Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama dengan Anggota Masyarakat

52 Dari peristiwa ini dapat dilihat kebaikan hati nenek Osano yang merupakan penerapan dari “ninjou” dalam masyarakat Jepang, walaupun ia miskin tetapi tetap ingin menyenangkan hati orang dengan meminjamkan uangnya kepada orang yang membutuhkan. Selain itu, dari peristiwa di atas dapat dilihat bahwa nenek Osano menanamkan “giri” kepada Sanrou – San yang kelak suatu hari bila nenek Osano memerlukan bantuan, maka Sanrou – San wajib membantunya.

3.2.2 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama dengan Anggota Masyarakat

Berikut adalah interaksi sosial yang terjadi antara nenek Osano dengan anggota masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Cuplikan 1 : Nenek Osano dan Wali Kelas Akihiro di Sekolah Dasar Hal : 67 – 69 Kami harus menjawab berbagai pertanyaan sepeti “pagi ini kaumakan apa?” atau “malam kemarin kau menyantap apa?” dan sebagainya, menuliskannya di buku catatan, kemudian mengumpulkannya ke guru. “Saat sarapan, aku makan sup miso isi lobster.” “Saat makan malam, aku makan lobster panggang.” Demikianlah jawabanku terus – menerus selama beberapa hari. Melihat jawaban di buku catatanku ini, sang wali kelas datang ke rumah bobrok kami seusai jam sekolah dengan wajah muram. Universitas Sumatera Utara 53 Mungkin dia berpikir, dengan rumah seperti ini, bukannya aneh kami makan lobster dua kali sehari, sudah begitu setiap hari pula. “Berikut ini adalah jawaban Tokunaga – Kun. Apa memang benar begitu?” wali kelasku bertanya sambil menunjukkan buku cacatanku ke nenek. Karena merasa tidak bersalah, aku langsung bangkit dan membela diri dengan keras. “Tapi aku tidak bohong Ya kan, nek? Kita setiap hari memang makan lobster untuk sarapan dan makan malam, kan?” Mendengar ini, kontan nenek langsung tertawa terbahak – bahak. “Sensei, maaf. Yang kami makan memang bukan lobster, melainkan udang karang. Akulah yang bilang kepada anak ini bahwa kami makan lobster...” “Jadi begitu ya?” “Lagi pula, bukankah tampilan mereka kurang lebih sama?” “Memang ya...,” kata wali kelasku sambil ikut tertawa keras, sepertinya merasa lega. Ternyata nenek memberiku udang karang, meski memberitahuku lobsterlah yang kami santap. Berhubung karena aku satu kali pun belum pernah makan lobster, kata – kata nenek aku percaya begitu saja. Omong – omong, udang karang itu pun hasil belanja di supermarket pribadi kami sungai depan rumah. Universitas Sumatera Utara 54 Analisis : Dari cuplikan di atas, sekali lagi dapat dilihat keramahan dan hubungan baik nenek Osano kepada siapa saja walaupun orang tersebut jarang ia temui. Padahal wali kelas Akihiro datang untuk menanyakan perihal tentang kejanggalan dalam buku catatan makanan milik Akihiro, tapi nenek tetap menyambutnya dengan baik dan meminta maaf karena telah berkata bohong kepada Akihiro tentang makanan yang mereka makan setiap hari. Nenek Osano mengatakan kepada Akihiro bahwa yang mereka makan tiap hari adalah lobster, akan tetapi kenyataannya adalah udang karang yang pada dasarnya memiliki kemiripan fisik yang sangat besar. Namun walau demikian, nenek Osano tidak bermaksud buruk mengatakan kebohongan itu karena pada dasarnya kebohongan yang ia lakukan tidak merugikan siapa pun kecuali sang wali kelas yang menjadi penasaran akan hal tersebut. Dari hal ini, dapat diketahui nenek Osano termasuk orang yang berhati besar. Karena ia dengan tegas meminta maaf kepada wali kelas Akihiro karena sudah berbohong dan mengatakan hal yang salah tentang menu apa yang mereka makan tersebut. Permintaan maaf nenek Osano kepada wali kelas Akhiro itu merupakan salah satu tindakan untuk menghindarkan nenek Osano dari suatu aib atau “haji” yang menyangkut namanya. Membersihkan “haji” yang