakan pengetahuan dengan menghubungkan informasi yang baru dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya, termasuk kecakapan dalam menggunakan pengetahuan tersebut secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari. Ini termasuk keterampilan-keterampilan khusus seperti 49 penyelesaian masalah, berfikir kritis, dan memahami keterkaitan antara data dan informasi Nuryudi, 2006: 24. Kemampuan literasi informasi dapat dilakukan apabila seseorang mempunyai kemampuan intelegensi, dan kemampuan intelegensi tergantung pada indera-indera yang berhubungan seperti indera pendengaran, perabaan, dan pengecapan. Bagaimana dengan seseorang yang berkelainan, contohnya tunanetra tentunya tidak sama pengaplikasian literasi informasi bagi anak tunanetra dengan orang awas. Membaca adalah salah satu unsur dalam literasi informasi setelah informasi itu ditemukan, bagaimana dengan kemampuan membaca anak tunanetra, kemampuan membaca anak tunanetra merupakan proses perkembangan yang sulit, karena kerusakan penglihatannya sehingga seorang anak tunanetra harus terampil menggunakan perabaan untuk membaca. Untuk mampu membaca dengan baik anak tunanetra harus menggabungkan dua inderanya yaitu perabaan dan pengucapannya, jika salah satunya mengalami kelainan, maka hal ini akan terpengaruh terhadap kemampuan membacanya. Kemampuan membaca anak tunanetra tidak terlepas dari persoalan kemampuan belajar itu sendiri. Kemampuan belajar yang dimaksud di sini adalah kemampuan intelegensi kecerdasannya. Sehubungan dengan itu, Tampubolon mengemukakan bahwa: Kemampuan belajar pada anak-anak tidak sama, karena intelegensi berbeda-beda tingkatannya, dan juga karena faktor lainnya. Ada anak yang 50 cepat menangkap dan memahami pelajaran, tetapi ada juga yang lamban. Kekurangmampuan belajar ini sudah tentu mempengaruhi anak dalam membaca, baik dalam pelajaran membaca permulaan maupun membaca lanjutan untuk pemahaman. Dari uraian di atas jelas bahwa faktor intelegensi mempunyai pengaruh yang substansial terhadap kemampuan membaca anak tunanetra yang mengalami kelainan penglihatan, sudah barang tentu mengalami pula kesulitan dalam membaca. Dengan adanya huruf braille, anak tunanetra dapat membaca dengan mempergunakan indera perabaannya, namun demikian tetap masih ada anak tunanetra yang mengalami kesulitan membaca Tim Peneliti Mahasiswa, 1995: 13. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan yaitu: kompetensi kebahasaan, kemampuan mata, teknik-teknik dan metode-metode membaca, serta kebiasaan membaca. 1. Kompetensi kebahasaan Penguasaan bahasa terutama bahasa lisan, dalam hal ini penguasaan bunyi- bunyi lafal masing-masing abjad sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan anak tunanetra. 2. Kemampuan mata Disebabkan karena kelainan matanya, maka setiap anak tunanetra, dapat dipastikan akan mengalami kesulitan membaca huruf awas. Oleh karena itu dengan adanya huruf braille, maka anak tunanetra dapat juga membaca dan mengenal huruf. 51 3. Teknik-teknik dan metode-metode membaca Teknik dan metode ini berhubungan dengan proses belajar mengajar, hal ini berarti guru yang memegang peranan penting dalam menerapkan teknik dan metode membaca dalam proses belajar mengajar. Meningkatkan teknik dan metode yang bervariasi dapat meningkatkan minat anak untuk belajar membaca. 4. Kebiasaan membaca Kebiasaan membaca itu tidak muncul dengan sendirinya, artinya butuh waktu cukup lama untuk membentuk kebiasaan itu, oleh karena itu faktor minat dan kebiasaan tidak boleh diabaikan. Minat dan motivasi yang tinggi untuk belajar membaca akan menjadikan anak tunanetra terbiasa membaca Tim Peneliti Mahasiswa, 1995: 16. Program literasi informasi yang diterapkan secara kelembagaan atau sebagai program nasional yang dilakukan secara bersama, adalah sangat bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Kemampuan dalam memanfaatkan informasi sesuai dengan apa yang diperlukan bagi proses pembelajaran atau bagi tujuan-tujuan lain dalam kehidupan, jelas akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan Farida, 2005:10. 52

BAB III GAMBARAN UMUM

A. Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta

1. Sejarah Singkat

Sekolah Luar Biasa untuk Tunanetra Pembina Tingkat Nasional SLB-A PTN Jakarta sebagai lembaga pendidikan untuk tunanetra didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember 1981 dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Sekolah khusus ini berlokasi di kompleks perumahan anggota DPR dan Departemen Kehakiman, di Jalan Karang Tengah, Jakarta Selatan; tepatnya di Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12440. SLB-A PTN merupakan lembaga khusus tunanetra yang bertaraf nasional dan merupakan satu-satunya lembaga yang ada di Indonesia. Peresmian tersebut sekaligus sebagai puncak acara kegiatan Tahun Internasional Para Cacat TICA PBB di tahun yang sama. Pembangunan sekolah ini adalah realisasi dari salah satu program nasional dalam usaha peningkatan mutu pendidikan anak tunanetra. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sub Direktorat Pendidikan Luar Biasa, memberikan lahan seluas 4,5 hektar guna dibangun fasilitas pendidikan luar biasa untuk kecacatan tunanetra. Bangunan di lahan seluas 4,5 hektar meliputi gedung sekolah, wisma, asrama, perumahan guru dan karyawan, gedung orientasi dan