Tinjauan Kepustakaan

C. Tinjauan Kepustakaan

Sepanjang penelitian penulis, sudah banyak orang yang menulis tentang penafsiran ayat-ayat jender, namun penulis berbeda dengan para penulis terdahulu. Beberapa contoh tulisan ilmiah dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Karya Nasaruddin Umar.Hasil penelitiannya terhadap sejumlah ayat jender mengesankan bahwa al-Qur’an cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan menyadari bahwa persoalan ini cukup penting tetapi tidak dirinci di dalam al-Qur’an, maka itu menjadi isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling

menguntungkan. 42 Prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam al-Qur’an antara lain

mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba (‘âbid) Tuhan dan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalîfah Allah fî al-ardh), laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama, lalu keduanya terlibat dalam drama kosmis, ketika Adam dan Hawa sama-sama bersalah yang menyebabkannya jatuh ke bumi. Keduanya sama-sama berpotensi meraih prestasi di bumi, dan sama-sama berpotensi untuk mencapai ridha

Tuhan di dunia dan akherat. 43 Meskipun ditemukan sejumlah ayat yang kelihatannya lebih

memihak kepada laki-laki, seperti dalam soal kewarisan, persaksian, poligami, dan hak-haknya sebagai suami atau sebagai ayah, ayat-ayat yang

42 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II.

43 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306 43 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306

lafazh umum?. 44 Ayat-ayat jender turun secara sistematis didalam suatu lingkup

budaya yang sarat dengan ketimpangan peran jender. Dengan dipandu oleh pribadi seorang Nabi dan Rasul maka implementasi ayat-ayat jender dapat disosialisasikan dalam waktu yang relatif cepat. Nabi Muhamad masih sempat menyaksikan kaum perempuan menikmati beberapa kemerdekaan yang tidak pernah dialami sebelumnya, seperti kemerdekaan menikmati ruang publik dan memperoleh hak-hak pribadi seperti hak warisan, hak menuntut talak, dan berbagai hak asasi lainnya. Hanya saja sering ditemukan unsur budaya lokal lebih dominan di dalam menafsirkan ayat- ayat al-Qur’an. Termasuk dalam hal terjadinya maskulinisasi

epistemologis. 45 Karya ini membahas kesetaraan jender dengan menggunakan

metode historical analysis (analisis sejarah), metode hermeneutical method dan metode maudhû’i yang dipadukan dengan content analysis, disamping

metode induktif dan deduktif. 46

44 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306

46 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 309 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 30

2. Karya Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi. Hasil penelitiannya yaitu solusi yang ditawarkan oleh Islam hanya satu yaitu kepatuhan kaum laki-laki dan perempuan terhadap hukum syara baik berupa perintah maupun larangannya. Berupa perintah seperti menundukkan pandangan serta memelihara kemaluannya, agar bertaqwa, tidak melakukan maksiat, hubungan seksual hanya bisa dilakukan melalui akad nikah, sedangkan berupa larangan seperti, dilarang melakukan berkhalwat dan khusus kepada perempuan dilarang bersolek secara berlebihan dengan menampakkan perhiasan dan kecantikannya dan perempuan tidak

melakukan pekerjaan diluar kadratnya 47

3. Karya Muhammad Anas Qasim Ja'far. Dalam kesimpulannya dia mengemukakan hal ikhwal hak politik perempuan dalam peta pemikiran Islam dan perundang-undangan kontemporer. Dia menyatakan sudah jelas merupakan hak perempuan, atas dasar prinsip persamaan, untuk ikut berpartisipasi bersama laki-laki, membangun, mengubah dan membebaskan energi-energi terendap dalam masyarakat, suatu upaya yang wajib mengikutsertakan perempuan dalam kehidupan politik. Dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang melarang perempuan menikmati hak- hak tersebut, sebaliknya Islam justru mendukung perempuan untuk memperoleh hak-haknya, sebagaimana halnya pada laki-laki. Begitu pula hampir seluruh aturan perundang-undangan kontemporer mendukung

perempuan menggunakan hak-hak politiknya. 48

47 Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam, (Jakarta: Wahyu Press, 2003), Cet. I, h. 129

48 Muhammad Anas Qasim Ja'far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan sebuah Perspektif Islam, (Jakarta: Daar al-Nahdhah al-Arabiyah, 2002), Cet. I, h. 154