menyangkut nama merupakan suatu bentuk “giri” terhadap nama sendiri, serta merupakan suatu kewajiban dan merupakn suatu kebajikan bagi orang Jepang untuk membersihkan namanya dari segala bentuk “haji”. Universitas Sumatera Utara 55 Cuplikan 2 : Nenek Osano dan Pedagang Tahu Hal : 191 - 193 Totett, totett… Hari itu, seperti biasa suara terompet tukang tahu terdengar. “Akihiro, beli sana,” kata nenek yang sedang memberi makan ayam, sambil mengulurkan uang logam lima yen kepadaku. “Baik. Paman, mau beli” Sambil menggenggam uang lima yen tadi, aku berlari mendekati paman penjual tahu. Saat itu, paman tepat sedang menerima uang dari pelanggan yang dating duluan. “Nah, dua potong tahu, jadinya dua puluh yen ya?” “Benar, terima kasih banyak”. Sambil mendengar proses jual – beli itu, aku mengintip ke dalam kotak di atas palet sepeda dan mendapati tahu hari ini masih dalam keadaan bagus. Semuanya masih berbentuk segi empat rapi. “Nenek, tidak bisa Hari ini tidak ada tahu yang rusak” sambil berkata begitu, aku mulai berjalan kembali ke rumah. Namun, paman penjual tahu memanggil untuk menghentikanku, “Tidak, tidak, ada kok yang rusak” “Hah? Tapi…” Universitas Sumatera Utara 56 Aku membalikkan tubuh nyaris pada saat yang sama dengan ketika paman penjual tahu merusak tahu di dalam kotak dengan tangannya sendiri. “Nah, kan ada. Ini, lima yen,” kata paman sambil memberi kode dengan matanya dan mengangguk. Melihat ini aku pun tersadarbahwa di hari tidak ada tahu rusak, pasti si paman selalu melakukan itu untuk kami. Aku sempat bingung antara mengambil kebaikan ini atau tidak, tetapi begitu melihat senyuman lebar dan anggukan kepala paman penjual tahu, aku hanya bisa diam dan menerimanya. Aku baru menceritakan hal ini pada nenek lama setelahnya. Analisis : Dilihat dari cuplikan di atas, antara paman pedagang tahu dan keluarga Tokunaga terutama dalam hal ini nenek Osano berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari situasi di mana paman pedagang tahu merusakkan tahu dagangannya sendiri di hari ketika tidak ada tahu yang rusak untuk dapat dijual dengan setengah harga kepada keluarga Tokunaga. Bila dilihat lagi, perbuatan si paman pedagang tahu kepada nenek Osano didasari oleh suatu perasaan belas kasihan kepada sesama umat manusia yang merupakan penerapan dari nilai budaya “ninjou” dalam masyarakat Jepang. Selain itu pada masa itu nenek Osano merupakan orang yang di tuakan dan dihormati di lingkungannya sehingga banyak orang yang merasa memiliki “giri” kepada beliau dan merasa harus membayar kembali kepada beliau dalam bentuk tindakan – Universitas Sumatera Utara 57 tindakan tertentu yang memudahkan kehidupan nenek Osano dan cucunya Akhiro Tokunaga. Cuplikan 3 : Nenek Osano dan Petugas Air Hal : 193 – 194 Saat itu, paman petugas penagih tagihan air datang. Kemudian dengan santai dia menanyakan sesuatu yang isinya sungguh berlawanan dengan sikapnya, “Tokunaga – san, tagihan air anda sudah nunggak tiga bulan loh.” Nenek yang menjadi lawan bicaranya, sejenak menampilkan wajah kesulitan. Namun kemudian dia melihat diriku yang mondar – mandir situ, sehingga dengan segera mendapatkan ide berdalih, “Akihiro, akhir – akhir ini, sekitar dua – tiga bulan, kita tidak minum air, kan?” “Um,” jawabku hanya bisa mengangguk, padahal di dalam hati aku berkata, itu jelas – jelas bohong. Tapi paman petugas hanya tertawa terbahak – bahak mendengar jawaban nenek tadi. “Oh, begitu ya. Kalau begitu, bulan depan saya kesini lagi,” katanya, kemudian dia berlalu pergi begitu saja. Begitu paman sudah tidak ada, aku berkata kepada nenek, “Memangnya aku kadal?” Mendengar ini, sambil meneteskan air mata, nenek terus – menerus tertawa. Universitas Sumatera Utara 58 Analisis : Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara