Memilih kata yang tepat Cara Berpisah Uswatun Hasanah Argumentatif dan Logis

Ketika Ali diberitahu tentang sebuah kanal untuk irigasi milik orang-orang non-muslim dikotor dengan sampah, ia segera menulis kepada pejabat yang bertugas, Karzah bin Kaa;ab Anshari, “Orang-orang non-Muslim dari daerahmu telah mengeluh bahwa salah satu dari kanal irigasi milik mereka telah tertutup dengan sampah. Adalah tugasmu untuk membersihkannya AKu bersumpah demi Allah bahwa hal itu lebih baik bagimu, bahwa orang-orang muslim ditempatmu it uterus bahagia daripada berpindah ke tempat lain karena kesulitan” Toleransi jang adiartikan lemah dalam beragama. Sebaliknya, hnaya mereka yang memiliki kepercayaan diri akan kebenaran agamanya sertakekuatan ilmu yangbisa berbuat toleran dan kasih saying pada kelompok lain seperti Ali bin Abi Thalib

4. Memilih kata yang tepat

Manusia tidak dapat menghindar dari komunikasi daam interaksi sesamanya. Pada hakekatnya ketika manusia berkomunikasi pada dasarnya memindahkan atau menyalin fikiran dalam bentuk lambing. Agar lambang itu bermakna maka perlu disampaikan secara tepat. Karena tujuan dasar komunikasi tersebut antra lain mencetak kesan orang lain dan memberikan kontribusi realitas. Pada umumnya, sebuah syair mempunyai bentuk kata-kata yang singkat, padat, namun dapat menggambarkan suasana kejiwaan si penyair secara utuh dan tepat baik perasaannya dan pikirannya terhadap objek tertentu.

5. Cara Berpisah

Dalam berdakwah adakalanya menggunakn metode selain caramah ada pula dialog atau diskusi. Oeh kare itu, pertukaran pendapat antara pembawa dakwah disatu pihak dan golonga n yang dihadapinya di lai n pihak adakalanya berhasil dalam waktu yang singkat, adaka;lanya bertemu dengan alan buntu. Menggunakan kata berpisah harus dengan “Qaulan Balighon” yaitu kata yang sampai menjangkau ke lubuk hati mereka, jangan kata yang meninggalkan rasa pahit atau jengkel. Sebagai contoh ketika ada dialog antara dua orang sahabat yang ternyata tidak ada titik pertemuan. Maka Ali menutup diaog tersebut dengan jelas dan terang.

6. Uswatun Hasanah

Keteladanan adalh unsure terpenting yang harus direalisasikan dalam perjalanan dakwah. Khususnya keteladanan utuh yang mencerinkan keutuhan islam uyang shahih dan segala ajaran dan tuntunannya tanpa kekeliruan, penyelewengan dan pengambilan ajaran secara parsial. Ketelasanan Ali bin Abi Thalib memiliki pengaruh yang amat besar dalam membantu kaum muslimin untuk mengenal islam secara teori dan praktek, serta meneladaninya dalam hal ibadah, muamalah, atau amal-amal harian.

2. Dakwah Mauidzotul Hasanah

Adapun Dakwah Mauidzoh Hasanah Ali penulis klasifikasikan ke dalam beberap bentuk:

a. Nasihat atau petuah.

Ali menggunakan irama yang panjang dalam menyampaikan nasihat- nasihatnya yang padat dan mengandung argument-argumen berbobot, yang sanggup menggoncang hati pendengar serta meninggalkan pengaruh yang sangat ,mendalam pada jiwa yang mendengarkan nasihat-nasihatnya. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Umar telah berkata kepada Ali: “Nasihatilah aku Abu hasan” Ali berkata ”jangan jadikan keyakinanmu menjadi keraguan, ilmumu menjadi kebodohan, dan dugaanmu menjadi hak. Dan ketahuilah, tidak ada jatah bagimu dari dunia ini kecuali apa yang telah diberikan kepadamu hingga habis, atau dijatahkan untukmu hingga punah, atau yang kamu kenakan hingga lapuk.” 10 Nasihat yang diberikan Ali kepada Umar menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan kesempurnaannya yaitu diberinya manusia hati dan akal fikiran untuk melengkapi kekhalifahannya di muka bumi. Namun Allah memberinya pula potensi nafsu yang membuat manusia menjadi khilaf dan salah. Oleh karenanya manusia senantiasa memerlukan peringatan dan nasihat dari orang lain.