4. Karya Faisar Ananda Arfa. Dalam kesimpulannya ada tiga yaitu pertama, perempuan dalam pemikiran Islam modern digambarkan sebagai makhluk yang sama kedudukannya dengan kaum laki-laki secara teologis di hadapan Allah dan secara sosial dalam interaksi sesama manusia. Agenda utama yang dikembangkan oleh para pemikir Islam modern tersebut adalah memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam segala bidang aspek kehidupan termasuk hak berpolitik, hak memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Dalam masalah fiqih terutama warisan dan kesaksian peremppuan dihargai sama dengan laki-laki, kedua, para pakar modernis menawarkan penafsiran baru dan segar terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini secara tradisional dipergunakan untuk mendiskriminasikan kaum perempuan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan, bahwa pintu ijtihad terbuka lebar, ketiga, metode yang diterapkan adalah mereduksi kekuatan qath’i. Artinya bila dalam pemahaman Islam tradisional ayat-ayat tersebut bersifat muthlak dan wajib diamalkan tanpa interpretasi, maka dalam pemikiran Islam modern, ayat-ayat tersebut ditinjau dengan memperhatikan sebab turun ayat dengan memperhatikan kondisi sosial,

budaya dan ekonomi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. 49

5. Karya Istianah. Dalam kesimpulannya dia menyatakan, bahwa wawasan al-Qur’an menggunakan metode maudhu’i (tematik), sama halnya dengan yang ditempuh oleh al-Farmawi, namun ia agak berbeda dengan Farmawi. Pertama , dalam menetapkan tema yang akan dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat yang membutuhkan jawaban al-Qur’an. Kedua, menyusun runtutan ayat sesuai

49 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. I, h. 179 49 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. I, h. 179

tahlîlî (runtutan ayat). 50 Walaupun kedua karyanya termasuk kategori tafsir bi al-ra’yi, namun

ia tidak lepas menggunakan riwayat sebagai sumber utamanya, kalau tidak dijumpai riwayat ia baru menggunakan nalarnya. Dalam kedua karyanya tersebut, Quraish juga tidak lepas dari metode interteks. Yaitu selalu mengutip pendapat dari pendahulunya seperti;Ibrahim Ibnu Umar al- Biqa’i, Muhammad Thanthawi, Mutawalli al-Sya’rawi, Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Muhammad Husain Thabathaba’i, al- Zamakhsyari dan beberapa pakar tafsir yang lain. Proses interteks ini fungsinya diposisikan sebagai penguat dan melegimitasi dari

penafsirannya. 51

6. Karya Istibsyarah. Dalam kesimpulannya, bahwa al-Sya’rawi lebih moderat dalam beberapa hal, misalnya kebolehan perempuan bekerja di luar rumah, sepanjang pekerjaan itu tidak menimbulkan fitnah, dapat

50 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Metodologi Quraish Shihab) sebuah Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta,

2002., h. 177 51 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab…,h.179 2002., h. 177 51 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab…,h.179

perempuan melihat dengan mata kepala sendiri. 52 Menurut al-Sya’rawi, poligami dibolehkan dalam keadaan darurat,

hak kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama dan keduanya memang saling melengkapi satu sama lain guna memenuhi kebutuhan hidup yang makin komplek, adanya pengakuan terhadap hak politik bagi perempuan diantaranya jihad dan memegang jabatan, dalam rumah tangga tidak ada yang superior dan inferior antara suami dan istri, hak memperoleh pendidikan sama antara laki-laki dan perempuan, dalam memilih pasangan hidup sama halnya dengan laki-laki, hak talak memang hak laki-laki, namun perempuan dapat mengajukan gugat cerai dengan

berbagai pertimbangan yang matang. 53

7. Karya Zaitunah Subhan. Inti kesimpulannya ada dua yaitu, pertama, perbedaan kodrati (kodrat biologis) tidak punya pengaruh apapun dalam menentukan derazat kemanusiaan, kecuali nilai iman dan taqwa. Akan tetapi kesalah pahaman memahami kodrat perempuan akan menimbulkan anggapan inferior (misalnya perempuan itu lemah akal dan agamanya,

52 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir al-Sya'rawi, (selanjutnya tertulis Hak-Hak Perempuan) sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004,

h.286. 53 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan…, h.287 h.286. 53 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan…, h.287

berpasangan. 54 Kedua , laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sebagai mitra dalam

sebuah rumah tangga; kemitrasejajaran bukan merupakan hubungan yang satu mengungguli atau lebih rendah dari yang lain, bukan pula yang satu mendominasi dan yang lain didominasi; tetapi kemitrasejajaran adalah hubungan yang saling timbal balik. Adanya kesenjangan diakibatkan karena pemahaman agama yang tidak proporsional dalam memberikan makna kemitrasejajaran. Penafsiran yang ada sering kali berfungsi sebagai penguat isu-isu yang tersebar di masyarakat. Hal ini akibat dari penafsiran lama yang sulit diterima pada masa kini. Sumber Islam (al-Qur’an dan hadis) tidak saja dapat dipahami secara normatif, tetapi juga harus diperhatikan konteksnya. Oleh karena itu, pemahaman secara kontekstual

sangat diperlukan. 55

8. Fathurrahman Djamil. Dia membahas pemikiran Muhammad Quraish Shihab dari 3 sisi ;qath’i zhanni, nâsikh manshûkh dan fungsi hadis terhadap al-Qur’an. Pertama, tentang qath’i zhanni. Suatu ayat al-Qur’an disebut qath’i, jika ia hanya memiliki satu arti atau penafsiran tertentu, dan disebut zdanni, jika ia terbuka untuk diberi berbagai macam makna. Fathurrahman Djamil melihat Muhammad Quraish Shihab tidak

