. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan kondisi makroekonomi Indonesia cendrung mengalami perbaikan. Stabilnya tingkat inflasi meningkatkan keinginan sektor perbankan
dalam menyalurkan kredit, mengingat fungsi perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi keuangan. Kondisi makroekonomi negara yang membaik harus
memperhatikan kondisi mikroekonomi, seperti bagaimana kredit itu disalurkan ke bidang yang produktif sehingga kondisi makroekonomi dapat terjaga. Sisi
mikroekonomi dapat dilihat perkembangan dari sektor industri kendaraan bermotor, saat ini Indonesia bukan hanya diklasifikasikan sebagai negara
konsumen saja tetapi telah menjadi negara produsen kendaraan bermotor. Stabilnya tingkat inflasi telah membuat Bank Indonesia menurunkan
tingkat suku bunga acuan BI rate dalam beberapa bulan terakhir secara gradual. Menurunnya tingkat inflasi yang sempat berada di level 17,11 persen YoY pada
Desember 2005 setelah terjadi guncangan dimana pemerintah meningkatkan harga Bahan Bakar Minyak BBM pada bulan Oktober di tahun yang sama, sementara
itu pada bulan Desember 2006 angka inflasi sudah berada di 6,6 persen YoY.
Sementara itu, hingga bulan Januari 2007 BI rate telah mencapai single digit yaitu sebesar 9,75 persen. Angka tersebut diharapkan akan turun hingga 8 persen pada
akhir 2007 nanti. Hal tersebut sesuai dengan keinginan para pelaku pasar agar
sektor riil dapat berkembang agar mendapatkan suku bunga pinjaman yang rendah dari lembaga keuangan.
Penurunan BI rate bukan hanya akan memacu perkembangan sektor riil, namun dengan penurunan suku bunga pinjaman juga akan diikuti dengan
penurunan suku bunga kredit, baik kredit investasi, modal kerja, dan konsumsi. Pada periode ketiga tahun 2006, Survei Kredit Perbankan Bank Indonesia periode
ketiga tahun 2006, tercatat persetujuan kredit baru mengalami peningkatan dari periode sebelumnya. Permintaan kredit baru yang relatif kecil dari 54,4 persen
menjadi 54,0 persen dibanding periode sebelumnya. Dari peningkatan tersebut, kredit konsumsi meningkat sebesar 17,8 persen dan kredit modal kerja sebesar
77,8 persen. Dari peningkatan permintaan kredit konsumsi tersebut, 25 persen merupakan permintaan kredit kendaraan bermotor dan sisanya permintaan kredit
propertiperumahan, kartu kredit, dan lainnya Bank Indonesia, 2006.
periode
Sumber : Bank Indonesia 2006
Gambar 1. Permintaan Kredit Baru Menurut Jenis Penggunaan di Indonesia Periode Triwulan 1 2004- Triwulan 4 2006
Gambar 1 menggambarkan bahwa kredit permintaan konsumsi mengalami fluktuasi dari periode kuartal satu 2004 hingga kuartal tiga 2006. Permintaan
kredit konsumsi yang berasal dari sepeda motor juga mengalami fluktuasi, dimana kredit konsumsi sebagian besar terdiri dari kredit kendaraan bermotor dan properti
atau perumahaan. Permintaan kredit baru triwulan keempat tahun 2005, kredit konsumsi mencapai 26,2 persen yang sebagian besar berupa kredit kendaraan
bermotor sebesar 42,2 persen, kredit propertiperumahan sebesar 39,4 persen, sisanya merupakan kredit lain. Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa kredit
konsumsi selalu berada di posisi kedua setelah kredit modal kerja. Hal itu memperlihatkan bahwa penurunan BI Rate pinjaman juga direspon oleh kredit
konsumsi. Hadad, Santoso, dan Alisjabana 2004 telah melakukan penelitian
mengenai model dan estimasi kredit konsumsi rumah tangga di Indonesia, dengan menggunakan model empiris untuk estimasinya berupa three-equatian
generalized Tobit dan data yang digunakan bersumber dari Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah Tangga SKTIR tahun 2003 dari Badan Pusat
Statistik dengan jumlah contoh sebanyak 3600 rumah tangga. Penelitian telah banyak dilakukan mengenai kredit konsumsi ini di negara maju dan berkembang.
Penelitian ini memusatkan perhatian pada kredit kendaraan bermotor khususnya sepeda motor, dengan melihat bahwa peningkatan kredit konsumsi kendaraan
bermotor juga disumbangkan oleh kredit sepeda motor. Karena padatnya jalan raya saat ini oleh sepeda motor dan mudahnya pembelian sepeda motor dengan
jalur kredit.
1.2. Perumusan Masalah