nenek Osano dengan Petugas Air berjalan dengan baik. Hal ini dapat di diketahui dari sikap petugas air yang percaya saja pada alasan nenek Osano yang dibuat – buat untuk menunda pembayaran tagihan air pada bulan tersebut. Petugas air itu hanya tertawa mendengar alasan tersebut dan mengatakan ia akan kembali bulan depan untuk menagih tagihan air rumah nenek Osano. Dari kejadian ini, dapat dilihat kecerdikan nenek Osano dalam membaca situasi, dimana pada saat itu ia melihat Akhihiro yang sedang mondar – mandir dan hal tersebut memberinya ide untuk membuat alasan kepada petugas air untuk dapat menunda pembayaran air sampai bulan depan. Tindakan nenek Osano mencari alasan untuk menunda pembayaran air tersebut merupakan usahanya untuk menghindarkannya dari suatu aib atas namanya atau menghindarkan suatu “giri” atas namanya yang merupakan suatu bentuk “haji”. Aib atas nama dan kehormatan atau yang di sebut “haji” merupakan sesuatu yang memalukan menurut penilaian masyarakat Jepang, maka sebisa mungkin mereka akan menghindarkannya dengan berbagai cara. Universitas Sumatera Utara 59 Cuplikan 4 : Nenek Osano dan Dokter Hal : 194 – 198 Pernah satu kali, aku melukai mataku saat naik sepeda. Mata kiriku terbentur sangat keras pada setang sepeda. Karena kukira tidak masalah, aku biarkan saja. Namun di keesokan harinya, lalu di hari berikutnya pun, bukannya makin mereda, rasa sakitnya malah makin bertambah parah. Di hari ketiga, karena sudah tidak tahan, aku pergi kerumah sakit sepulang sekolah. Aku tidak membawa uang saat itu, tapi kupikir entah bagaimana aku akan kembali lagi untuk membayar pengobatannya. Yang aku tahu pasti, rasa sakit sudah benar – benar tidak tertahankan. “Kapan terbenturnya?” tanya sang dokter dengan wajah galak saat memeriksa keadaan mataku. “Tiga hari yang lalu.” “Kenapa tidak segera datang untuk diperiksa?” “Saya pikir tidak ada masalah…” “Terlambat tiga hari lagi dan kau bisa saja buta.” “Apa?” Aku sanggat shock mendengar kata “buta.” Karena mata sanggat sensitive, mulai sekarang bila ada apa – apa, sebaiknya langsung datang berobat, sang dokter kembali menasehati dengan tegas sambil merawat mataku. Universitas Sumatera Utara 60 Ketika perawatan sudah selesai, aku memperoleh obat pereda sakit, dan melapor ke meja pendaftaran pasien. “Maaf, tadi saya langsung ke sini sepulang dari sekolah sehingga belum membawa uang. Saya akan membawanya setelah ini.” Sang suster menatapku dengan wajah agak kebingungan, tapi kemudian berkata, “Tunggu sebentar ya,” kemudian masuk ke ruang dokter. Gawat, pikirku sambil menunggu. Setelah beberapa saat, dokter yang tadi merawat mataku keluar. “Maaf… saya akan pulang dan segera kembali dengan membawa uang…,” kataku tergagap – gagap. Namun dengan ringan, sang dokter berkata, “Sudahlah, kau tidak perlu bayar biaya pengobatan.” “Hah?” “Ibumu dan nenekmu sudah bersusah payah bekerja, bukan?” “Tapi…” “Daripada memikirkan itu, perjalanaamu ke sini jauh, bukan? Pulangnya naik bus saja.” Kemudian secara mengejutkan, sang dokter memberi uang ongkos bus. “Nanti aku yang akan meminta ganti pada nenekmu. Sudah, tidak apa – apa.” Universitas Sumatera Utara 61 Aku bolak – balik berfikir apakah tidak masalah bila aku terima saja kebaikannya. Tapi karena mata kiriku masih berdenyut – denyut sakit, akhirnya aku mengucapkan terima kasih dan menerima pinjaman ongkos bus itu. Aku lalu keluar dari ruang praktek sang dokter mata dan pulang. “Dokter tidak hanya membebaskan biaya perawatan, nek. Dia bahkan juga meminjamiku uang ongkos bus,” ujarku bercerita kepada nenek. “Apa pun kata dokter itu, nenek akan membayar biasa pengobatan dan ongkos bus,” kata nenek tampak marah. Dia meraih dompetnya dan keluar dari rumah. Namun sepertinya, sang dokter tetap tidak mau menerima uang