Keaslian Penulisan Sistematika Penulisan

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 sebagai penegak hukum dapat menghasilkan produk legislatif dan peradilan yang benar-benar sesuai dengan ilmu yang diperolehnya. b Bagi lingkungan eksekutif, agar dapat merumuskan kebijakan penanggulangan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dengan lebih efektif dan efisien. Selain itu juga agar memberi penilaian terhadap putusan-putusan yang dihasilkan oleh peradilan khususnya dalam kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum. c Bagi lembaga legislatif, agar dalam menyusun suatu produk perundang- undangan yang memuat ketentuan pidana suatu tindak pidana khususnya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, dibuat dengan cermat dan jelas sehingga tepat guna dan dapat mempersempit kesempatan bagi pihak-pihak yang hendak mencari celah dalam melakukan suatu tindak pidana tanpa tersentuh hukum. Selain itu untuk menghindarkan penerapan ketentuan pidana yang tidak efektif dalam rangka menanggulangi suatu tindak pidana khususnya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. d Bagi lembaga peradilan, agar meningkatkan integritas, moral kredibilitas dan profesionalismenya di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tindak pidana sehingga tidak melukai rasa keadilan dalam masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena sepengetahuan penulis topik permasalahan yang begitu pentingnya ini kurang Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 mendapatkan perhatian. Banyak karya ilmiah yang membahas tentang penggunaan ijazah palsu, namun belum ada yang membahas tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Padahal tanpa adanya oranglembaga yang memberikan ijazah tanpa hak, maka kemungkinan terjadinya penggunaan ijazah palsu pun semakin kecil. Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini setahu penulis belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Gambaran Umum Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Istilah tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang- undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta Undang-undang No. 19 tahun 2002, Undang-undang No. 11PNPS1963 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999, dan perundang-undangan lainnya. Mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana, ada dua pandangan berbeda yang berkembang, yaitu pandangan monisme dan dualisme. Pandangan Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 monisme tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pengertian tindak pidana penganut pandangan tersebut. J.E. Jonkers sebagaimana yang dikutip Adami Chazawi, yang merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum wederrechtelijk yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”. 9 Begitu pula Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. 10 Pompe sebagaimana yang dikutip Adami Chazawi, merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. Sedangkan pada pandangan dualisme, memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Hal ini terlihat dari rumusan tindak pidana penganut paham tersebut. 11 Begitu pula Moeljatno yang dikutip Adami Chazawi, beliau menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikannya sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”. 12 9 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 75. 10 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2003, h. 59 11 Op.Cit, h. 67. 12 Ibid. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 Dari pandangan demikian, pertanggungjawaban pidana bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Kemampuan bertanggungjawab merupakan hal yang lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang perbuatannya telah melanggar larangan berbuat tindak pidana tidak selalu dengan demikian dijatuhi pidana. Jadi, dapat disimpulkan suatu tindak pidana memiliki unsur-unsur yaitu: a perbuatan; b melawan hukum bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c ancaman pidana bagi yang melanggar larangan. Dari rumusan unsur tersebut dapat dilihat bahwa perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Suatu perbuatan yang tidak dikehendaki dilarang oleh masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan. Perbuatan yang tidak dikehendaki adalah berupa perbuatan negatif. Artinya, perbuatan yang tidak dikehendaki secara tegas dinyatakan dilarang dalam peraturan perundang- undangan tertulis. Isi dari peraturan perundang-undangan tersebut berupa perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Jadi prinsipnya, semua perbuatan itu boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Sedangkan perbuatan yang Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 dilarang tersebut diatur dalam bahagian bentuk peraturan atau norma yang tertulis atau tidak tertulis. 13 Unsur melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undang- undang melawan hukum formilformelle wederrechtelijk dan dapat bersumber pada masyarakat melawan hukum materiilmateriel wederrechtelijk. Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, sifat tercela tersebut tidak tertulis. 14 Hazewinkel Suringa dan Moeljatno mengatakan sebagaimana yang dikutip Teguh Prasetyo, sebenarnya unsur melawan hukum itu telah inheren di dalam setiap delik, dengan kata lain, unsur itu diam-diam selalu dianggap ada di dalamnya. Barangkali akan lebih baik jika unsur itu tidak usah dicantumkan dengan tegas di dalam pasal-pasal KUHP. Misalnya, Pasal 167 ayat 1 KUHP yang berisi larangan untuk memaksa masuk rumah atau pekarangan dinyatakan dengan melawan hukum. Seandainya kata-kata dengan melawan hukum itu dihilangkan, bukankah secara diam-diam sudah jelas bahwa memasuki rumahpekarangan orag lain tanpa izin itu adalah perbuatan melawan hukum karena memang sudah dilarang. Seandainya ada seorang polisi yang hendak menggeledah, dan pemilik rumah menolak atas dasar Pasal 167 ayat 1 tersebut, polisi itu dapat menunjukkan surat tugas penggeledahan, dengan demikian sifat 13 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 39 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Op. Cit, h. 86 Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 melawan hukum dihapuskan atas dasar perintah jabatan atau menjalankan undang-undang Pasal 50 dan 51 KUHP. 15 Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang, bahwa jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum disitu, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak melakukan itu. Contoh konkret Pasal 362, jika tidak dicantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan maksu memiliki dengan melawan hukum orang yang mengambil benda-benda di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat dipidana pula, walaupun mengambil benda-benda itu tidak bersifat melawan hukum materiil. Artinya jelas bahwa setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah pasti ada perbuatan yang sama yang tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur melawan hukum itu tidak dicantumkan dalam rumusan, orang yang berhak melakukan perbuatan tadi akan dipidana pula. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang. 16 Sifat tercela ini dinyatakan dalam rumusan tindak pidana dengan pelbagai istilah 17 15 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, h. 38. 16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Op.Cit, h. 87. 17 Ibid, h. 89. , yaitu sebagai berikut: Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 a dengan tegas menyebut melawan hukum wederrechtelijk. Cara inilah yang paling sering digunakan oleh pembentuk undang-undang, misalnya 362, 368, 369, 372, 378; b dengan menyebut “tanpa hak atau tidak berhak” atau tanpa wenang zonder daartoe gerichtigd te zijn, misalnya Pasal: 548, 549c; c dengan menyebut “tanpa izin” zonder verlof, misalnya pada Pasal 496, 510; d dengan menyebut “melampaui kekuasaannya” met overschrijding van zijne bevoegdheid, misalnya pada Pasal 430; e dengan menyebut “tanpa memperhatikan cara yang ditentukan dalam peraturan umum” zonder inachtneming van de bij algemeene verordening bepaalde vormen pada Pasal 429. Unsur terakhir yaitu ancaman diancam dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkonkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan tindak pidana. 18

