Transkrip wawancara dengan Bu Lani Masruroh, Kepala Bidang Objek dan Daya

TRANSKRIP 8 Transkrip wawancara dengan Bu Lani Masruroh, Kepala Bidang Objek dan Daya

Tarik Wisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang (Audio Recording 2016-08-01 12-30-06)

Peneliti : gini buk kemarin kan saya sudah ke bowele, sudah tiga atau empat gitu kali kesana,nah terus ternyata permasalahan internalnya itu di sana itu ada perjanjian kerja sama antara bowele sama dinas perhutani itu ya buk?

Informan : bukan dinas, perum perhutani Peneliti : iya perum perhutani,itu kalo boleh tau gimana ya buk maksutnya peraturan apa sih

yang membuat mereka itu harus bekerja sama dengan perum perhutani sehingga adanya masalah ticketing itu buk?

Informan : ya jadi gini memang, emm di sana itu.. bukan di sana saja, jadi kawasan pantai yang ada di kabupaten malang itu adalah masuk dalam kawasan perum perhutani kph malang, nah karena masuk kawasan perum perhutani kph malang maka dengan sendirinya siapa – siapa yang mau mengelola atau membangun atau memanfaatkan harus ada kerja sama dengan pihak perhutani.. seperti itu. Jadi kenapa mereka ada MOU atau kerja sama dengan perhutani. Sebetunya secara aturan, aturan itu permenhut 12 atau 22 saya lupa, nanti coba dicari di internet, pengelolaan kawasan hutan lindung disana ada yang pertama perhutani bisa kerja sama dengan perseorangan kedua bisa kerja sama berbadan hukum ketiga bisa kerja sama dengan koperasi maksutnya yang berbentuk koperasi nah yang berbadan hukum ini biasanya mereka lembaga – lembaga yang sudah dibadan hukumkan melalui notaris, kalo yang perseorangan ga masalah dengan pihak – pihak swasta atau biasanya investor, terus yang dengan koperasi nah sebetulnya aturan yang baru ini akan berarti mereka berargumen perhutani itu memang di dalam peraturan ini tidak ada katanya seperti itu yang saya ambil dari itu kenapa kok harus pake itu lkdph terus perhutani terus lambaga desa wisata, kenapa kok sebetulnya teman teman itu mengharapan dari desa wisata langsung dengan perhutani tidak ada lkdph sebetunya teman teman, tetapi perhutani tidak mau alasannya dari perhutani ini yang saya dengarkan dari teman teman, alasannya dari perhutani itu sudah ada mou dengan bupati terkait dengan pengelolaan hutan oleh lkdph tetapi saya tidak tau mou ini bentuknya seperti apa dan sampai sekarang juga kami belum tau. Jadi gini ini, sebetulnya secara aturan sih engga ada lkdph kalo diaturan permenhut itu tadi, permenhutnya hanya berbunyi lembaga berbadan hukum sebetulnya teman teman dari lembaga desa wisata ini sudah sampai di badan hukumkan karena ngejar peraturan ini supaya mereka bisa masuk untuk kerja sama, ternyata dari perhutani tetep tidak mau.

Peneliti : oh jadi harus ada lkdph? Di bawahnya perhutani itu?

Informan : eheh seperti itu, jadi kenapa seperti itu, itu kaitannya Peneliti : kalo misalkan ini buk kan karena ada itu kan 5000 pemungutan tiket, saya denger

keterangan dari pak inggih 60% dari 5000 tiket itu untuk perhutani sehingga hanya 2% saja yang ke desa sehingga melihat fakta yang seperti itu saya dengar kabar kalau bu lani mmutuskan untuk fokus saja ke desa wisata dibandingkan fokus sama tiketnya itu, kan itu kan objek buk kenapa ibu mengambil keputusan seperti itu? Maksudnya memfokuskan ke desa wisata

Informan : jadi gini maksud kami siapa pun pengelola dtw biarkanlah itu jalan apa adanya karena daripada kita ribet seperti ini pengelola siapapun ini terserah mereka mau siapa pengelolanya monggo tapi kita mengembangkan desa wisata tapi kenapa kita fokus dengan desa wisatanya kalau desa wisata itu tidak menjual dtw tapi menjual 1 desa dengan menjual paket paket wisata, nah nanti salah satunya yang bisa kita jual untuk atraksinya adalah objek dan dijual menjadi paket wisata, jadi desa wisata itu menjual paket wisata. Jadi yang dijual kan keseluruhan nanti homestaynya juga dapet misalkan wisata edukasi di sana ada cengkeh itu juga dapet kan seperti itu. Di sana apasih potensinya itu yang dijual maksud kami seperti itu. Jadi yang kita kembangkan adalah desa wisatanya, bukan diobjeknya .gitu. nah kalau desa yang dijual semua dapet. Masyarakatnya ikut berperan aktif, semuanya dapet wis. Tapi kalau objek ini kan hanya perhutani sama yang mengelolah itu saja. Tapi keseluruhan desa dengan menjual seluruh paket wisatanya semua masuk didalamnya.