nenek, baik itu untuk biaya pengobatan maupun untuk ongkos bus. Analisis : Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa sang dokter yang merawat mata Akihiro begitu menghormati dan menghargai kerja keras nenek Osano. Sehingga ia membebaskan biaya perobatan mata Akihiro dan malah memberi ia ongkos pulang naik bus supaya lebih cepat sampai di rumah. Sikap sang dokter yang menghormati dan menghargai kerja keras nenek Osano ini didasari oleh suatu perasaan tenggang rasa kepada sesama umat manusia yang tinggi atau dalam budaya Jepang disebut “ninjou”. Namun demikian, nenek Osano tidak mau menerima kebaikan dokter tersebut begitu saja. Ketika nenek Osano mengetahui semua kebaikan sang dokter Universitas Sumatera Utara 62 dari Akihiro, ia buru – buru pergi ke tempat sang dokter untuk membayar biaya perobatan dan ongkos bus yang sudah diterima Akihiro. Nenek Osano melakukan hal ini, dikarenakan ia tidak ingin memiliki hutang “giri” kepada sang dokter. Menurut pandangan masyarakat Jepang, seseorang yang menerima “giri” dari orang lain berarti ia lebih rendah dari si pemberi “giri” tersebut. Maka dari itu nenek Osano berusaha sesegera mungkin membayar semua biaya perobatan dan ongkos bus yang diterima Akihiro dari sang dokter, agar beliau terhindar dari “giri” terhadap sang dokter. Cuplikan 5 : Nenek Osano dan Pedagang Sepatu Hal : 155 – 156 Ketika kami tiba di satu – satunya toko olahraga di daerah sana, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh. Sesuai dugaan, toko sudah tutup. Paman pemilik toko tampak sedang membawa masuk sepatu dan sandal zori yang tadi dipajang berjejer, merapikan tokonya. Meski pastinya juga melihat itu, nenek berseru dengan suara keras kepadanya, “Sepatu Spike paling mahal satu” “Hah?” “Sepatu Spike paling mahal satu” Bukannya warna sepatu atau ukurannya, paman pemilik toko pasti saat itu Cuma bisa terpana ketika mendadak diminta “yang paling mahal.” Walau begitu, Universitas Sumatera Utara 63 akhirnya sang paman memahami maksud nenek dan menjawab, “Ah, ya, sebentar.” Setelah berkata begitu, dia langsung masuk toko kemudian keluar lagi dengan membawa sepatu Spike berkualitas tinggi. “Nah, sepatu ini harganya dua ribu dua ratus lima puluh yen,” kata si paman menjelaskan, yang di dengar salah oleh nenek. “Saya mohon, sepuluh ribu yen saja ya” katanya memohon dengan wajah serius sambil menyodorkan selembar uang 10.000 yen di tangannya. Sambil menatap keheranan uang 10.000 yen yang disodorkan ke depan mata, si paman dengan wajah kesulitan berkata, “Ah tidak, tidak bisa begitu.” Mungkin karena ulah lama sekali berselang sejak nenek menggunakan uang sebesar itu, dia menjadi terlalu bersemangat dan agak gugup. Analisis : Dari cuplikan di atas, dapat dilihat bahwa nenek Osano adalah orang yang memiliki hubungan baik dengan siapa saja dan bersemangat. Pada cuplikan di atas, karena terlalu bersemangat ingin membelikan Akihiro sepatu Spike baru karena ia diangkat menjadi kapten tim baseball di sekolahnya nenek Osano jadi salah mendengar harga yang dikatakan oleh paman pedagang sepatu. Yang seharusnya dua ribu lima ratus Yen, ia dengar sebagai sepuluh ribu Yen. Namun demikian, ia tetap bersikeras ingin membelikan Akhihiro sepatu tersebut dengan harga semahal itu. Keinginan keras nenek Osano untuk Universitas Sumatera Utara 64 membelikan Akhiro sepatu Spike baru didasari oleh rasa kasih sayangnya kepada Akihiro yang merupakan suatu bentuk nilai “ninjou” dalam masyarakat Jepang. Selain itu Akihiro yang telah berhasil menjadi kapten tim baseball di sekolahnya dengan bersusah payah, merupakan suatu kebanggaan bagi nama keluarganya. Maka dari itu, untuk membalas kebanggaan tersebut yang merupakan suatu “giri” maka nenek Osano berkeras untuk membelikan Akihiro sepatu baru walau