2. Tentang Pemalsuan Surat

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk bentuk standar yang dimuat dalam Pasal 263, yang rumusannya adalah sebagai berikut: 18 Ibid, h. 79. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat 1 terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: unsur-unsur obyektif: 1 perbuatan: a membuat palsu; b memalsu; 2 obyeknya: yakni surat: yang dapat menimbulkan suatu hak; yang menimbulkan suatu perikatan; yang menimbulkansuatu pembebasan hutang; yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal; 3 dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 Sedangkan ayat 2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. unsur-unsur obyektif: 1 Perbuatan: memakai; 2 Obyeknya: a surat palsu; b surat yang dipalsukan; 3 Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian b. unsur subyektif: dengan sengaja surat geschrift adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandungberisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun. 19 a membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual intelectuele valschheid; Membuat surat palsu membuat palsuvalselijkopmaaken suatu surat adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa: b membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut 19 Adami Chazawi, Op.Cit, h. 99. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 dengan pemalsuan materiil materiele valschheid. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat. 20 Sedangkan perbuatan memalsu vervalsen surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lainberbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. 21 Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsumembuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat-disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu. 22 20 Ibid. 21 Ibid, h. 100. 22 Ibid, h. 101. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat 1 yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsurkalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” mengandung makna: 1 adanya orang-orang yang terpedaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian, dan 2 surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bias orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu. 23 Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam ayat 1, ialah jika pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkandimaksudkan petindak. Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa: 1 pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimatunsur itu, dan 2 karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”. 24 Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat 1 dan pelanggaran ayat 2 dapat dilakukan oleh orang yang sama. Dalam hal yang demikian telah terjadi perbarengan perbuatan. 23 Ibid, h. 105. 24 Ibid. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009