Peneliti : Syarat untuk jadi desa wisata itu apa ya bu? Kalau boleh tau Informan: syarat utama nya itu sebetulnya kita lihat dari arti desa wisata itu sendiri. Desa

wisata itu adalah desa suatu kawasan geografis yang memiliki keunikan dan kekhasan baik itu dari budaya maupun alam yang dapat menarik orang untuk berkunjung yang dikemas dan diolah. Nah dikemas dan dikelola oleh siapa? Lembaga desa wisata. Jadi dikemas dan diolah menjadi sebuah paket wisata untuk dijual itu mempunyai keunikan , itu syarat utamanya mengapa memiliki keunikan dan kekhasan. Karena kalau tidak ada keunikan dan kekhasan dan didalam daya tariknya orang tidak akan berkunjung kesana, iyo opo ndak? Jadi itulah yang menjadi daya tariknya. Jadi yang utama sebetulnya didalamnya itu harus ada kekhasan. Misalkan dari alamnya atau budayanya tidak ada bisa dibuat kalau pengelolahnya kreatif dan inovatif. Misalkan dari alam dan budanya tidak dapat, mereka harus mencari apa sih sing menjadi potensi desa saya? Sehingga orang “oh ya! kesana aja dari pada ke tempat B” seperti itu. Jadi syarat utama khusus tidak ada, ya itu tadi memiliki kekhasan dan keunikan. Kalau tidak ada dari alam bisa dibuat dan ada pengelola yang sumber daya manusianya itu harus kreatif dan inovatif. Misalkan gubug klakah itu menang di 2014 kalau mereka ngak kreatif dan inovatif akan ketinggalan dengan desa wisata yang lain. Kalau tiap tahun atraksi yang ditunjukan kepada wisata awalnya tetap gak ada perubahan, orang ya akan males dateng kesana. Masa tiap tahun cuma itu saja?

Informan: hmm sebetulnya tidak hanya terjadi di Bowele , tetapi semua desa-desa yang memiliki potensi wisata.Potensi ini , ya itu tadi sudah memiliki keunikan dan kekhasan. Ada sumber daya manusiannya itu mereka itu dengan peran aktifnya dengan masyarakat yang didalamnya ikut berperan aktif. Misalkan orang menginap dan butuh makan berarti yang mengasih makan itu adalah yang tuan rumah yang punya homestaynya atau dari ibu-ibu PKK atau karang taruna . Jadi seperti itu, jadi semuanya berperan jadi yang biasanya menganggur itu jadi punya pekerjaan. Jadi terciptalah pertumbuhan ekonomi di masyarakat itu. Apalagi kalo pengelolanya itu kreatif, inovatif terus bisa menjalin kerjasama dengan pihak-pihak travel atau pihak-pihak lain. Untuk link dengan jasa mereka dengan menjual paket mereka, itu tambah bagus lagi

Peneliti : oh malah pengelola itu langsung bekerja sama dengan, homestay kan juga menyediakan paket wisata, itu mereka kalo kerjasama dengan travel – travel gitu gak papa bu ?

Informan : bukan homestay nya, yang kerjasama dengan travel, tapi lembaga desa wisatanya itu. Yang bekerjasama dengan travel. Loh gak papa itu malah bagus, mereka kerjasama dengan travel, travel dengan media masa untuk promosi, kerjasama dengan travel – travel untuk bisa menjual paket nya, itu tambah bagus lagi, jadi kunjungannya tiap kali kan meningkat, dengan meningkatnya jumlah kunjungan otomatis uang yang beredar di masyarakat kan banyak, semua nya dapat itu , semua orang yang berperan di dalam nya akan mendapat semua.

Peneliti : kalo misalkan masalah ini, tadi itu karena ada yang proporsi yang 60 % itu buk, yang tidak seimbang, tidak adil antara desa sama perhutani, itu bagian objek ini, pernah kah bu, membantu lobby – ing dari desa ini supaya perhutani tidak terlalu, gimana gitu, kan 60 % ini kan untuk perhutani, tapi kenapa tidak pernah ada balik ke masyarakat, misalkan contoh pembangunan jalan

