Haji TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “

37 melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan, Doi dalam Setiawan 2009:21. “Ninjou” berhubungan erat dengan “giri”. Dalam kehidupan masyarakat Jepang, “ninjou” bertugas sebagai rasa ikhlas dalam membalas “giri” yang telah diterima dari orang lain. “Giri” mewakili rasa terbeban atas kewajiban seorang untuk membalas kebaikan yang telah ia terima dari orang lain. Menurut Minamoto dalam Setiawan 2009:21 menyatakan “ninjou” adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosi yang bekerja secara alami, yang mempengaruhi kepribadian manusia di dunia.

e. Haji

Menurut Benedict 1982:333 “haji” adalah rasa mau yang sehubungan dengan kehormatan atau harga diri. Rasa malu ini muncul dikarenakan ketidakmampuan membalas “on” orang lain, yang terdiri dari “giri” dan “gimu”. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Benedict 1989:338 juga menambahkan bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain. Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas mereka difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Universitas Sumatera Utara 38 Dan seseorang yang tahu malu di definisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang terhormat Benedict, 1989:234. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang bertindak pada suatu ukuran yang dijadikan dasar untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan akan menimbulkan perasaan malu atau tidak. Universitas Sumatera Utara 39

BAB III ANALISIS SOSIOLOGI TERHADAP CERITA NOVEL “

SAGA NO GABAI BAACHAN” KARYA YOSHICHI SHIMADA

3.1 Sinopsis Cerita Novel “Saga no Gabai Baachan”

Pasca pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki, perekonomian Jepang hancur, sehingga dampaknya secara langsung juga dirasakan oleh sebagian besar rakyatnya. Hal ini juga dirasakan oleh keluarga Akihiro Tokunaga, apalagi tak lama setelah Akihiro lahir ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga meninggal dunia akibat terpapar radiasi bom atom di Hiroshima. Ibunya terpaksa bekerja sendiri membuka usaha bar kecil untuk menghidupi dirinya, Akihiro dan abangnya. Kesibukan di bar membuat ibunya tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk membesarkan Akihiro dan abangnya. Ditambah pula bar tersebut berada di wilayah kumuh, membuat ibu merasa cemas akan perkembangan Akihiro yang saat itu usianya masih sangat kecil. Karena merasa tak sanggup untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya di Hiroshima, maka oleh ibunya Akihiro dititipkan pada neneknya di kota Saga. Berbeda dengan Hiroshima yang merupakan sebuah kota besar di Jepang, Saga adalah sebuah kota kecil yang jauh dari keramaian. Kehidupan Akihiro di Hiroshima memang sulit, kepindahannya ke Saga tidak membuat hidupnya menjadi nyaman, bersama neneknya ia malah harus hidup lebih miskin lagi dibanding ketika ia bersama ibunya di Hiroshima. Secara materi memang Akihiro menjadi semakin miskin. Namun dari sikap hidup, pandangan, dan perilaku Universitas Sumatera Utara