b. kabar gembira dan peringatan tabsyir wa tandzir

Bentuk metode ini sangat penting dilakukan, terutama kepada masyarakat yang mempunyai latarbelakang pendidikan yang rendah dan pemahaman 10 Handzalah, Taushiyah Ruhiyah Sahabat, Jakarta: Pustaka Imani, 1995, h.21 keagamaan yang lemah, sehingga perlu adanya motivasi dan harapan dalam beragam melalui bentuk tabsyir dan tandzir. Pada satu waktu sesekali pernah Yazid bin Qais sangat terlambat dalam pengiriman pajak penghasilan. Kemudian Ali r.a menulis surat kepadanya. “Jelaskan tentang penundaan pengiriman pajak. Aku menasihatimu agar takut kepada Allah Swt dan memperingatkanmu agar tidak mengulanginya dikemudian hari, sebaliknya kesalehan kebijakanmu akan hilang dan jihadmu untuk Allah akan rusk. Takutlah kepada Allah Swt dan peliharalah dirimu dari kekayaan yang tidak sah. Jangan memberiku kesempatan utuk memperingatkan kesalahan lagi.” 11 Contoh diatas menunjukkan bahwa seorang dai harus senantiasa memberikan dorongan kepada mad’unya agar selalu berbuat baik, pemberian motivasi juga sangat diperlukan untuk mengajak manusia agar berlomba-lomba berbuat bermacam-macam ketaatan. Tetapi, pada sisi yang lain, perlu adanya tindakan preventif agar umat mudah untuk berbuat kemaksiatan, maka mereka harus diberikan peringatan dan ancaman.

b. Wasiat

Esensi wasiat dalam dakwah adalah: Ucapan seorang da’I berupa pesan penting dalam upaya mengarahkan mad’u tentang sesuatu yang bermanfaat dan bermuatan kebaikan, Adapun persoalan-persoalan yang dismpaikan dalam waiat berkaitan dengan sesuatu yag belum dan akan terjadi. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada Kumail bin Ziyad “HAi Kumail sesungguhnya hati adalah wadah dan hati yang paling baik adalah hati yang sadar. Maka jagalah apa yang aku wasiatkan padamu” 12 11 Majid Ali Khan, Sisi hidup para khalifah Saleh, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, h.256 12 M. Munir, Metode dakwah, Jakarta: KEncana, h.285 Wasiat Ali merupakan sarana untuk mencapai tujuan dakwah. Bila dikaitkan dengan kebenaran, wasiat Ali adalah profil paling cemerlang untuk tgak menjaga kebenarn dan kebaikan. Bila dikaitkan dengan kasih saying wasiat Ali adalah upaya menyebarluaskan perasaan kasih saying, dan saling mencintai sesame umat, sehingga bangunan umat semakin solid.

3. Dakwah bi Al Mujadalah

Al-Mujadalah terbagi menjadi dua bagian, yaitu mahmudah dan mazmumah. Sedangkan mahmudah terbagi menjadi al-khiwar dan as Ilah wa Ajwibah.

a. Al-Hiwar 1. Kejujuran

Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai kebenaran, menjauhi kebohongan, kebathilan dan penguburan, sebagai contoh seperti peristiwa ketika Ali bin Abi Thalib kecil ditanya Ayahnya saat ia pergi ke lembah kota Mekkah untuk beribadah bersama Rasulullah: “Wahai anakku Agama apakah yang engkau kerjakan itu? Ali menjawab: ”Oh Ayah Saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, saya percaya dengan segala yang dibawa oleh Muhammad Saw, Saya bersembahyang bersamanya dan saya mengikutinya karena Allah”. 13 13 Muhammad Ali al-Quthub, Sepuluh Sahabat Dijamin Ahli Syurga.Semarang: CV. Toha Putera, 2001, h.93

2. Argumentatif dan Logis

Diskusidialog adalah bertujuan akhir agar lawan menyadari atau mengikuti daripada apa yang kita inginkan. Maka sangatlah nisbi apabila di dalam menyuguhkan bantahan atau alas an tidak masuk akal. Oleh sebab itu, jawaban yang argumentative dan logislah yang mampu membawa lawan untuk menerimanya. Sekali waktu ia menghadapi seorang Yahudi dalam sebuah perkelahian, dan duduk diatas dada orang yahudi tersebut untuk membunuhnya. Orang yahudi tersebut meludahi wajahnya. Ali seketika bangkit meninggalkannya. Ali berkata, “Aku memb unuhmu karena Allah, tetapi ketika engkau meludah di wajahku, keikhlasanku telah dikalahkan perasaan pribadi.” Mendengar hal ini, orang Yahudi tersebut dengan segera menyatakan menerima Islam. 14

3. Bertujuan untuk mencapai kebenaran