Informan : kalo pembangunan jalan itu anu tidak pernah, sebetulnya untuk pengembangan dtw nya, kalo kami mengharapkan dari uang yang ada itu, bisa dikembangkan untuk dtw. Jadi prosentase nya bukan 60 30, jadi dirinciannya itu dikurangi pajak 20 % , setelah itu sisanya itu terbagi menjadi perhutani itu 38 % terus 30 % untuk lembaga yang mengelola itu tadi, terus ada, Cuma desa dapat 2 %. Dari yang ada ini, nah, dari sebetulnya, yang kurang beruntung disini adalah pengelola, karena mereka dapat 30 % disamping untuk operasional itu juga pengembangan, jadi pengembangan dan operasional masuk disini, sedangkan perhutani dari 38 % mereka dapatnya bersih, ini 38 % bersih oah mereka, itu kami rapatnya itu, kami diajak, pas rapat sudah ada keterangan pajak 20 %, terus dirinciannya sini ada lagi 20% untuk pemda, padahal ini setelah kami komunikasikan dengan DPPKA gak ada itu 20 % untuk pajak dan 20 % lagi untuk pemda itu gak ada, makanya waktu rapat itu, teman – teman disini, waktu itu yang saya tugasi Pak Arifin, saya pesankan ini jangan sampai muncul 20 % dua kali, karena menurut daripada perhutani, kenapa mereka 38 % itu sudah ada hitungannya,

Peneliti : dari segi bargaining nya, tidak pernah ada kayak misalnya, perhutani dapat 38 % tapi ada timbal baliknya buat desa ?

Informan : ya itu tadi 2 % Peneliti : maksudnya dari 38% dananya yang ke perhutani itu tidak pernah ada Informan : gak ada, kamu mau gak mau ya sudah ini, itu Peneliti : oalah, karena itu ada di wilayahnya dia makanya dia ambil 38% itu Informan : he em, kamu mau ndak mau ya dapat nya itu sesuai dengan draft, draft perjanjian

ini memang draft yang membuat adalah perum perhutani, ini yang dirapatkan dibicarakan bersama dengan mereka – mereka ini, gitu. Yang saya tau seperti itu

Peneliti : berarti selama ini tidak pernah ada, kayak apa ya, kayak perjanjian, tawar menawar gitu buk, ini 38% nya jelas kemana, kayak gitu

Informan : kalo tawar menawar berarti … Peneliti : bargaining power antara desa dengan terhadap perhutani Informan : gak mau ini, ini yang perhutani gak mau, yang saya tau seperti itu. Coba kalo ndak

anu, ditanyakan kepada teman – teman yang disana, karena kan yang selama ini komunikasi terus dengan perhutani adalah teman – teman yang di lenggoksono. Bener ndak dengan apa yang saya sampaikan dengan data yang ada di mereka, maksudnya konfirmasi dengan mereka juga.

Peneliti : kalau untuk dari segi, bidang obyek, pembinaan apa saja yang sudah pernah dilakukan disana terkait pengembangan desa wisata maupun obyek ?

Informan : sumber daya manusianya. Sumber daya manusianya terkait pengelolaan untuk obyeknya, juga terkait dengan desa wisatanya, baik itu kami datang kesana, masyarakat nya dikumpulkan ataupun setiap kali kami mengadakan kegiatan mereka kami undang, tapi perwakilan biasanya, kalo sekabupaten malang perwakilan, tapi kami juga pernah mengadakan disana juga, terus setiap kali, mereka ada kegiatan untuk bersih desa, itu juga, ada sih, kami juga masuk di dalamnya, meskipun tidak besar, hanya sekedarnya, karena kan yang kami tangani kan tidak satu tetapi banyak. Jadi masih dalam bentuk pembinaan dan pelatihan. Kalo kita ada even – even pameran untuk promosi, kita ajak, sudah pernah ke Jakarta, sudah pernah ke Surabaya, ke luar jawa juga sudah, kita ajak kemana – mana untuk promosi, kalo untuk pembinaan sumber daya manusia sudah, untuk sertifikasi, untuk pemandu wisatanya, juga sudah.

Peneliti : oalah sudah bu ?

Peneliti : kalo desa wisata itu buk, itu nanti yang bertanggung jawab itu ladesta pokdarwis atau siapa bu yang akan mengembangkan desa wisata itu, atau desa sendiri bu ?

Informan : jadi gini lembaga desa wisata itu dibentuk di SK kan oleh kepala desa, dilaporkan kepada dinas, dinas akan membuat pengukuhan seperti itu, nah untuk pengembangan desa wisata ini, ya oleh lembaga itu tadi, lembaga desa wisata, tentunya mereka juga komunikasi dengan tokoh – tokoh masyarakat atau juga pemerintahan desa yang ada disitu jangan sampe mereka terus menyalahi aturan yang ada, karena pembina nya dari pariwisata, sedangkan penasehatnya itu adalah tokoh – tokoh masyarakat dan kepala desa, termasuk pak camat.