3. Tentang Pemberian Ijazah

Berdasarkan Pasal 61 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapat disimpulkan bahwa ijazah adalah salah satu bentuk sertifikat selain sertifikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik 25 sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar danatau penyelesaian suatu jenjang pendidikan 26 setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan 27 yang terakreditasi 28 c Diberikan kepada peserta didik . Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat diberikannya suatu ijazah yang sah menurut hukum harus dipenuhi unsur-unsur antara lain: Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ijazah hanya dapat diberikan kepada peserta didik yang telah terdaftar pada suatu satuan pendidikan sehingga tidak boleh pemberian ijazah kepada yang bukan peserta didik. 25 Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu Pasal 1 angka 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. 26 Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdsarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan Pasal 1 angka 8 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. 27 Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan Pasal 1 angka 10 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas 28 Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan Pasal 1 angka 22 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 Dalam Bab V Pasal 12 Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur mengenai hak dan kewajiban peserta didik yaitu antara lain: 1 Hak peserta didik: 29 a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannnya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. 2 Kewajiban Peserta didik: 30 a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan; 29 Pasal 12 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. 30 Pasal 12 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 b. ikut menanggung biaya penyelengggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut berlaku pula bagi warganegara asing yang menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. d Sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar danatau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 14 disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas: 1 pendidikan dasar; 2 pendidikan menengah; 3 pendidikan tinggi. e Diselengggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi Dalam Pasal 53 Undang-undang Sisdiknas tersebut, disebutkan bahwa penyelenggaraan danatau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Jadi, satuan pendidikan yang dimaksudkan haruslah berbentuk badan hukum. Kemudian dalam Bab XVII Pasal 62 UU Sisdiknas disebutkan mengenai syarat-syarat bagi setiap satuan pendidikan formal dan nonformal untuk memperoleh izin pendirian satuan pendidikan sehingga berhak menyelenggarakan program pendidikan dan memberikan ijazah, gelar akademik, profesi atau vokasi Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 yaitu antara lain meliputi: isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan. Dalam hal pendirian satuan pendidikan berbentuk universitas, Dra. Hafni Oemry, Kepala bagian Administrasi Akreditasi dan Kelembagaan Kopertis Wilayah I Sumut-NAD 31 1 mempunyai organisasi perguruan tinggi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999; , menjelaskan bahwa syarat pendirian universitas adalah sebagai berikut: 2 jumlah minimal untuk program studi pada universitas: mewakili 3 kelompok disiplin ilmu, 6 IPA dan 4 IPS; 3 mempunyai dosen tetap minimal: untuk jenjang S-1 minimal 2 orang S-2 dan 4 orang S-1 untuk setiap program studi; 4 dosen tetap yang mempunyai kualifikasi jenjang jabatan akademik 5 mempunyai laboratorium dasar; 6 mempunyai nisbah dosen 1:30 untuk bidang IPS dan 1:20 untuk bidang IPA; 7 mempunyai tenaga administrasi tetap untuk jenjang S-1 6 orang dengan kualifikasi pendidik minimal 1 orang S-1 dan 2 orang diploma; 8 Mempunyai tenaga penunjang akademik tetap minimal 3 orang dengan kualifikasi pendidikan minimal diploma; 9 Mempunyai mahasiswa untuk universitas minimal 1000 orang; 10 Mempunyai ruang kuliah 0,5 m2 per mahasiswa; 31 Berita Acara Pemeriksaan Saksi Kasus PN Medan Reg. No. 1932Pid.B2005PN.Mdn Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 11 Mempunyai ruang dosen tetap 4 m2 per orang; 12 Mempunyai ruang administrasikantor 4 m2 per orang; 13 Mempunyai ruang perpustakaan 1 judul buku per mata kuliah dan berjumlah 10 dari jumlah mahasiswa; 14 Kurikulum mengacu pada SK Mendiknas No. 232U2000 dan SK 045U2002.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang- undangan statute approach, pendekatan konsep conceptual approach dan pendekatan analitis analytical approach. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti apakah kumpulan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang tindak Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 pidana memberikan ijazah tanpa hak, hingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum, tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur sehingga menjadi celah bagi pelaku tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak untuk menghindar dari jeratan hukum. Sedangkan pendekatan analitis dilakukan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan hukum suatu kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

3. Bahan Hukum

a Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain di bawah undang-undang yang masih berkaitan dengan pengaturan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. b Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan pembahasan tentang tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. c Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus huku m, ensiklopedia, dan lain-lain. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud, penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapaun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi uraian latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II menguraikan kritikan terhadap formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yang ada dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 mengandung berbagai masalah, antara lain: masalah kualifikasi tindak pidana, subjek tindak pidana dan jenis sanksi. Selanjutnya dalam Bab III, dibahas tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini dengan menggunakan kebijakan criminal melalui pendekatan integral antara sarana penal dengan non penal. Dalam Bab IV dibahas tentang analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1932Pid.B2005PN.Mdn untuk melihat dan menganalisa bagaimana keseriusan para penegak hukum khususnya di bidang peradilan dalam menangani kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak tersebut. Akhirnya dalam Bab V dikemukakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu, sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai hal tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dan dapat merumuskan saran tindak yang diperlukan. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 BAB II KRITISI FORMULASI TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM UNDANG-UNDANG SISDIKNAS Ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak secara khusus adalah di dalam Ketentuan Pidana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas. Ketentuan pidana dalam Undang-undang ini diatur dalam Bab XX mulai Pasal 67 sampai dengan Pasal 71. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak selengkapnya dikutip sebagai berikut: Pasal 67: 1 perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, danatau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun danatau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Pasal 68: 1 setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, danatau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009 danatau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. 2 setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, danatau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun danatau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Pasal 69: 1 setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, danatau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun danatau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. 2 Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah danatau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat 2 dan ayat 3 yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun danatau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Dari perumusan di atas, dapat dilihat beberapa permasalahan-permasalahan dalam memformulasikan ketentuan hukum terhadap tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak tersebut yang patut dikritisi karena berpotensi memberi celah hukum kepada pelaku tindak pidana yang ingin lepas dari jerat hukum. Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932Pid.B2005PN.MDN, 2008. USU Repository © 2009

A. Masalah Kualifikasi Tindak Pidana

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Medepleger Yang Dinyatakan Bersalah Tanpa Di Pidananya Pleger Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Tinjauan Yuridis Putusan PN NO: 2442/PID.B/2011/PN-MDN)

3 118 106

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)

1 57 168

Analisis Hukum Terhadap Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. Medan)

4 52 110

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)

1 52 120

Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

4 52 94

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

0 0 9

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9