54 Zaitunah Subhan, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam, (selanjutnya tertulis Kemitrasejajaran Pria dan Wanita) sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 1998.

h. 239 55 Zaitunah Subhan, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita…, h. 240

menyetujui adanya dikotomi ini. Kedua, nâsikh mansûkh, bila ada ayat yang bertentangan maka salah satu ayat yang bertentangan tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku. Quraish dalam menyelesaikan masalah ini secara berbeda. Dia tidak melihat bahwa satu ayat telah dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh ayat lainnya. Bagi dia yang terjadi adalah pemindahan obyek hukum dari satu kondisi ke kondisi lain atau dengan kata penundaan sementara berlakunya ayat tersebut. Jika kondisi yang mirip dengan kondisi dimana ayat tersebut diturunkan kembali, ayat al-Qur’an yang sudah diganti itu kembali berlaku. Ketiga, fungsi hadis terhadap al-Qur’an. Apakah Nabi punya berwenang untuk menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan al-Qur’an ? Dalam menjawab pertanyaan ini secara garis besar masyarakat islam terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama berpendapat, Nabi boleh membuat hukum baru, kelompok kedua menolaknya. Quraish lebih condong pada penjelasan tambahan. Sehingga Quraish dalam masalah hukum tidak hitam putih, tapi dia berusaha menghadirkan keragaman pendapat, baik dari masa klasik maupun modern dan mendorong penanya untuk memilih sendiri. Dia tidak mendasarkan pada satu madhhab tertentu. Dia sangat menggaris bawahi pentingnya

aspek maslahah dalam penentuan hukum. 56

9. Hamdani Anwar. Dalam kesimpulannya hanya membahas yang berkaitan dengan motivasi penulisan, sumber yang digunakan, metode yang dipilih, corak yang menjadi kecenderungan dan sistimatika yang dianut dalam

penulisannya. 57

56 Fathurrahman Djamil ,Setudia Islamika, Volume 6, Number 2, 1999, h.171 57 Hamdani Anwar, Mimbar Agama & Budaya, Vol.X!X, NO.2. 2003, h. 188

10. Arief Subhan. Tulisan yang dia paparkan hanya berkisar “Biografi Sosial Intelektual Muhammad Quraish Shihab” Dia memaparkan tentang Muhammad Quraish Shihab mulai dari kelahiran, melanjutkan studi ke Mesir, mengulas tentang tesis dan disertasi yang ditulisnya, dan

pandangan-pandangan serta gagasan-gagasan yang diinginkannya. 58

11. Herman Heizer. Dia hanya menyampaikan tentang 2 latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbah, pertama, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa ummat Islam Indonesia mempunyai ketertarikan yang besar terhadap al-Qur’an, tapi sebahagian hanya berhenti pada pesona bacaannya ketika dilantunkan. Seakan-akan kitab suci ini hanya untuk dibaca. Padahal menurut Quraish Shihab bacaan al-Qur’an hendaknya disertai dengan kesadaran akan kegunaannya. Kedua, tidak sedikit ummat Islam yang mempunyai ketertarikan luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’an, tapi menghadapi berbagai kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu pendukung dan kelangkaan buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, jelas dan tidak bertele-tele.

Kajian dan bahasan buku-buku di atas sekalipun membahas jender tapi tidak menyinggung pemikiran Muhammad Quraish Shihab, dengan pendekatan yang berbeda-beda dan hasilnya memiliki kekhususan masing- masing. Ada lima orang penulis kutip yang menyoroti Muhammad Quraish Shihab seperti Istianah, Fathurrahman Djamil dan Hamdani Anwar, Arief Subhan dan Herman Heizer, namun tidak menyoroti masalah jender. Sedangkan penulis terfokus pada penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish

58 Arief Subhan, Majalah Tsaqafah, Vol.1, No.3, 2003,h. 81

Shihab. Dengan demikian, penelitian ini bukan pengulangan dari apa yang telah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya.

Karena itu, penelitian penulis ini diharapkan akan menghasilkan hal-hal baru yang belum terungkap oleh peneliti lain tentang penafsiran ayat-ayat yang bernuansa jender. Penelitian ini akan berupaya mengungkap penafsiran ayat- ayat yang bernuansa jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah . Untuk menghasilkan kajian yang utuh, akan dipilih pendekatan dan analisis tertentu yang akan dijelaskan pada bagian metodologi.