Peneliti : soalnya disana ribetkan ya bu, ada lmdh, ladesta, ada pokmaswas dan di koordinasikan oleh timlak, nah jadi kalo nanti ada masuk lagi desa wisata yang saya bingungkan siapa yang bertanggung jawab terhadap in charge pengelolaan desa wisata itu buk ?

Informan : ya lembaga desa wisata, kan pokmaswas itu, jadi gini , kalo saya melihat nya gini, coba di lihat sk nya, masing – masing mempunyai tupoksi, kalo untuk pengembangan desa wisata, tapi kalo pokmaswas itu adalah mereka ngawasi terkait hasil produk dari laut, misalkan untuk ngambil ikan dengan bom, itu mereka, tugas dari pokmaswas ini. Ooh itu ndak boleh, itu salah, itu pokmaswas, kalo LKDPH saya kurang tau, ini karena bentukannya dari perum perhutani, iya mereka tugasnya seperti apa, saya kurang tau, yang jelas tiga ini berkolaborasi untuk pengelolaan pantai, akan tetapi untuk pengembangan desa wisata, adalah di ladesta, di lembaga desa wisata,

Peneliti : kalo dari desa wisata, biasanya aka nada biaya masuk nya atau tarif – tarif misalkan untuk masuk ke desa wisata gubugklakah masuknya bayar sekian, atau gimana ?

Informan : selama ini masih belum, sebetulnya kalo memang desa wisata nya sudah bagus, sudah inklusif, terus ada misalkan gapuro yang indah, begitu masuk sudah suasana pedesaan, itu bisa diterapkan, boleh, tapi semua itu harus didasari oleh peraturan desa, harus buat peraturan desa, perdes namanya, itu, bisa. Boleh.

Peneliti : berarti sejauh ini di desa wisata yang ada di kabupaten malang belum ada yang bayar, yang bayar itu ketika mereka menikmati pengalaman edukasi ataupun objek – objek yang ada di desa wisata itu baru di bayar gitu ya buk ?

Informan : betul, pengalaman menjadi orang desa, paket – paket wisata yang di jual itu baru mereka bayar, begitu masuk, masih belum, oh kecuali wonosari,

Peneliti : kenapa bu ? Informan : desa wonosari, sudah itu, begitu masuk, (bu lani keluar) Peneliti : Dari kalo desa wisata, itu apa misalkan, pengelola desa wisata itu bebas membuat Peneliti : kenapa bu ? Informan : desa wonosari, sudah itu, begitu masuk, (bu lani keluar) Peneliti : Dari kalo desa wisata, itu apa misalkan, pengelola desa wisata itu bebas membuat

Peneliti : kalo misalkan harga – harga bu, apa dinas menetapkan harga paket wisata, segini Informan : ndak, karena mereka yang tau persis harus menjualnya berapa, nanti dinas yang

menentukan padahal nilai harga, yanga da di malang selatan dengan yang di bromo, ataupun yang arah ke pujon batu, itu tidak sama, arah utara pun tidak salah , malah kalau kami yang menentukan itu bisa menjadi boomerang, karena misalkan, bromo, bromo itu arah ke bromo itu, banyak wisatawan asingnya, atau peselancar banyak wisatawan asingnya, kalo yang ke pujon kidul, kalo wisatawan asing, harganya bisa agak naik, yang penting kalo wisatawan asing itu standarnya lingkungannya harus bersih, kamarnya, homestay nya harus bersih, toilet nya harus toilet duduk, sirkulasi udara, pergantiannya itu tidak boleh lembap, kalo gitu kalo wisatawan mancanegara

Peneliti : oh gitu kah bu? Informan : iya kalo mereka gak bersih itu, mereka gak akan kembali lagi, kalo wisatawan

mancanegara itu, kloset kamar mandi itu duduk, sebetulnya ada bukan standar sih, keinginan mereka karena kebiasaan mereka disana seperti itu, tetapi kalau kearifan lokal itu tetap terjaga, maksudnya budaya yang ada di masyarakat petani seperti apa itu yang tidak boleh, mereka menyesuaikan dengan bule, itu yang gak boleh, jadi budaya nya harus menyesuaikan budaya Indonesia

Peneliti : kalo homestay ada bu tariff – tariff yang ditetapkan Informan : ndak, karena itu tadi harga nya masing – masing potensi pelayanan fasilitas itu

berbeda, itu kalo kami yang menentukan, nanti malah jadi boomerang itu tadi, karena masing – masing kan tidak sama, fasilitas yang mereka tawarkan tidak sama, kalo misalkan kami tetapkan disana 150 padahal disana ada ac, macem – macem yang di lenggoksono, kalo yang di pujon kidul sama yang di gubugklakah gak usah ac, karena disana sudah dingin, ya itu.