dengan harga semahal apapun. Walau demikian, paman pedagang sepatu tidak mau menjual sepatu tersebut dengan harga semahal itu meski nenek Osano sudah berkeras ingin membelinya. Tindakan ini didasari sikap jujur dan tenggang rasa kepada nenek Osano yang juga merupakan penerapan nilai “ninjou” dalam masyarakat Jepang. Cuplikan 6 : Nenek Osano dan Bibi Tetangga Sebelah Hal : 155 – 156 Termos air panas itu telah membawakan kebahagiaan ke rumah kami yang dingin. Di malam yang seperti itulah, bibi sebelah datang berkunjung. Seperti biasa, meski baru sekitar jam delapan malam, nenek dan aku sudah buru – buru masuk ke balik selimut. Tentu saja di bawah kaki kami tidak ketinggalan termos air panas yang hangat. Meski begitu, nenek sama sekali tidak menunjukkan wajah sebal dan mengundang masuk bibi tetangga dengan ramah. Universitas Sumatera Utara 65 Kemudian, “Ini, saya dapatkan dari pemberian,” katanya sambil mengeluarkan acar sayur mustar. “Duduk dan minum teh saja dulu,” kata nenek mencegahnya pergi. “Ah, jadi tidak enak, maaf ya datang malam – malam,” kata bibi sebelah rumah sambil masuk dengan ceria. Di sinilah masalah dimulai. Sambil berkata, “Waktunya pas sekali,” nenek mengeluarkan termos air panas dari futon, membuka tutup termos, lalu mulai menuang air panas di dalamnya ke poci teh Melihat itu, tentu saja tidak aneh bila bibi sebelah rumah enggan meraih teh yang sudah disuguhkan. Namun, nenek malah, “Tidak perlu sungkan, silahkan diminum. Meski hingga tadi termosnya kami buat untuk alas kaki, air yang di dalamnya tidak terpengaruh, bukan?” demikian katanya dengan ringan sambil tertawa. Saat itu aku sungguh memahami perasaan bibi sebelah, namun beberapa hari kemudian aku terpaksa menyadari bahwa memang ada saat – saat ketika kita tidak dapat bersimpati pada orang lain. Universitas Sumatera Utara 66 Analisis : Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa hubungan nenek Osano dengan para tetangganya berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat salah satunya ketika bibi tetangga sebelah rumah mereka berkunjung ke rumah nenek Osano. Walaupun pada saat bibi tetangga berkunjung nenek Osano dan Akihiro sudah berada di dalam futon untuk bersiap tidur, tetapi tetap nenek Osano menyambut kunjungan bibi setelah rumah dengan ramah dan malah mengajaknya singgah dan masuk ke dalam rumah. Setelah berada di dalam rumah pun, nenek kembali memperlihatkan kebaikannya dengan menjamu bibi tersebut dengan segelas teh hangat. Walaupun air yang digunakan untuk menyeduh teh tersebut merupakan air yang berasal dari dalam termos yang nenek Osano dan Akihiro gunakan untuk menghangatkan kaki mereka di dalam futon. Walaupun si bibi agak enggan meminum teh tersebut, tetapi nenek Osano dengan santai menjelaskan bahwa air di dalam termos terbut tidaklah tercemar, walau termosnya digunakan untuk menghangatkan kaki mereka di dalam futon. Kebaikan hati nenek Osano di atas merupakan suatu penerapan dari nilai “ninjou” dalam masyarakat Jepang. Nenek Osano menjamu bibi tetangga sebelah yang telah repot – repot datang mengantarkan acar untuk bahan makanan nenek mereka dengan senang hati, hal ini ia lakukan sebagai suatu tindakan untuk membalas “giri” dari bibi sebelah yang telah memberi acar kepada mereka. Bagi masyarakat Jepang, membalas pemberian orang lain adalah suatu keharusan dan merupakan tindakan mulia karena dengan begitu mereka dapat membalas “giri” Universitas Sumatera Utara 67 dari orang tersebut. Dan untuk itu, “ninjou” dilakukan untuk membalas suatu “giri” seseorang. Walaupun acar di balas hanya dengan ajakan singgah dan secangkir teh hangat, namun itu sudah cukup untuk kondisi lingkungan di mana nenek Osano tinggal. Universitas Sumatera Utara 68

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN